Anda di halaman 1dari 16

Cindelaras

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala. Ia didampingi


seorang permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang
cantik jelita. Tetapi, selir Raja Raden Putra memiliki sifat iri
dan dengki terhadap sang permaisuri. Ia merencanakan
suatu yang buruk kepada permaisuri. “Seharusnya, akulah
yang menjadi permaisuri. Aku harus mencari akal untuk
menyingkirkan permaisuri,” pikirnya.

Selir baginda, berkomplot dengan seorang tabib istana. Ia


berpura-pura sakit parah. Tabib istana segera dipanggil.
Sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang telah
menaruh racun dalam minuman tuan putri. “Orang itu tak
lain adalah permaisuri Baginda sendiri,” kata sang tabib.
Baginda menjadi murka mendengar penjelasan tabib istana.
Ia segera memerintahkan patihnya untuk membuang
permaisuri ke hutan.

Sang patih segera membawa permaisuri yang sedang


mengandung itu ke hutan belantara. Tapi, patih yang bijak
itu tidak mau membunuhnya. Rupanya sang patih sudah
mengetahui niat jahat selir baginda. “Tuan putri tidak perlu
khawatir, hamba akan melaporkan kepada Baginda bahwa
tuan putri sudah hamba bunuh,” kata patih. Untuk
mengelabui raja, sang patih melumuri pedangnya dengan
darah kelinci yang ditangkapnya. Raja menganggung puas
ketika sang patih melapor kalau ia sudah membunuh
permaisuri.

Setelah beberapa bulan berada di hutan, lahirlah anak sang


permaisuri. Bayi itu diberinya nama Cindelaras. Cindelaras
tumbuh menjadi seorang anak yang cerdas dan tampan.
Sejak kecil ia sudah berteman dengan binatang penghuni
hutan. Suatu hari, ketika sedang asyik bermain, seekor
rajawali menjatuhkan sebutir telur. “Hmm, rajawali itu baik
sekali. Ia sengaja memberikan telur itu kepadaku.” Setelah 3
minggu, telur itu menetas. Cindelaras memelihara anak
ayamnya dengan rajin. Anak ayam itu tumbuh menjadi
seekor ayam jantan yang bagus dan kuat. Tapi ada satu
keanehan. Bunyi kokok ayam jantan itu sungguh
menakjubkan! “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya
di tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden
Putra…”

Cindelaras sangat takjub mendengar kokok ayamnya dan


segera memperlihatkan pada ibunya. Lalu, ibu Cindelaras
menceritakan asal usul mengapa mereka sampai berada di
hutan. Mendengar cerita ibundanya, Cindelaras bertekad
untuk ke istana dan membeberkan kejahatan selir baginda.
Setelah di ijinkan ibundanya, Cindelaras pergi ke istana
ditemani oleh ayam jantannya. Ketika dalam perjalanan ada
beberapa orang yang sedang menyabung ayam. Cindelaras
kemudian dipanggil oleh para penyabung ayam. “Ayo, kalau
berani, adulah ayam jantanmu dengan ayamku,” tantangnya.
“Baiklah,” jawab Cindelaras. Ketika diadu, ternyata ayam
jantan Cindelaras bertarung dengan perkasa dan dalam
waktu singkat, ia dapat mengalahkan lawannya. Setelah
beberapa kali diadu, ayam Cindelaras tidak terkalahkan.
Ayamnya benar-benar tangguh.

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan


cepat. Raden Putra pun mendengar berita itu. Kemudian,
Raden Putra menyuruh hulubalangnya untuk mengundang
Cindelaras. “Hamba menghadap paduka,” kata Cindelaras
dengan santun. “Anak ini tampan dan cerdas, sepertinya ia
bukan keturunan rakyat jelata,” pikir baginda. Ayam
Cindelaras diadu dengan ayam Raden Putra dengan satu
syarat, jika ayam Cindelaras kalah maka ia bersedia
kepalanya dipancung, tetapi jika ayamnya menang maka
setengah kekayaan Raden Putra menjadi milik Cindelaras.

Dua ekor ayam itu bertarung dengan gagah berani. Tetapi


dalam waktu singkat, ayam Cindelaras berhasil
menaklukkan ayam sang Raja. Para penonton bersorak
sorai mengelu-elukan Cindelaras dan ayamnya. “Baiklah aku
mengaku kalah. Aku akan menepati janjiku. Tapi, siapakah
kau sebenarnya, anak muda?” Tanya Baginda Raden Putra.
Cindelaras segera membungkuk seperti membisikkan
sesuatu pada ayamnya. Tidak berapa lama ayamnya segera
berbunyi. “Kukuruyuk… Tuanku Cindelaras, rumahnya di
tengah rimba, atapnya daun kelapa, ayahnya Raden
Putra…,” ayam jantan itu berkokok berulang-ulang. Raden
Putra terperanjat mendengar kokok ayam Cindelaras.
“Benarkah itu?” Tanya baginda keheranan. “Benar Baginda,
nama hamba Cindelaras, ibu hamba adalah permaisuri
Baginda.”

Bersamaan dengan itu, sang patih segera menghadap dan


menceritakan semua peristiwa yang sebenarnya telah terjadi
pada permaisuri. “Aku telah melakukan kesalahan,” kata
Baginda Raden Putra. “Aku akan memberikan hukuman
yang setimpal pada selirku,” lanjut Baginda dengan murka.
Kemudian, selir Raden Putra pun di buang ke hutan. Raden
Putra segera memeluk anaknya dan meminta maaf atas
kesalahannya Setelah itu, Raden Putra dan hulubalang
segera menjemput permaisuri ke hutan.. Akhirnya Raden
Putra, permaisuri dan Cindelaras dapat berkumpul kembali.
Setelah Raden Putra meninggal dunia, Cindelaras
menggantikan kedudukan ayahnya. Ia memerintah
negerinya dengan adil dan bijaksana.
Asal Usul Danau Toba
Di Sumatera Utara terdapat danau yang sangat besar dan ditengah-
tengah danau tersebut terdapat sebuah pulau. Danau itu bernama
Danau Toba sedangkan pulau ditengahnya dinamakan Pulau
Samosir. Konon danau tersebut berasal dari kutukan dewa.

Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia


seorang petani yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya
tidak luas. Ia bisa mencukupi kebutuhannya dari hasil kerjanya
yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya sudah cukup untuk
menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu pagi hari
yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-
mudahan hari ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani
tersebut dalam hati. Beberapa saat setelah kailnya dilemparkan,
kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera menarik kailnya.
Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan cukup
besar.

Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu
berwarna kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat
dan menonjol memancarkan kilatan yang menakjubkan. “Tunggu,
aku jangan dimakan! Aku akan bersedia menemanimu jika kau
tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar suara
dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya
terjatuh ke tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah
wujud menjadi seorang gadis yang cantik jelita. “Bermimpikah
aku?,” gumam petani.

“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat
berhutang budi padamu karena telah menyelamatkanku dari
kutukan Dewata,” kata gadis itu. “Namaku Puteri, aku tidak
keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu seolah mendesak.
Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami
istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka
tidak boleh menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan.
Jika janji itu dilanggar maka akan terjadi petaka dahsyat.

Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat


gadis cantik jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari
yang turun dari langit,” gumam mereka. Petani merasa sangat
bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang baik, ia terus bekerja
untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya
dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani
itu hidup tanpa kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan
mereka menyebarkan sangkaan buruk yang dapat menjatuhkan
keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu pasti memelihara
makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu sampai
ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa
tersinggung, bahkan semakin rajin bekerja.

Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena


istri Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama
Putera. Kebahagiaan mereka tidak membuat mereka lupa diri.
Putera tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan kuat. Ia
menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu
kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu
merasa lapar. Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat
dimakannya sendiri.

Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika


disuruh membantu pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri
Petani selalu mengingatkan Petani agar bersabar atas ulah anak
mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun dia itu anak
kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran
seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,”
puji Puteri kepada suaminya.

Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami
oleh Petani itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas
mengantarkan makanan dan minuman ke sawah di mana ayahnya
sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya. Petani
menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia
langsung pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain
bola. Petani menjadi marah sambil menjewer kuping anaknya.
“Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri ! Dasar anak ikan !,”
umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata pantangan itu.

Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak


dan istrinya hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas
injakan kakinya, tiba-tiba menyemburlah air yang sangat deras dan
semakin deras. Desa Petani dan desa sekitarnya terendam semua.
Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk sebuah
telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu
akhirnya dikenal dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil
di tengahnya dikenal dengan nama Pulau Samosir
Pangeran Kodok

Pada jaman dahulu kala, ketika saat itu dengan mengharapkan sesuatu, hal
itu dapat terwujud, ada seorang Raja yang mempunyai putri-putri yang
sangat cantik jelita, dan putrinya yang termuda begitu cantiknya sehingga
matahari sendiri yang melihat kecantikan putri termuda itu menjadi ragu-
ragu untuk bersinar. Di dekat istana tersebut terletak hutan kayu yang gelap
dan rimbun, dan di hutan tersebut, di bawah sebuah pohon tua yang
mempunyai daun-daun berbentuk hati, terletak sebuah sumur; dan
ketika cuaca panas, putri Raja yang termuda sering ke hutan tersebut untuk
duduk di tepi sumur yang dingin, dan jika waktu terasa panjang dan
membosankan, dia akan mengeluarkan bola yang terbuat dari emas,
melemparkannya ke atas dan menangkapnya kembali, hal ini menjadi
hiburan putri raja untuk melewatkan waktu.

Suatu ketika, bola emas itu dimainkan dan dilempar-lemparkan keatas, bola
emas itu tergelincir dari tangan putri Raja dan terjatuh di tanah dekat sumur
lalu terguling masuk ke dalam sumur tersebut. Mata putri raja hanya bisa
memandangi bola tersebut meluncur kedalam sumur yang dalam, begitu
dalamnya hingga dasar sumur tidak kelihatan lagi. Putri raja tersebut mulai
menangis, dan terus menangis seolah-olah tidak ada hyang bisa
menghiburnya lagi. Di tengah-tengah tangisannya dia mendengarkan satu
suara yang berkata kepadanya,

"Apa yang membuat kamu begitu sedih, sang Putri? air matamu dapat
melelehkan hati yang terbuat dari batu."
Dan ketika putri raja tersebut melihat darimana sumber suara tersebut
berasal, tidak ada seseorangpun yang kelihatan, hanya seekor kodok yang
menjulurkan kepala besarnya yang jelek keluar dari air.

"Oh, kamukah yang berbicara?" kata sang putri; "Saya menangis karena bola
emas saya tergelincir dan jatuh kedalam sumur."

"Jangan kuatir, jangan menangis," jawab sang kodok, "Saya bisa menolong
kamu; tetapi apa yang bisa kamu berikan kepada saya apabila saya dapat
mengambil bola emas tersebut?"

"Apapun yang kamu inginkan," katanya; "pakaian, mutiara dan


perhiasan manapun yang kamu mau, ataupun mahkota emas yang saya pakai
ini."

"Pakaian, mutiara, perhiasan dan mahkota emas mu bukanlah untuk saya,"


jawab sang kodok; "Bila saja kamu menyukaiku, dan menganggap saya
sebagai teman bermain, dan membiarkan saya duduk di mejamu, dan makan
dari piringmu, dan minum dari gelasmu, dan tidur di ranjangmu, - jika kamu
berjanji akan melakukan semua ini, saya akan menyelam ke bawah sumur
dan mengambilkan bola emas tersebut untuk kamu."

"Ya tentu," jawab sang putri raja; "Saya berjanji akan melakukan semua
yang kamu minta jika kamu mau mengambilkan bola emas ku."

Tetapi putri raja tersebut berpikir, "Omong kosong apa yang dikatakan oleh
kodok ini! seolah-olah sang kodok ini bisa melakukan apa yang dimintanya
selain berkoak-koak dengan kodok lain, bagaimana dia bisa menjadi
pendamping seseorang."

Tetapi kodok tersebut, begitu mendengar sang putri mengucapkan janjinya,


menarik kepalanya masuk kembali ke dalam ari dan mulai menyelam turu,
setelah beberapa saat dia kembali kepermukaan dengan bola emas pada
mulutnya dan melemparkannya ke atas rumput.

Putri raja menjadi sangat senang melihat mainannya kembali, dan dia
mengambilnya dengan cepat dan lari menjauh.

"Berhenti, berhenti!" teriak sang kodok; "bawalah aku pergi juga, saya tidak
dapat lari secepat kamu!"
Tetapi hal itu tidak berguna karena sang putri itu tidak mau
mendengarkannya dan mempercepat larinya pulang ke rumah, dan dengan
cepat melupakan kejadian dengan sang kodok, yang masuk kembali ke
dalam sumur.

Hari berikutnya, ketika putri Raja sedang duduk di meja makan dan makan
bersama Raja dan menteri-menterinya di piring emasnya, terdengar suara
sesuatu yang meloncat-loncat di tangga, dan kemudian terdengar suara
ketukan di pintu dan sebuah suara yang berkata "Putri raja yang termuda,
biarkanlah saya masuk!"

Putri Raja yang termuda itu kemudian berjalan ke pintu dan membuka pintu
tersebut, ketika dia melihat seekor kodok yang duduk di luar, dia menutup
pintu tersebut kembali dengan cepat dan tergesa-gesa duduk kembali di
kursinya dengan perasaan gelisah. Raja yang menyadari perubahan tersebut
berkata,

"Anakku, apa yang kamu takutkan? apakah ada raksasa berdiri di luar pintu
dan siap untuk membawa kamu pergi?"

"Oh.. tidak," jawabnya; "tidak ada raksasa, hanya kodok jelek."

"Dan apa yang kodok itu minta?" tanya sang Raja.

"Oh papa," jawabnya, "ketika saya sedang duduk di sumur kemarin dan
bermain dengan bola emas, bola tersebut tergelincir jatuh ke dalam sumur,
dan ketika saya menangis karena kehilangan bola emas itu, seekor kodok
datang dan berjanji untuk mengambilkan bola tersebut dengan syarat bahwa
saya akan membiarkannya menemaniku, tetapi saya berpikir bahwa dia tidak
mungkin meninggalkan air dan mendatangiku; sekarang dia berada di luar
pintu, dan ingin datang kepadaku."

Dan kemudian mereka semua mendengar kembali ketukan kedua di pintu


dan berkata,

"Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untuk saya!, Apa yang pernah kamu
janjikan kepadaku? Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untukku!"

"Apa yang pernah kamu janjikan harus kamu penuhi," kata sang Raja;
"sekarang biarkanlah dia masuk."
Ketika dia membuka pintu, kodok tersebut melompat masuk, mengikutinya
terus hingga putri tersebut duduk kembali di kursinya. Kemudian dia
berhenti dan memohon, "Angkatlah saya supaya saya bisa duduk
denganmu."

Tetapi putri Raja tidak memperdulikan kodok tersebut sampai sang Raja
memerintahkannya kembali. Ketika sang kodok sudah duduk di kursi, dia
meminta agar dia dinaikkan di atas meja, dan disana dia berkata lagi,

"Sekarang bisakah kamu menarik piring makanmu lebih dekat, agar kita bisa
makan bersama."

Dan putri Raja tersebut melakukan apa yang diminta oleh sang kodok, tetapi
semua dapat melihat bahwa putri tersebut hanya terpaksa melakukannya.

"Saya merasa cukup sekarang," kata sang kodok pada akhirnya, "dan saya
merasa sangat lelah, kamu harus membawa saya ke kamarmu, saya akan
tidur di ranjangmu."

Kemudian putri Raja tersebut mulai menangis membayangkan kodok yang


dingin tersebut tidur di tempat tidurnya yang bersih. Sekarang sang Raja
dengan marah berkata kepada putrinya,

"Kamu adalah putri Raja dan apa yang kamu janjikan harus kamu penuhi."

Sekarang putri Raja mengangkat kodok tersebut dengan tangannya,


membawanya ke kamarnya di lantai atas dan menaruhnya di sudut kamar,
dan ketika sang putri mulai berbaring untuk tidur, kodok tersebut datang dan
berkata, "Saya sekarang lelah dan ingin tidur seperti kamu, angkatlah saya
keatas ranjangmu, atau saya akan melaporkannya kepada ayahmu."

Putri raja tersebut menjadi sangat marah, mengangkat kodok tersebut keatas
dan melemparkannya ke dinding sambil menangis,

"Diamlah kamu kodok jelek!"

Tetapi ketika kodok tersebut jatuh ke lantai, dia berubah dari kodok menjadi
seseorang pangeran yang sangat tampan. Saat itu juga pangeran tersebut
menceritakan semua kejadian yang dialami, bagaimana seorang penyihir
telah membuat kutukan kepada pangeran tersebut, dan tidak ada yang bisa
melepaskan kutukan tersebut kecuali sang putri yang telah di takdirkan
untuk bersama-sama memerintah di kerajaannya.

Dengan persetujuan Raja,


mereka berdua dinikahkan dan saat itu datanglah sebuah kereta kencana
yang ditarik oleh delapan ekor kuda dan diiringi oleh Henry pelayan setia
sang Pangeran untuk membawa sang Putri dan sang Pangeran ke
kerajaannya sendiri. Ketika kereta tersebut mulai berjalan membawa
keduanya, sang Pangeran mendengarkan suara seperti ada yang patah di
belakang kereta. Saat itu sang Pangeran langsung berkata kepada Henry
pelayan setia, "Henry, roda kereta mungkin patah!", tetapi Henry menjawab,
"Roda kereta tidak patah, hanya ikatan rantai yang mengikat hatiku yang
patah, akhirnya saya bisa terbebas dari ikatan ini".

Ternyata Henry pelayan setia telah mengikat hatinya dengan rantai saat sang
Pangeran dikutuk menjadi kodok agar dapat ikut merasakan penderitaan
yang dialami oleh sang Pangeran, dan sekarang rantai tersebut telah terputus
karena hatinya sangat berbahagia melihat sang Pangeran terbebas dari
kutukan.
Legenda Pulau Kemarau

Cerita ini terjadi di Palembang


semasa kejayaan kerajaan sriwijaya. Kisai berbau romantis ditaburi
kesedihan yang mendalam.

Pulau Kemaro mengandung arti pulau yang tidak pernah digenangi


air walau volume sungai musi sedang pasang. Letaknya sekitar 5
km dari Benteng Kuto Besak. Bentuknya mirip seperti kapal.
Sebagian tokoh mengatakan bahwa itu memang kapal Tan Bun An
yang ditinggal majikannya.

Ya, Tan Bun An datang ke Palembang (Pa Lie Bang) untuk


melamar gadis pujaannya, anak bangsawan terkenal bernama Siti
Fatimah

Ayah Siti Fatimah adalah seorang raja yg taat kepada agamanya.


Entah bagaimana cerita aslinya hingga, akhirnya sang ayah
mengajukan syarat lamaran berupa SEMBILAN guci besar berisi
emas

Keluarga Tan Bun An memutuskan untuk menutupi emas-emas


tersebut demi menghindari bahaya perompak yang sangat banyak
di perairan sungai musi . Emas-emas ini ditutupi oleh sayur mayur

Sesampainya kapal itu di Palembang, Tan Bun An langsung


memeriksanya dan betapa marahnya ia ketika ia melihat guci-guci
itu berisi sayuran. Tan Bun An yang marah, lalu langsung
membuang guci-guci itu kedalam sungai musi. Setelah mengetahui
bahwa emas itu ada didalam guci tersebut, Tan Bun An menyesal
dan langsung menceburkan diri ke sungai musi untuk mengambil
emas tersebut. Siti Fatimah yang melihatnya pun turut serta.
Sebelum menceburkan diri ke sungai tersebut, Siti Fatimah sempat
berkata
"Jika suatu saat ada tanah yang muncul di tepian sungai ini, maka
itulah kuburan saya"

Akhirnya.. pluuung... hilanglah dua sejoli itu dalam tenangnya


aliran sungai Musi tersebut.

Ada versi mengatakan, kedua mayatnya ditemukan dan dikuburkan


ditepian sungai. Dan kedua orang tuanya bertemu dan saling
berpelukan. Sebenarnya baik Tan Bun An maupun Siti Fatimah
tidak jua ditemukan, berikut emas-emasnya yg segambreng itu.
Sampai sekarang orang-orang berusaha untuk mencari keberadaan
emas-emas tersebut.

Kisahnya benar-benar sedih, tp kl Na yg cerita kynya feel-nya ga


dapet deh. Namun dari sinilah persaudaraan terbentuk. Tanah yang
mirip kapal di tepian sungai musi memang ada. Diatasnya terdapat
sebuah kuil yang sangat megah (saat ini masih dalam tahap
pengembangan). Dan setiap Cap Go Meh, orang-orang china yg
merayakannya pasti berdatangan ke pulau ini.

Hebatnya lagi, disebelah kuil ini akan dibangun sebuah masjid


sebagai bentuk penghormatan kepada Siti Fatimah. Di pulau ini
terdapat beberapa rumah penduduk, yang sebagian besar beragama
muslim. Sehari-hari mereka bekerja sebagai nelayan dan
membersihkan kuil in
Sangkuriang

Pada jaman dahulu, tersebutlah kisah seorang


puteri raja di Jawa Barat bernama Dayang Sumbi.
Ia mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi
nama Sangkuriang. Anak tersebut sangat gemar
berburu. Ia berburu dengan ditemani oleh Tumang,
anjing kesayangan istana. Sangkuriang tidak tahu,
bahwa anjing itu adalah titisan dewa dan juga
bapaknya.
Pada suatu hari Tumang tidak mau mengikuti perintahnya untuk
mengejar hewan buruan.
Maka anjing tersebut diusirnya ke dalam hutan. Ketika kembali ke
istana,
Sangkuriang menceritakan kejadian itu pada ibunya.
Bukan main marahnya Dayang Sumbi begitu mendengar

cerita itu. Tanpa sengaja ia memukul kepala


Sangkuriang dengan sendok nasi yang dipegangnya.
Sangkuriang terluka. Ia sangat kecewa dan pergi
mengembara.
Setelah kejadian itu, Dayang Sumbi sangat menyesali dirinya. Ia
selalu berdoa dan sangat
tekun bertapa. Pada suatu ketika, para dewa memberinya sebuah
hadiah. Ia akan
selamanya muda dan memiliki kecantikan abadi. Setelah bertahun-
tahun mengembara,
Sangkuriang akhirnya berniat untuk kembali ke tanah airnya.
Sesampainya disana,
kerajaan itu sudah berubah total. Disana dijumpainya seorang
gadis jelita, yang tak lain
adalah Dayang Sumbi. Terpesona oleh kecantikan wanita tersebut
maka, Sangkuriang
melamarnya. Oleh karena pemuda itu sangat tampan, Dayang
Sumbi pun sangat terpesona
padanya.
Pada suatu hari Sangkuriang minta pamit untuk berburu. Ia minta
tolong Dayang Sumbi
untuk merapikan ikat kepalanya. Alangkah terkejutnya Dayang
Sumbi ketika melihat
bekas luka di kepala calon suaminya. Luka itu persis seperti luka
anaknya yang telah pergi
merantau. Setelah lama diperhatikannya, ternyata wajah pemuda
itu sangat mirip dengan
wajah anaknya. Ia menjadi sangat ketakutan. Maka kemudian ia
mencari daya upaya untuk
menggagalkan proses peminangan itu. Ia mengajukan dua buah
syarat. Pertama, ia
meminta pemuda itu untuk membendung sungai Citarum. Dan
kedua, ia minta Sangkuriang
untuk membuat sebuah sampan besar untuk menyeberang sungai
itu. Kedua syarat itu
harus sudah dipenuhi sebelum fajar menyingsing.
Malam itu Sangkuriang melakukan tapa. Dengan
kesaktiannya ia mengerahkan mahluk-mahluk gaib untuk
membantu menyelesaikan pekerjaan itu. Dayang Sumbi
pun diam-diam mengintip pekerjaan tersebut.
Begitu
pekerjaan itu hampir selesai, Dayang Sumbi memerintahkan
pasukannya untuk menggelar
kain sutra merah di sebelah timur kota. Ketika menyaksikan warna
memerah di timur
kota, Sangkuriang mengira hari sudah menjelang pagi. Ia pun
menghentikan pekerjaannya.
Ia sangat marah oleh karena itu berarti ia tidak dapat memenuhi
syarat yang diminta
Dayang Sumbi.
Dengan kekuatannya, ia menjebol bendungan yang
dibuatnya. Terjadilah banjir besar melanda seluruh
kota. Ia pun kemudian menendang sampan besar yang
dibuatnya. Sampan itu melayang dan jatuh menjadi
sebuah gunung yang bernama "Tangkuban Perahu."

Anda mungkin juga menyukai