Edi
si Akar Konflik Politik dan Teologi
Re
visi
Makalah
Oleh:
NIM: FO.6.4.10.005
Dosen Pengampu:
1
UTHMA<N DAN ‘Ali:
Akar Konflik Politik Dan Teologi
Oleh:
Nim: FO.6.4.10.005
2
melakukan pembenaran-pembenaran atas pendapatnya
dengan bingkai dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah.
1. PENDAHULUAN
Kondisi umat Islam pada masa Abu Bakar dan Umar cenderung
stabil. Berbeda halnya dengan kondisi umat Islam pada masa
Uthma>n dan ‘Ali. Sejak awal pemilihannya, khila>fah Uthman sudah
menumbuhkan benih-benih konflik. Hal itu karena tampak adanya
senioritas kesukuan yang menjadi penentu terpilihnya Uthma>n,
sehingga mengunggui ‘Ali.2 Selanjutnya, stabilisasi dapat dilakukan
oleh Uthma>n pada enam tahun pertama dia memimpin. Akan tetapi,
stabilitas semakin menurun pada enam tahun berikutnya disebabkan
kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan kehendak kaum
muslimin pada umumnya, sehingga berujung dengan terbunuhnya
khali>fah Uthma>n.
3
Kubra> yang dilatarbelakangi oleh kepentingan-kepentingan kelompok
yang berebut khila>fah. Stabilitas Negara semakin tidak terkend’Ali
dan terjadi beberapa pemberontakan, dan berakhir dengan
terbunuhnya khalifah ‘Ali. Konflik tersebut menyebabkan umat Islam
semakin terpecah belah, fanatisme kesukuan semakin tampak jelas
dan Ukhwah Isla>miyyah kurang mendapat perhatian.
3
S{ahi>h Muslam, Kitab Al-Fadha>il, 4337; Sunan Al-Tirmiz}I, Kitab Tafsir Al-Qura>n ‘an
Rasu>lilla>h,3038; Musnad Ahmad, Kitab Musnad Al-‘Ashrah Al-Mubasshirina bi Al-Jannah,
449
4
Rasul Ja’fariyan, The History of Ch’Alips terj. Ana Farida, Nailul Aksa & Khalid Sitaba,
Sejarah Pemikiran Islam: Dari Abu Bakar sampai Usman (Jakarta: Al-Huda), 2010, h. 176
4
Faktanya, semua kandidat khali>fah tersebut telah meninggal
dunia. Oleh karena itu, Umar tidak mengusulkan siapapun untuk
menggantikannya sebagai khali>fah.
Ketika Hafsah binti Umar mendengar bahwa ayahnya tidak
memilih siapapun sebagai khali>fah, dia berkata kepada
ayahnya: “jika engkau memiliki seorang gembala yang merawat
dombamu dan jika dia meninggalkan kewajibannya, kau akan
menganggapnya sebagai orang yang tak berguna, maka
pertimbangkanlah bahwa penduduk akan menjadi lebih buruk”.
Kemudian Umar menjawab bahwa jika ia tidak mengangkat
siapapun sebagai khalifah, maka dia telah bertindak seperti Nabi
s}alla> Alla>h ‘alaihi wa sallam. Jika ia memilih seseorang untuk
menggantikannya, maka ia telah melakukan sesuatu seperti Abu
Bakar dan keduanya tampak baginya sebagai tradisi keagamaan
yang tidak salah. Umar menyatakan bahwa selama hidupnya, dia
telah memanggul beban yang tak ingin ia tanggung lagi setelah
kematiannnya.
Akan tatapi, Umar tetap tidak dapat meninggalkan
khila>fah begitu saja. Umar menyerahkan suksesi pemilihan
khalifah kepada enam tokoh yang kemudian disebut dewan
khila>fah,5 dewan syuro6 atau As}h}a>b al-Shura>7 yang
bertindak sebagai Dewan formatur8 khila>fah. Puteranya yang
bernama Abdullah masuk dalam tim, namun tidak boleh dipilih.
Menurut Umar, dari bani ‘Adi cukup Umar saja yang menjadi
khalifah. Enam orang tersebut adalah ‘Ali bin Abi> Tha>lib,
Uthma>n bin ‘Affa>n, Saad bin Abi Waqa>s, Abdurahma>n bin
‘Auf, Zubair bin ‘Awwa>m dan Thalha bin Ubaidilla>h”.
Sedangkan Abdulla>h bin Umar hanya berperan sebagai
konsultan dan tidak memiliki hak suara.9
5
Istilah “Dewan Khila>fah” dirujuk dari The History of Ch’Alips terj. Ana Farida, Nailul Aksa
dan Khalid Sitaba
6
Istilah “Dewan Syuro” dirujuk dari QS. ‘Ali Imran: 159 dan Asy-Syura: 38
7
Sjechul Hadi Permono menyebutnya dengan istilah “Ashab al-Shura>”
8
K. Hitti menyebutnya dengan istilah “Dewan Formatur”
9
Dedi Supriyadi, h. 87
5
Dari fakta tersebut, tampak jelas bahwa Umar tidak secara
langsung memilih khali>fah penggantinya. Hal itu karena ada
keraguan dalam dirinya tentang siapa yang akan
menggantikannya sebagai khali>fah. Beliau hendak tidak
memikul tanggung jawab terhadap kesalahan-kesalahan yang
dilakukan orang-orang sepeninggal beliau. Takut keadaan kaum
muslimin berpecah belah. Akan tetapi, jika dibiarkan begitu saja,
beliau khawatir keadaan akan menjadi kacau, karena dalam
perang menghadapi tentara Persia dan Rumawi semua orang
Arab sudah ikut serta sehingga setiap kabilah mengaku dirinya –
seperti kaum Muha>jiri>n dan Ansha>r – berhak memilih
khali>fah dari golongan mereka. Oleh karena itu, beliau
mengambil jalan tengah, dengan memilih enam orang yang akan
bermusyawarah menentukan satu dari mereka yang menjadi
khali>fah.
Terkait dengan mekanisme pemilihan, Umar berkata
kepada Dewan Khila>fah: ”Jika yang setuju tiga orang dan yang
tidak setuju tiga orang, pilihlah Abdulla>h bin Umar menjadi
penengah. Dari pihak manapun dari kedua pihak itu yang
diputuskan pilihlah seorang dari mereka. Kalau mereka tidak
menyetujui keputusan Abdulla>h bin Umar, maka ikutlah k’Alian
bersama mereka yang didalamnya ada Abdurahma>n bin ‘Auf”.
Ada tiga mekanisme pemilihan yang ditetapkan oleh Umar.
Pertama, yang berhak menjadi khalifah adalah yang dipilih oleh
anggota Dewan Khila>fah dengan suar terbanyak. Kedua,
apabila suara terbagi secara berimbang (3:3), maka Abdulla>h
bin Umar yang berhak memutuskannya. Ketiga, apabila campur
tangan Abdulla>h bin Umar tidak diterima, maka calon yang
dipilih oleh Abdurrahma>n bin ‘Auf harus diangkat menjadi
khalifah. Jika masih ada yang menentangnya, maka hendaknya
dibunuh. 10
10
Dedi Supriyadi, h. 87
6
Musyawarah berjalan alot, faktor kabilah termasuk yang
melatarbelakangi kealotan tersebut. Zubair tidak bisa maju
sebagai khali>fah karena ada ‘Ali yang sama-sama dari bani
Hasyim. Saad bin Abi Waqa>s peluangnya tipis karena bersal
dari Bani Zahro, suatu kabilah yang tidak punya wibawa
dibanding lainnya. Thalhah sama dengan Umar dari Bani Adiy
sehingga tidak mungkin mencalonkan diri. Nominator terkuat
adalah Abdurrahma>n bin ‘Auf, Uthma>n dari bani Umayah dan
‘Ali dari Bani Hasyim. Namun Abdurahma>n mengundurkan diri
ia berkata ”saya mengundurkan diri dari pencalonan”. Maka
Uthma>n dengan cepat berkata ” saya setuju”. Saad dan Zubair
berkata ” kami setuju”.Karena Talhah tidak ada ditempat, maka
tinggal ‘Ali bin Abi Tha>lib yang harus memberi pendapatnya.
Tetapi ‘Ali tetap diam, tidak menyatakan setuju atau menolak.
Abdurahma>n kemudian bertanya ”Abu al-Hasan bangaimana
pendapat anda?”. ‘Ali menyatakan kesangsiannya atas tindakan
Abdurahma>n.” berjanjilah anda,”kata ‘Ali, ”bahwa anda akan
mendahulukan kebenaran, tidak meperturutkan hawa nafsu,
tidak mengutamakan kerabat dan tidak mengabaikan bimbingan
bagi umat.” dengan tanpa ragu Abdurrahma>n berkata:”
berjanjilah k’Alian bahwa k’Alian akan mendukung saya dalam
mengadakan perubahan dan menyetujui orang yang saya
pilihkan, saya berjanji kepada Allah tidak akan mengutamakan
kerabat dan tidak akan mengabaikan bimbingan kepada umat
muslimin.”
Pada akhirnya kata kunci berada pada Abdurrahman bin
‘Auf. Saat menemui ‘Ali ia bertanya ”seandainya anda tidak
termasuk orang yang dicalonkan, siapa yang anda pilih? ‘Ali
menjawab ” Uthma>n”, kemudian ia langsung menemui
Uthma>n dan menanyakan seandainya anda diluar enam calon
siapa yang anda pilih sebagai khali>fah? Uthma>n menjawab
”‘Ali”.
Sebelum itu ia telah berbicara dengan semua anggota majlis
7
syura dan dimintanya memberi kuasa kepada tiga orang
diantara mereka yang berhak memegang pimpinan. Maka Zubair
memberikan haknya kepada ‘Ali, Saad memberi kuasa kepada
Abdurahma>n dan hak Thalhah diberikan kepada Uthma>n.
Akan tetapi, karena Abdurahman sudah mengundurkan diri,
maka pencalonan itu dibatasinya pada ‘Ali dan Uthma>n. Hak
memilih salah seorang dari keduanya itu kini berada ditangan
Abdurahma>n bin ‘Auf.
Maka pada waktu s{ubuh ia mengumpulkan kaum
muslimi>n, sehingga masjid penuh sesak lalu ia berkata :”Wahai
sek’Alian manusia! Aku telah menanyakan keinginan k’Alian
namun aku tidak mendapati seorangpun yang condong kepada
salah seorang dari mereka berdua baik ‘Ali maupun Uthma>n.
Wahai ‘Ali kemarilah!”Maka bangkitlah ‘Ali dan berdiri dibawah
mimbar kemudian Abdurrahman memegang tangannya seraya
berkata, ”apakah engkau mau dibai’at untuk tetap setia
menjalankan Al-Quran, sunnah Nabinya SAW, dan apa yang telah
dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?”‘Ali menjawab,” aku
jalankan sesuai dengan kemampuanku.”Lalu Abdurahman
melepaskan pegangannya dan memanggil Uthma>n, ”wahai
Uthma>n kemarilah!, maka Uthma>n bangkit dan tangannya
dipegang oleh Abdurahman lalu bertanya, ” apakah engkau mau
dibai’at untuk tetap setia menjalankan Al-Quran, sunnah Nabinya
SAW, dan apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar?”
Uthman menjawab, ”Ya!” Lantas Abdurahman
menengadakahkan kepalanya keatap masjid sambil memegang
tangan Uthma>n dan berkata, ”Ya Alla>h dengarkanlah dan
saksikanlah, Ya Alla>h sesunggunya Aku telah ‘Alihkan beban
yang ada dipundakku ke pundak Uthma>n”. Maka orang-
orangpun berdesak-desak untuk membai’at sehingga beliau
dikerumuni oleh orang-orang dibawah mimbar Abdurahma>n bin
‘Auf akhirnya menetapkan Uthma>n sebagai khali>fah.11
11
http://ypiattauhiid.blogspot.com/2009/11/utsman-dan-’Ali-akar-konflik-politik-dan.html
8
2.2. CORAK PEMERINTAHAN UTHMA<<N
12
Sjechul Hadi Permono, Islam dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan (Surabaya: CV. Aulia,
2004) h. 129—130
13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiah II (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada) 2006, h. 38
14
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008) h. 88
9
pencatat sejarah membagi masa pemerintahan Uthma>n
menjadi dua periode: enam tahun pertama merupakan masa
pemerintahan yang baik dan enam tahun terakhir merupakan
masa pemerintahan yang buruk.15 Uthma>n wafat sebagai
syahid pada hari Jumat tanggal 17 Dzulhijah 35 H dalam usia 82
tahun ketika para pemberontak berhasil memasuki rumahnya
dan membunuh Utsman saat sedang membaca Al-Quran. Persis
seperti apa yang disampaikan Rasullullah Saw perihal kematian
Utsman yang syahid nantinya. Beliau dimakamkan di kuburan
Baqi di Madinah.16
10
membakar Alquran, mengabaikan hukum kis}a>s} kepada
Ubaidilla>h bin Umar,20 dan melakukan shalat secara penuh di
Mina, tidak seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s}alla>>
Alla>h ‘alaihi wa sallam.
Kedua, keberatan yang berkaitan dengan kebijakan politik
Uthma>n yang memercayakan posisi strategis dalam
pemerintahan kepada keluarga Bani Umayah. Banyak ulama
yang menyebutkan bahwa tindakan Uthma>n pada enam tahun
pertama dari masa khila>fahnya merupakan tindakan yang
benar. Akan tetapi pada paruh kedua tampaknya ia lebih
cenderung berusaha meningkatkan kekuatan politik dan
administrasi Bani Umayah. Dalam beberapa hal, keputusan
tersebut telah dipertimbangkan oleh Uthma>n. Akan tetapi,
penempatan dari orang-orang Bani Umayyah yang memiliki
problem ke-Islam-an maupun kemasyarakatan menjadi
permasalahan tersendiri dalam menjaga stabilitas khila>fahnya.
Misalnya, Hakam bin Muawiyah yang pernah diasingkan
oleh Rasulullah s}alla>> Alla>h ‘alaihi wa sallam., sehingga
dijuluki Thori>d al-Rasu>l.21 Akan tetapi, oleh Uthma>n
dipanggil kemb’Ali ke Madinah dan dipekerjakan untuk
mengumpulkan sedekah dari suku Khuza>’ah; Ha>rith bin
Hakam dipekerjakan di Pasar Madinah, Uthma>n juga
memberikan kepemimpinan Kufah kepada pamannya, W’Alid bin
‘Uqbah bin Abi> Mu’aith. W’Alid yang disebut pelaku kejahatan
oleh Alla>h dan Rasulullah s}alla>> Alla>h ‘alaihi wa sallam
menjanjikan neraka kepadanya, jelas seorang pendosa. Dia
pantas dihukum, karena peminum anggur menurut pernyataan
para saksi.
Masalah yang tidak kalah serius adalah penetapan daerah-
daera subur di Irak menjadi milik suku Quraish, sehingga terjadi
beberapa pemberontakan di Kufah. Selain itu terjadi pula
20
Ubaidilla>h bin Umar telah membunuh tiga orang: Hurmuzan dari Iran dan dua keluarga
Abu Lu’lu’ah yang dituduh membunuh ayahnya, Umar.
21
Al-Ima>m Abu Al-Fath Muhammad bin Abd al-Karim Al-Shahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal
(Beirut: Dar Al-Fikr, 2005), hal.18.
11
kekacauan di Bashrah yang semula dipimpin Abu> Mu>sa
Asy’ari. Uthma>n kemudian memberhentikan Abu> Mu>sa dan
menempatkan Abdulla>h bin Amir bin Kuraiz, sepupu khali>fah
yang masih berusia dua puluh lim atahun.
Kebijakan lain yang diambil oleh Uthma>>n yang
menyulut aksi keberatan dan pemberontakan adalah melepas
jabatan Amr bin <A<sh yang memerintah Mesir dan
menyerahkannya kepada Abdulla>h bin Sa’d bin Abi Sharh,
seorang yang pernah diasingkan oleh Rasulullah s}alla>>
Alla>h ‘alaihi wa sallam. Pada masa yang sama, Uthma>n
menempatkan Muawiyah untuk memimpin Damaskus.22 Yang
terpenting adalah penempatan Marwan bin Hakam sebagai
sekretaris Uthma>n sek’Aligus penasehatnya. Dialah pada
dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Uthma>n
hanya menyandang gelar Khalifah.23
Ketiga, keberatan yang berkaitan dengan sikap borosnya
Uthma>n terhadap keluarga Bani Umayah. Keborosan ini begitu
besar; mula-mula diberikan kepada semua pemuka Quraisy,
kemudian hanya kepada Bani Umayah, akhirnya muncul
kelompok oposisi yang dipimpin oleh Thalhah dan Zubair.
Beberapa fakta yang menguatkan tuduhan sikap boros Khali>fah
Uthma>n diantaranya adalah menghadiahi Harith bin Hakam
(saudara Marwan) sebuah tanah yang dikatakan berasal dari
sedekah Nabi SAW. Juga, tanah Fadak, 24
yang menyebabkan
Fathimah Zahra as. berselisih dengan Abu Bakar dan telah
diambil sebagai milik umum, kemudian dihadihkan kepada
Marwan bin Hakam, menantu Khali>fah.25
Ketika beberapa keberatan terhadap Uthma>n secara
bertahap semakin intensif, beberapa lelaki berdiri di hadapan
Uthma>n di masjid dan mengajukan keberatan kepadanya.
Uthma>n terpaksa menggunakan kekerasan untuk
22
Rasul Ja’fariyan, h. 203--205
23
Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa (Bandung: CV. Rusyda, 1987) h. 87
24
Al-Syahrastani, h. 18
25
Rasul Ja’fariyan, h. 206--207
12
menenangkan mereka, dan perbuatan tersebut menyebabkan
terpicunya bentrokan yang lebih parah di pihak mereka. Ketika
keberatan terhadap Uthma>n semakin tajam, beberapa
penduduk Kufah dan Mesir berangkat menuju Madinah atas
permintaan para sahabat, seiring dengan munculnya protes
terhadap para penguasa Bani Umayah di kota-kota tersebut.
Rombongan inidipimpin oleh Abdurrahma>n bin Udais Balawi
dengan Muhammad bin Abi Hudz}aifah. Ibnu Shubbah juga
menyampaikan surat yang ditulis oleh bangsa Mesir kepada
Uthma>n sebelum menuju ke Madinah. Mereka memberitahukan
tentang wajibnya mewujudkan perintah-perintah ketuhanan
yang berhubungan dengan ayat-ayat Al-Qura>n.
Pengajuan keberatan tersebut terus berlanjut sampai
terjadi pengepungan rumah Uthma>n selama empat puluh hari
dan pada hari Jumat terakhir di awal senja, tanggal 18 Dzulhijjah
35 H,26 bertepatan dengan 17 Juni 656, 27
Khalifah Uthma>n
dibunuh. Nama pembunuhnya tidak diketahui secara pasti. Pada
awalnya, para penentang Uthma>n tidak berpikir tentang
pembunuhannya. Mereka hanya hendak menurunkannya. Akan
tetapi, Uthma>n menolak untuk diturunkan dari kekuasaannya.
Hal itulah yang menyebabkan para pemberontak lepas kend’Ali
dan akhirnya Uthma>n terbunuh. Terbunuhnya Uthma>n inipun
telah disebutkan dalam hadi>th Rasu>lulla>h sebagaimana
ditulis oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dengan. 28
26
Rasul Ja’fariyan, 261
27
K. Hitti, h. 220
28
Musnad Ahmad, Kitab Musnad Al-‘Ashrah Al-Mubasshiri>n bi Al-Jannah, 449
13
yang masuk dalam Dewan Syura seperti ‘Ali, Thalhah, Zubair,
mereka sama lantang menjadi kelompok oposisi Uthma>n.
Bahkan Abdurrahma>n bin ‘‘Auf yang berperan penting dalam
pemilihan Uthma>n menyatakan bahwa Uthma>n telah
melanggar sumpah yang diucapkan pada waktu pemilihan.
29
Ibid, h. 223
30
W. Montgomery Watt, The Formative Period of Islamic Thought, Terj. (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1999) h. 13
14
w’Ali keluarganya yang berkewajiban menuntut balas atas
terbunuhnya Uthma>n.
Ketiga, Umm Al-Mukmini>n Aisyah, janda Rasulullah SAW.
bersama dua orang Makkah yang kaya, Thalhah dan Zubair.
Kelompok ini mengklaim hendak menegakkan penerapan
hukuman terhadap orang-orang yang melakukan kesalahan
secara adil. Akan tetapi, tampaknya mereka tidak memiliki posisi
keagamaan yang jelas dan dimungkinkan lebih dipengaruhi oleh
kepentingan pribadi. Kelompok inilah yang melakukan
pemberontakan pertama terhadap khalifah ‘Ali secara terbuka di
dekat Basrah pada bulan Desember 656 dalam perang yang
disebut perang Jamal. 31
31
W. Montgomerey Watt, h. 13
15
3.2. CORAK PEMERINTAHAN ‘Ali
32
Badri Yatim, h. 39
33
Syed Muhammadunnnasir dalam Dedi Sipriyadi, h. 96
16
yang terjadi selalu tidak membuahkan hasil dan berakhir dengan
peperangan.
17
Perang saudara pun mulai berkobar. Perang pertama yang
terjadi adalah perang unta (perang jamal) pada 9 Desember 656,
yaitu perang antara ‘Ali dengan pasukan gabungan Thalhah,
Zubair dan Aisyah. Dalam peperangan ini yang tampak p’Aling
berkepentingan adalah Thalhah dan Zubair. Keduanya mewakili
kelompok Makkah. Keduanya juga memiliki pengikut di Hijaz dan
Irak yang tidak mau mengakui khila>fah ‘Ali. Sedangkan
kaitannya dengan keikutsertaan Aisyah dalam perang tersebut,
K Hitti menyatakan bahwa Aishah sangat membenci ‘Ali,
karena ‘Ali telah melukai kehormatannya. ‘Ali mencurigainya
telah berbuat mesum ketika tertinggal sendirian di belakang
barisan rombongan Rasu>lulla>h SAW.36 Terlepas dari masalah
pribadi yang melatarbelakangi ‘Aishah untuk memerangi ‘Ali
sebagaimana dinyatakan oleh K. Hitti tersebut, Al-Shahrastani
menyatakan bahwa keikutsertaan ‘Aishah dalam perah Jamal
tersebut bukan disebabkan ‘Aishah berkepentingan terhadap
kursi khila>fah. Akan tetapi, disebabkan hasutan Thalhah dan
Zubair kepadanya.37
Dalam peperangang tersebut, ‘Ali mengalahkan
musuhnya; Thalhah dan Zubair terbunuh dan dimakamkan
dengan penuh penghormatan; Aishah tertangkap dan
diperlakukan dengan sangat hati-hati untuk menjaga
kehormatannnya sebagai umm al-mukmini>n, kemudian dikirim
kemb’Ali ke Madinah.
Pertentangan antara kelompok Mua>wiyah dan ‘Ali
semakin meruncing dan membawa kepada terjadinya perang
Siffi>n. Setelah kelompok Muawiyah hampir kalah, mereka
mengajak untuk bertahkim (arbitrate) untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi. Perundingan (tahkim) dilaksanakan di
Daumatul Jandal pada bulan Ramadhan tahun 37 H. Kelompok
Muawiyah diwakili oleh ‘Amr bin ‘A<sh (wafat th.43 H) dan
36
K. Hitti, h. 224
37
Al-Shahrashtani, h. 20
18
kelompok ‘Ali diwakili oleh Abu Musa Al-Asy'ari> (wafat th. 44 H).
Kedua bertindak sebagai hakim dari kelompok masing-masing
Perundingan antara kedua belah pihak tidak berjalan
dengan jujur. Amr membuat tipuan terhadap Abu Musa dengan
mengatakan bahawa konflik yang terjadi adalah disebabkan oleh
dua orang, yaitu ‘Ali dan Mua>wiyah, maka untuk menciptakan
perdamaian, kedua orang itu harus dipecat dan kemudian
diserahkan kepada umat Islam untuk memilih khalifah baru.
Tipuan itu berhasil. Amr memberikan kesempatan pertama
kepada Abu Musa untuk naik mimbar; Abu Musa mengumumkan
pemecatan ‘Ali. Sesudah itu Amr naik mimbar pula, ia menerima
pemecatan ‘Ali dan kerana ‘Ali sudah dipecat khalifah tinggal
seorang lagi, yaitu Muawiyah. Amr menetapkan Muawiyah
sebagai khali>fah umat Islam seluruhnya. Hal itu menyebabkan
kelompok ‘Ali tidak puas hati.
Perundingan tersebut bukan saja tidak menyelesaikan
konflik, tetapi malah menimbulkan kelompok baru. Kelompok ‘Ali
terpecah menjadi dua; Pertama, yang tetap setia kepadanya,
selanjutnya disebut syiah; Kedua, yang memberontak, keluar
dari kelompok ‘Ali dan berb’Alik menjadi musuhnya, karena tidak
puas dengan keputusan ‘Ali untuk mengikuti perundingan
tersebut. Kelompok ini disebut Khawa>rij. Kelompok ini pada
mulanya memaksa ‘Ali untuk ikut bertahkim, tetapi setelah ‘Ali
menerima tahkim mereka menolaknya; Mereka memakai
semboyan La hukma illa lillah (Tidak ada hukum (keputusan)
melainkan bagi Allah semata).38
Kini kelompok yang bertikai dalam masalah politik menjadi
tiga; kelompok Mua>wiyah, kelompok ‘Ali dan kelompok
Khawa>rij. Kelompok terakhir ini mengkafirkan kelompok
Pertama dan Kedua, mereka menghalalkan darah orang Islam
yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka memerangi
kelompok Pertama dan Kedua, mereka mengirim utusan rahasia
38
Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, (Kairo: Da>r al-Fikr al-
Arabi, 1996) hal. 58
19
untuk membunuh ‘Ali, Muawiyah dan Amru bin Ash. Muawiyah
dan Amr selamat dari pembunuhan, sedangkan ‘Ali terbunuh di
tangan Abdurrahma>n bin Muljam pada 21 Ramadhan 40 H
bertepatan dengan 25 Januari 661 M.39
Setelah fakta tersebut dian’Alisis, maka akan tampak jelas,
bahwa pemberontakan yang terjadi, baik dari kelompok
triumvirate40 maupun kelompok Mu’a>wiyah dilatarbelakangi
tuntutan –atau balas denda ة- atas terbunuhnya Khali>fah
Uthma>m bin ‘Affa>n,
39
S.H. M. Jefri, Origin and Early Development of Shi’a Islam, terj. Meth Kieraha (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1995) h. 137
40
Istilah tersebuh digunakan oleh S. H. M. Jafri untuk menyebut kelompok dari tiga sekawan:
Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah
41
Al-Shahrastani, hal.17.
20
Dengan ungkapan yang lebih spesifik, Abdul Hakim Balba’
menyatakan bahwa permasalahan khila>fah menjadi penyebab utama
perpecahan kaum muslimin pasca meninggalnya Rasu>lulla>h
s}alla>> ‘Alihi wa sallam.42
42
Abdul Hakim Balba’, Adab Al-Mu’tazilah ila> Niha>yati Al-Qarn Al-Ra>bi’ Al-Hijriy (Kairo:
Mathba’ah Al-Risa>lah,1969) h. 12
43
Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) (Jakarta:Rajaw’Ali Pers, 2010) h. 1
44
Ahmad Hanafi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1974) h. 9
21
bertambah atau berkurang45, soal ima>mah, apakah dipilih atau
ditetapkan berdasarkan nash.46 Pembahasan tentang dosa tersebut
berlanjut pada pembahasan pada sumber prilaku: apakah dari manusia
sendiri atau dari Tuhan. Dari perbedaan tersebut lahirlah faham
Fat’Alisme dan Freewill atau yang dikenal dengan istilah ilmu kalam,
dengan aliran Jabbriyah yang mengatakan bahwa semua perbuatan
manusia itu bersumber dari Tuhan dan Qadariyah yang mengatakan
bahwa manusia adalah yang bertanggungjawab sepenuhnya atas
psegala perbuatannya, karena sumber perbuatan tersebut adalah
manusia sendiri. Kemudian muncul juga golongan-golongan lain,
seperti Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Masing-masing aliran mencari
dukungan dari teks-teks al-Qur’an, hadits-hadits dan fatwa-fatwa
daripada ulama terdahulu.47
45
Ibid, h. 10
46
Al-Shahrastani, h. 20
47
Ahmad Hanafi, h. 10
22
adalah bahwa teks al-Qur’an menyediakan pemecahan bagi setiap
problematika dan jawaban bagi setiap pertanyaan.
23
diri pada perjuangan moral dan intelektual. Di Irak mereka memulai
pengembangan kalam dengan pendekatan spekulasi filosofis48. Karena
sebelum Islam daerah ini merupakan kantong filsafat Hellenisme
Rumawi dan aliran keagamaan lainnya.
5. PENUTUP
48
Ibid, h. 11
24
BIBLIOGRAFI
Amin, Ahmad Islam dari Masa ke Masa. Bandung: CV. Rusyda, 1987
http://ypiattauhiid.blogspot.com/2009/11/utsman-dan-’Ali-akar-konflik-
politik-dan.html
Ja’fariyan, Rasul.The History of Ch’Alips . terj. Ana Farida, Nailul Aksa &
Khalid Sitaba, Sejarah Pemikiran Islam: Dari Abu Bakar sampai
Usman. Jakarta: Al-Huda, 2010
K. Hitti, Philip. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010
25
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiah II . Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2006
26