Anda di halaman 1dari 29

NASKAH

AKADEMIS
PENJELASAN UMUM
(NASKAH AKADEMIS)
PENYELENGGARAAN
PENGAWASAN PEMERINTAHAN
DAERAH

3
Daftar Isi

I. PENDAHULUAN.............................................................................................................. 6

II. KONSEP-KONSEP YANG RELEVAN DALAM KAJIAN PENYUSUNAN PEDOMAN


PENGAWASAN ................................................................................................................... 8
II. 1. PENGAWASAN .................................................................................................... 8

II. 2. PENGAWASAN ATAU AUDIT KINERJA ................................................................. 8


II.2.1. Urgensi Audit Kinerja ..................................................... 9
II.2.2. Tipologi Audit Kinerja....................................................12
II.2.3. Tahapan-Tahapan Proses Audit Kinerja ...............................14
II.2.4. Indikator Kinerja ..........................................................16
II.2.5 Jenis Indikator Kinerja ....................................................17

II. 3. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINATAHAN ............................................................ 19


II.3.1. Jenis dan Kriteria Pembagian Urusan Pemerintahan................20
II.3.2. Desentralisasi..............................................................21

II.4. PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH........................... 23

II.5. TEKNIS PENGAWASAN PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN DAERAH.. 24


II.5.1. Tahapan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah ...25

III. PENUTUP ................................................................................................................... 30

4
GAMBAR, BAGAN dan MATRIKS

Gambar 1 Peran Auditing dalam Proses Akuntabilitas Publik ................. 7

Gambar 2 Siklus Pengawasan ...................................................... 20

Bagan 1 Alur Desentralisasi ......................................................... 17

Bagan 2 Alur Laporan Hasil Pemeriksaan ......................................... 22

Bagan 3 Alur Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi ............................ 23

5
I. PENDAHULUAN

Kebijakan pemerintah di bidang otonomi daerah pada dasarnya


dimaksudkan untuk menata ulang hubungan antara pusat dan daerah dalam
berbagai segi yang menyangkut urusan penyelenggaraan pemerintahan. Secara
umum, dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, arah kebijakannya sangat jelas : otonomi diberikan pada
daerah secara luas untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat. Namun praktek pemberian otonomi yang luas ini tidak dapat
diartikan sebagai bentuk pelimpahan kewenangan yang tanpa batas dari
pemerintah pada daerah. Penyelenggaraan pemerintahan daerah tetap harus
memperhatikan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Agar
implementasi kebijakan otonomi ini tetap focus dan terarah pada ultimate goal
yang diingingkan (kesejahteraan masyrakat) maka diperlukan pengawasan
(controlling) sebagai sebuah upaya untuk menjamin tercapainya tujuan akhir.

Dalam konteks pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah ini


kecenderungan kekinian menunjukkan bahwa penerapan prinsip akuntabilitas
publik atas pelaksanaan suatu urusan atau kewenangan oleh pemerintah daerah
telah menjadi mainstream dalam manajemen pemerintahan. Untuk
mewujudkannya sudah lazim diterapkan standar kinerja untuk mengukur dan
menilai seberapa jauh target atau tujuan telah tercapai. Dengan cara seperti
itu siapapun yang melaksanakan satu urusan atau kewenangan dapat diukur dan
dinilai keberhasilannya sehingga bisa dijadikan rujukan dalam konteks
akuntabilitas public (baik secara vertical maupun horizontal). Disinilah terletak
urgensi pengawasan atau audit kinerja terhadap penyelenggaraan
pemerintahan daerah.

Mengingat pentingnya pengawasan atau audit kinerja penyelenggaraan


pemerintahan daerah tersebut dipandang perlu adanya pedoman sehingga bisa
dijadikan pegangan atau rujukan baik bagi aparat pengawas (APIP) maupun
pihak atau unit organisasi yang diawasi. Pedoman yang akan disusun harus

6
merujuk atau didasarkan pada landasan legal formal yang jelas baik dalam
kaitannya dengan pemerintahan daerah, pengawasan atau audit kinerja, atau
pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.

7
II. KONSEP-KONSEP YANG RELEVAN DALAM KAJIAN PENYUSUNAN
PEDOMAN PENGAWASAN

Pada bagian di bawah ini akan diuraikan sejumlah konsep atau bahasan
terkait, yang dapat dijadikan justifikasi bagi pentingnya penyusunan pedoman
audit kinerja penyelenggaran pemerintahan tersebut.

II. 1. PENGAWASAN

Menurut Mockler pengawasan dalam konteks manajemen pada dasarnya


merupakan upaya yang sistematis untuk menentukan standar kinerja
(performance standards), merancang sistem umpan balik informasi,
membandingkan prestasi actual dengan standar yang ditentukan,
menentukan apakah terdapat penyimpangan dan mengukur besarnya, serta
mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin bahwa seluruh
sumberdaya organisasi digunakan dengan cara yang paling efektif dan
efisien untuk mencapai tujuan organisasi. Dari pemahaman atas definisi
tersebut terlihat secara jelas tujuan dari pengawasan dan hakekat
pengawasan sebagai sebuah proses yang terdiri atas tahapan kegiatan yang
saling terkait. Dikaitkan dengan otonomi daerah, pengawasan atas
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah proses kegiatan yang
ditujukan untuk menjamin agar Pemerintahan Daerah berjalan secara
efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan
perundang-undangan ( lihat pasal 1 ayat 1 dari Permendagri Nomor 23
Tahun 2007 tentang Pedoman Tatacara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah).

II. 2. PENGAWASAN ATAU AUDIT KINERJA

Audit kinerja merupakan jenis audit yang relatif baru dalam organisasi
publik. Selama ini yang lebih sering dilakukan adalah audit keuangan (financial
audit) dan audit kepatuhan (compliance audit). Audit keuangan lebih
difokuskan pada validasi dan kewajaran laporan keuangan. Sedangkakn audit

8
kepatuhan lebih difokuskan untuk menguji kepatuhan terhadap kebijakan
manajemen dan peraturan perundangan yang berlaku.

Audit kinerja merupakan bentuk perluasan audit keuangan. Dilihat dari


proses dan tehnik pengauditan, pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang
mendasar antara audit keuangan dengan audit kinerja. Demikian pula definisi
audit kinerja dapat diturunkan dari definisi audit keuangan. Untuk jelasnya
dapat kita bandingkan definisi keduanya seperti terurai di bawah ini.

• Audit keuangan adalah suatu proses yang sistematik untuk memperoleh


dan mengevaluasi bukti secara objektif atas asersi manajemen mengenai
peristiwa dan tindakan ekonomi, kemudian membandingkan kesesuaian
asersi manajemen tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan dan
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

• Audit kinerja adalah proses yang sistematis untuk memperoleh dan


mengevaluasi bukti secara objektif atas kinerja suatu organisasi,
program, fungsi, atau aktivitas/kegiatan. Evaluasi dilakukan terhadap
tingkat ekonomi, efisiensi dan keefektifan dalam mencapai target yang
ditetapkan serta kepatuhannya terhadap kebijakan dan peraturan
perundangan yang disyaratkan, kemudian membandingkan antara kinerja
yang dihasilkan dengan kriteria yang ditetapkan serta
mengkomunikasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(Mahmudi, 2005).

II.2.1. Urgensi Audit Kinerja

Menurut Mahmudi (2005) setidaknya ada 3 (tiga) hal yang membuat audit
kinerja begitu penting untuk dilakukan, yaitu :

1. Untuk melengkapi audit keuangan dan kepatuhan;

Dalam organisasi publik, anggaran menjadi indikator utama penilaian


kinerja. Namun sering terjadi organisasi hanya terfokus pada angaran dan

9
mengabaikan hasil (outcome) dari anggaran tersebut. Kinerja diukur hanya
sebatas habis tidaknya anggaran dibelanjakan, terpenuhi atau tidaknya
target anggaran, dan sebagainya. Yang lebih penting dari itu adalah apakah
anggaran telah mencapai hasil yang diharapkan, apakah anggaran telah
dilaksanakan secara ekonomis, efektif dan efisien. Terlalu terfokus pada
anggaran saja dapat menyebabkan gambaran kinerja yang dihasilkan
menjadi tidak komprehensif. Oleh karena itu, selain audit keuangan
diperlukan audit kinerja yang difokuskan pada pemeriksaan hasil kerja
untuk menguji tingkat ekonomi, efisiensi, dan efektifitas suatu program,
kegiatan, fungsi atau organisasi dalam menggunakan sumberdaya
(anggaran, personil, dan infrastruktur).

2. Mempunyai nilai manfaat

Secara spesifik, manfaat dilakukannya audit kinerja bagi organisasi sektor


publik adalah :

• Meningkatkan pendapatan. Hal ini karena kebocoran, penggelapan, dan


ketidakoptimalan dalam sisi pendapatan bisa diketahui dan diperbaiki;

• Mengurangi biaya atau belanja. Melalui audit kinerja sumber penyebab


kebocoran dan pemborosan organisasi bisa diidentifikasi sehingga
melalui efisiensi organisasi dapat melakukan penghematan biaya;

• Memperbaiki efisiensi dan produktivitas. Hal ini juga berarti


memperbaiki proses;

• Memperbaiki kualitas pelayanan yang diberikan;

• Meningkatkan kesadaran manajemen sektor publik terhadap perlunya


transparasi dan akuntabilitas dalam penggunaan sumberdaya publik.

3. Akuntabilitas publik

Audit kinerja sangat penting untuk menciptakan akuntabilitas publik dan


memperbaiki kinerja organisasi. Tanggung jawab pengelolaan program,
kegiatan, fungsi, atau organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif

10
terletak pada manajemen atau eksekutif. Selanjutnya manajemen, dalam
hal ini pemerintah, bertanggungjawab untuk memberikan laporan kinerja
atas pelaksanaan program, kegiatan, fungsi atau organisasi kepada publik.

Dalam rangka meminimalkan dan mengantisipasi timbulnya


pemerintahan yang menyimpang dan tidak akuntabel, maka diperlukan
sistem akuntabilitas publik yang baik (process of accountability). Untuk
menciptakan proses akuntabilitas yang baik diperlukan saluran
pertanggungjawaban yang tersistem dengan baik sehingga mampu
mencegah berbagai bentuk penyimpangan yang mungkin terjadi (Mulgan,
1997). Salah satu fungsi yang harus ada dalam proses akuntabilitas publik
tersebut adalah fungsi pemeriksaan atau pengauditan yang dilakukan oleh
pihak atau lembaga auditor.

Pola hubungan pertanggungjawaban publik dapat dilihat dalam gambar


di bawah.

Gambar1
Peran Auditing dalam Proses Akuntabilitas Publik

MASYARAKAT (PUBLIK)
Meminta Tanggungjawab
Pemerintah dan Kinerja Dewan

AUDITOR
SEKTOR PUBLIK

PEMERINTAH DPR/DPRD
(PUSAT/DAERAH) Perantara Publik
(Auditee) yang Meminta
Tanggungjawab Auditee

Dari gambar tersebut terlihat jelas bahwa ada 4 pihak yang terlibat dalam
proses akuntabilitas pemerintah, yaitu :

11
1. Pihak pertama adalah pemerintah, yang dalam hal ini berperan sebagai
pihak yang diaudit (auditee).

2. Pihak kedua adalah DPR/DPRD sebagai perantara publik (public


intermediary) yang berkepentingan untuk meminta pertanggungjawaban
pihak I (auditee).

3. Pihak ketiga adalah publik atau masyarakat yang berhak untuk meminta
pertanggungjawaban pihak I (pemerintah) dan pihak II (DPR/DPRD).

4. Pihak keempat adalah auditor yang memegang fungsi auditing dan fungsi
atestasi.

II.2.2. Tipologi Audit Kinerja

Secara tipologis ada beberapa jenis audit kinerja dalam literatur audit
sektor publik. Audit kinerja terdiri atas 2 jenis, yaitu :

1. Audit ekonomi dan efisiensi

Audit ekonomi dan efisiensi dilakukan untuk menentukan 3 hal, yaitu :

• suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan


sumberdaya secara ekonomis dan efisien;

• untuk mengetahui penyebab timbulnya inefisiensi aau pemborosan


yang terjadi, termasuk ketidakcukupan sistem informasi
manajemen, prosedur administartif, atau struktur organisasi,

• untuk mengidentifikasi apakah suatu entitas telah mematuhi


peraturn yang terkait dengan pelaksanaan praktek ekonomi dan
efisiensi.

Pengkajian mengenai sistem manajemen kinerja dan evaluasi terhadap


ekonomi dan efisiensi suatu program, aktivitas, fungsi, atau organisasi
dilakukan untuk menentukan apakah :

12
• sumberdaya yang digunakan sudah mencukupi untuk melaksanakan
suatu program atau kegiatan yang sesuai dengan jumlah yang
disetujui oleh otoritas yang berwenang, misalnya legislatif;

• sistem manajemen kinerja telah memberikan pengendalian atas biaya


yang memadai

• biaya program atau kegiatan sudah wajar (rasional) relatif terhadap


hasil yang dicapai.

Sedangkan menurut The General Accounting Office Standards (1994)


audit ekonomi dan efisiensi dilakukan dengan mempertimbangkan apakah
entitas atau organisasi publik yang diaudit :

• mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat.

• Melakukan pengadaan sumberdaya sesuai dengan kebutuhan pada


biaya terendah.

• Melindungi dan memelihara semua sumberdaya yang ada secara


memadai.

• Menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan


atau kurang jelas tujuannya.

• Menghindari adanya pengangguran sumberdaya atau jumlah pegawai


yang berlebihan.

• Menggunakan prosedur kerja yang berlebihan.

• Menggunakan sumberdaya yang minimum dalam menghasilkan atau


menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan kualitas yang tepat.

• Mematuhi peraturan perundangan yang berkaitan dengan perolehan,


pemeliharaan dan penggunaan sumberdaya negara.

• Melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan


mengenai kehematan dan efisiensi.

13
2. Audit program atau audit efektivitas

Menurut Audit Commissions (1986) efektivitas berarti


menyediakan jasa-jasa yang benar sehingga memungkinkan pihak yang
berwenang mengimplementasikan kebijakan dan tujuannya. Audit ini
bertujuan untuk menentukan setidaknya 3 (tiga) hal, yaitu :

• Tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang diinginkan.

• Kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya.

• Apakah entitas yang diaudit telah mempertimbangkan alternatif


lain yang memberikan hasil sama dengan biaya yang paling
rendah.

Pengkajian mengenai sistem manajemen kinerja dan evaluasi terhadap


efektivitas suatu program, aktivitas, fungsi, atau organisasi dilakukan untuk
menentukan apakah :

• Tujuan dan sasaran telah sesuai dengn misi dan visi organisasi;

• Struktur tujuan dan sasaran sudah logis;

• Sistem manajemen kinerja telah memberikan kapasitas untuk


pengendalian yang memadai atas hasil program;

• Entitas telah mencapai tujuan dan sasaran yang ditapkan secara


efektif;

• Hasil dari kegiatan terebut memberikan manfaat bagi masyarakat.

II.2.3. Tahapan-Tahapan Proses Audit Kinerja

Seperti telah dikemukakan terdahulu audit kinerja pada dasarnya


merupakan sebuah proses. Sebagai proses, ada sejumlah langkah dalam
melakukan pengauditan kinerja sebagai berikut :

a. Survei pendahuluan (preliminary survey). Survei pendahuluan dan


dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman tentang

14
lingkungan entitas (organisasi) yang akan diaudit serta untuk mengkaji
sistem pengendalian manajemen. Dalam tahap ini auditor mempelajari
gambaran umum entitas, struktur organisasi, visi dan misi, proses kerja,
sistem informasi, dan sistem pelaporan.

b. Perencanaan dan persiapan audit kinerja. Dalam tahap ini akan


ditentukan strategi audit yang dipilih dan memutuskan wilayah yang
akan diperiksa, serta menentukan tingkat resiko audit untuk tiap wilayah
yang akan diaudit.

c. Analisis pendahuluan mengenai sistem pengendalian manajemen dan


sistem manajemen kinerja. Dalam tahap ini termasuk konfirmasi
mengenai kerangka acuan kerja untuk audit khusus (specific
audit/special investigation). Berdasarkan pada hasil analisis mengenai
kekuatan dan kelemahan sistem pengendalian manajemen serta
kecukupan, validitas, dan reliabilitas informasi kinerja yang dihasilkan
sistem manajemen kinerja entitas, maka auditor menentukan kriteria
audit dan kemudia mendesain rencana riset untuk mengembangkan
ukuran kinerja.

d. Pelaksanaan audit. Pelaksanaan audit meliputi pelaksanaan rencana


audit, penemuan fakta dan bukti audit secara lengkap, temuan hasil
riset dan analisis wilayah yang diaudit. Dalam tahap ini auditor
mengembangkan temuan audit yang didasarkan atas perbandingan
antara ukuran kinerja dengan kriteria audit yang ditetapkan.

e. Menyiapkan laporan hasil audit. Dalam laporan audit termasuk


didalamnya rekomendasi audit.

f. Mendiskusikan, klarifikasi, dan menyepakati laporan hasil audit dengan


auditee. Finalisasi dan publikasi laporan audit kinerja pada legislatif dan
masyarakat.

g. Follow-up audit. Tahap ini berisi pemantauan tentang tindak lanjut


manajemen terhadap rekomendasi audit yang diberikan auditor.

15
II.2.4. Indikator Kinerja

Ada kebutuhan untuk mengkaitkan audit kinerja ini dengan upaya untuk
mengembangkan indikator kinerja pemerintah daerah. Penggunaan indikator
kinerja sangat penting untuk mengetahui apakah suatu aktivitas atau program
yang dilaksanakan pemerintah telah dilakukan secara efisien dan efektif.
Indikator untuk tiap unit organisasi berbeda tergantung pada tipe pelayanan
yang dihasilkan. Yang dimaksud dengan indikator kinerja adalah , “ ukuran
kuantitatif dan atau kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran
atau tujuan yang telah ditetapkan (BPKP, 2000). Sementara itu, menurut
Lohman (2003), indikator kinerja adalah ,”suatu variabel yang digunakan untuk
mengekspresikan secara kuantitatif efektivitas dan efisiensi proses atau operasi
dengan berpedoman pada target dan tujuan organisasi. Dari pengertian
tersebut dapat disimpulkan bahwa indikator kinerja hakekatnya merupakan
kriteria yang digunakan untuk menilai keberhasilan pencapaian tujuan
organisasi yang diwujudkan dalam ukuran-ukuran tertentu.

Indikator kinerja merupakan sumber informasi untuk berbagai macam


kelompok pembuat keputusan (decision maker) di berbagai entitas pemerintah
daerah (SKPD). Namun demikian, jenis indikator kinerja yang sama, dapat
digunakan untuk kepentingan yang berbeda pada berbagai level manajemen.
Hal ini karena setiap jenjang manajerial mempunyai tanggungjawab dan
karakteristik pengambilan keputusan yang berbeda. Manajemen puncak
membutuhkan informasi kinerja yang berhubungan dengan biaya yang
digunakan untuk memonitor pengeluaran dan penganggaran periode
berikutnya. Sementara manajemen bawah memerlukan informasi tentang
indikator kinerja biaya yang diperlukan untuk mengukur efektivitas pelayanan
yang diberikan kepada customer.

16
II.2.5 Jenis Indikator Kinerja

Jenis indikator kinerja pemerintah (daerah) meliputi setidaknya 6 (enam)


jenis, yaitu :

1. Indikator masukan (input)

Indikator masukan adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar


pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.
Indikator ini mengukur jumlah sumberdaya seperti anggaran (dana), sumber
daya manusia, peralatan, material dan masukan lainnya, yang digunakan
untuk melaksanakan kegiatan. Dengan meninjau distribusi sumberdaya,
suatu lembaga dapat menganalisis apakah alokasi sumber daya yang dimiliki
telah sesuai dengan rencana stategis yang ditetapkan. Tolok ukur ini dapat
pula digunakan untuk perbandingan (benchmarking) dengan lembaga-
lembaga yang relevan.

2. Indikator Proses

Dalam indikator proses, organisasi merumuskan ukuran kegiatan, baik


dari segi kecepatan, ketepatan maupun tingkat akurasi pelaksanaan
kegiatan tersebut. Rambu yang paling dominan dalam proses adalah tingkat
efisiensi dan ekonomis pelaksanaan kegiatan organisasi. Efisiensi berarti
besarnya hasil yang diperoleh dengan pemanfaatan sejumlah input.
Sedangkan yang dimaksud dengan ekonomis adalah bahwa suatu kegiatan
dilaksanakan lebih murah dibandingkan dengan standar biaya atau kurun
waktu yang telah ditentukan untuk itu.

3. Indikator keluaran (Output)

Indikator keluaran adalah sesuatu yang diharapkan langsung dapat


dicapai suatu kegiatan yang dapat berupa fisik atau non fisik. Indikator atau
tolo ukur keluaran digunakan untuk mengukur keluaran yang dihasilkan dari
suatu kegiatan. Dengan membandingkan keluaran, instansi dapat
menganalisis apakah kegiatan yang telah dilaksanakan sesuai dengan
rencana. Indiktor keluaran dijadikan landasan unt menilai kemajuan suatu

17
kegiatan apabila tolok ukur diaitkan dengan sasaran yang terdefinisi dengan
baik dan terukur. Oleh karena itu, indikator keluaran harus sesuai dengan
lingkup dan sifat kegiatan instansi. Misalnya, untuk kegaitan yang bersifat
penelitian indikator kinerja berkaitan dengan keluaran paten dan publikasi
ilmiah.

4. Indikator hasil (Outcomes)

Indikator hasil adalah sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran


kegiatan pada jangka menengah (efek langsung). Pengukuran indikator hasil
seringkali rancu dengan indikator keluaran. Indikator hasil lebih utama
daripada sekedar keluaran. Walaupun output telah berhasil dicapai dengan
baik, belum tentu outcome kegiatan tersebut telah tercapai. Outcome
menggambarkan tingkat pencapaian atas hasil lebih tinggi yang mungin
mencaup kepentingan banyak pihak. Dengan indiator outcome, organisasi
akan mengetahui apakah hasil yang telah diperoleh dalam bentu output
memang dapat dipergunakan sebagaimana mestinya dan memberikan
kegunaan yang besar bagi masyarakat banyak.

5. Indikator manfaat (Benefits)

Indikator manfaat adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari
pelaksanaan kegiatan. Indikator manfaat menggambarkan manfaat yang
diperoleh dari indikator hasil. Manfaat tersebut baru tampak setelah
beberapa waktu emudian, khususnya dalam jangka menengah dan panjang.
Indikator manfaat menunjukkan hal yang diharapkan dapat selesai dan
berfungsi dengan optimal (tepat lokasi dan tepat waktu).

6. Indiator dampak (impact)

Indikator dampak adalah pengaruh yang ditimbulkan baik yang bersifat


positif maupun negatif.

18
II. 3. PEMBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN

Dengan merujuk pada pasal 1 ayat 5 PP No. 38 Tahun 2007 dan pasal 1
ayat 4 dari Permendagri Nomor 23 Tahun 2007 disebutkan bahwa urusan
pemerintahan adalah , “fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan
kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur
dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam
rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan
masyarakat.” Yang menjadi pertanyaan mendasar kemudian adalah mengapa
dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan perlu dilakukan pembagian atau
pemencaran urusan pemerintahan ? Beberapa alasan atas pertanyaan ini ada
sejumlah alasan sebagai penjelasan.

Pertama, wilayah negara terlalu luas sehingga perlu dilakukan desentralisasi


dengan cara membentuk daerah otonom dan melakukan pembagian urusan.

Kedua, untuk menciptakan ketentraman, ketertiban, dan kesejahteraan.

Ketiga, pembagian kerja antar berbagai susunan pemerintahan guna mencapai


efisiensi dan efektivitas pelayanan masyarakat serta sinergi antara berbagai
susunan pemerintahan.

Keempat, meningkatkan partisipasi masyarakat.

Sedangkan penjelasan konstitusional atas pertanyaan ini adalah bahwa


penataan ini harus dilakukan dalam konteks kebijakan yang jelas (dalam
bentuk undang-undang) serta faktor objektif yang nyata yaitu kekhususan dan
keragaman daerah. Hal ini termuat dalam pasal 18A ayat (1) UUD Negara RI
yang menyatakan bahwa , “hubungan wewenang antara Pemerintah dan
pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota, atau antara provinsi dan
kabupaten dan kota diatur dengan undang-undang dengan memperhatian
kekhususan dan keragaman daerah.”

19
II.3.1. Jenis dan Kriteria Pembagian Urusan Pemerintahan

Selain itu, dengan merujuk pada Pasal 11 ayat 3 dari UU Nomor 32 Tahun
2004, Pasal 2 ayat 1 dari PP No. 38 Tahun 2007, Pasal 6 ayat 2 dari PP No. 38
Tahun 2007 disebutkan bahwa tipologi atau jenis urusan Pemerintahan dapat
dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu :

1) Urusan Sepenuhnya dan Urusan Bersama: Urusan pemerintahan terdiri atas


urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah
dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau
susunan pemerintahan.

2) Urusan Wajib dan Urusan Pilihan: Urusan wajib berkaitan dengan pelayanan
dasar sedangkan urusan pilihan terkait erat dengan potensi unggulan dan
kekhasan daerah.

Sedangkan untuk membagi urusan antar tingkatan pemerintahan


dipergunakan sejumlah kriteria, parameter atau standar sebagai berikut.

Pertama, eksternalitas (Spill-Over). Berdasarkan kriteria ini pembagian urusan


pemerintahan harus mempertimbangkan dampak atau akibat yang ditimbulkan
dalam penyelenggaraan urusan tersebut. Bila dampak bersifat lokal, maka
urusan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Sebaliknya, bila
dampaknya bersifat regional akan menjadi kewenangan provinsi dan bila
dampaknya bersifat nasional akan menjadi mewenangan pemerintah.

Kedua, akuntabilitas. Dalam kaitan ini tingkatan pemerintahan yang berwenang


mengurus adalah tingkatan pemerintahan yang paling dekat dengan dampak
tersebut.

Ketiga, efisiensi. Dalam kaitan ini bila suatu urusan penanganannya akan lebih
berdayaguna dan berhasil guna dilaksanakan oleh daerah provinsi dan/atau
daerah kabupaten/kota dibandingkan ditangani pemerintah maka urusan
tersebut diserahkan pada daerah dan demikian pula sebaliknya (vice versa).

20
II.3.2. Desentralisasi

Pembagian urusan pemerintahan ini erat terkait dengan konsep


desentralisasi. Menurut Hoessein (1993) pustaka Belanda dan Perancis
mengenai desentralisasi menunjukkan sedikitnya ada 2 corak pemaknaan
demokrasi, yaitu :

1. desentralisasi territorial

2. desentralisasi fungsional

Hal senada juga dikemukakan oleh Humes IV (1991) yang menyatakan bahwa
pendistribusian kewenangan dalam pemerintahan dapat dikembangkan atas 2
basis, yaitu areal dan fungsional :

“The power to govern locally is distributed two ways : areally and


functionally. On an areal (also called territorial) basis, the power to
manage local public affairs is distributed among a number of general
purposes regional and local governments. On the functional basis, the
power to manage local public services is distributed among a number of
specialized ministries and other agencies concerned with the operation of
one or more related activities. Thus the way power is distributed affects
which central agencies exert control over which local institutions”

Hal ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini.

21
Bagan 1

Bagan Alur Desntralisasi

GENERAL FUNCTIONAL
LEVEL GOVERNMENT AGENCIES

NATIONAL National National


Government Ministries/Agencies

Areal

REGIONAL Regional Regional Ministries


Government Field
departments/ Agencies
agencies

MUNICIPAL Municipal Regional


Government Government
departments/
agencies

Selanjutnya Humes menyebutkan :

“In comparing system of local governance it is useful to consider at least two


criteria for distinguishing approach. One is the extent to which hierarchal
control is essentially , either inter-organizational or intra-organizational.
Second is the extent to which such control is focused in a single agency or
spread among many functional or specialized hierarchies. These two criteria
provide the vertical and horizontal dimensions for a framework for
comparing the major approach to local governance.”

Secara lebih rinci Humes membaginya dalam 2 dimensi, yaitu :

1. Dimensi I (Pengawasan hirarkhis) dengan 4 karakter, yaitu :

a. inter-organisasi (regulations)

b. subsidiarization-hybrid

22
c. supervision (hibrid)

d. intra-organisasi (subordination)

2. Dimensi II (Pengawasan fungsional) dengan 3 karakter, yaitu :

a. areal , jika hanya mengandalkan Wakil Pemerintah Pusat (WPP) di


daerah atau WPP memiliki peran yang sangat kuat di daerah.

b. Dual, jika percampuran antara WPP dan administrasi lapangan


departemen sektoral/LPND.

c. Fungsional, jika hanya mengandalkan administrasi lapangan


departemen sektoral/LPND.

II.4. PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

Berkaitan dengan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah


sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 telah dibuat Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan
Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 28 ayat
(3) PP tersebut tentang perlunya ditetapkan PERMENDAGRI tentang
Pedoman Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah sebagai
kebijakan pelaksanaanya. Untuk itu dikeluarkan PERMENDAGRI Nomor 23
Tahun 2007 tentang Pedoman Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah.

Dalam Permendagri Nomor 23 Tahun 2007 tersebut dikemukakan bahwa


secara umum ruang lingkup pengawasan meliputi dua bagian besar, yaitu :

1. Administrasi umum pemerintahan, yang terdiri atas :

• Kebijakan daerah (Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah)

• Kelembagaan

23
• Pegawai daerah

• Keuangan daerah

• Barang daerah

2. Urusan pemerintahan, yang terdiri atas :

• Urusan wajib

• Urusan pilihan

• Dana dekonsentrasi

• Tugas pembantuan

• Kebijakan pinjaman hibah luar negeri

II.5. TEKNIS PENGAWASAN PENYELENGGARAAN URUSAN PEMERINTAHAN


DAERAH

Sebagai sebuah proses teknis pengawasan penyelenggaraan urusan


pemerintahan daerah terdiri atas 5 (lima) tahapan yang saling terkait satu
sama lain dalam satu rangkaian (cycle). Tahapan dalam proses pengawasan
ini secara umum dapat dilihat dalam gambar di bawah ini.

24
Gambar 2

Siklus Pengawasan

SIKLUS PENGAWASAN
PELAKSANAAN
PKPT 1. Pemeriksaan
2. Monev

Pedoman dan Tata HASIL PENGAWASAN


Cara Pengawasan (LHP dan LHME)

PEMANTAUAN dan
TINDAK LANJUT
PEMUTAKHIRAN

II.5.1. Tahapan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

Secara lebih rinci siklus pengawasan tersebut akan diuraikan pada bagian
di bawah ini.

Pertama, Penyusunan Program Kerja Pengawasan Tahunan (PKPT)


yang didalamnya meliputi : ruang lingkup, sasaran pemeriksaan, SKPD
yang diperiksa, jadual, jumlah tenaga, anggaran pemeriksaan dan
laporan hasil pemeriksaan.

Kedua, Pelaksaan pengawasan

Pelaksanaan pengawasan pada dasarnya dilakukan melalui 3 (tiga)


kegiatan pokok yaitu : pemeriksaan, monitoring dan evaluasi

a. Pemeriksaan - Kegiatan pemeriksaan meliputi :

25
Pemeriksaan secara berkala dan komprehensif terhadap administrasi
umum pemerintahan dan urusan pemerintahan.

• Dilakukan berdasarkan Daftar Materi Pemeriksaan (DMP)


(LAMPIRAN I PERMENDAGRI)

• Juga dapat dilakukan pemeriksaan tertentu dan pemeriksaan


terhadap laporan mengenai adanya indikasi KKN yang
ketentuannya akan diatur tersendiri.

b. Monitoring dan Evaluasi (MONEV)

Setidaknya ada 2 hal penting yang berkaitan dengan monev yaitu :

• Monev dilakukan terhadap administrasi umum pemerintahan dan


urusan pemerintahan.

• Pejabat Pengawas Pemerintah dalam melakukan monev


berdasarkan petunjuk teknis

Ketiga, Hasil pengawasan

Ada 2 jenis laporan hasil pengawasan yang dinilai penting, yaitu :

a. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil


Pemeriksaan (LHP) dengan format baku yang ditetapkan (LAMPIRAN
II PERMENDAGRI). Secara teknis LHP dilakukan secara berjenjang atau
hirarkhis. Pada level pemerintah, LHP dari Inspektorat Jenderal
disampaikan pada Menteri dan gubernur dengan tembusan BPK.
Sedangkan pada level daerah, LHP Inspektorat Provinsi disampaikan
pada Gubernur dengan tembusan pada menteri dan BPK Perwakilan.
Terakhir, LHP Inspektorat Kabupaten/Kota disampaikan pada
Bupati/Walikota dengan tembusan pada Gubernur dan BPK
Perwakilan

Adapun alur LHP dapat dilihat bagan alur di bawah ini.

26
Bagan 2

Alur Laporan Hasil Pemeriksaan

ALUR LHP
MENTERI BPK

L1 L1’
ITJEN
L2’’

GUBERNUR BPK PERWAKILAN

L2 L2’
INSPEKTORAT
L3’’ PROVINSI

BUPATI/WALIKOTA

L3 L3’
INSPEKTORAT
KABUPATEN/KOTA

b. Hasil monev dituangkan dalam bentuk Laporan Hasil Monitoring dan


Evaluasi (LHME) dengan format baku yang ditetapkan (LAMPIRAN III
PERMENDAGRI).

Seperti halnya LHP, Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi juga


dilakukan secara berjenjang baik pada tingkat pemerintah maupun
daerah. Pada tingkat pemerintah, LHME Inspektorat Jenderal
disampaikan pada Menteri dan Gubernur. Sedangkan pada tingkat
daerah, LHME Inspektorat Provinsi disampaikan pada Gubernur dan
tembusan pada Menteri dan LHME Inspektorat Kabupaten/Kota
disampaikan pada Bupati/Walikota dan tembusan pada Gubernur.

Adapun alur LHME dapat dilihat bagan alur di bawah ini.

27
Bagan 3

Alur Laporan Hasil Monitoring dan Evaluasi

ALUR LHME

MENTERI

L1
ITJEN
L2’

L1’
GUBERNUR

L2 INSPEKTORAT
L3’ PROVINSI

BUPATI/WALIKOTA

L3
INSPEKTORAT
KABUPATEN/KOTA

Keempat, Tindak lanjut hasil pemeriksaan

Dalam kaitan dengan tindak lanjut hasil pemeriksaan ada sejumlah hal
penting yang harus diperhatikan, yaitu :

• Hasil pemeriksaan ditindaklanjuti pemerintah daerah sesuai


rekomendasi.

• Wakil Gubernur dan wakil bupati/walikota bertanggungjawab


mengkoordinasikan pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan

• SKPD yang tidak menindaklanjuti rekomendasi dapat dikenakan


sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku

Kelima, Pemantauan dan Pemutakhiran.

Dalam kaitan dengan tahapan terakhir dalam proses pengawasan ini,


terdapat sejumlah hal penting yang harus diperhatikan, yaitu :

28
• Pihak Inspektorat Jenderal, Inspektorat Provinsi dan Inspektorat
Kabupaten/Kota melakukan pemantauan dan pemutakhiran atas
pelaksanaan tindaklanjut.

• Kemudian hasil pemantauan dan pemutkhiran disampaikan pada


Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota.

• Pemutakhiran hasil pengawasan dilakukan paling sedikit 2 kali


setahun

• Mekanisme dan sistematika laporan telah dibakukan (LAMPIRAN IV


PERMENDAGRI)

Perlu ditekankan bahwa tata cara pengawasan pada setiap tahapan


seperti terlihat dalam gambar siklus pengawasan di atas pada dasarnya
dilakukan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Sejalan
dengan telah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Kewenangan antara Kewenangan Pemerintah,
Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota, maka penyusunan Tata Cara Pengawasan ini harus merujuk
pada ketentuan tersebut. Hal ini berarti bahwa pemerintah dalam
melakukan pembinaan dan pengawasan harus selalu memperhatikan batas
kewenangan menurut tingkatan pemerintahannya karena masing-masing
tingkatan pemerintahan telah diatur secara jelas batas kewenangannya
apakah hanya sekedar bersifat fasilitasi sampai regulasi. Dalam konteks ini,
adanya Pedoman dalam Tata Cara Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintahan merupakan sesuatu yang sifatnya urgen.

29
III. PENUTUP

Dari seluruh paparan di atas dapat disimpulkan bahwa adanya kegiatan


penyusunan pedoman audit kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah
merupakan sesuatu yang sifatnya urgen. Urgensinya tidak saja dikaitkan
dengan pelaksanaan amanat UU Nomor 32 Tahun 2004 khususnya yang
berkaitan dengan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan
daerah, tetapi juga dikaitkan dengan langkah antisipatif yang harus
dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri sebagai koordinator pembinaan
dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Langkah antisipatif
ini dibutuhkan untuk mengakomodir dan menindaklanjuti dikeluarkannya PP
Nomor 38 Tahun 2007 di bidang pengawasan.

30

Anda mungkin juga menyukai