Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN LENGKAP

METALOGRAFI

DISUSUN OLEH

NAMA : ARBY MANAN

STAMBUK : D 211 09 258

JURUSAN : MESIN

LABORATORIUM METALURGI FISIK JURUSAN MESIN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011
BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Dasar

A. Defenisi Metalografi

Merupakan disiplin ilmu yang mempelajari karakteristik


mikrostruktur dan makrostruktur suatu logam, paduan logam dan
material lainnya serta hubungannya dengan sifat-sifat material, atau
biasa juga dikatakan suatu proses umtuk mengukur suatu material baik
secara kualitatif maupun kuantitatif berdasarkan informasi-informasi
yang didapatkan dari material yang diamati. Dalam ilmu metalurgi
struktur mikro merupakan hal yang sangat penting untuk dipelajari.
Karena struktur mikro sangat berpengaruh pada sifat fisik dan mekanik
suatu logam. Struktur mikro yang berbeda sifat logam akan berbeda
pula. Struktur mikro yang kecil akan membuat kekerasan logam akan
meningkat. Dan juga sebaliknya, struktur mikro yang besar akan
membuat logam menjadi ulet atau kekerasannya menurun. Struktur
mikro itu sendiri dipengaruhi oleh komposisi kimia dari logam atau
paduan logam tersebut serta proses yang dialaminya.
Metalografi bertujuan untuk mendapatkan struktur makro dan
mikro suatu logam sehingga dapat dianalisa sifat mekanik dari logam
tersebut. Pengamatan metalografi dibagi menjadidua,yaitu:
1. Metalografi makro, yaitu penyelidikan struktur logam dengan pembesaran 10 ±
100kali.
2. Metalografi mikro, yaitu penyelidikan struktur logam dengan pembesaran 1000 kali.
Untuk mengamati struktur mikro yang terbentuk pada logam tersebut biasanya memakai
mikroskop optik. Sebelum benda uji diamati pada mikroskop optik, benda uji tersebut harus
melewati tahap-tahap preparasi. Tujuannya adalah agar pada saat diamati benda uji terlihat
dengan jelas, karena sangatlah penting hasil gambar pada metalografi. Semakin sempurna
preparasi benda uji, semakin jelas gambar struktur yang diperoleh. Adapun tahapan

preparasinya meliputi pemotongan, mounting, pengampelasan, polishing dan etching (etsa).

http://www.scribd.com/doc/19000443/Metalografi
http://www.scribd.com/doc/30684736/metalografi

B. Jenis-jenis mikroskop

1. Mikroskop cahaya

Mikroskop cahaya atau dikenal juga dengan nama "Compound light microscope"
adalah sebuah mikroskop yang menggunakan cahaya lampu sebagai pengganti cahaya matahari
sebagaimana yang digunakan pada mikroskop konvensional. Pada mikroskop konvensional,
sumber cahaya masih berasal dari sinar matahari yang dipantulkan dengan suatu cermin datar
ataupun cekung yang terdapat dibawah kondensor. Cermin ini akan mengarahkan cahaya dari
luar kedalam kondensor.
Gambar 2.1 mikroskop cahaya

http://www.google.co.id/imglanding?q=mikroskop+cahaya+dan+bagian-
bagiannya&um=1&hl=id&sa=N&tbm=isch&tbnid=5pJmbNa8c9YklM:&imgrefurl=http://
biofin.wordpress.com/2010/07/01/pengenalan-
mikroskop/&imgurl=http://biofin.files.wordpress.com/2010/07/microscope_mmr1.jpg&w=4
44&h=432&ei=Dv6XTfe8DIv0cdGS3ZcH&zoom=1&iact=hc&oei=Dv6XTfe8DIv0cdGS3Z
cH&page=1&tbnh=151&tbnw=155&start=0&ndsp=22&ved=1t:429,r:4,s:0&biw=1366&
bih=607

Pada mikroskop ini, kita dapat melihat bayangan benda dalam tiga dimensi lensa, yaitu
lensa obyektif, lensa okuler dan lensa kondensor.

• Lensa obyektif berfungsi guna pembentukan bayangan pertama dan menentukan struktur
serta bagian renik yang akan terlihat pada bayangan akhir serta berkemampuan untuk
memperbesar bayangan obyek sehingga dapat memiliki nilai "apertura" yaitu suatu
ukuran daya pisah suatu lensa obyektif yang akan menentukan daya pisah spesimen,
sehingga mampu menunjukkan struktur renik yang berdekatan sebagai dua benda yang
terpisah.

• Lensa okuler, adalah lensa mikroskop yang terdapat di bagian ujung atas tabung
berdekatan dengan mata pengamat, dan berfungsi untuk memperbesar bayangan yang
dihasilkan oleh lensa obyektif berkisar antara 4 hingga 25 kali.
gambar 2.2 lensa obtyektif dan lensa okuler

http://www.google.co.id/imglanding?
q=lensa+obyektif&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=MfbRY9urcG9KUM:&imgrefurl=http://zains
fisika.blogspot.com/&imgurl=http://1.bp.blogspot.com/_pF8pwl_wuWM/TVG-
iDqhbBI/AAAAAAAAAGk/Q0-
yIGXvyKs/s1600/sinar_mik.jpg&w=490&h=261&ei=yAGYTeOLNc6Xca-
I9JkH&zoom=1&iact=rc&oei=yAGYTeOLNc6Xca-
I9JkH&page=1&tbnh=123&tbnw=230&start=0&ndsp=18&ved=1t:429,r:12,s:0&biw=1366&bi
h=607

• Lensa kondensor, adalah lensa yang berfungsi guna mendukung terciptanya


pencahayaan pada obyek yang akan dilihat sehingga dengan pengaturan yang tepat maka
akan diperoleh daya pisah maksimal.

Jika daya pisah kurang maksimal maka dua benda akan terlihat menjadi satu dan
pembesarannyapun akan kurang optimal.

gambar 2.3 lensa kondensor

http://www.google.co.id/imglanding?
q=lensa+kondensor&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=pKoENixYTqrDbM:&imgrefurl=http://andikayudh
aprasetyo.wordpress.com/&imgurl=http://bima.ipb.ac.id/~tpb-
ipb/materi/bio100/Gambar/mikroskop/daya_pisah.jpg&w=447&h=135&ei=WwKYTbv0NY3ZccSY9JkH&
zoom=1&biw=1366&bih=607
http://id.wikipedia.org/wiki/Mikroskop_cahaya

2. Mikroskop elektron

Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang mampu untuk melakukan pembesaran objek
sampai 2 juta kali, yang menggunakan elektro statik dan elektro magnetik untuk mengontrol
pencahayaan dan tampilan gambar serta memiliki kemampuan pembesaran objek serta resolusi
yang jauh lebih bagus daripada mikroskop cahaya. Mikroskop elektron ini menggunakan jauh
lebih banyak energi dan radiasi elektromagnetik yang lebih pendek dibandingkan mikroskop
cahaya.

gambar 2.4 mikroskop electron

http://www.google.co.id/images?hl=id&q=mikroskop%20elektron&um=1&ie=UTF-
8&source=og&sa=N&tab=wi&biw=1366&bih=607
Jenis-jenis mikroskop elektron

1. Mikroskop transmisi elektron (TEM)

Mikroskop transmisi elektron (Transmission electron microscope-TEM)adalah sebuah mikroskop


elektron yang cara kerjanya mirip dengan cara kerja proyektor slide, di mana elektron
ditembuskan ke dalam obyek pengamatan dan pengamat mengamati hasil tembusannya pada
layar.

gambar 2.5 mikroskop transmisi elektron

http://www.google.co.id/imglanding?
q=electron+transmission+microscope&um=1&hl=id&sa=X&tbm=isch&tbnid=5cXsY5xX6VZ9
pM:&imgrefurl=http://nzforu.com/tag/a-transmission-electron-microscope-
tem/&imgurl=http://nzforu.com/wp-content/uploads/2010/05/Transmission-Electron-
Microscope-TEM1.jpg&w=811&h=1013&ei=gmOWTar-
Noiqcb7KnaEH&zoom=1&iact=hc&oei=gmOWTar-
Noiqcb7KnaEH&page=1&tbnh=163&tbnw=130&start=0&ndsp=22&ved=1t:429,r:0,s:0&biw
=1366&bih=607

Cara kerja
Mikroskop transmisi eletron saat ini telah mengalami peningkatan kinerja hingga mampu
menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm (atau 1 angstrom) atau sama dengan pembesaran sampai
satu juta kali. Meskipun banyak bidang-bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dengan
bantuan mikroskop transmisi elektron ini.

Adanya persyaratan bahwa "obyek pengamatan harus setipis mungkin" ini kembali membuat
sebagian peneliti tidak terpuaskan, terutama yang memiliki obyek yang tidak dapat dengan serta
merta dipertipis. Karena itu pengembangan metode baru mikroskop elektron terus dilakukan.

2. Mikroskop pemindai transmisi elektron (STEM)

Mikroskop pemindai transmisi elektron (STEM)adalah merupakan salah satu tipe yang
merupakan hasil pengembangan dari mikroskop transmisi elektron (TEM).

Gambar 2.6 mikroskop pemindai transmisi electron

http://www.scribd.com/doc/14618330/Mikroskop-dan-Prinsip-Fisikanya

Pada sistem STEM ini, electron menembus spesimen namun sebagaimana halnya dengan cara
kerja SEM, optik elektron terfokus langsung pada sudut yang sempit dengan memindai obyek
menggunakan pola pemindaian dimana obyek tersebut dipindai dari satu sisi ke sisi lainnya
(raster) yang menghasilkan lajur-lajur titik (dots)yang membentuk gambar seperti yang
dihasilkan oleh CRT pada televisi / monitor.
3. Mikroskop pemindai elektron (SEM)
Mikroskop pemindai elektron (SEM) yang digunakan untuk studi detil arsitektur permukaan
sel (atau struktur jasad renik lainnya), dan obyek diamati secara tiga dimensi.

gambar 2.7 mikroskop pemindai elektron

http://www.scribd.com/doc/14618330/Mikroskop-dan-Prinsip-Fisikanya

Cara kerja

Cara terbentuknya gambar pada SEM berbeda dengan apa yang terjadi pada mikroskop optic dan
TEM. Pada SEM, gambar dibuat berdasarkan deteksi elektron baru (elektron sekunder) atau
elektron pantul yang muncul dari permukaan sampel ketika permukaan sampel tersebut dipindai
dengan sinar elektron. Elektron sekunder atau elektron pantul yang terdeteksi selanjutnya
diperkuat sinyalnya, kemudian besar amplitudonya ditampilkan dalam gradasi gelap-terang pada
layar monitor CRT (cathode ray tube). Di layar CRT inilah gambar struktur obyek yang sudah
diperbesar bisa dilihat. Pada proses operasinya, SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan,
sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi.

4. Mikroskop pemindai lingkungan elektron (ESEM)

Mikroskop ini adalah merupakan pengembangan dari SEM, yang dalam bahasa Inggrisnya
disebut Environmental SEM (ESEM) yang dikembangkan guna mengatasi obyek pengamatan
yang tidak memenuhi syarat sebagai obyek TEM maupun SEM.
Obyek yang tidak memenuhi syarat seperti ini biasanya adalah bahan alami yang ingin diamati
secara detil tanpa merusak atau menambah perlakuan yang tidak perlu terhadap obyek yang
apabila menggunakat alat SEM konvensional perlu ditambahkan beberapa trik yang
memungkinkan hal tersebut bisa terlaksana.

gambar 2.8 mikroskop pemindai lingkungan elektron

http://www.scribd.com/doc/14618330/Mikroskop-dan-Prinsip-Fisikanya

Cara kerja

Mikroskop ini adalah merupakan pengembangan dari SEM, yang dalam bahasa Inggrisnya
disebut Environmental SEM (ESEM) yang dikembangkan guna mengatasi obyek pengamatan
yang tidak memenuhi syarat sebagai obyek TEM maupun SEM.

Obyek yang tidak memenuhi syarat seperti ini biasanya adalah bahan alami yang ingin diamati
secara detil tanpa merusak atau menambah perlakuan yang tidak perlu terhadap obyek yang
apabila menggunakat alat SEM konvensional perlu ditambahkan beberapa trik yang
memungkinkan hal tersebut bisa terlaksana.

Pertama-tama dilakukan suatu upaya untuk menghilangkan penumpukan elektron (charging) di


permukaan obyek, dengan membuat suasana dalam ruang sample tidak vakum tetapi diisi dengan
sedikit gas yang akan mengantarkan muatan positif ke permukaan obyek, sehingga penumpukan
elektron dapat dihindari.

Hal ini menimbulkan masalah karena kolom tempat elektron dipercepat dan ruang filamen di
mana elektron yang dihasilkan memerlukan tingkat vakum yang tinggi. Permasalahan ini dapat
diselesaikan dengan memisahkan sistem pompa vakum ruang obyek dan ruang kolom serta
filamen, dengan menggunakan sistem pompa untuk masing-masing ruang. Di antaranya
kemudian dipasang satu atau lebih piringan logam platina yang biasa disebut (aperture) berlubang
dengan diameter antara 200 hingga 500 mikrometer yang digunakan hanya untuk melewatkan
elektron , sementara tingkat kevakuman yang berbeda dari tiap ruangan tetap terjaga.

5. Mikroskop refleksi elektron (REM)

Yang dalam bahasa Inggrisnya disebut Reflection electron microscope (REM), adalah mikroskop
elektron yang memiliki cara kerja yang serupa sebagaimana halnya dengan cara kerja TEM
namun sistem ini menggunakan deteksi pantulan elektron pada permukaan objek. Tehnik ini
secara khusus digunakan dengan menggabungkannya dengan tehnik Refleksi difraksi elektron
energi tinggi (Reflection High Energy Electron Diffraction) dan tehnik Refleksi pelepasan
spektrum energi tinggi (reflection high-energy loss spectrum - RHELS).

gambar 2.9 mikroskop refleksi elektron

http://id.wikipedia.org/wiki/Mikroskop_elektron#Mikroskop_transmisi_elektron_.28TEM.29
C. Mekanisme Difusi

Difusi merupakan proses perpindahan atau pergerakan molekul zat atau gas dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah. Difusi melalui membran dapat berlangsung melalui tiga
mekanisme, yaitu difusi sederhana (simple difusion),d ifusi melalui saluran yang terbentuk
oleh protein transmembran (simple difusion by chanel formed), dan difusi difasilitasi
(fasiliated difusion).

Difusi sederhana melalui membrane berlangsung karena molekul -molekul yang berpindah
atau bergerak melalui membran bersifat larut dalam lemak (lipid) sehingga dapat menembus
lipid bilayer pada membran secara langsung. Membran sel permeabel terhadap molekul larut
lemak seperti hormon steroid, vitamin A, D, E, dan K serta bahan-bahan organik yang larut
dalam lemak, Selain itu, memmbran sel juga sangat permeabel terhadap molekul anorganik
seperti O,CO2, HO, dan H2O. Beberapa molekul kecil khusus yang terlarut dalam serta ion-
ion tertentu, dapat menembus membran melalui saluran atau chanel. Saluran ini terbentuk
dari protein transmembran, semacam pori dengan diameter tertentu yang memungkinkan
molekul dengan diameter lebih kecil dari diameter pori tersebut dapat melaluinya. Sementara
itu, molekul – molekul berukuran besar seperti asam amino, glukosa, dan beberapa garam –
garam mineral , tidak dapat menembus membrane secara langsung, tetapi memerlukan
protein pembawa atau transporter untuk dapat menembus membran.

http://kireidwi.blog.friendster.com/2008/09/mekanisme-difusi-dan-osmosis-dalam-sel/

D. Langkah-langkah pemeriksaan metalografi


(Pemotongan,Pengamplasan,Penggerindaan,Pemolesan, Pengetsaan dan Pemeriksaan Mikroskop

1. Pemotongan

Pemilihan sampel yang tepat dari suatu benda uji studi mikroskop optik
merupakan hal yang sangat penting. Pemilihan sampel tersebut didasarkan pada
tujuan pengamatan yang hendak dilakukan. Pada umumnya bahan komersial
tidak homogen sehingga satu sampel yang diambil dari suatu volume besar
tidak dapat dianggap representatif.Pengambilan sampel harus direncanakan
sedemikian sehingga menghasilkan sampel yang sesuai dengan kondisi rata-rata
bahan/kondisi ditempat-tempat tertentu(kritis) dengan memperhatikan kemudahan
pemotongan pula. Secara garis besar, pengambilan sampel dilakukan pada daerah
yang akan diamati mikrostruktur maupun makrostrukturnya. Sebagai contoh
untuk pengamatan mikrostruktur material yang mengalami kegagalan, maka
sampel diambil sedekat mungkin pada daerah kegagalan (pada daerah kritis
dengan kondisi terparah), untuk kemudian dibandingkan dengan sampel yang
diambil dari daerah yang jauh dari daerah gagal. Perlu diperhatikan juga bahwa
dalam proses memotong, harus dicegah kemungkinan deformasi dan panas yang
berlebihan. Oleh karena itu, setiap proses pemotongan harus diberi pendinginan
yang memadai.

Pada saat pemotongan jangan sampai merusak struktur bahan akibat


gesekan alat potong dengan benda uji. Untuk menghindari pemanasan setempat
atau berlebihan dapat digunakan air sebagai pendingin. Berdasarkan tingkat
deformasi yang dihasilkan, teknik pemotongan terbagi menjadi dua yaitu : teknik
pemotongan dengan deformasi yang besar menggunakan gerinda, sedangkan
teknik pemotongan dengan deformasi yang kecil menggunakan low speed
diamond saw.

Teknik pemotongan sampel dapat dilakukan dengan :

a. pematahan : untuk bahan getas dank eras


b. pengguntingan : untuk baja karbon rendah yang tipis dan lunak
c. penggergajian : untuk bahan yang lebih lunak dari 350 HB
d. pemotongan abrasi
e. electric discharge machining : untuk bahan dengan konduktivitas baik di mana
sampel direndam dalam fluida dielektrik lebih dahulu sebelum dipotong dengan
memasang catu listrik antara elektroda dan sampel.

http://radensomad.com/makalah-metalografi.html
http://www.scribd.com/doc/30684736/metalografi
http://www.scribd.com/doc/19000443/Metalografi
1. Penggerindaan Kasar, yaitu meratakan permukaan sampel dengan cara menggosokkan
sampel pada baru gerinda. Bertujuan untuk menghilangkan deformasi pada permukaan
akibat pemotongan dan Pemanasan yang berlebih harus dihindari. Sampel yang baru saja
dipotong atau sampel yang telah terkorosi memiliki permukaan yang kasar. Permukaan
yang kasar tersebut harus diratakan agar pengamatan struktur mudah dilakukan.

http://radensomad.com/makalah-metalografi.html

2. Mounting
Proses mounting atau pembingkaian benda uji dilakukan pada benda uji dengan ukuran
yang kecil dan tipis, hal ini bertujuan untuk mempermudah pemegangan benda uji ketika
dilakukan tahap preparasi selanjutnya seperti pengampelasan dan polishing. Benda uji ini
di-mounting dengan alat
mounting press dengan penambahan bakelit yang akan menggumpal dan
membingkai benda uji. Selain bakelit juga masih banyak bahan yang dapat
digunakan untuk mounting.
Cetakannya :
1.Berbentuk bulat
2. Ukuran 1 inchi ± 1 ½ inchi Ø
Macam-macamnya :
1.Cairanbasa( degesing) untuk menghilangkan garis.
2.Panas(Lemakdengan menggunakan uap gas )
3. Dengan menggunakan asam lemah.
4. Alkohol yang tidak bereaksi dengan udara.
5. Aseton.

Metode - metode pembingkaian( Mounting )


a. Adhesive mounting
Adalah mounting yang menggunakan gaya adhesive material

Gambar 2.10 adhesive mounting

b. Clamp
Sampelnya misalnya berupa lembaran-lembaran tipis dengan ketebalan 1 mm,
terdapat 10 sampel dibariskan sejajar dan di sisi muka dan belakang diberi logam lain
yang berbeda (ukurannya harus lebih besar dari sampel) kemudian dibuat dua buah
lubang yang tembus hingga ke belakang. Dan dipermukaannya masing-masing diberi
identitas. Kelebihan dari jenis bahan mounting ini yaitu prosesnya sangat cepat,
ukuran fleksibel dan dapat dipakai ulang clampnya.

Gambar 2.11 gambar clamp mounting

c . plastic mounting

http://www.scribd.com/doc/30684736/metalografi

Adapun jenis-jenis bahan untuk mounting


1. Castable mounting, jenis bahan mounting dimana bahan serbuk diberi pelarut dan
serbuk itu diletakkan dalam satu tempat dengan dengan spesimen, kemudian dibalik
dan bagian permukaan atasnya datar. Contoh serbuknya adalah polister, epoxies
(transparan) atau acrylics. Kelebihannya adalah spesimen dengan ukuran besar / kecil
dapat dimounting, cetakannya bias digunakan berulang-ulang.
2. Compression mold dimana ukuran diameter tetap, jika berubah maka mesin harus
diganti. Jenis material yang digunakan thermosetting dan thermoplastic.

http://candadisini.blogspot.com/2010_12_01_archive.html

1. Penggerindaaan halus( Pengamplasan)


Untuk meratakan permukaan spesimen hasil dari penggerindaan kasar sebelum
spesimen dipoles, dilakukan penggerindaan halus atau juga disebut pengamplasan..
Seperti pada penggerindaan kasar, juga harus selalu dialiri air pendingin, agar specimen
tidak rusak atau terganggu oleh pemanasan yang terjadi.

Pengamplasan adalah proses untuk mereduksi suatu permukaan dengan pergerakan


permukaan abrasif yang bergerak relatif lambat sehingga panas yang dihasilkan tidak
terlalu signifikan. Pengamplasan bertujuan untuk meratakan dan menghaluskan
permukaan sampel yang akan diamati. Pengamplasan ini dilakukan secara berurutan yaitu
dengan memakai amplas kasar hingga amplas halus.

Pengamplasan kasar adalah pengamplasan yang dilakukan dengan menggunakan amplas


dengan nomor di bawah 180 #, dan masih menyisahkan permukaan benda kerja yg belum
halus.

Pengamplasan halus adalah pengamplasan yang dilakukan dengan menggunakan amplas


dengan nomor lebih tinggi dari 180 #, dam menghasilkan permukaan yang halus.

Pengamplasan dimulai dengan meletakkan sampel pada kertas amplas dengan


permukaan yang akan diamati bersentuhan langsung dengan bagian kertas amplas
yang kasar, kemudian sampel ditekan dengan gerakan searah.Selama
pengamplasan terjadi gesekan antara permukaan sampel dan kertas amplas yang
memungkinkan terjadinya kenaikan suhu yang dapat mempengaruhi
mikrostruktur sampel sehingga diperlukan pendinginan dengan cara mengaliri
air.Apabila ingin mengganti arah pengamplasan, sampel diusahakan berada pada
kedudukan tegak lurus terhadap arah mula-mula.Pengamplasan selesai apabila
tidak teramati lagi adanya goresan-goresan pada permukaan sampel, selanjutnya
sampel siap dipoles.

http://www.scribd.com/doc/19000443/Metalografi

2. Pemolesan

Pemolesan adalah proses yang dilakukan untuk menghilangkan bagian-bagian yang


terdeformasi karena perlakuan sebelumnya dan Pemolesan bertujuan untuk lebih
menghaluskan dan melicinkan permukaan sampel yang akan diamati setelah
pengamplasan.
pemolesan dibagi dua yaitu pemolesan kasar dan halus. Pemolesan kasar menggunakan
abrasive dalam range sekitar 30 - 3µm, sedangkan pemolesan halus menggunakan
abrasive sekitar 1µm atau di bawahnya.

Pemolesan terbagi dalam tiga cara, yaitu:

1. Mechanical polishing
Proses polishing biasanya multistage karena pada tahapan awal dimulai
dengan penggosokan kasar (rough abrasive) dan tahapan berikutnya
menggunakan penggosokan halus (finer abrasive) sampai hasil akhir yang
diinginkan. Mesin poles metalografi terdiri dari piringan berputar dan
diatasnya diberi kain poles terbaik yaitu kain “selvyt” (sejenis kain beludru).
Cara pemolesannya yaitu benda uji diletakkan diatas piringan yang berputar
dan kain poles diberi air serta ditambahkan sedikit pasta poles. Pasta poles
yang biasa dipakai adalah jenis alumina (Al2O3) dan pasta intan (diamond).

2. Chemical-mecanical polishing
Merupakan kombinasi antara etsa kimia dan pemolesan mekanis yang
dilakukan serentak di atas piringan halus. Partikel pemoles abrasif dicampur
dengan larutan pengetsa yang umum digunakan untuk melihat struktur
spesimen yang dipreparasi. Metode ini akan memberikan hasil yang baik jika
larutan etsa yang diberikan sedikit tetapi pada dasarnya bebas dari logam
pengotor akibat dari abrasif.

3. Electropolishing
Electropolishing disebut juga electrolytic polishing yang banyak digunakan
oleh stainless steel, tembaga paduan, zirconium, dan logam lainnya yang sulit
untuk dipoles dengan metode mechanical. Metode electropolishing dapat
menghilangkan bekas cutting, grinding dan proses mechanical polishing yang
digunakan dalam preparasi spesimen. Ketika electropolishing digunakan
dalam metalografi, biasanya diawali dengan mechanical polishing dan diikuti
oleh etching. Mekanismenya yaitu menggunakan sistem elektrolisis yang
terdiri dari anoda (+) dan katoda (-). Spesimen yang dimasukan ke dalam
larutan elektrolit asam berada di anoda sedangkan yang berada di katoda
adalah logam yang harus lebih mulia dari spesimenya dan harus tahan
terhadap larutan elektrolitnya serta tidak boleh larut. Ketika proses, spesimen
yang di anoda akan larut karena teroksidasi. Dalam proses ini diberi pengaduk
agar logam yang terkikis meyebar merata.

http://candadisini.blogspot.com/2010_12_01_archive.html

3. Pengetsaan adalah proses yang dilakukan untuk melihat struktur mikro dari sebuah
spesimen dengan menggunakan mikroskop optik.

• Dilakukan dengan mengkikis daerah batas butir sehingga struktur bahan dapat diamati
dengan jelas dengan bantuan mikroskop optik. Zat etsa bereaksi dengan sampel secara
kimia pada laju reaksi yang berbeda tergantung pada batas butir, kedalaman butir dan
komposisi dari sampel. Sampel yang akan dietsa haruslah bersih dan kering. Slema etsa,
permukaan sampel diusahakan harus selalu terendam dalam etsa. Waktu etsa harus
diperkirakan sedemikian sehingga permukaan sampel yang dietsa tidak menjadi gosong
karena pengikisan yang terlalu lama. Oleh karena itu sebelum dietsa, sampel sebaiknya
diolesi alkohol untuk memperlambat reaksi. Pada pengetsaan masing-masing zat etsa
yang digunakan memiliki karakteristik tersendiri sehingga pemilihannya disesuaikan
dengan sampel yang akan diamati. Zat etsa yang umum digunakan untuk baja ialah nital
dan picral. Setelah reaksi etsa selesai, zat etsa dihilangkan dengan cara mencelupkan
sampel ke dalam aliran air panas. Seandainya tidak memungkinkan dapat digunakan air
bersuhu ruang dan dilanjutkan dengan pengeringan dengan alat pengering. Permukaan
sampel yang telah dietsa tidak boleh disentuh untuk mencegah permukaan menjadi
kusam. Stelah dietsa, sampel siap untuk diperiksa di bawah mikroskop. Pada intinya
proses pengetsaan dilakukan menggunakan cairan kimia untuk memunculkan detail
struktur mikro pada spesimen. Dilakukan dengan cara mencelupkan mount
kedalam wadah zat etsa.

http://www.scribd.com/doc/19000443/Metalografi

http://yefrichan.wordpress.com/2010/05/31/metalografi/

Nittal
Nital adalah larutan alkohol dan asam nitrat yang biasa digunakan untuk mengetsa
rutin logam. Hal ini terutama cocok untuk mengungkapkan mikro baja karbon. Larutan
NIttal dengan kadar 2% biasa digunakan untuk mengamati butir ferit.

http://pdf.dipotips.com/www-nital-it/

C. Diagram Fe-Fe3C
Gambar 2.12 diagram Fe-Fe3C(besi-besi karbida)

Diagram Fe-Fe3C adalah sebuah diagram yang menunjukkan hubungan antara temperature
dengan besarnya kadar karbon suatu material pada proses pemanasan.

Struktur Butir

Analisa struktur butir dari diagram Fe-Fe3C

1. Sementit
Juga dikenal sebagai besi karbida yang memiliki rumus kimia,
Fe3C. Sementit mengandung 6,67% karbon. Memiliki tipikal keras dan
campuran interstisial rapuh dari kekuatan tariknya yang rendah
(kurang lebih 5000 psi) tetapi memiliki kekuatan tekan yang tinggi.
Struktur kristalnya adalah ortorombik.
Gambar 2. 13 struktur butir sementit

http://www.google.co.id/imglanding?
q=struktur+butir+sementit&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=FnU7cAy10KbwFM:&imgrefurl=http://petersirami.b
logspot.com/2011_02_14_archive.html&imgurl=http://2.bp.blogspot.com/-
eqRuC0BQ_vM/TVi3_UjmxCI/AAAAAAAAAIE/BFVdACqM_Mw/s1600/b5.bmp&w=479&h=355&ei=IeiWTb_fNM
yGcdaZtacH&zoom=1&biw=1366&bih=607

2. Austenit
Juga dikenal sebagai besi gamma (γ), yang merupakan sebuah larutan
padat interstisial dari karbon yang dilarutkan dalam besi yang memiliki
struktur kristal face centered cubic (FCC). Sifat-sifat austenit rata-rata
adalah :
Tensile strength 150,000 psi.

Elongation 10 % in 2 in gage length.

Hardness Rockwell C 40

Toughness High

Tabel 2. 1 Sifat-sifat dari austenit

Gambar 2.14 struktur butir austenite

Normalnya austenit tidak stabil pada suhu kamar. Tapi di bawah kondisi-
kondisi tertentu mungkin saja austenit dihasilkan pada suhu kamar.

http://www.google.co.id/images?q=diagram+fe-fe3c&hl=id&biw=1366&bih=607&um=1&ie=UTF-
8&source=og&sa=N&tab=wi

3. Ferit
Juga dikenal sebagai besi alpha (α), yang merupakan larutan padat
interstisial dari sejumlah kecil karbon yang dilarutkan dalam besi yang
memiliki sturktur kristal body centered cubic (BCC). Ferrit adalah struktur
yang paling lembut pada diagram besi-besi karbida. Sifatnya rata-rata
adalah:
Tensile Strength 40,000 psi

Elongation 40 % in 2 in gage length

Hardness Less than Rockwell C 0 or


less than Rockwell B 90.

Toughness Low

Tabel 2.2 properti ferit

Gambar 2.15 Struktur butir ferit

http://www.google.co.id/imglanding?
q=struktur+butir+ferit&um=1&hl=id&tbm=isch&tbnid=mWCpsSN3xEbW4M:&imgrefurl=http://digilib.unnes.ac.
id/gsdl/cgi-bin/library%253Fe%253Dd-00000-00---0skripsi--00-1--0-10-0---0---0prompt-10---4-------0-1l--11-zh-
50---20-about---00-3-1-00-11-1-0gbk-00%2526a%253Dd%2526d%253DHASH01bf59f6255ec12cbae459ca
%2526showrecord
%253D1&imgurl=http://digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/HASH01bf/59f6255e.dir/1810-
47_1.jpg&w=365&h=240&ei=T-eWTZnYDt_KcL_S8aoH&zoom=1&biw=1366&bih=607

4. Perlit (α + Fe3C)

Merupakan campuran eutektoid yang mengandung 0,83% karbon dan


terbentuk pada suhu 1333°F melalui pendinginan yang sangat lambat.
Bentuknya sangat datar dan merupakan campuran antara ferrit dan
sementit. Struktur dari perlit seperti matriks putih (dasarnya dari ferrit)
termasuk bentuk pipihnya yang seperti sementit. Sifat rata-ratanya
adalah:

Tensile Strength 120,000 psi

Elongation 20 % in 2 in gage length

Hardness Rockwell C 20 or BHN 250-300

Table 2.3 properti perlit

gambar 2.16 Mikrostruktur dari perlit (cahaya dasarnya adalah matriks ferrit, garis
hitamnya adalah jaringan sementit)

Diperlukan sejumlah dosis dari karbon dan sejumlah dosis dari besi untuk
membentuk sementit (Fe3C). Begitu juga perlit yang membutuhkan
sejumlah dosis dari sementit dan ferrit.

Jika karbon yang diperlukan tidak cukup, yaitu kurang dari 0,83%, besi
dan karbonnya akan menyatu membentuk Fe3C sampai seluruh
karbonnya habis terpakai. Sementit ini akan bergabung dengan sejumlah
ferrit untuk membentuk perlit. Sejumlah sisa dari ferrit akan tinggal
didalam struktur sebagai ferrit bebas. Ferrit bebas juga dikenal sebagai
ferrit proeutektoid. Baja yang mengandung ferrit proeutektoid disebut
juga sebagai baja hipoeutektoid.
Bagaimanapun, jika terdapat kelebihan karbon diatas 0,83% pada
austenit, perlit akan terbentuk, dan kekurangan karbon dibawah 0,83%
akan membentuk sementit. Kelebihan kandungan sementit diletakkan
pada batas butir. Kelebihan kandungan sementit ini juga dikenal sebagai
sementit proeutektoid.

Gambar 2.17 struktur butir perlit dan ferit

5. Ledeburit
Adalah campuran eutektik dari austenit dan sementit. Ledeburit
mengandung 4,3% karbon dan menandakan keeutektikan dari besi cor.
Ledeburit terbentuk ketika kandungan karbon lebih dari 2%, yang
ditunjukkan oleh garis pembagi pada diagram equilibrium diantara baja
dan besi cor.
6. Besi δ
Besi δ terbentuk pada suhu diantara 2552 dan 2802°F. dia terbentuk dari
kombinasi dengan melt hingga sekitar 0,5% karbon, kombinasi dengan
austenit hingga sekitar 0,18% karbon dan keadaan fasa tunggal hingga
sekitar 0,10% karbon. Besi δ memiliki struktur kristal body centered cubic
(BCC) dan memiliki sifat magnetik.

7. Martensit (Reaksi-reaksi pembentukan)

Perbedaan antara austenit dengan martensit adalah, dalam beberapa hal,


cukup kecil: pada bentuk austenit sel satuannya berbentuk kubus
sempurna, pada saat bertransformasi menjadi martensit bentuk kubus ini
berdistorsi menjadi lebih panjang dari sebelumnya pada satu dimensi dan
menjadi lebih pendek pada dua dimensi yang lain. Gambaran matematis
dari kedua struktur ini cukup berbeda, untuk alasan-alasan simetri, tapi
ikatan kimia yang tertinggal sangat serupa. Tidak seperti sementit, yang
ikatannya mengingatkan kita kepada material keramik, kekerasan pada
martensit sulit dijelaskan dengan hubungan-hubungan kimiawi.
Penjelasannya bergantung kepada perubahan dimensi struktur kristal
yang tidak kentara dan kecepatan transformasi martensit. Austenit
bertransformasi menjadi martensit pada pendinginan yang kira-kira setara
dengan kecepatan suara – terlalu cepat bagi atom-atom karbon untuk
keluar melalui kisi-kisi kristal. Distorsi yang menghasilkan sel satuan
mengakibatkan dislokasi kisi-kisi yang tak terhitung jumlahnya pada
setiap kristal, yang terdiri dari jutaan sel satuan. Dislokasi ini membuat
struktur kristal sangat tahan terhadap tegangan geser – yang berarti
secara sederhana bahwa ia tidak bisa dilekukkan dan tergores dengan
mudah.
Gambar 2. 18 struktur butir martensit

Martensit terbentuk apabila besi austenit didinginkan dengan sangat cepat ke


temperatur rendah, sekitar temperatur ambien. Martensit adalah fasa tunggal
yang tidak seimbang yang terjadi karena transformasi tanpa difusi dari austenit.
Pada transformasi membentuk martensite, hanya terjadi sedikit perubahan posisi
atom relatif terhadap yang lainnya.
http://www.google.co.id/images?
um=1&hl=id&biw=1366&bih=607&tbm=isch&sa=1&q=martensit&aq=f&aqi=g2&aql=&o
q=

C. Diagram TTT

Gambar 2.18 diagram TTT


http://www.google.co.id/images?
um=1&hl=id&biw=1366&bih=607&tbm=isch&sa=1&q=diagram+TTT&aq=f&aqi=&aql=&oq
=

Diagram TTT (Time, Temperature, dan Transformation) adalah


sebuah gambaran dari suhu (temperatur) terhadap waktu logaritma
untuk baja paduan dengan komposisi tertentu. Diagram ini biasanya
digunakan untuk menentukan kapan transformasi mulai dan berakhir
pada perlakuan panas yang isothermal (temperatur konstan) sebelum
menjadi campuran Austenit. Ketika Austenit didinginkan secara
perlahan-lahan sampai pada suhu dibawah temperatur kritis, struktur
yang terbentuk ialah Perlit. Semakin meningkat laju pendinginan, suhu
transformasi Perlit akan semakin menurun. Struktur mikro dari
materialnya berubah dengan pasti bersamaan dengan meningkatnya
laju pendinginan. Dengan memanaskan dan mendinginkan sebuah
contoh rangkaian, transformasi austenit mungkin dapat dicatat.
Diagram TTT menunjukkan kapan transformasi mulai dan
berakhir secara spesifik dan diagram ini juga menunjukkan berapa
persen austenit yang bertransformasi pada saat suhu yang dibutuhkan
tercapai.
Peningkatan kekerasan dapat tercapai melalui kecepatan
pendinginan dengan melakukan pendinginan dari suhu yang dinaikkan
seperti berikut: pendinginan furnace, pendinginan udara, pendinginan
oli, cairan garam, air biasa, dan air asin.

Pada gambar 1, area sebelah kiri dari kurva transformasi


menunjukkan daerah austenit. Austenit stabil pada suhu diatas
temperatur kritis, tapi tidak stabil pada suhu dibawah temperatur
kritis. Kurva sebelah kiri menandakan dimulainya transformasi dan
kurva sebelah kanan menunjukkan berakhirnya transformasi. Area
diantara kedua kurva tersebut menandakan austenit bertransformasi
ke jenis struktur kristal yang berbeda. (austenit ke perlit, austenit ke
martensit, austenit bertransformasi ke bainit).
Gambar 2.19

Gambar 2 menunjukkan bagian atas dari diagram TTT. Seperti yang


terlihat pada gambar 2, ketika austenit didinginkan ke suhu dibawah
temperatur kritis, ia bertransformasi ke struktur kristal yang berbeda
tergantung pada ketidakstabilan lingkungannya. Laju pendinginannya dapat
dipilih secara spesifik sehingga austenit dapat bertransformasi hingga 50%,
100%, dan lain sebagainya. Jika kecepatan pendinginan sangat lambat
seperti pada proses annealing, kurva pendinginan akan melewati sampai
seluruh area transformasi dan produk akhir dari proses pendinginan ini akan
menjadi 100% perlit. Dengan kata lain, ketika laju pendinginan yang
diterapkan sangat lambat, seluruh austenit akan bertransformasi menjadi
perlit. Jika laju pendinginan melewati pertengahan dari daerah transformasi,
produk akhirnya adalah 50% austenit dan 50% perlit, yang berarti bahwa
pada laju pendinginan tertentu kita dapat mempertahankan sebagian dari
austenit, tanpa mengubahnya menjadi perlit.
Gambar 2.20

Gambar 3 menunjukkan jenis transformasi yang bisa didapatkan pada laju


pendinginan yang lebih tinggi. Jika laju pendinginan sangat tinggi, kurva
pendinginan akan tetap berada pada bagian sebelah kiri dari kurva awal
transformasi. Dalam kasus ini semua austenit akan berubah menjadi
martensit. Jika tidak terdapat gangguan selama pendinginan maka produk
akhirnya akan berupa martensit.

Gambar 2.21

Pada gambar 4 laju pendinginan A dan B menunjukkan dua proses


pendinginan secara cepat. Dalam hal ini kurva A akan menyebabkan distorsi
yang lebih besar dan tegangan dalam yang lebih besar dari laju pendinginan
B. Kedua laju pendinginan akan menghasilkan produk akhir martensit. Laju
pendinginan B juga dikenal sebagai laju pendinginan kritis, seperti
ditunjukkan oleh kurva pendinginan yang menyentuh hidung dari diagram
TTT. Laju pendinginan kritis didefinisikan sebagai laju pendinginan terendah
yang menghasilkan 100% martensit juga memperkecil tegangan dalam dan
distorsi.
Gambar 2.22

Pada gambar 5, sebuah proses pendinginan secara cepat mendapat


gangguan (garis horizontal menunjukkan gangguan) dengan mencelupkan
material ke dalam rendaman garam yang dicairkan dan direndam pada
temperatur konstan yang diikuti dengan proses pendinginan lain yang
melewati daerah bainit pada diagram TTT. Produk akhirnya adalah bainit,
yang tidak sekeras martensit. Sebagai hasil dari laju pendinginan D;
dimensinya lebih stabil, distorsi dan tegangan dalam yang ditimbulkan lebih
sedikit.
Gambar 2.23

Pada gambar 6 laju pendinginan C menggambarkan proses pendinginan


secara lambat, seperti pada pendinginan furnace. Sebagai contoh untuk
pendinginan jenis ini adalah proses annealing dimana semua austenit akan
berubah menjadi perlit sebagai hasil dari pendinginan secara lambat.

Gambar 2.24

Terkadang kurva pendinginan bisa melewati pertengahan dari zona


transformasi austenit-perlit. Pada gambar 7, kurva pendinginan E
menunjukkan sebuah laju pendinginan yang tidak cukup tinggi untuk
memproduksi 100% martensit. Hal ini dapat dengan mudah terlihat dengan
melihat pada diagram TTT. Sejak kurva pendinginan tidak menyinggung
hidung dari diagram transformasi, austenit akan bertransformasi menjadi
50% perlit (kurva E menyinggung kurva 50%). Semenjak kurva E
meninggalkan diagram transformasi pada zona martensit, sisa yang 50% dari
austenit akan bertransformasi menjadi martensit.
Gambar 2.25

Gambar 2.26
D. Analisa kegagalan pada metalografi

Langkah-langkah atau ProsedurAnalisis Kegagalan (II):

1. Deskripsi dari terjadinya kegagalan, (mendokumentasikan terjadinya


kegagalan. Informasi berkaitan seperti disain komponen, jenis material, sifat
material, fungsi komponen).

2. Pemeriksaan visual, (mendokumentasikan pengamatan yang dilakukan


ditempat kejadian).

3. Analisis tegangan, (Ketika komponen yang bekerja melibatkan adanya


beban, maka analisis tegangan sangat diperlukan untuk mengetahui apakah
tegangan yang bekerja berada dibawah sifat mekanik material).
4. Pemeriksaan komposisi kimia, (kesesuaian dengan komposisi kimia standar
material).

5. Fraktografi, (pemeriksaan permukaan patahan dengan mikroskopoptik dan


elektron untuk mengetahui mekanisme patahan).

6. Metalografi.

7. Sifat-sifat material, (biasanya dengan pengujian kekerasan sudah cukup


untuk mengetahui sifat-sifat mekanik material dan dilakukan tanpa merusak
sampel).

8. Simulasi, (apabila memungkinkan).

Uji/Analisis Metalografi

Sample Preparation Unit

Gambar 2.28

Pemotongan, mounting, pengamplasan, pemolesan dan pengetsaan

Peralatan:
Mesin potong Accutom dengan diamond cutting
Abrasive Cutter Buehler Metaserv
Low Speed Ecomet
Alat Mounting Herzog
Mesin Gerinda Ecomet 3
Ultrasonic washing Cole Parmer 8850

Optical Microscopes

Gambar 2.29

LEITZ METALLOVERT
Dilengkapi dengan uji kekerasan
Pengamaran struktur mikro logam dan paduan, keramik dan komposit
Akurasi perhitungan besar butir dengan metode Hyne: 1 µm
Perbesaran maksimum 1000x.

Scanning Electron Microscope (SEM)

gambar 2.30

JEOL JSM-840A

Dengan WDS (Wavelength Dispersive Spectroscopy) dan Sputter Coater,


Analisis morfologi, topografi dan kristalografi dari logam/paduan logam, keramik,
dan polimer,
Analisis unsur secara kualitatif dan kuantitatif dengan WDS,
Perbesaran maks. 360.000x,
Aplikasi penting dalam penelitian ilmu bahan, analisis kegagalan dan kontrol mutu
dan lainnya.

Transmission Electron Microscope (TEM)

Gambar 2.31

TEM/STEM JEOL 1200EXII


Analisis cacat bahan, penentuan presipitat dan pola difraksi dari paduan logam
dan keramik serta pemeriksaan mikrostruktur bahan organic.
Perbesaran TEM maks. 500.000x
Perbesaran STEM maks. 600.000x

http://www.batan.go.id/ptbn/php/index.php?
option=com_content&view=article&id=75&Itemid=69

C. Korosi
Korosi adalah kerusakan atau degradasi logam akibat reaksi redoks antara suatu
logam dengan berbagai zat di lingkungannya yang menghasilkan senyawa-senyawa yang
tidak dikehendaki. Dalam bahasa sehari-hari, korosi disebut perkaratan. Contoh korosi
yang paling lazim adalah perkaratan besi, juga sering diartikan serangan yang merusak
logam karena logam bereaksi secara kimia atau elektrokimia dengan lingkungan.

http://id.wikipedia.org/wiki/Korosi

Jenis-jenis Cacat pada Material

Cacat dapat terjadi karena adanya solidifikasi (pendinginan) ataupun akibat dari luar.
Cacat tersebut dapat berupa :

1. Cacat titik (point defect)


Dapat berupa :
 Cacat kekosongan (Vacancy) yang terjadi karena tidak terisinya suatu posisi
atom pada lattice.
 Interstitial (“salah tempat”, posisi yang seharusnya kosong justru ditempati atom)
Substitusional (adanya atom “asing” yang menggantikan tempat yang seharusnya
diisi oleh atom)
 Cacat garis (line defect)Yakni Cacat yang menimbulkan distorsi pada lattice yang
berpusat pada suatu garis. Sering pula disebut dengan dislokasi. Secara umum
ada 2 jenis dislokasi, yakni : edge dislocation dan screw dislocation
 Cacat bidang (interfacial defect)
Ialah batasan antara 2 buah dimensi dan umumnya memisahkan daerah dari
material yang mempunyai struktur kristal berbeda dan atau arah kristalnya
berbeda, misalnya : Batas Butir (karena bagian batas butir inilah yang membeku
paling akhir dan mempunyai orientasi serta arah atom yang tidak sama. Semakin
banyak batas butir maka akan semakin besar peluang menghentikan dislokasi.
Kemudian contoh yang berikutnya

adalah Twin (Batas butir tapi special, maksudnya : antara butiran satu dengan
butiran lainnya merupakan cerminan).
 Cacat Ruang (Bulk defect)
Perubahan bentuk secara permanen disebut dengan Deformasi Plastis,
deformasi plastis terjadi dengan mekanisme :
Slip, yaitu : Perubahan dari metallic material oleh pergerakan dari luar sepanjang
Kristal. Bidang slip dan arah slip terjadi pada bidang grafik dan arah atom yang
paling padat karena dia butuh energi yang paling ringan atau kecil.
Twinning terjadi bila satu bagian dari butir berubah orientasinya sedemikian rupa
sehingga susunan atom di bagian tersebut akan membentuk simetri dengan bagian
kristal yang lain yang tidak mengalami twinning.
http://engineeringstyle.blogspot.com/2009/08/cacat-material.htm

C. Tegangan sisa

Adalah sebuah tegangan yang bekerja pada suatu bahan setelah semua gaya-gaya
luar yang bekerja pada benda tersebut dihilangkan. Tegangan sisa muncul akibat beberapa
proses pembentukan seperti deformasi plastis, perubahan temperatur dan transformasi fasa.
Beberapa proses pembentukan yang menghasilkan tegangan sisa antara lain: casting,
forming, forging, drawing, extruding, rolling, spinning, bending, machining, welding, shot
peening, quenching, carburizing, coating, dll.
Tegangan sisa ini dapat menguntungkan tetapi juga dapat merugikan. Jika beban berupa
tegangan tarik dan terdapat tegangan sisa tekan pada material maka tegangan sisa ini akan
memberi resultante negatif mengurangi efek beban ke material. Sebaliknya jika terdapat
tegangan sisa tarik pada material yang mengalami beban tarik maka akan memberikan
resultante positif dan jika melawati tegangan luluhnya akan menjadi awal mula terjadinya
patahan.
Beberapa teknik telah dikembangkan untuk menghilangkan tegangan sisa ini, khususnya
jika bersifat merugikan. Yang umum digunakan adalah dengan anealing, yaitu proses
pemanasan
material yang mengalami pengerjaan dingin hingga pada temperatur rekristalisasinya. Pada
temperatur rekristalisasi, butir-butir akan terbentuk kembali dan tegangan sisa akan
dilepaskan.
Metode lain adalah dengan menggetarkan material pada frekuensi pribadinnya. Dengan
metode ini,
material relatif tidak mengalami perubahan bentuk meskipun tegangan sisanya terlepas.

http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=2&ved=0CBwQFjAB&url=http%3A%2F
%2Fp3m.amikom.ac.id%2Fp3m%2F75%2520%2520PENGARUH%2520TEGANGAN
%2520SISA
%2520TERHADAP.pdf&ei=TSiVTfH_F4PprQe71f2BDA&usg=AFQjCNH8tzcNKDs8mSp2VgC
4GbcKWV8-xA

D. Metalografi Kuantitatif

Ilmu yang mempelajari secara kuantitatif hubungan antara pengukuran-pengukuran yang


dibuat pada bidang dua dimensi dengan besaran-besaran struktur mikro dari suatu spesimen
berdimensi tiga.
Metalografi kuantitatif adalah pengukuran gambar struktur dari potongan, replika,
atau lapisan tipis dari logam-logam yang dapat diamati dengan mikroskop optik dan
mikroskop elektron. Obyek yang diukur fasa dan butir yang meliputi :

a. Fraksi volume

Perhitungan fraksi volume dilakukan untuk menentukan fraksi volume dari fasa tertentu
atau dari suatu kandungan tertentu. Teknik yang paling sederhana yaitu dengan melihat
struktur mikro, memperkirakan fraksi luas. Atau dengan membandingkan struktur mikro
dengan pembesaran tertentu terhadap standar tertentu yang terdiri dari beberapa jenis dan
gambar struktur yang ideal dengan persentase yang berbeda. Dengan metode perhitungan
ada dua cara. Cara yang pertama adalah dengan analisa luas yang diperkenalkan pertama
kali oleh Delesse, Geologis Jerman pada tahun 1848, yang menunjukkan fraksi luas Aa, dari
potongan dua dimensi adalah suatu perhitungan fraksi volume :

Vv = A /AT
Dimana A adalah jumlah luas fasa yang dimaksud AT adalah luas total pengukuran.
Pengukuran dapat dengan metode planimetri atau dengan memotong foto fasa yang
dimaksud dan mencoba membandingkan lebar 11

fasa yang dimaksud dengan lebar foto yang dimaksud. Metode ini kurang
sesuai untuk fasa halus.

Cara yang kedua adalah dengan analisa garis, metode ini diperkenalkan oleh Reziwal
seorang Geologis Jerman pada tahun 1898. Ia mendemonstrasikan ekuivalensi antara fraksi
garis LL dan fraksi volum. Pada analisa garis, total panjang dari garis-garis yang ditarik
sembarangan memotong fasa yang diukur L dibagi dengan total panjang garis LT untuk
memperoleh fraksi garis :

LL = L /LT = Vv

Cara yang kedua yaitu dengan perhitungan titik, diperkenalkan oleh


Thomson 1933, Glagolev 1933, Chalkley 1943. Metode ini menggunakan
point grind dua dimensi. Caranya test grind diletakkan pada lensa okuler

atau dapat diletakkan di depan layar proyeksi atau foto dengan bantuan lembaran plastik.
Pembesaran harus cukup tinggi sehingga lokasi titik uji terhadap struktur tampak jelas.
Pembesaran sekecil mungkin dimana hasil memungkinkan pembesaran disesuaikan dengan
daya pisah dan ukuran area untuk ketelitian statistik. Semakin kecil pengukuran semakin
banyak daerah yang dapat dianalisa dengan derajat ketelitian statistik tertentu. Titik potong
adalah perpotongan 2 garis grind:
Pp = P /PT = L /nPo

Dimana n adalah jumlah perhitungan dan Po jumlah titik dari grind. Jadi PT = nPo, jumlah
total titik uji pada lensa okuler umumnya menggunakan jumlah titik terbatas yaitu 9, 16, 25,
dan seterusnya dengan jarak teratur. Sedangkan untuk grind yang digunakan didepan screen
mempunyai 16, 25, 29, 64 atau 100 titik. Fraksi volume sekitar 50% sangat baik
menggunakan jumlah grind yang sedikit, seperti 25 titik. Untuk volume fraksi yang amat
rendah baik digunakan grind dengan jumlah titik yang banyak dalam kebanyakan pekerjaan,
fraksi volume dinyatakan dengan persentase dengan dikalikan 100. Ketiga metode dapat
dianggap mempunyai ketelitian yang sama.

V V = A A = L L = P

b. Ukuran /besar butir

Metode perhitungan besar butir ada dua cara. Cara yang pertama adalah metode
Planimetri yang diperkenalkan oleh Jefferies. Metodenya yaitu dengan rumus :

G = [3,322 Log (NA) ± 2,95]


Dimana NA adalah jumlah butir/ mm2 = (F) (n1+ n2/2) = NA
F adalah bilangan Jefferies = M2 / 5000.
5000 mm2 = Luas lingkaran.
No butir dapat dilihat di table ASTM
Metoda yang kedua adalah dengan metode Intercept yang diperkenalkan
oleh Heyne yaitu dengan rumus :
G = [6,646 log 9L3) ± 3,298]
PL = P / (LT/M)
Panjang garis perpotongan ;
-L3 = 1 / PL
P = Jumlah titik potong batas butir deng an lingkaran

LT = Panjang garis total


M = Perbesaran
P1 atau L3 dapat dilihat di table besar butir ASTM

Sebenarnya masih banyak obyek-oblek pengukuran metalografi kuantitatif lainnya yang


belum disebutkan. Seperti mengukur luas permukaan dan panjang garis volume, dan
distribusi ukuran partikel dengan metode yang berbeda-beda. Semuanya dipakai sesuai
dengan permintaan analisa metalografinya. Tetapi yang paling sering menjadi obyek dalam
metalografi kuantitatif biasanya adalah perhitungan fraksi volume dan perhitungan besar
atau ukuran butir.

http://alik3505.blogspot.com/2010/05/perhitungan-porositas.html

E. Pemeriksaan Makroskopik dan Mikroskopik


a. Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati
struktur dengan perbesaran 10-100 kali, biasanya digunakan mikroskop
cahaya.
b. Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik adalah sebuah pemeriksaan untuk mengamati
struktur dengan perbesaran diatas 100 kali, biasanya digunakan
mikroskop cahaya ataupun mikroskop elektron dan mikroskop optik.

http://www.scribd.com/doc/40501433/METALOGRAFI
i. Nomenklatur alat polish dan mikroskop

Nomenklatur mikroskop

ii.Sistem kristalografi
Sistem Kristalografi
1. Sistem Isometrik
c. Sistem ini juga disebut sistem kristal regular, atau dikenal pula dengan sistem
kristal kubus atau kubik. Jumlah sumbu kristalnya ada 3 dan saling tegak
lurus satu dengan yang lainnya. Dengan perbandingan panjang yang sama
untuk masing-masing sumbunya. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal
Isometrik memiliki axial ratio (perbandingan sumbu a = b = c, yang artinya
panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu c. Dan juga
memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini,
semua sudut kristalnya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2.32 sistem isometrik

Gambar 1 Sistem Isometrik


d. Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem
Isometrik memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 3. Artinya, pada
sumbu a ditarik garis dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai
3, dan sumbu c juga ditarik garis dengan nilai 3 (nilai bukan patokan, hanya
perbandingan). Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan
bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap sumbu bˉ.

Sistem isometrik dibagi menjadi 5 Kelas :


e. Tetaoidal
f. Gyroida
g. Diploida
h. Hextetrahedral
i. Hexoctahedral
Beberapa contoh mineral dengan system kristal Isometrik ini adalah gold, pyrite, galena,
halite, Fluorite (Pellant, chris: 1992)

2. Sistem Tetragonal
Sama dengan system Isometrik, sistem kristal ini mempunyai 3 sumbu kristal yang
masing-masing saling tegak lurus. Sumbu a dan b mempunyai satuan panjang sama.
Sedangkan sumbu c berlainan, dapat lebih panjang atau lebih pendek. Tapi pada
umumnya lebih panjang.
Pada kondisi sebenarnya, Tetragonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b ≠ c
, yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b tapi tidak sama dengan sumbu c.
Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini,
semua sudut kristalografinya ( α , β dan γ ) tegak lurus satu sama lain (90˚).

Gambar 2.33 Sistem Tetragonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Tetragonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis
dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis
dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚ terhadap
sumbu bˉ.

Sistem tetragonal dibagi menjadi 7 kelas:


j. Piramid
k. Bipiramid
l. Bisfenoid
m. Trapezohedral
n. Ditetragonal Piramid
o. Skalenohedral
p. Ditetragonal Bipiramid
Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Tetragonal ini adalah rutil, autunite,
pyrolusite, Leucite, scapolite (Pellant, Chris: 1992)
3. Sistem Hexagonal
Sistem ini mempunyai 4 sumbu kristal, dimana sumbu c tegak lurus terhadap ketiga
sumbu lainnya. Sumbu a, b, dan d masing-masing membentuk sudut 120˚ terhadap satu
sama lain. Sambu a, b, dan d memiliki panjang sama. Sedangkan panjang c berbeda,
dapat lebih panjang atau lebih pendek (umumnya lebih panjang).
Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Hexagonal memiliki axial ratio (perbandingan
sumbu) a = b = d ≠ c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama
dengan sumbu d, tapi tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi
α = β = 90˚ ; γ = 120˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus
dan membentuk sudut 120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar 2.34 Sistem Hexagonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Hexagonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis
dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis
dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚
terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 7:


q. Hexagonal Piramid
r. Hexagonal Bipramid
s. Dihexagonal Piramid
t. Dihexagonal Bipiramid
u. Trigonal Bipiramid
v. Ditrigonal Bipiramid
w. Hexagonal Trapezohedral
x. Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Hexagonal ini adalah quartz,
corundum, hematite, calcite, dolomite, apatite. (Mondadori, Arlondo. 1977)

4. Sistem Trigonal
Jika kita membaca beberapa referensi luar, sistem ini mempunyai nama lain yaitu
Rhombohedral, selain itu beberapa ahli memasukkan sistem ini kedalam sistem kristal
Hexagonal. Demikian pula cara penggambarannya juga sama. Perbedaannya, bila pada
sistem Trigonal setelah terbentuk bidang dasar, yang terbentuk segienam, kemudian
dibentuk segitiga dengan menghubungkan dua titik sudut yang melewati satu titik
sudutnya.
Pada kondisi sebenarnya, Trigonal memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a = b = d ≠
c , yang artinya panjang sumbu a sama dengan sumbu b dan sama dengan sumbu d, tapi
tidak sama dengan sumbu c. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ; γ = 120˚.
Hal ini berarti, pada sistem ini, sudut α dan β saling tegak lurus dan membentuk sudut
120˚ terhadap sumbu γ.

Gambar2.35 Sistem Trigonal


Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Trigonal
memiliki perbandingan sumbu a : b : c = 1 : 3 : 6. Artinya, pada sumbu a ditarik garis
dengan nilai 1, pada sumbu b ditarik garis dengan nilai 3, dan sumbu c ditarik garis
dengan nilai 6 (nilai bukan patokan, hanya perbandingan). Dan sudut antar sumbunya
a+^bˉ = 20˚ ; dˉ^b+= 40˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 20˚
terhadap sumbu bˉ dan sumbu dˉ membentuk sudut 40˚ terhadap sumbu b+.

Sistem ini dibagi menjadi 5 kelas:


y. Trigonal piramid
z. Trigonal Trapezohedral
aa. Ditrigonal Piramid
bb. Ditrigonal Skalenohedral
cc. Rombohedral
dd.Beberapa contoh mineral dengan sistem kristal Trigonal ini
adalah tourmalinedan cinabar (Mondadori, Arlondo. 1977)
5. Sistem Orthorhombik
Sistem ini disebut juga sistem Rhombis dan mempunyai 3 sumbu simetri kristal yang
saling tegak lurus satu dengan yang lainnya. Ketiga sumbu tersebut mempunyai panjang
yang berbeda. Pada kondisi sebenarnya, sistem kristal Orthorhombik memiliki axial ratio
(perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang
sama panjang atau berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β =
γ = 90˚. Hal ini berarti, pada sistem ini, ketiga sudutnya saling tegak lurus (90˚).

Gambar 2.36 Sistem Orthorhombik

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem Orthorhombik


memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang
akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar
sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 30˚
terhadap sumbu bˉ.

Sistem ini dibagi menjadi 3 kelas:


ee. Bisfenoid
ff. Piramid
gg. Bipiramid
hh.Beberapa contoh mineral denga sistem kristal Orthorhombik ini
adalah stibnite, chrysoberyl, aragonite dan witherite (Pellant, chris. 1992)

6. Sistem Monoklin
Monoklin artinya hanya mempunyai satu sumbu yang miring dari tiga sumbu yang
dimilikinya. Sumbu a tegak lurus terhadap sumbu n; n tegak lurus terhadap sumbu c,
tetapi sumbu c tidak tegak lurus terhadap sumbu a. Ketiga sumbu tersebut mempunyai
panjang yang tidak sama, umumnya sumbu c yang paling panjang dan sumbu b paling
pendek.
Pada kondisi sebenarnya, sistem Monoklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a
≠ b ≠ c , yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau
berbeda satu sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β = 90˚ ≠ γ. Hal ini
berarti, pada ancer ini, sudut α dan β saling tegak lurus (90˚), sedangkan γ tidak tegak
lurus (miring).

Gambar 2.37 Sistem Monoklin

Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, sistem kristal Monoklin


memiliki perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang
akan menjadi ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar
sumbunya a+^bˉ = 30˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚
terhadap sumbu bˉ.
Sistem Monoklin dibagi menjadi 3 kelas:
ii. Sfenoid
jj. Doma
kk. Prisma
ll. Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Monoklin ini adalah azurite,
malachite, colemanite, gypsum, dan epidot (Pellant, chris. 1992)

7. Sistem Triklin
Sistem ini mempunyai 3 sumbu simetri yang satu dengan yang lainnya tidak saling tegak
lurus. Demikian juga panjang masing-masing sumbu tidak sama. Pada kondisi
sebenarnya, sistem kristal Triklin memiliki axial ratio (perbandingan sumbu) a ≠ b ≠ c ,
yang artinya panjang sumbu-sumbunya tidak ada yang sama panjang atau berbeda satu
sama lain. Dan juga memiliki sudut kristalografi α = β ≠ γ ≠ 90˚. Hal ini berarti, pada
system ini, sudut α, β dan γ tidak saling tegak lurus satu dengan yang lainnya.
Gambar 2.38 Sistem Triklin
Pada penggambaran dengan menggunakan proyeksi orthogonal, Triklin memiliki
perbandingan sumbu a : b : c = sembarang. Artinya tidak ada patokan yang akan menjadi
ukuran panjang pada sumbu-sumbunya pada sistem ini. Dan sudut antar sumbunya a+^bˉ
= 45˚ ; bˉ^c+= 80˚. Hal ini menjelaskan bahwa antara sumbu a+ memiliki nilai 45˚
terhadap sumbu bˉ dan bˉ membentuk sudut 80˚ terhadap c+.

Sistem ini dibagi menjadi 2 kelas:


mm.Pedial
nn. Pinakoidal
oo. Beberapa contoh mineral dengan ancer kristal Triklin ini adalah albite,
anorthite, labradorite, kaolinite, microcline dan anortoclase .

http://www.scribd.com/doc/49506603/HEAT-TREATMENT

N. Gambar ASTM Grain Size Number

Gambar 2.39 ASTM Brain Size Number

http://www.google.co.id/images?hl=id&q=gambar%20astm%20grain%20size
%20number&um=1&ie=UTF-8&source=og&sa=N&tab=wi&biw=1366&bih=607
Menentukan ukuran butir rumit oleh sejumlah faktor. Pertama, ukuran tiga-dimensi dari
butir tidak konstan dan pesawat sectioning akan memotong melalui butir secara acak. Dengan
demikian, pada bagian-lintas kita akan mengamati berbagai ukuran, tidak lebih besar dari
penampang gandum terbesar sampel. Bentuk butir juga bervariasi, terutama sebagai fungsi dari
ukuran butir. Salah satu bentuk studi awal butir dibuat oleh Lord Kelvin pada tahun 1887. Dia
menunjukkan bahwa bentuk butir-mengisi ruang optimal, dengan luas permukaan minimum
dan tegangan permukaan, adalah polyhedron dikenal sebagai tetrakaidecahedron, yang
memiliki 14 wajah, 24 sudut, dan 36 sisi. Sementara bentuk ini memenuhi kriteria butir yang
paling, tidak memenuhi sudut derajat yang dibutuhkan 120 dihedral antara butir di mana tiga
butir berdekatan bertemu di tepi, kecuali wajah menunjukkan sejumlah kecil kelengkungan.
Lain bentuk bulir yang ideal, pigura berduabelas segi pentagonal, setuju juga dengan
pengamatan dari biji-bijian, tapi bukan merupakan bentuk ruang mengisi. Ini memiliki dua
belas lima-sisi wajah. Namun, harus diakui bahwa kami sampling butir dengan berbagai ukuran
dan bentuk. Dalam kebanyakan kasus, butir diamati pada pameran pesawat dipoles penampang
berbagai ukuran sekitar pengukuran rata-rata dan individu sentral dari biji-bijian, diameter, atau
panjang mencegat memperlihatkan distribusi normal. Pada sebagian besar kasus, kita hanya
menentukan nilai rata-rata ukuran butir planar, daripada distribusi. Ada kasus di mana distribusi
ukuran butir tidak normal, tetapi bimodal, atau "dupleks." Juga, bentuk biji-bijian kami dapat
terdistorsi oleh prosedur pengolahan sehingga mereka diratakan dan / atau memanjang. Bentuk
produk yang berbeda, dan prosedur pengolahan yang berbeda, dapat menghasilkan berbagai
bentuk butiran non-sama-sumbu. Ini, tentu saja, tidak mempengaruhi kemampuan kita untuk
mengukur ukuran butir.

Menentukan ukuran butir juga rumit oleh berbagai jenis biji-bijian yang dapat hadir dalam
logam, meskipun bentuk dasar mereka adalah sama. Sebagai contoh, dalam tubuh berpusat
logam kubik, seperti Fe, Mo, dan Cr, kami telah butir ferit, dalam berpusat muka logam kubik,
seperti Al, Ni, Cu, dan baja tahan karat tertentu, kita memiliki butir austenit. Butir
menunjukkan bentuk yang sama dan diukur dengan cara yang sama, tetapi kita harus berhati-
hati dalam menjelaskan apa jenis biji-bijian kita ukur. Dalam menghadapi berpusat logam
kubik, kita boleh mengamati batas kembar yang disebut dalam butir (lihat sidebar di jenis biji-
bijian). Aluminium paduan, bagaimanapun, jarang kembar pameran. Ketika kembar hadir,
mereka akan diabaikan jika kita mencoba untuk mendefinisikan ukuran butir. Namun, jika kita
berusaha untuk membangun hubungan antara struktur mikro dan sifat, misalnya, kekuatan, kita
harus mempertimbangkan batas kembar karena mereka mempengaruhi gerakan dislokasi,
seperti batas butir lakukan. Oleh karena itu, kita harus mengakui maksud dari pekerjaan yang
dilakukan.
Dalam baja panas dirawat, ia diakui bahwa ukuran butir hasil dari perlakuan panas, biasanya
martensit, tidak diukur atau tidak dapat diukur. Untuk baja karbon rendah, bentuk martensit di
paket dalam induk butir austenit. Dalam martensites tinggi karbon, kita tidak memperhatikan
bentuk apapun struktural nyaman yang dapat diukur. Dalam kebanyakan kasus, kami mencoba
untuk mengukur ukuran induk butir austenit yang terbentuk selama memegang suhu tinggi
selama perawatan panas. Hal ini biasanya disebut sebagai "ukuran butir sebelumnya-austenit"
dan telah banyak berhubungan dengan sifat baja perlakuan panas. Proses yang paling sulit di
sini adalah prosedur etsa diperlukan untuk mengungkapkan batas-batas sebelumnya. Kadang-
kadang mereka tidak dapat terungkap, terutama pada baja karbon rendah. Dalam hal ini,
dimungkinkan untuk mengukur karbon rendah reng ukuran paket martensit, yang merupakan
fungsi dari ukuran butir sebelumnya-austenit.

http://www.google.co.id/images?hl=id&q=gambar%20astm%20grain%20size
%20number&um=1&ie=UTF-8&source=og&sa=N&tab=wi&biw=1366&bih=607
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengetahuan metalografi pada dasarnya mempelajari karakteristik struktural dan
susunan dari suatu logam atau paduan logam dalam hubungannya dengan suatu analisis
kimia dan metalografi dari suatu logam atau paduan logam. Biasanya tidak melalui suatu
keseluruhan potongan disebabkan oleh pembawaan heterogen atau logam.

Dewasa ini terdapat berbagai jenis bahan yang digunakan pada proses manufaktur
dan tujuan-tujuan lain. Namun, sebelum diketahui atau digunakan dalam industri atau
bagian-bagian yang lain, karakteristik struktural atau susunan dari logam atau paduannya
yang akan dipakai atau ditawarkan pada industri untuk keperluan lainnya dan dengan
melakukan pengujian metalografi maka dapat dilakukan berbagai jenis perubahan pada
suatu material setelah mengetahui karakteristiknya.

Dari hal inilah, orang mulai mencoba untuk melakukan uji metalografi pada suatu
material. Sehingga dengan cara ini dapat diperoleh bahan dengan sifat-sifat yang sesuai
dengan tujuan tertentu untuk memenuhi kebutuhan teknologi modern yang meningkat.

Untuk itu, pengujian metalografi sangat berguna dalam berbagai dunia industri,
terutama pada industri logam dan otomotif. Karena kebutuhan akan logam ini semakin
meningkat, maka banyak industri manufaktur menyuplai bahan logam yang ada di
pasaran san telah melalui berbagai proses pengujian bahan. Maka tidak dapat dipungkiri
bahwa pengujian metalografi sangat berperan bagi dunia industri. Oleh karena itu kita
harus berusaha mencari material yang memiliki sifat dan karakteristik yang baik.
1.2 Tujuan dan Manfaat Pengujian

A. Tujuan Pengujian
Setelah melakukan pengujian metalografi praktikan dapat :

1. Menjelaskan tujuan dari proses metalografi.


2. menjelaskan langkah-langkah pengujian Metalografi.
3. Mengetahui bahan dan alat yang digunakan pada pengujian metalografi.
4. Mengetahui bentuk-bentuk fasa dari logam.
5. menganalisa ukuran butir dan membbandingkan dengan grain size ASTM.
6. Menjelaskan hubungan antara struktur mikro dan karakteristik butir terhadap bahan.
7. Mampu melakukan pengujian metalografi.

B. Manfaat Pengujian
1. Bagi Praktikan
• Dapat mengetahui dampak perlakuan panas dan media pendingin terhadap
karakteristik logam.
• Dapat melihat perbedaan setiap fasa logam yang diuji.
• Dapat mengoperasikan mikroskop untuk pengamatan pada bahan yang lain.
• Untuk mengetahui karakteristik logam dan struktur logam dalam
hubungannya dengan sifat-sifat fisik dan mekaniknya.
• Mengetahui fase-fase yang terjadi pada saat pendinginan dilakukan.
• Mengetahui reaksi-reaksi pembentukan.

2. Bagi Industri
• Dengan pengujian metalografi, dapat diketahui suatu logam atau paduannya
yang mempunyai kekuatan yang tinggi dan ekonomis.
• Dapat diperoleh bahan dengan sifat-sifat yang sesuai dengan kebutuhan
industri.
• Dapat mengetahui dampak perlakuan panas dan media pendingin terhadap
karakteristik logam, sehingga dapat memilih ataupun memprediksi kualitas
bahan yang akan digunakan untuk pembuatan produk.
• Untuk mengetahui kekerasan dan keuletan suatu logam dan paduannya.
• Mampu menghasilkan produk yang berkualitas dan bias bersaing di dunia
produsen logam atau material yang berkualitas.
• Memperbaiki hasil produksi dan mengurangi biaya produksi.
LAPORAN LENGKAP

METALOGRAFI
DISUSUN OLEH

NAMA : ARBY MANAN

STAMBUK : D 211 09 258

JURUSAN : MESIN

LABORATORIUM METALURGI FISIK JURUSAN MESIN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

Anda mungkin juga menyukai