Anda di halaman 1dari 52

MENGAJARKAN DISIPLIN PADA ANAK

Ada beberapa cara untuk mengajarkan disiplin mengerjakan tugas pada


anak,diantaranya:

1. Tunjukkan Bedanya
Ajarkanlah betapa enaknya apabila pekerjaan anak telah diselesaikan
semuanya.katakan bahwa anak Anda lebih mempunyai banyak waktu
untuk bermain dan beristirahat ketimbang mengulur-ngulur waktu
untuk tidak mengerjakan tugasnya.Tunjukkan pula bedanya bahwa
lebih enak apabila anak bisa mengerjakan PR sekolahnya dan
mempersiapkan sendiri buku-buku pelajarannya sehingga tidak ada
barang yang ketinggalan.
Buatlah jadwal kegiatan
Usahakan untuk membuat jadwal kegiatan anak,misalnya jam 09.00
waktu bermain jam sekian untuk belajar.dan dampingilah anak untuk
menjalankan jadwal itu.Biarkanlah anak yang mengatur sendiri agar
anak lebih semangat untuk menjalankan jadwal kegiatan itu.Setelah
itu lakukan evaluasi,yang mana tidak bisa dilakukan oleh anak,yang
mana waktunya terlalu lama dll.lalu lakukan perbaikan

Berikanlah pengingat-pengingat
Sediakanlah fasilitas-fasilitas agar anak mengingat waktu seperti jam
weker alarm dsb.Dengan begitu anak tidak akan lupa.

Berilah Reward (hadiah)


Berikanlah hadiah kesukaan anak supaya anak lebih disiplin dalam
mengerjakan tugas.Jangan lupa beritahu anak bahwa pemberian
hadiah ini bertujuan untuk memberikan motivasi agar anak lebih
disiplin.apabila anak sudah terbiasa berdisiplin
Tidak usah memberikan hadiah lagi.Hadiah bisa diberikan bila ingin
merubah sifat anak yang jelek lainnya.
Selamat mencoba!!!!
Salam sejahtera

Read more: MENGAJARKAN DISIPLIN PADA ANAK


http://lifeiscoin.blogspot.com/2010/03/mengajarkan-disiplin-pada-anak.html#ixzz0zSi6Z1iE
http://www.ceritakecil.com/cerita-dan-dongeng/Burung-Gagak-
dan-Sebuah-Kendi-42
Burung Gagak dan Sebuah Kendi
Aesop

Pada suatu musim yang sangat kering,


dimana saat itu burung-burungpun sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum, seekor
burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air. Tetapi kendi tersebut
merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit. Bagaimanapun burung gagak
tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, dia tetap tidak dapat
mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan meninggal
karena kehausan.
Kemudian tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia lalu mengambil kerikil yang ada di
samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu persatu. Setiap kali burung gagak
itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendipun berangsur-angsur naik
dan bertambah tinggi hingga akhirnya air tersebut dapat di capai oleh sang burung Gagak.
Walaupun sedikit, pengetahuan bisa menolong diri kita pada saat yang tepat.
Semut dan Belalang
Aesop

Pada siang hari di akhir musim gugur,


satu keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang musim panas untuk mengumpulkan
makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum yang telah mereka kumpulkan selama musim
panas. Saat itu seekor belalang yang kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan
memohon dengan sangat agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.
"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan
makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan
sepanjang musim panas?"
"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya
sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."
Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.
"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah
kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut
tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa memperdulikan sang
Belalang lagi.
Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk bermain.
Si Pelit
Aesop

Seorang yang sangat pelit mengubur


emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di tamannya. Setiap hari dia pergi ke
tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu
untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia sangat sering melakukan hal itu
sehingga seorang pencuri yang mengawasinya, dapat menebak apa yang disembunyikan oleh si
Pelit itu dan suatu malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan
membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia
mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Satu orang pengembara kebetulan lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa
saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu! di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya disana? Mengapa emas tersebut
tidak kamu simpan di dalam rumah dimana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu
ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan
emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu."
teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang
harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang
telah hilang!"
Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.
Enam Serdadu
Brothers Grimm

Pada suatu masa ada seorang pria yang hebat, dia telah membaktikan diri pada negara dalam
perang, dan mempunyai keberanian yang luar biasa, tetapi pada akhirnya dia dipecat tanpa alasan
apapun dan hanya memiliki 3 keping uang logam sebagai hartanya.
"Saya tidak akan diam saja melihat hal ini," katanya; "tunggu hingga saya menemukan orang
yang tepat untuk membantu saya, dan raja harus memberikan semua harta dari negaranya
sebelum masalah saya dengan dia selesai."
Kemudian, dengan penuh kemarahan, dia masuk ke dalam hutan, dan melihat satu orang berdiri
disana mencabuti enam buah pohon seolah-olah pohon itu adalah tangkai-tangkai jagung. Dan
dia berkata kepada orang itu,
"Maukah kamu menjadi orangku, dan ikut dengan saya?"
"Baiklah," jawab orang itu; "Saya harus membawa pulang sedikit kayu-kayu ini terlebih
kerumah ayah dan ibuku." Dan mengambil satu persatu pohon tersebut, dan menggabungkannya
dengan 5 pohon yang lain dan memanggulnya di pundak, dia lalu berangkat pergi; segera setelah
dia datang kembali, dia lalu ikut bersama dengan pimpinannya, yang berkata,
"Berdua kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Dan tidak lama mereka berjalan, mereka bertemu dengan satu orang pemburu yang berlutut pada
satu kaki dan dengan hati-hati membidikkan senapannya.
"Pemburu," kata si pemimpin, "apa yang kamu bidik?"
"Dua mil dari sini," jawabnya, "ada seekor lalat yang hinggap pada pohon Oak, Saya bermaksud
untuk menembak mata kiri dari lalat tersebut."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Bertiga kita bisa menghadapi seluruh dunia"
Pemburu tersebut sangat ingin ikut dengannya, jadi mereka semua berangkat bersama hingga
mereka menemukan tujuh kincir angin, yang baling-baling layarnya berputar dengan kencang,
walaupun disana tidak ada angin yang bertiup dari arah manapun, dan tak ada daun-daun yang
bergerak.
"Wah," kata si Pemimpin, "Saya tidak bisa berpikir apa yang menggerakkan kincir angin,
berputar tanpa angin;" dan ketika mereka berjalan sekitar dua mil ke depan, mereka bertemu
dengan seseorang yang duduk diatas sebuah pohon, sedang menutup satu lubang hidungnya dan
meniupkan napasnya melalui lubang hidung yang satu.
"Sekarang," kata si Pemimpin, "Apa yang kamu lakukan diatas sana?"
"Dua mil dari sini," jawab orang itu, "disana ada tujuh kincir angin; saya meniupnya hingga
mereka dapat berputar."
"Oh, ikutlah dengan saya," bujuk si Pemimpin, "Berempat kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi si Peniup turun dan berangkat bersama mereka, dan setelah beberapa saat, mereka bertemu
dengan seseorang yang berdiri diatas satu kaki, dan kaki yang satunya yang dilepas, tergeletak
tidak jauh darinya.
"Kamu terlihat mempunyai cara yang unik saat beristirahat," kata si Pemimpin kepada orang itu.
"Saya adalah seorang pelari," jawabnya, "dan untuk menjaga agar saya tidak bergerak terlalu
cepat Saya telah melepas sebuah kaki saya, Jika saya menggunakan kedua kaki saya, Saya akan
jauh lebih cepat dari pada burung yang terbang."
"Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin, "Berlima kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi mereka akhirnya berangkat bersama, dan tidak lama setelahnya, mereka bertemu dengan
seseorang yang memakai satu topi kecil, dan dia memakainya hanya tepat diatas satu telinganya
saja.
"Bersikaplah yang benar! bersikaplah yang benar!" kata si Pemimpin; "dengan topi seperti itu,
kamu kelihatan seperti orang bodoh."
"Saya tidak berani memakai topi ini dengan lurus," jawabnya lagi, "Jika saya memakainya
dengan lurus, akan terjadi badai salju dan semua burung yang terbang akan membeku dan jatuh
mati dari langit ke tanah."
Oh, ikutlah dengan saya," kata si Pemimpin; "Berenam kita bisa menghadapi seluruh dunia."
Jadi orang yang keenam ikut berangkat bersama hingga mereka mencapai kota dimana raja yang
menyebabkan penderitaannya akan memulai pertandingan dimana siapapun yang jadi pemenang
akan dinikahkan dengan putrinya, tetapi siapapun yang kalah akan dibunuh sebagai
hukumannya. Lalu si Pemimpin maju kedepan dan berkata bahwa satu dari orangnya akan
mewakili dirinya dalam pertandingan tersebut.
"Kalau begitu," kata raja, "hidupnya harus dipertaruhkan, dan jika dia gagal, dia dan kamu harus
dihukum mati."
Ketika si Pemimpin telah setuju, dia memanggil si Pelari, dan memasangkan kakinya yang kedua
pada si Pelari.
"Sekarang, lihat baik-baik," katanya, "dan berjuanglah agar kita menang."
Telah disepakati bahwa siapapun yang paling pertama bisa membawa pulang air dari anak sungai
yang jauh dan telah ditentukan itu akan dianggap sebagai pemenang. Sekarang putri raja dan si
Pelari masing-masing mengambil kendi air, dan mereka mulai berlari pada saat yang sama; tetapi
dalam sekejap, ketika putri raja tersebut berlari agak jauh, si Pelari sudah hilang dari pandangan
karena dia berlari secepat angin. Dalam sekejap dia telah mencapai anak sungai, mengisi
kendinya dengan air dan berlari pulang kembali. Ditengah perjalanan pulang, dia mulai merasa
kelelahan, dan berhenti, menaruh kendinya dilantai dan berbaring di tanah untuk tidur. Agar
dapat terbangun secepatnya dan tidak tertidur pulas, dia mengambil sebuah tulang tengkorak
kuda yang tergeletak didekatnya dan menggunakannya sebagai bantal. Sementara itu, putri raja,
yang sebenarnya juga pelari yang baik dan cukup baik untuk mengalahkan orang biasa, telah
mencapai anak sungai juga, mengisi kendinya dengan air, dan mempercepat larinya pulang
kembali, saat itu dia melihat si Pelari yang telah tertidur di tengah jalan.
"Hari ini adalah milik saya," dia berkata dengan gembira, dan dia mengosongkan dan membuang
air dari kendi si Pelari dan berlari pulang. Sekarang hampir semuanya telah hilang tetapi si
Pemburu yang juga berdiri di atas dinding kastil, dengan matanya yang tajam dapat melihat
semua yang terjadi.
"Kita tidak boleh kalah dari putri raja," katanya, dan dia mengisi senapannya, mulai membidik
dengan teliti dan menembak tengkorak kuda yang dijadikan bantal dibawah kepala si Pelari
tanpa melukai si Pelari. Si Pelari terbangun dan meloncat berdiri, dan melihat banya kendinya
telah kosong dan putri raja sudah jauh berlari pulang ke tempat pertandingan dimulai. Tanpa
kehilangan keberaniannya, dia berlari kembali ke anak sungai, mengisi kendinya kembali dengan
air, dan untuk itu, dia berhasil lari pulang kembali 10 menit sebelum putri raja tiba.
"Lihat," katanya; "ini adalah pertama kalinya saya benar-benar menggunakan kaki saya untuk
berlari"
Raja menjadi jengkel, dan putrinya lebih jengkel lagi, karena dia telah dikalahkan oleh serdadu
biasa yang telah dipecat; adn mereka berdua sepakat untuk menyingkirkan serdadu beserta
pengikutnya bersama-sama.
"Saya punya rencana," jawab sang Raja; "jangan takut tetapi kita harus mendiamkan mereka
selama-lamanya." Kemudian mereka menemui serdadu dan pengikutnya, mengundang mereka
untuk makan dan minum; dan sang Raja memimpin mereka menuju ke sebuah ruangan, yang
lantainya terbuat dari besi, pintunya juga terbuat dari besi, dan di jendelanya terdapat rangka-
rangka besi; dalam ruangan itu ada sebuah meja yang penuh dengan makanan.
"Sekarang, masuklah kedalam dan buatlah dirimu senyaman mungkin," kata sang Raja.
Ketika serdadu dan pengikutnya semua masuk, dia mengunci pintu tersebut dari luar. Dia
kemudian memanggil tukang masak, dan menyuruhnya untuk membuat api yang sangat besar
dibawah ruangan tersebut hingga lantai besi menjadi sangat panas. Dan tukang masak tersebut
melakukan apa yang diperintahkan oleh Raja, dan keenam orang didalamnya mulai merasakan
ruangan menjadi panas, tapi berpikir bahwa itu karena makanan yang mereka makan, seiring
dengan suhu ruangan yang bertambah panas, mreka menyadari bahwa pintu dan jendela telah
dikunci rapat, mereka menyadari rencana jahat sang raja untuk membunuh mereka.
"Bagaimanapun juga, dia tidak akan pernah berhasil," kata laki-laki dengan topi kecil; "Saya
akan membawa badai salju yang akan membuat api merasa malu pada dirinya sendiri dan
merangkak pergi."
Dia lalu memasang topinya lurus diatas kepala, dan secepat itu badai salju datang dan membuat
semua udara panas menjadi hilang dan makanan menjadi beku diatas meja. Setelah satu atau dua
jam berlalu, Raya menyangka bahwa mereka telah terbunuh karena panas, dan menyuruh untuk
membuka kembali pintu ruangan tersebut, dan masuk kedalam untuk melihat keadaan mereka.
Ketika pintu terbuka lebar, mereka berenam ternyata selamat dan terlihat mereka telah siap untuk
keluar untuk menghangatkan diri karena ruangan tersebut terlalu dingin dan menyebabkan
makanan di meja menjadi beku. Dengan penuh kemarahan, raja mendatangi tukang masak,
mencaci dan menanyakan mengapa tukang masak itu tidak melaksanakan apa yang
diperintahkan.
"Ruangan tersebut cukup panas; kamu mungkin bisa melihatnya sendiri," kata tukang masak.
Sang Raja melihat kebawah ruangan besi tersebut dan melihat api yang berkobar-kobar di
bawahnya, dan mulai berpikir bahwa keenam orang itu tidak dapat disingkirkan dengan cara itu.
Dia mulai memikirkan rencana baru, jadi dia memanggil serdadu yang menjadi pemimpin
tersebut dan berkata kepadanya,
"Jika kamu tidak ingin menikahi putri saya dan memilih harta berupa emas, kamu boleh
mengambilnya sebanyak yang kamu mau."
"Baiklah, tuanku Raja," jawab si Pemimpin; "biarkan saya mengambil emas sebanyak yang dapat
dibawa oleh pengikutku, dan saya tidak akan menikahi putrimu." Raja setuju bahwa si Pemimpin
akan datang dalam dua minggu untuk mengambil emas yang dijanjikan. Si Pemimpin memanggil
semua penjahit yang ada di kerajaan tersebut dan menyuruh mereka untuk membuat karung yang
sangat besar dalam dua minggu. Dan ketika karung itu telah siap, orang kuat (yang dijumpai
mencabut dan mengikat pohon) memanggul karung tersebut di pundaknya dan menghadap sang
Raja.
"Siapa orang yang membawa buntalan sebesar rumah di pundaknya ini?" teriak sang Raja,
ketakutan karena memikirkan banyaknya emas yang bisa dibawa pergi. Dan satu ton emas yang
biasanya diseret oleh 16 orang kuat, hanya di panggulnya di pundak dengan satu tangan.
"Mengapa tidak kamu bawa lebih banyak lagi? emas ini hanya menutupi dasar dari kantung ini!"
Jadi raja menyuruh untuk mengisinya perlahan-lahan dengan seluruh kekayaannya, dan
walaupun begitu, kantung tersebut belum terisi setengah penuh.
"Bawa lebih banyak lagi!" teriak si Kuat; "harta-harta ini belum berarti apa-apa!" Kemudian
akhirnya 7000 kereta yang dimuati dengan emas yang dikumpulkan dari seluruh kerajaan
berakhir masuk dalam karungnya.
"Kelihatannya belum terlalu penuh," katanya, "tetapi saya akan membawa apa yang bisa saya
bawa." walaupun dalam karung tersebut masih tersedia ruangan yang kosong.
"Saya harus mengakhirinya sekarang," katanya; "Jika tidak penuh, sepertinya lebih mudah untuk
mengikatnya." Dan orang kuat itu lalu menaikkan karung tersebut dipunggungnya dan berangkat
pergi bersama dengan teman-temannya.

Ketika sang Raja melihat semua kekayaan


dari kerajaanya dibawa oleh hanya satu orang, dia merasa sangat marah, dan dia memerintahkan
pasukannya untuk mengejar keenam orang itu dan merampas kembali karung itu dari si Kuat.
Dua pasukan kuda segera dapat mengejar mereka, memerintahkan keenam orang itu untuk
menyerah dan menjadi tawanan, dan mengembalikan kembali karung harta itu atau dibunuh.
"Menjadi tawanan, katamu?" kata orang yang bisa meniup, "mungkin kalian perlu menari-nari di
udara bersama-sama," dan menutup satu lubang hidungnya, dan meniupkan napas melalui lubang
yang satunya, pasukan tersebut beterbangan melewati atas gunung. Tetapi komandan yang
memiliki sembilan luka dan merupakan orang yang pemberani, memohon agar mereka tidak
dipermalukan. Si Peniup kemudian menurunkannya perlahan-lahan dan memerintahkan agar
mereka melaporkan ke sang Raja bahwa pasukan apapun yang dikirim kan untuk mengejar
mereka, akan mengalami nasib yang sama dengan pasukan ini. Dan ketika sang Raja mendapat
pesan tersebut, berkata,
"Biarkanlah mereka; mereka mempunyai hak atas harta itu." Jadi keenam orang itu membawa
pulang harta mereka, membagi-bagikannya dan hidup senang sampai akhir hayat mereka.
Jack si Pemalas
Flora Annie Steel

Pada suatu masa, hiduplah seorang anak laki-laki yang bernama Jack dan hidup bersama dengan
ibunya. Mereka sangatlah miskin dan ibunya yang sudah tua itu menghidupi mereka dengan
berkerja sebagai penenun, tetapi Jack sendiri adalah anak yang sangat malas dan tidak pernah
mau melakukan apapun selain berjemur di matahari pada hari yang panas, dan duduk di sudut
rumah saat musim dingin. Sehingga dia dipanggil Jack si Pemalas. Ibunya sendiri tidak pernah
dapat membuat Jack melakukan sesuatu untuknya, dan akhirnya suatu hari da berkata kepada
Jack, bahwa apabila dia tidak mulai bekerja dan menghidupi dirinya sendiri, ibunya itu tidak
akan memperdulikan dia lagi.
Hal ini merisaukan Jack, dan dia lalu keluar rumah mencari pekerjaan pada hari berikutnya di
tetangganya yang petani dan berhasil mendapatkan satu penny (mata uang Inggris); tetapi karena
selama ini dia tidak pernah pulang kerumah sambil memegang uang, dia kehilangan uangnya
ketika melewati sebuah sungai.
"Anak bodoh," kata ibunya, "kamu seharusnya menaruh uangmu di kantong."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata Jack si Pemalas.
Hari berikutnya, Jack kembali keluar untuk bekerja pada seorang pembuat roti yang tidak
memberinya apa-apa kecuali seekor kucing yang besar. Jack lalu mengambil kucing tersebut, dan
membawanya dengan hati-hati di tangannya, tetapi kucing tersebut mencakar tangannya
sehingga dia harus melepaskan kucing tersebut yang kemudian lari menghilang.
Ketika dia pulang kerumah, ibunya berkata kepadanya, "Kamu anak yang bodoh, seharusnya
kamu mengikatnya dengan tali dan menariknya untuk mengikutimu."
"Saya akan melakukannya lain kali," kata Jack.
Pada hari berikutnya, Jack keluar dan bekerja pada seorang penjagal, yang memberikan dia
hadiah berupa daging domba yang besar. Jack mengambil daging domba tersebut, mengikatnya
dengan tali, dan menyeretnya di tanah sepanjang jalan, sehingga ketika dia tiba dirumah, daging
domba tersebut telah rusak sama sekali. Ibunya kali ini tidak berkata apa apa kepadanya, dan
pada hari minggu, ibunya mengharuskan dia membawa pulang kubis untuk dimasak nanti.
"Kamu harus membawanya pulang dan memanggulnya di pundakmu."
"Saya akan melakukannya di lain waktu," kata Jack.
Pada hari senin, Jack si Pemalas
bekerja pada seorang penjaga ternak, yang memberikan dia seekor keledai sebagai
upahnya.Walaupun Jack sangat kuat, dia masih merasa kewalahan untuk menggendong keledai
itu di pundaknya, tetapi akhirnya dia memanggul keledai tersebut di pundaknya dan berjalan
pelan ke rumah membawa hadiahnya. Di tengah perjalanan dia berjalan di depan sebuah rumah
dimana rumah tersebut di huni oleh orang kaya dengan seorang anak gadis satu-satunya, seorang
gadis yang sangat cantik, yang tuli dan bisu. Dan gadis tersebut tidak pernah tertawa selama
hidupnya. Dokter pernah berkata bahwa gadis itu tidak akan pernah bisa berbicara sampai
seseorang bisa membuatnya tertawa. Ayahnya yang merasa sedih itu berjanji bahwa dia akan
menikahkan anak gadisnya dengan laki-laki yang bisa membuat anak gadisnya tertawa. Disaat
itu juga sang gadis kebetulan melihat keluar jendela pada saat Jack lewat di depan rumahnya
sambil menggendong keledai di bahunya; dimana keledai tersebut menendang-nendangkan
kakinya ke udara secara liar dan meringkik-ringkik dengan keras. Pemandangan itu begitu lucu
sehingga sang putri tertawa tergelak-gelak dan saat itu juga memperoleh kemampuannya untuk
mendengar dan berbicara. Ayahnya yang begitu bahagia melihat anaknya telah dapat berbicara
dan mendengar, memenuhi janjinya dengan menikahkan anak gadisnya itu dengan Jack si
Pemalas, yang kemudian menjadi orang yang kaya juga. Mereka kemudian tinggal bersama-
sama di sebuah rumah yang besar dengan ibu Jack dan hidup berbahagia hingga akhir hayat
mereka.
Pangeran Kodok
Brothers Grimm

Pada jaman dahulu kala, ketika saat itu dengan mengharapkan sesuatu, hal itu dapat terwujud,
ada seorang Raja yang mempunyai putri-putri yang sangat cantik jelita, dan putrinya yang
termuda begitu cantiknya sehingga matahari sendiri yang melihat kecantikan putri termuda itu
menjadi ragu-ragu untuk bersinar. Di dekat istana tersebut terletak hutan kayu yang gelap dan
rimbun, dan di hutan tersebut, di bawah sebuah pohon tua yang mempunyai daun-daun
berbentuk hati, terletak sebuah sumur; dan ketika cuaca panas, putri Raja yang termuda sering ke
hutan tersebut untuk duduk di tepi sumur yang dingin, dan jika waktu terasa panjang dan
membosankan, dia akan mengeluarkan bola yang terbuat dari emas, melemparkannya ke atas dan
menangkapnya kembali, hal ini menjadi hiburan putri raja untuk melewatkan waktu.
Suatu ketika, bola emas itu dimainkan dan dilempar-lemparkan keatas, bola emas itu tergelincir
dari tangan putri Raja dan terjatuh di tanah dekat sumur lalu terguling masuk ke dalam sumur
tersebut. Mata putri raja hanya bisa memandangi bola tersebut meluncur kedalam sumur yang
dalam, begitu dalamnya hingga dasar sumur tidak kelihatan lagi. Putri raja tersebut mulai
menangis, dan terus menangis seolah-olah tidak ada hyang bisa menghiburnya lagi. Di tengah-
tengah tangisannya dia mendengarkan satu suara yang berkata kepadanya,
"Apa yang membuat kamu begitu sedih, sang Putri? air matamu dapat melelehkan hati yang
terbuat dari batu."
Dan ketika putri raja tersebut melihat darimana sumber suara tersebut berasal, tidak ada
seseorangpun yang kelihatan, hanya seekor kodok yang menjulurkan kepala besarnya yang jelek
keluar dari air.
"Oh, kamukah yang berbicara?" kata sang putri; "Saya menangis karena bola emas saya
tergelincir dan jatuh kedalam sumur."
"Jangan kuatir, jangan menangis," jawab sang kodok, "Saya bisa menolong kamu; tetapi apa
yang bisa kamu berikan kepada saya apabila saya dapat mengambil bola emas tersebut?"
"Apapun yang kamu inginkan," katanya; "pakaian, mutiara dan perhiasan manapun yang kamu
mau, ataupun mahkota emas yang saya pakai ini."
"Pakaian, mutiara, perhiasan dan mahkota emas mu bukanlah untuk saya," jawab sang kodok;
"Bila saja kamu menyukaiku, dan menganggap saya sebagai teman bermain, dan membiarkan
saya duduk di mejamu, dan makan dari piringmu, dan minum dari gelasmu, dan tidur di
ranjangmu, - jika kamu berjanji akan melakukan semua ini, saya akan menyelam ke bawah
sumur dan mengambilkan bola emas tersebut untuk kamu."
"Ya tentu," jawab sang putri raja; "Saya berjanji akan melakukan semua yang kamu minta jika
kamu mau mengambilkan bola emas ku."
Tetapi putri raja tersebut berpikir, "Omong kosong apa yang dikatakan oleh kodok ini! seolah-
olah sang kodok ini bisa melakukan apa yang dimintanya selain berkoak-koak dengan kodok
lain, bagaimana dia bisa menjadi pendamping seseorang."
Tetapi kodok tersebut, begitu mendengar sang putri mengucapkan janjinya, menarik kepalanya
masuk kembali ke dalam ari dan mulai menyelam turu, setelah beberapa saat dia kembali
kepermukaan dengan bola emas pada mulutnya dan melemparkannya ke atas rumput.
Putri raja menjadi sangat senang melihat mainannya kembali, dan dia mengambilnya dengan
cepat dan lari menjauh.
"Berhenti, berhenti!" teriak sang kodok; "bawalah aku pergi juga, saya tidak dapat lari secepat
kamu!"
Tetapi hal itu tidak berguna karena sang putri itu tidak mau mendengarkannya dan mempercepat
larinya pulang ke rumah, dan dengan cepat melupakan kejadian dengan sang kodok, yang masuk
kembali ke dalam sumur.
Hari berikutnya, ketika putri Raja sedang duduk di meja makan dan makan bersama Raja dan
menteri-menterinya di piring emasnya, terdengar suara sesuatu yang meloncat-loncat di tangga,
dan kemudian terdengar suara ketukan di pintu dan sebuah suara yang berkata "Putri raja yang
termuda, biarkanlah saya masuk!"
Putri Raja yang termuda itu kemudian berjalan ke pintu dan membuka pintu tersebut, ketika dia
melihat seekor kodok yang duduk di luar, dia menutup pintu tersebut kembali dengan cepat dan
tergesa-gesa duduk kembali di kursinya dengan perasaan gelisah. Raja yang menyadari
perubahan tersebut berkata,
"Anakku, apa yang kamu takutkan? apakah ada raksasa berdiri di luar pintu dan siap untuk
membawa kamu pergi?"
"Oh.. tidak," jawabnya; "tidak ada raksasa, hanya kodok jelek."
"Dan apa yang kodok itu minta?" tanya sang Raja.
"Oh papa," jawabnya, "ketika saya sedang duduk di sumur kemarin dan bermain dengan bola
emas, bola tersebut tergelincir jatuh ke dalam sumur, dan ketika saya menangis karena
kehilangan bola emas itu, seekor kodok datang dan berjanji untuk mengambilkan bola tersebut
dengan syarat bahwa saya akan membiarkannya menemaniku, tetapi saya berpikir bahwa dia
tidak mungkin meninggalkan air dan mendatangiku; sekarang dia berada di luar pintu, dan ingin
datang kepadaku."
Dan kemudian mereka semua mendengar kembali ketukan kedua di pintu dan berkata,
"Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untuk saya!, Apa yang pernah kamu janjikan kepadaku?
Putri Raja yang termuda, bukalah pintu untukku!"
"Apa yang pernah kamu janjikan harus kamu penuhi," kata sang Raja; "sekarang biarkanlah dia
masuk."
Ketika dia membuka pintu, kodok tersebut melompat masuk, mengikutinya terus hingga putri
tersebut duduk kembali di kursinya. Kemudian dia berhenti dan memohon, "Angkatlah saya
supaya saya bisa duduk denganmu."
Tetapi putri Raja tidak memperdulikan kodok tersebut sampai sang Raja memerintahkannya
kembali. Ketika sang kodok sudah duduk di kursi, dia meminta agar dia dinaikkan di atas meja,
dan disana dia berkata lagi,
"Sekarang bisakah kamu menarik piring makanmu lebih dekat, agar kita bisa makan bersama."
Dan putri Raja tersebut melakukan apa yang diminta oleh sang kodok, tetapi semua dapat
melihat bahwa putri tersebut hanya terpaksa melakukannya.
"Saya merasa cukup sekarang," kata sang kodok pada akhirnya, "dan saya merasa sangat lelah,
kamu harus membawa saya ke kamarmu, saya akan tidur di ranjangmu."
Kemudian putri Raja tersebut mulai menangis membayangkan kodok yang dingin tersebut tidur
di tempat tidurnya yang bersih. Sekarang sang Raja dengan marah berkata kepada putrinya,
"Kamu adalah putri Raja dan apa yang kamu janjikan harus kamu penuhi."
Sekarang putri Raja mengangkat kodok tersebut dengan tangannya, membawanya ke kamarnya
di lantai atas dan menaruhnya di sudut kamar, dan ketika sang putri mulai berbaring untuk tidur,
kodok tersebut datang dan berkata, "Saya sekarang lelah dan ingin tidur seperti kamu, angkatlah
saya keatas ranjangmu, atau saya akan melaporkannya kepada ayahmu."
Putri raja tersebut menjadi sangat marah, mengangkat kodok tersebut keatas dan
melemparkannya ke dinding sambil menangis,
"Diamlah kamu kodok jelek!"
Tetapi ketika kodok tersebut jatuh ke lantai, dia berubah dari kodok menjadi seseorang pangeran
yang sangat tampan. Saat itu juga pangeran tersebut menceritakan semua kejadian yang dialami,
bagaimana seorang penyihir telah membuat kutukan kepada pangeran tersebut, dan tidak ada
yang bisa melepaskan kutukan tersebut kecuali sang putri yang telah di takdirkan untuk bersama-
sama memerintah di kerajaannya.
Dengan persetujuan Raja, mereka berdua
dinikahkan dan saat itu datanglah sebuah kereta kencana yang ditarik oleh delapan ekor kuda dan
diiringi oleh Henry pelayan setia sang Pangeran untuk membawa sang Putri dan sang Pangeran
ke kerajaannya sendiri. Ketika kereta tersebut mulai berjalan membawa keduanya, sang
Pangeran mendengarkan suara seperti ada yang patah di belakang kereta. Saat itu sang Pangeran
langsung berkata kepada Henry pelayan setia, "Henry, roda kereta mungkin patah!", tetapi Henry
menjawab, "Roda kereta tidak patah, hanya ikatan rantai yang mengikat hatiku yang patah,
akhirnya saya bisa terbebas dari ikatan ini".
Ternyata Henry pelayan setia telah mengikat hatinya dengan rantai saat sang Pangeran dikutuk
menjadi kodok agar dapat ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh sang Pangeran, dan
sekarang rantai tersebut telah terputus karena hatinya sangat berbahagia melihat sang Pangeran
terbebas dari kutukan.
Penebang Kayu yang Tidak Tahu Berterimakasih
Mrs. E. B. Mawr

Pada jaman dahulu, di suatu desa, ada seorang penebang kayu yang sangat miskin, sehingga dia
hanya mempunyai sebuah kapak untuk bekerja dan menghidupi anak-anak dan istrinya. Dengan
sangat sulit dia bisa memperoleh enam pence (sejenis mata uang) setiap hari. Dia dan istrinya
harus bekerja membanting tulang dari subuh hingga larut malam agar mereka dapat hidup
dengan tidak kehabisan makanan. Apabila mereka beristirahat, mereka tidak akan mendapatkan
apa-apa.
"Apa yang harus saya lakukan?" katanya, suatu hari, "Saya sekarang sangat lelah, istri dan
anakku tidak memiliki apa-apa untuk dimakan, dan saya sudah tidak sekuat dulu lagi memegang
kapak ini, untuk memperoleh sekerat roti untuk keluargaku. Ah, begitu buruknya nasib bagi
orang miskin, ketika mereka dilahirkan ke dunia ini."
Sementara dia masih berkeluh-kesah, sebuah suara memanggilnya dengan penuh rasa iba: "Apa
yang kamu keluhkan?"
"Bagaimana saya tidak suka mengeluh, apabila saya tidak memiliki makanan?" katanya.
"Pulanglah ke rumahmu," kata suara itu, "galilah tanah di sudut pekaranganmu, dan kamu akan
menemukan harta karun di bawah sebuah dahan yang telah mati.
Ketika penebang kayu ini mendengar hal ini, dia langsung berlutut di tanah, dan berkata: "Tuan,
siapakah nama tuan? siapakah tuan yang begitu baik hati?"
"Namaku Merlin," kata suara itu.
"Ah! Tuan, Tuhan akan memberkahimu apabila kamu datang menolongku dan menyelamatkan
keluargaku dari kemelaratan."
"Pergilah cepat," kata suara itu, "dan dalam satu tahun, kembalilah ke sini, dan berikanlah saya
penjelasan tentang apa saja yang kamu lakukan dengan uang yang kamu temukan di sudut
pekaranganmu."
"Tuan, Saya akan mengunjungimu dalam satu tahu, atau setiap hari, apabila kamu
memerintahkan saya."
Lalu sang penebang kayu pulang ke rumahnya, menggali tanah pada sudut pekarangannya dan
disana dia menemukan harta karun yang telah dijanjikan. Betapa gembiranya mereka sekeluarga
karena telah lepas dari kemiskinan.
Karena tidak ingin tetangganya tahu mengapa mereka tiba-tiba menjadi kaya, dia masih pergi ke
dalam hutan dengan membawa kapak, sehingga seolah-olah dia bekerja keras dan secara
perlahan-lahan terangkat dari kemiskinan menjadi kemakmuran.
Pada akhir tahun, dia pergi ke dalam hutan untuk memenuhi janjinya. Dan suara itu berkata,
"Jadi kamu akhirnya datang!" "Ya Tuan," "Dan bagaimana kamu membelanjakan harta
tersebut?" "Tuan, keluargaku sudah dapat makan makanan yang baik dan berpakaian yang bagus,
dan kami selalu berterima kasih kepadamu setiap hari."
"Keadaan kamu sekarang menjadi lebih baik kalau begitu, tapi katakan padaku, apakah masih
ada hal yang kamu inginkan?" "Ah, ya, Tuan, saya ingin menjadi walikota di tempat saya."
"Baiklah, dalam empat puluh hari kamu akan menjadi walikota."
"Oh, beribu-ribu terima kasih, pelingdungku yang baik."
Pada tahun kedua, penebang kayu yang kaya datang ke hutan dengan baju baru yang sangat baik
dan mengenakan atribut bahwa dia adalah walikota.
"Bapak Merlin," panggilnya, "datanglah dan berbicaralah padaku."
"Saya di sini," kata suara itu, "apa yang kamu harapkan?"
"Seorang pejabat tinggi baru saja meninggal kemarin, dan anak laki-laki saya, dengan
bantuanmu, ingin menggantikannya, Saya meminta kebaikan hatimu."
"Dalam empat puluh hari, hal yang kamu inginkan akan terwujud," kata Merlin.
Begitu pula dalam empat puluh hari, anaknya menjadi pejabat tinggi, dan mereka masih juga
belum puas.
Pada akhir tahun ketiga, penebang kayu tersebut mencari lagi Merlin di hutan, dan dengan suara
yang merendahkan, dia berkata "Merlin, maukah kamu membantu saya?"
"Apa yang kamu kehendaki?" kata suara itu.
"Putriku berharap agar dapat menikah dengan seorang pejabat," katanya. "Harapanmu akan
terwujud," balas Merlin, dan dalam empat puluh hari, anak perempuan penebang kayu itu
menikah dengan seorang pejabat.
Dan begitulah akhirnya waktu terus berlalu, hingga pada akhir tahun keempat, istrinya yang
bijaksana menyuruhnya kembali kesana untuk berterima kasih, tetapi penebang kayu itu
menjawab:"Mengapa saya harus masuk kembali ke hutan itu untuk berbicara dengan mahluk
yang tidak pernah saya lihat? Saya sekarang sangat kaya, mempunyai banyak teman, dan
namaku sangat di hormati semua orang."
"Pergilah sekali lagi," kata istrinya, "Kamu harus memberi dia salam dan berterima kasih atas
segala kebaikannya."
Akhirnya penebang kayu itu dengan menunggangi kudanya, diikuti oleh dua orang pelayan,
masuk ke dalam hutan dan mulai berteriak: "Merlot! Merlot! Saya tidak membutuhkan kamu
lagi, karena sekarang saya cukup kaya." Merlin membalasnya, "Sepertinya kamu lupa saat kamu
masih miskin, tidak cukup makan, dengan hanya berbekal kapak, kamu dengan susah payah
mendapatkan enam pence setiap hari! Saya saya memberikan kamu berkah pertama kali, kamu
berlutut dengan kedua kakimu, dan memanggil saya 'Tuan', setelah berkah kedua, kamu hanya
memanggil saya 'Bapak' dan setelah yang ketiga, kamu memanggilku dengan 'Merlin' saja,
sekarang dengan sombongnya kamu memanggilku 'Merlot'! kamu mungkin berpikir bahwa kamu
sudah sangat kaya dan hidup dengan baik dan tidak memerlukan lagi saya, Mari kita lihat nanti,
selama ini kamu tidak memiliki hati yang baik dan selalu bertindak bodoh, tetaplah menjadi
bodoh, dan tetaplah menjadi miskin seperti saat pertama saya bertemu dengan kamu." Penebang
kayu itu tertawa terbahak-bahak, mengangkat bahunya dan tidak mempercayai apa yang
dikatakan kepadanya.
Dia kembali ke rumahnya, tapi dengan cepat anaknya yang sekarang menjadi pejabat tinggi,
meninggal, putrinya yang menjadi istri seorang pejabat juga menderita sakit keras dan akhirnya
meninggal. Kesialan menimpanya terus menerus dan saat perang pecah, serdadu dari kedua belah
pihak yang berperang, memasuki rumahnya, merampas minuman dan makanan yang ada di
lumbungnya, membakar semua ladangnya, juga rumahnya, hingga dia tidak memiliki uang satu
penny pun.
Ketika tiba masa untuk membayar pajak, dia tidak mempunyai uang di kantongnya, sehingga dia
terpaksa menjual semua ladangnya. "Lihat," kata penebang kayu yang tidak tahu berterimakasih
itu, sambil menangis, "Saya telah kehilangan semua yang saya miliki, uang, ladang, kuda, anak-
anakku! Mengapa saya tidak percaya kepada Merlin? hanya kematian yang belum menjemput
saya, saya sudah tidak tahan dengan penderitaan ini."
"Tidak begitu," kata istrinya yang bijaksana, "Kita harus mulai bekerja keras kembali." "Dengan
apa?" kata penebang kayu, "Kita bahkan sudah tidak memiliki seekor keledaipun untuk bekerja!"
"Dengan apa yang Tuhan berikan kepada kita," kata istrinya lagi.
Tuhan hanya memberikan mereka sebuah keranjang, yang dipinjam dari tetangganya. Dengan
keranjang ini di punggungnya dan kapak di tangannya, dia akhirnya masuk ke hutan untuk
bekerja menebang kayu, mencoba untuk mencari kayu untuk mendapatkan enam pence sehari.
Semenjak itu, dia tidak pernah mendengar suara Merlin lagi.
Seorang Raja dan Nelayan
Hartwell James

Kerajaan yang dialiri oleh sungai Tigris dan


Euphrates pernah di perintah oleh seorang raja yang sangat gemar dan menyukai ikan.
Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung
dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan
pandangan yang penuh selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu
duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar.
Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari
ikan tertentu, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa
perahunya ketepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau
menerima ikan tersebut sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan
memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.
Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang
Raja dan berkata: "Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar
Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas:
"Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan
cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan
yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila
mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas,
dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya."
"Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu
melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang
telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia
membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan
lagi."
Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu
menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik
kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus
memanggil nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini jantan atau
betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan
betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya
dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat
kita sesuaikan dengan baik."
Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan
memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata
adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai
nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?"
Nelayan tersebut menjawab, "Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina." Saat itu sang Raja
tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik, dan untuk menambah kejengkelan sang Rau,
memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada
nelayan tersebut.

Kemudian nelayan itu menyimpan uang tersebut


dalam kantong kulitnya, berterima kasih kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas
bahunya, bergegas pergi, tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah
menjatuhkan satu koin kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia
membungkuk dan memungut koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan
pandangan mata Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.
"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. "Dia
benar-benar menurunkan kantongnya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena
mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan
diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang
membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja dikaruniai umur
panjang."
"Sekali lagi kamu berbicara benar," balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu;
dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. "Apakah kamu ini manusia
atau binatang buas?" Raja bertanya kepadanya. "Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa
harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk
meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain." Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut
untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

Saat itu nelayan tersebut berlutut pada kedua


kakinya dan menangis: "Dengarkanlah hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga
Tuhan memberkahi Tuanku dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba
pungut, tetapi karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan
disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin dengan tidak
sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya. Biarlah sang Raja yang
menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk dicela atau tidak."
Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi
nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia
menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung
yang dimuati dengan uang.
Tiga Orang Wanita Penenun
Brothers Grimm

Dahulu kala ada seorang gadis yang sangat malas dan tidak pernah mau menenun kain, dan
ibunya tidak pernah bisa membujuk gadis tersebut untuk melakukan apa yang harus dilakukan.
Akhirnya ibunya menjadi sangat marah dan kehilangan kesabaran dan mulai memukul anak
gadisnya dengan keras. Pada saat itu Ratu yang kebetulan lewat, berhenti di depan rumah gadis
tersebut karena mendengar gadis itu menangis. Ratu kemudian masuk ke dalam rumah dan
bertanya apa yang terjadi pada gadis itu dan mengapa ibunya memukuli anak gadisnya sampai-
sampai semua orang yang berada di jalan dapat mendengarkan gadis tersebut menangis.
Ibu gadis tersebut menjadi sangat malu untuk mengakui kemalasan anak gadisnya, sehingga dia
berkata,
"Saya tidak bisa menghentikan dia menenun, dia selalu ingin mengerjakannya setiap waktu dan
saya terlalu miskin sehingga tidak bisa menyediakan dia rami - bahan untuk ditenun yang
cukup."
Kemudian Ratu menjawab,
"Saya sangat senang mendengar suara roda alat pemintal, dan saya merasa senang mendengarkan
mereka bersenandung, biarkanlah saya membawa putrimu ke istana, saya mempunyai banyak
rami dan bahan tenung, di sana dia dapat memintal dengan hati gembira."
Ibu gadis tersebut sangat senang mendengarkan tawaran itu, dan Ratu pun kemudian membawa
gadis tersebut bersamanya. Ketika mereka mencapai istana, Ratu memperlihatkan tiga ruangan
yang penuh dengan rami dan bahan tenun yang terbaik yang ada di kerajaannya.
"Sekarang kamu dapat menenun rami ini," Katanya, "dan bila kamu berhasil
menyelesaikannya, kamu akan saya nikahkan dengan putra tertua saya; kamu mungkin miskin
tapi saya tidak akan memperdulikan hal itu, kain yang kamu buat dari rami ini cukup sebagai
emas kawin,"
Gadis itu ketakutan dalam hati, karena dia sama sekali tidak dapat menenun, biarpun dia hidup
seratus tahun dan duduk menenun setiap hari selama hidupnya dari pagi sampai malam. Dan
ketika dia berada sendirian dia mulai menangis, dan duduk selama tiga hari tanpa menyentuh alat
tenun. Pada hari ketiga, Ratu datang, dan ketika dia melihat tidak ada satupun tenunan yang
selesai, dia lalu terkejut; tetapi gadis tersebut beralasan bahwa dia belum bisa mulai menenun
karena dia masih bersedih akibat perpisahan dengan rumah dan ibunya. Alasan itu membuat Ratu
menjadi tenang, tetapi ketika Ratu akan beranjak pergi, dia mengatakan "Besok pekerjaan kamu
harus dimulai."
Ketika gadis itu sendirian lagi, dia tidak dapat berbuat apa apa untuk menolong dirinya sendiri
atau melakukan apapun yang sudah seharusnya dilakukan. Dalam kebingungannya dia cuma
keluar dan menatap keluar jendela. Saat itu dilihatnya tiga orang wanita lewat didepannya, dan
wanita yang pertama memiliki kaki yang lebar dan rata, yang kedua mempunyai bibir yang
tergantung turun sampai ke dagunya, dan yang ketiga memiliki ibu jari tangan yang sangat lebar.
Mereka kemudian berhenti di depan jendela, dan mencoba bertanya apa saja yang gadis itu
inginkan. Gadis itu menjelaskan apa yang dibutuhkannya, dan mereka berjanji akan
membantunya, dan berkata,
"Kamu harus mengundang kami ke pesta pernikahanmu, dan tidak malu karena kehadiran kami,
menyebut kami sebagai sanak keluarga dan sepupumu, dan diperbolehkan duduk satu meja
dengan kamu; jika kamu berjanji akan memenuhi hal ini, kami akan menyelesaikan tenunan
tersebut dalam waktu singkat."
"Saya berjanji sepenuh hati," jawab si gadis; "masuklah dan mulailah sekarang."
Lalu ketiga wanita itu masuk, dan mereka membersihkan sedikit ruangan pada kamar pertama
untuk mereka agar mereka dapat duduk dan menempatkan alat tenun mereka. Wanita yang
pertama menarik keluar benang dan mulai menapakkan kakinya ke tuas yang memutar roda alat
tenun, wanita yang kedua membasahi benang, dan wanita yang ketiga memilin dan
meratakannya dengan ibu jarinya diatas meja, perlahan-lahan gulungan-gulungan benang yang
indah berjatuhan diatas lantai, dan ini menghasilkan tenunan yang sangat indah. Gadis itu
menyembunyikan ketiga wanita penenun itu dari pandangan mata sang Ratu sehingga setiap kali
Ratu berkunjung, sang Ratu hanya melihat dia sendirian bersama tumpukan tenunan yang sangat
indah; dan tidak terhingga pujian-pujian yang diterimanya dari Ratu. Ketika kamar pertama
sudah kosong, mereka mulai menenun di kamar kedua, lalu ke kama ketiga sampai semua rami
telah selesai di tenun. Lalu saat ketiga wanita penenun itu akan pergi, mereka berkata pada sang
Gadis,
"Jangan lupa dengan apa yang kamu janjikan, dan semuanya akan menjadi lebih baik untuk
kamu."
Ketika sang Gadis memperlihatkan pada Ratu ruangan yang telah kosong, dan sejumlah besar
tenunan, Ratu langsung mengatur pernikahan gadis itu dengan putranya yang tertua, dan
mempelai pria itupun sangat senang karena mendapatkan calon istri yang sangat pandai dan
rajin.
"Saya mempunyai tiga orang sepupu," kata Gadis itu, "dan karena mereka sangat baik kepada
saya, Saya tidak akan pernah lupa kepada mereka disaat saya mendapatkan keberuntungan;
bisakah saya mengundang mereka datang ke pesta, dan meminta mereka duduk satu meja dengan
kita?"
Ratu dan putra tertuanya yang akan menjadi calon suami berkata bersamaan,
"Kamu boleh mengundangnya datang, tidak ada alasan bagi kami untuk tidak mengundangnya
kesini,"
Ketika perjamuan dimulai, ketiga wanita penenun tersebut datang tanpa menyembunyikan
keburukan rupa mereka, dan sang Gadis berkata,
"Sepupuku yang baik, selamat datang."
"Oh," kata mempelai pria, "bagaimana kamu bisa mempunyai sanak keluarga yang sangat buruk
rupa?"
Kemudian dia menemui wanita penenun yang pertama dan bertanya kepadanya,
"Bagaimana kamu bisa mempunyai kaki yang begitu lebar dan rata?"
"Saya selalu menapakkan kaki saya pada alat tenun," katanya.
Ketika dia menemui wanita yang kedua dan bertanya,
"Bagaimana kamu bisa mempunyai bibir yang bergantungan sampai ke dagumu?"
"Dengan menjilati benang." katanya,
Dan kemudian dia bertanya kepada wanita yang ketiga,

"Bagaimana kamu bisa


mempunyai ibu jari yang sangat besar dan lebar?"
"Dengan memuntir dan memilin benang," katanya.
Kemudian mempelai pria berkata bahwa semenjak saat itu, sang gadis yang menjadi istrinya ini
harus berhenti untuk menenun dan jangan pernah menyentuh alat tenun lagi.
Dan begitulah akhirnya sang gadis lepas dari pekerjaan menenun yang melelahkan.
Tetap Bisa Cari Solusi

Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam menyebabkan Abu Nawas
diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya. Bagaimana pun ia harus segera
menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang
kata-kata Baginda Raja di telinga Abu Nawas.
"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. la mengenakan jubah putih. la
berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap
tinggal di negeri ini. la harus diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh
kembali ke negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak,
melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang lain."
Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah dan istrinya. Istri
Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan deraian air mata.
Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang dibawanya mulai
menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya dengan kesedihan yang terlalu
mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa
akan segera menotong keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada
seorang teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa rindu yang
menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin lama makin menderu-deru
seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung. Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik
daripada berpikir. Tetapi dengan akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas
dalam hati. Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari
negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang sanggup
melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa melibatkan orang lain.
Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak termasuk larangan
Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, Abu Nawas berangkat
menuju ke negerinya sendiri. Perasaan rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan
yang selama ini melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat
dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desasdesus tentang
kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak bunga yang menyerbu hidung.
Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid. Baginda juga
merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang sama sekali berbeda. Rakyat
gembira melihat Abu Nawas pulang kembali, karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda
Raja gembira mendengar Abu Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti
Abu Nawas tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas pulang ke negerinya.
Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah
perut keledai. Sehingga Abu Nawas terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena
memang tidak bisa dikatakan teiah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak
mengendarai keledai.
(SELESAI)
http://www.dongengkakrico.com/index.php?
option=com_content&view=category&id=66&Itemid=94
Kembali ke Kisah Abu Nawas
Disuatu desa terpencil dipinggiran kota , tinggalah seorang anak laki-laki bersama 6 saudaranya,
kehidupan keluarga ini terlihat sangatlah sederhana, orang tuanya hanya seorang buruh tani,
kakak dan adiknya semua masih bersekolah sementara ibunya hanya seorang ibu rumah tangga
yang hanya mengurusi keluarga. Untuk membantu keuangan keluarganya setiap hari selepas
pulang sekolah , ia pergi kepasar untuk berjualan asongan.
Pada suatu hari saat anak ini sedang menjajakan dagangannya, tiba-tiba ia melihat sebuah
bungkusan kertas koran yang cukup besar , terjatuh dipinggir jalan, lalu diambilnya bungkusan
tersebut, kemudian dibukanya bungkusan itu, namun betapa kaget dan terkejutnya ia, ternyata isi
bungkusan tersebut berisi uang dalam nominal besar.
Tampak diraut wajahnya rasa iba dan bukan kegembiraan, ia tampak kebinggungan, karena ia
yakin uang ini pasti ada yang memilikinya , pada saat itu juga anak ini langsung berinisiatif
untuk mencari sipemilik bungkusan tersebut, sambil mencari-cari sipemiliknya, tiba-tiba seorang
ibu dengan ditemani seorang satpam datang dengan berlinang air mata menghampiri anak kecil
itu , lalu ibu ini berkata “dek, bungkusan itu milik ibu, isi bungkusan itu adalah uang”.
Uang untuk biaya rumah sakit,karena anak ibu baru saja mengalami kecelakan korban tabrak
lari, saat ini anak ibu dalam keadaan kritis dan harus cepat dioperasi karena terjadi pendarahan
otak, kalau tidak cepat ditangani ibu khawatir jiwa anak ibu tidak akan tertolong.
Pagi ini ibu baru saja menjual semua harta yang ibu miliki untuk biaya rumah sakit, Ibu sangat
membutuhkan uang ini untuk menyelamatkan jiwa anak ibu.
Lalu anak kecil tersebut berkata,” benar bu, aku sedang mencari pemilik bungkusan ini, karena
aku yakin pemilik bungkusan ini sangat membutuhkan. “Ini bu !, milik ibu”. setelah itu anak
kecil tersebut langsung berlari pulang , sesampai dirumah ia ceritakan semua kejadian yang baru
saja dialami kepada Ibu nya.
Lalu ibunya berkata , “ Benar anak ku ! “, kamu tidak boleh mengambil barang milik orang lain,
walau pun itu dijalanan , karena barang itu bukan milik kita. Ibu sangat bangga pada mu nak,
walau pun kita miskin , namun kamu KAYA dengan KEBAIKAN dan KEJUJURAN.
Untuk apa kita memiliki kekayaan yang melimpah, sementara kita harus mengorbankan nyawa
orang lain . “Kamu sungguh anak yang baik nak” , ibu sangat bersyukur mempunyai anak seperti
mu.
Hari ini ibu percaya, kamu sudah menyelamatkan satu jiwa melalui kebaikan dan kejujuran mu,
kamu harus jaga terus kejujuranmu , karena kejujuran dapat menyelamatkan banyak orang dan
kejujuran adalah mata uang yang berlaku dimana-mana . “Apa yang bukan milik kita, pantang
untuk kita ambil”.
(“Matamu adalah pelita tubuhmu, Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika
matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu
jangan menjadi gelap. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka
seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya.” )
Pemerah Susu dan Ember nya
Aesop

Seorang wanita pemerah susu telah


memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan
seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat dia berjalan pulang, dia berpikir dan
membayang-bayangkan rencananya kedepan.
"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "akan memberikan
saya banyak cream untuk dibuat. Saya akan membuat mentega yang banyak dari cream itu dan
menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak
telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah
menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya
akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di
pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan
mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!"
Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang dirasanya sangat pandai, dia
menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya
jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu
hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta
kebanggaannya.
Jangan menghitung ayam yang belum menetas.
http://www.ceritaanak.org/index.php?option=com_content&view=article&id=72

Anak Katak yang Sombong dan Anak Lembu

Di tengah padang rumput yang sangat luas, terdapat sebuah kolam yang dihuni oleh berpuluh-
puluh katak. Diantara katak-katak tersebut ada satu anak katak yang bernama Kenthus, dia adalah
anak katak yang paling besar dan kuat. Karena kelebihannya itu, Kenthus menjadi sangat
sombong. Dia merasa kalau tidak ada anak katak lainnya yang dapat mengalahkannya.

Sebenarnya kakak Kenthus sudah sering menasehati agar Kentus tidak bersikap sombong pada
teman-temannya yang lain. Tetapi nasehat kakaknya tersebut tidak pernah dihiraukannya. Hal ini
yang menyebabkan teman-temannya mulai menghindarinya, hingga Kenthus tidak mempunyai
teman bermain lagi.

Pada suatu pagi, Kenthus berlatih melompat di padang rumput. Ketika itu juga ada seekor anak
lembu yang sedang bermain di situ. Sesekali, anak lembu itu mendekati ibunya untuk menyedot
susu. Anak lembu itu gembira sekali, dia berlari-lari sambil sesekali menyenggok rumput yang
segar. Secara tidak sengaja, lidah anak sapi yang dijulurkan terkena tubuh si Kenthus.

"Huh, berani makhluk ini mengusikku," kata Kenthus dengan perasaan marah sambil coba
menjauhi anak lembu itu. Sebenarnya anak lembu itu pula tidak berniat untuk mengganggunya.
Kebetulan pergerakannya sama dengan Kenthus sehingga menyebabkan Khentus menjadi cemas
dan melompat dengan segera untuk menyelamatkan diri.

Sambil terengah-engah, Kenthus sampai di tepi kolam. Melihat Kenthus yang kelihatan sangat
capek, kawan-kawannya nampak sangat heran. "Hai Khentus, mengapa kamu terengah-engah,
mukamu juga kelihatan sangat pucat sekali,” Tanya teman-temannya.

"Tidak ada apa-apa. Aku hanya cemas saja. Lihatlah di tengah padang rumput itu. Aku tidak tahu
makhluk apa itu, tetapi makhluk itu sangat sombong. Makhluk itu hendak menelan aku." Kata
Kenthus..

Kakaknya yang baru tiba di situ menjelaskan. " Makhluk itu anak lembu. sepengetahuan kakak,
anak lembu tidak jahat. Mereka memang biasa dilepaskan di padang rumput ini setiap pagi."

"Tidak jahat? Kenapa kakak bias bilang seperti itu? Saya hampir-hampir ditelannya tadi," kata
Kenthus. "Ah, tidak mungkin. Lembu tidak makan katak atau ikan tetapi hanya rumput." Jelas
kakaknya lagi.

"Saya tidak percaya kakak. Tadi, aku dikejarnnya dan hampir ditendang olehnya." Celah
Kenthus. "Wahai kawan-kawan, aku sebenarnya bisa melawannya dengan mengembungkan
diriku," Kata Kenthus dengan bangga.

" Lawan saja Kenthus! Kamu tentu menang," teriak anak-anak katak beramai-ramai.

"Sudahlah Kenthus. Kamu tidak akan dapat menandingi lembu itu. Perbuatan kamu berbahaya.
Hentikan!" kata Kakak Kenthus berulang kali tetapi Kenthus tidak mempedulikan nasehat
kakaknya. Kenthus terus mengembungkan dirinya, karena dorongan dari teman-temannya.
Sebenarnya, mereka sengaja hendak memberi pelajaran pada Kenthus yang sombong itu.

"Sedikit lagi Kenthus. Teruskan!" Begitulah yang diteriakkan oleh kawan-kawan Kenthus.
Setelah perut Kenthus menggembung dengan sangat besar, tiba-tiba Kenthus jatuh lemas.
Perutnya sangat sakit dan perlahan-lahan dikempiskannya. Melihat keadaan adiknya yang lemas,
kakak Kenthus lalu membantu.

Mujurlah Kenthus tidak apa-apa. Dia sembuh seperti sedia kala tetapi sikapnya telah banyak
berubah. Dia malu dan kesal dengan sikapnya yang sombong.
Berkat kerja keras dan selalu menabung, petani itu akhirnya kaya raya.
Karena tak ingin tetangganya tahu mengenai kekayaannya, seluruh
tabungannya dibelikan emas dan dikuburnya emas itu di sebuah lubang di
belakang rumahnya. Seminggu sekali digalinya lubang itu, dikeluarkan
emasnya, dan diciuminya dengan penuh kebanggaan. Setelah puas, ia
kembali mengubur emasnya.

Pada suatu hari, seorang penjahat melihat perbuatan petani itu.


Malam harinya, penjahat itu mencuri seluruh emas si petani.

Esok harinya petani itu menangis meraung-raung sehingga seluruh


tetangga mengetahui apa yang terjadi. Tak seorang tetangga pun tahu siapa
yang mencuri emasnya. Jangankan soal pencurian, tentang lubang berisi
emas itu saja mereka baru tahu hari itu. Kalau tidak ada pencurian, tak ada
yang tahu bahwa petani itu memiliki emas yang dikubur di belakang
rumahnya. Sebagian orang ikut bersedih atas pencurian itu, sebagian yang
lain mengejek dan menganggap petani itu bodoh.

“Salah sendiri menyimpan emas di rumah. Mengapa tidak dijual saja


dan uangnya dipakai untuk membangun rumah. Biar rumahnya lebih bagus,
tidak reot seperti sekarang. Itulah ganjaran orang kikir. Kalau dimintai
sumbangan, selalu saja jawabannya tidak punya. Sekarang, rasakan
sendiri!”

Tetapi tak seorang pun yang berani terus terang mengejek atau
mengumpat petani yang ditimpa kemalangan itu. Semua ejekan dan
umpatan hanya diucapkan di antara sesama mereka saja, tidak di hadapan
si petani. Hanya seorang lelaki tua miskin yang berani bersikap jujur kepada
petani itu. Lelaki tua itu tinggal tak jauh dari rumah si petani.

“Sudahlah, begini saja. Di lubang bekas emas itu kuburkanlah


sebongkah batu atau apa saja dan berlakulah seperti sebelum kau kecurian.”
Mendengar itu, si petani marah.

“Apa maksudmu? Kau mengejekku, ya? Yang hilang itu emas, bukan
batu. Kau sungguh tetangga yang jahat. Kau memang orang miskin yang
cuma bisa mengubur batu. Aku bisa mengubur emas atau apa saja semauku.
Kini aku kehilangan emas dan kau enak saja menyuruhku mengubur batu.
Kau pikir batu sama dengan emas?!”

Suasana pun gaduh. Orang-orang melerai.

Dengan tenang lelaki tua itu menjawab:

“Apa bedanya emas dan batu? Kalau kau bisa mengubur emas,
seharusnya kau juga bisa mengubur batu. Tahukah kau, dengan mengubur
emas berarti kau telah menjadikan logam mulia itu sebagai barang yang
tidak berharga. Lalu, apa salahnya kau mengubur batu dan berkhayal yang
kau kubur itu adalah emas.”

(Diceritakan kembali oleh: Prih Suharto. Sumber: Sketches for a


Portrait of Vietnamese Culture)
prih_suharto @ yahoo . com
Saudagar
Jerami

Dahulu kala, ada seorang pemuda miskin yang bernama Taro. Ia bekerja untuk ladang orang lain
dan tinggal dilumbung rumah majikannya. Suatu hari, Taro pergi ke kuil untuk berdoa. "Wahai,
Dewa Rahmat! Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak
berkercukupan". "Tolonglah aku agar hidup senang". Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro
pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi
bercahaya, lalu muncul suara. "Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama
kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia."
Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia
sedang menggenggam sebatang jerami. "Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa
jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?", pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan
benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia
menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro
di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada
sebatang ranting. "Wah menarik ya", ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal.
Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. "Aku ingin
mainan itu." Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. "Silakan
ambil", ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya
kepada Taro.

"Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk", ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan
perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. "Maaf,
adakah tempat di dekat sini mata air ?", tanya wanita tadi. "Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh
dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku", kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada
wanita itu. "Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali". Terimalah kain
tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro
berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya.
Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. "Aduh, padahal kita
sedang terburu-buru." Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu.
Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro
memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro
mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan
sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang
tersisa.
Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan
ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani
itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih
petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok
harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang
kudanya.
Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-
barang. "Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat," pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman
rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,"Wah kuda
yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau
ku ganti dengan sawahku ?". "Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap
akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar", kata Taro.
"Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau
tinggal disini untuk menjaganya ?", Tanya si pemilik rumah. "Baik, Terima kasih Tuan". Sejak
saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah
yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.
Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi
julukan "Saudagar Jerami". Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar
putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari
desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai
seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi.
Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Kontribusi dari : Nisa (Setiazuriatinidamai_99 @yahoo. co.id)


Top of Form

Rate vote com_content 59 http://w w w .cerita


Best
Bottom of Form

Di Kerajaan Daha, hiduplah dua orang putri yang sangat cantik jelita. Putri
nan cantik jelita tersebut bernama Candra Kirana dan Dewi Galuh. Kedua
putri Raja tersebut hidup sangat bahagia dan serba kecukupan.
Hingga suatu hari datanglah seorang pangeran yang sangat tampan dari
Kerajaan Kahuripan ke Kerajaan Daha. Pangeran tersebut bernama Raden
Inu Kertapati. Maksud kedatangannya ke Kerajaan Daha adalah untuk
melamar Candra Kirana. Kedatangan Raden Inu Kertapati sangat disambut
baik oleh Raja Kertamarta, dan akhirnya Candra Kirana ditunangkan dengan
Raden Inu Kertapati.
Pertunangan itu ternyata membuat Dewi Galuh merasa iri. Kerena dia
merasa kalau Raden Inu Kertapati lebih cocok untuk dirinya. Oleh karena itu
Dewi Galuh lalu pergi ke rumah Nenek Sihir. Dia meminta agar nenek sihir
itu menyihir Candra Kirana menjadi sesuatu yang menjijikkan dan dijauhkan
dari Raden Inu. Nenek Sihir pun menyetujui permintaan Dewi Galuh, dan
menyihir Candra Kirana menjadi Keong Emas, lalu membuangnya ke sungai.
Suatu hari seorang nenek sedang mencari ikan dengan jala, dan keong emas
terangkut dalam jalanya tersebut. Keong Emas itu lalu dibawanya pulang dan
ditaruh di tempayan. Besoknya nenek itu mencari ikan lagi di sungai, tetapi
tak mendapat ikan seekorpun. Kemudian Nenek tersebut memutuskan untuk
pulang saja, sesampainya di rumah ia sangat kaget sekali, karena di meja
sudah tersedia masakan yang sangat enak-enak. Si nenek bertanya-tanya
pada dirinya sendiri, siapa yang memgirim masakan ini.
Begitu pula hari-hari berikutnya si nenek menjalani kejadian serupa,
keesokan paginya nenek ingin mengintip apa yang terjadi pada saat dia pergi
mencari ikan. Nenek itu lalu berpura-pura pergi ke sungai untuk mencari
ikan seperti biasanya, lalu pergi ke belakang rumah untuk mengintipnya.
Setelah beberapa saat, si nenek sangat terkejut. Karena keong emas yang
ada ditempayan berubah wujud menjadi gadis cantik. Gadis tersebut lalu
memasak dan menyiapkan masakan tersebut di meja. Karena merasa
penasaran, lalu nenek tersebut memberanikan diri untuk menegur putri nan
cantik itu. “Siapakah kamu ini putri cantik, dan dari mana asalmu?”, tanya si
nenek. "Aku adalah putri kerajaan Daha yang disihir menjadi keong emas
oleh nenek sihir utusan saudaraku karena merasa iri kepadaku", kata keong
emas. Setelah menjawab pertanyaan dari nenek, Candra Kirana berubah lagi
menjadi Keong Emas, dan nenek sangat terheran-heran.
Sementara pangeran Inu Kertapati tak mau diam saja ketika tahu candra
kirana menghilang. Iapun mencarinya dengan cara menyamar menjadi
rakyat biasa. Nenek sihirpun akhirnya tahu dan mengubah dirinya menjadi
gagak untuk mencelakakan Raden Inu Kertapati. Raden Inu Kertapati Kaget
sekali melihat burung gagak yang bisa berbicara dan mengetahui tujuannya.
Ia menganggap burung gagak itu sakti dan menurutinya padahal raden Inu
diberikan arah yang salah. Diperjalanan Raden Inu bertemu dengan seorang
kakek yang sedang kelaparan, diberinya kakek itu makan. Ternyata kakek
adalah orang sakti yang baik Ia menolong Raden Inu dari burung gagak itu.
Kakek itu memukul burung gagak dengan tongkatnya, dan burung itu
menjadi asap. Akhirnya Raden Inu diberitahu dimana Candra Kirana berada,
disuruhnya raden itu pergi kedesa dadapan. Setelah berjalan berhari-hari
sampailah ia kedesa Dadapan Ia menghampiri sebuah gubuk yang dilihatnya
untuk meminta seteguk air karena perbekalannya sudah habis. Di gubuk itu
ia sangat terkejut, karena dari balik jendela ia melihat Candra Kirana sedang
memasak. Akhirnya sihir dari nenek sihir pun hilang karena perjumpaan itu.
Akhirnya Raden Inu memboyong tunangannya beserta nenek yang baik hati
tersebut ke istana, dan Candra Kirana menceritakan perbuatan Dewi Galuh
pada Baginda Kertamarta.
Baginda minta maaf kepada Candra Kirana dan sebaliknya. Dewi Galuh lalu
mendapat hukuman yang setimpal. Karena Dewi Galuh merasa takut, maka
dia melarikan diri ke hutan. Akhirnya pernikahan Candra kirana dan Raden
Inu Kertapati pun berlangsung, dan pesta tersebut sangat meriah. Akhirnya
mereka hidup bahagia.
Cerita Rakyat “Keong Emas” ini diceritakan kembali oleh Kak Ghulam
Pramudiana.
Pantang menyerah

Tetap Bisa Cari Solusi


Mimpi buruk yang dialami Baginda Raja Harun Al Rasyid tadi malam
menyebabkan Abu Nawas diusir dari negeri Baghdad. Abu Nawas tidak berdaya.
Bagaimana pun ia harus segera menyingkir meninggalkan negeri Baghdad hanya
karena mimpi. Masih jelas terngiang-ngiang kata-kata Baginda Raja di telinga
Abu Nawas.
"Tadi malam aku bermimpi bertemu dengan seorang laki-laki tua. la
mengenakan jubah putih. la berkata bahwa negerinya akan ditimpa bencana
bila orang yang bernama Abu Nawas masih tetap tinggal di negeri ini. la harus
diusir dari negeri ini sebab orang itu membawa kesialan. ia boleh kembali ke
negerinya dengan sarat tidak boleh dengan berjalan kaki, berlari, merangkak,
melompat-lompat dan menunggang keledai atau binatang tunggangan yang
lain."

Dengan bekal yang diperkirakan cukup Abu Nawas mulai meninggalkan rumah
dan istrinya. Istri Abu Nawas hanya bisa mengiringi kepergian suaminya dengan
deraian air mata.

Sudah dua hari penuh Abu Nawas mengendarai keledainya. Bekal yang
dibawanya mulai menipis. Abu Nawas tidak terlalu meresapi pengusiran dirinya
dengan kesedihan yang terlalu mendalam. Sebaliknya Abu Nawas merasa
bertambah yakin bahwa Tuhan Yang Maha Perkasa akan segera menotong
keluar dari kesulitan yang sedang melilit pikirannya. Bukankah tiada seorang
teman pun yang lebih baik daripada Allah SWT dalam saat-saat seperti itu?
Setelah beberapa hari Abu Nawas berada di negeri orang, ia mulai diserang rasa
rindu yang menyayat-nyayat hatinya yang paling dalam. Rasa rindu itu makin
lama makin menderu-deru seperti dinginnya jamharir. Sulit untuk dibendung.
Memang, tak ada jalan keluar yang lebih baik daripada berpikir. Tetapi dengan
akal apakah ia harus melepaskan diri? Begitu tanya Abu Nawas dalam hati.
Apakah aku akan meminta bantuan orang lain dengan cara menggendongku dari
negeri ini sampai ke istana Baginda? Tidak! Tidak akan ada seorang pun yang
sanggup melakukannya. Aku harus bisa menolong diriku sendiri tanpa
melibatkan orang lain.
Pada hari kesembilanbelas Abu Nawas menemukan cara lain yang tidak
termasuk larangan Baginda Raja Harun Al Rasyid. Setelah segala sesuatunya
dipersiapkan, Abu Nawas berangkat menuju ke negerinya sendiri. Perasaan
rindu dan senang menggumpal menjadi satu. Kerinduan yang selama ini
melecut-lecut semakin menggila karena Abu Nawas tahu sudah semakin dekat
dengan kampung halaman.
Mengetahui Abu Nawas bisa pulang kembali, penduduk negeri gembira. Desasdesus
tentang kembalinya Abu Nawas segara menyebar secepat bau semerbak
bunga yang menyerbu hidung.

Kabar kepulangan Abu Nawas juga sampai ke telinga Baginda Harun Al Rasyid.
Baginda juga merasa gembi mendengar berita itu tetapi dengan alasan yang
sama sekali berbeda. Rakyat gembira melihat Abu Nawas pulang kembali,
karena mereka mencintainya. Sedangkan Baginda Raja gembira mendengar Abu
Nawas pulang kembali karena beliau merasa yakin kali ini pasti Abu Nawas
tidak akan bisa mengelak dari hukuman.
Namun Baginda amat kecewa dan merasa terpukul melihat cara Abu Nawas
pulang ke negerinya. Baginda sama sekali tidak pernah membayangkan kalau
Abu Nawas ternyata bergelayut di bawah perut keledai. Sehingga Abu Nawas
terlepas dari sangsi hukuman yang akan dijatuhkan karena memang tidak bisa
dikatakan teiah melanggar larangan Baginda Raja. Karena Abu Nawas tidak
mengendarai keledai.
Percaya diri
http://dongeng.org/cerpen-2/teman-baik-yang-khianat.html
ing: 8.6/10 (90 votes cast)

Singa dan Kambing


Alkisah, di sebuah hutan belantara ada seekor induk singa yang mati setelah melahirkan
anaknya. Bayi singa yang lemah itu hidup tanpa perlindungan induknya. Beberapa waktu
kemudian serombongan kambing datang melintasi tempat itu. Bayi singa itu menggerakgerakkan
tubuhnya yang lemah. Seekor induk kambing tergerak hatinya. Ia merasa iba melihat anak singa
yang lemah dan hidup sebatang kara. Dan terbitlah nalurinya untuk merawat dan melindungi
bayi singa itu.Sang induk kambing lalu menghampiri bayi singa itu dan membelai dengan penuh
kehangatan dan kasih sayang. Merasakan hangatnya kasih sayang seperti itu, sibayi singa tidak
mau berpisah dengan sang induk kambing. Ia terus mengikuti ke mana saja induk kambing pergi.
Jadilah ia bagian dari keluarga besar rombongan kambing itu. Hari berganti hari, dan anak singa
tumbuh dan besar dalam asuhan induk kambing dan hidup dalam komunitas kambing. Ia
menyusu, makan, minum, bermain bersama anak-anak kambing lainnya.
Tingkah lakunya juga layaknya kambing. Bahkan anak singa yang mulai berani dan besar itu pun
mengeluarkan suara layaknya kambing yaitu mengembik bukan mengaum! la merasa dirinya
adalah kambing, tidak berbeda dengan kambing-kambing lainnya. Ia sama sekali tidak pernah
merasa bahwa dirinya adalah seekor singa.
Suatu hari, terjadi kegaduhan luar biasa. Seekor serigala buas masuk memburu kambing untuk
dimangsa. Kambing-kambing berlarian panik. Semua ketakutan. Induk kambing yang juga
ketakutan meminta anak singa itu untuk menghadapi serigala.
“Kamu singa, cepat hadapi serigala itu! Cukup keluarkan aumanmu yang keras dan serigala itu
pasti lari ketakutan!” Kata induk kambing pada anak singa yang sudah tampak besar dan kekar.
tapi anak singa yang sejak kecil hidup di tengah-tengah komunitas kambing itu justru ikut
ketakutan dan malah berlindung di balik tubuh induk kambing. Ia berteriak sekeras-kerasnya dan
yang keluar dari mulutnya adalah suara embikan. Sama seperti kambing yang lain bukan auman.
Anak singa itu tidak bisa berbuat apa-apa ketika salah satu anak kambing yang tak lain adalah
saudara sesusuannya diterkam dan dibawa lari serigala.
Induk kambing sedih karena salah satu anaknya tewas dimakan serigala. Ia menatap anak singa
dengan perasaan nanar dan marah, “Seharusnya kamu bisa membela kami! Seharusnya kamu
bisa menyelamatkan saudaramu! Seharusnya bisa mengusir serigala yang jahat itu!”
Anak singa itu hanya bisa menunduk. Ia tidak paham dengan maksud perkataan induk kambing.
Ia sendiri merasa takut pada serigala sebagaimana kambing-kambing lain. Anak singa itu merasa
sangat sedih karena ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Hari berikutnya serigala ganas itu datang lagi. Kembali memburu kambing-kambing untuk
disantap. Kali ini induk kambing tertangkap dan telah dicengkeram oleh serigala. Semua
kambing tidak ada yang berani menolong. Anak singa itu tidak kuasa melihat induk kambing
yang telah ia anggap sebagai ibunya dicengkeram serigala. Dengan nekat ia lari dan menyeruduk
serigala itu. Serigala kaget bukan kepalang melihat ada seekor singa di hadapannya. Ia
melepaskan cengkeramannya. Serigala itu gemetar ketakutan! Nyalinya habis! Ia pasrah, ia
merasa hari itu adalah akhir hidupnya!
Dengan kemarahan yang luar biasa anak singa itu berteriak keras, “Emmbiiik!”
Lalu ia mundur ke belakang. Mengambil ancang ancang untuk menyeruduk lagi.
Melihat tingkah anak singa itu, serigala yang ganas dan licik itu langsung tahu bahwa yang ada
di hadapannya adalah singa yang bermental kambing. Tak ada bedanya dengan kambing.
Seketika itu juga ketakutannya hilang. Ia menggeram marah dan siap memangsa kambing
bertubuh singa itu! Atau singa bermental kambing itu!
Saat anak singa itu menerjang dengan menyerudukkan kepalanya layaknya kambing, sang
serigala telah siap dengan kuda-kudanya yang kuat. Dengan sedikit berkelit, serigala itu merobek
wajah anak singa itu dengan cakarnya. Anak singa itu terjerembab dan mengaduh, seperti
kambing mengaduh. Sementara induk kambing menyaksikan peristiwa itu dengan rasa cemas
yang luar biasa. Induk kambing itu heran, kenapa singa yang kekar itu kalah dengan serigala.
Bukankah singa adalah raja hutan?
Tanpa memberi ampun sedikitpun serigala itu menyerang anak singa yang masih mengaduh itu.
Serigala itu siap menghabisi nyawa anak singa itu. Di saat yang kritis itu, induk kambing yang
tidak tega, dengan sekuat tenaga menerjang sang serigala. Sang serigala terpelanting. Anak singa
bangun.
Dan pada saat itu, seekor singa dewasa muncul dengan auman yang dahsyat.
Semua kambing ketakutan dan merapat! Anak singa itu juga ikut takut dan ikut merapat.
Sementara sang serigala langsung lari terbirit-birit. Saat singa dewasa hendak menerkam
kawanan kambing itu, ia terkejut di tengah-tengah kawanan kambing itu ada seekor anak singa.
Beberapa ekor kambing lari, yang lain langsung lari. Anak singa itu langsung ikut lari. Singa itu
masih tertegun. Ia heran kenapa anak singa itu ikut lari mengikuti kambing? Ia mengejar anak
singa itu dan berkata, “Hai kamu jangan lari! Kamu anak singa, bukan kambing! Aku takkan
memangsa anak singa!
Namun anak singa itu terus lari dan lari. Singa dewasa itu terus mengejar. Ia tidak jadi mengejar
kawanan kambing, tapi malah mengejar anak singa. Akhirnya anak singa itu tertangkap. Anak
singa itu ketakutan,
“Jangan bunuh aku, ammpuun!”
“Kau anak singa, bukan anak kambing. Aku tidak membunuh anak singa!”
Dengan meronta-ronta anak singa itu berkata, “Tidak aku anak kambing! Tolong lepaskan aku!”
Anak singa itu meronta dan berteriak keras. Suaranya bukan auman tapi suara embikan, persis
seperti suara kambing.
Sang singa dewasa heran bukan main. Bagaimana mungkin ada anak singa bersuara kambing dan
bermental kambing. Dengan geram ia menyeret anak singa itu ke danau. Ia harus menunjukkan
siapa sebenarnya anak singa itu. Begitu sampai di danau yang jernih airnya, ia meminta anak
singa itu melihat bayangan dirinya sendiri.
Lalu membandingkan dengan singa dewasa.
Begitu melihat bayangan dirinya, anak singa itu terkejut, “Oh, rupa dan bentukku sama dengan
kamu. Sama dengan singa, si raja hutan!”
“Ya, karena kamu sebenarnya anak singa. Bukan anak kambing!” Tegas singa dewasa.
“Jadi aku bukan kambing? Aku adalah seekor singa!”
“Ya kamu adalah seekor singa, raja hutan yang berwibawa dan ditakuti oleh seluruh isi hutan!
Ayo aku ajari bagaimana menjadi seekor raja hutan!” Kata sang singa dewasa.
Singa dewasa lalu mengangkat kepalanya dengan penuh wibawa dan mengaum dengan keras.
Anak singa itu lalu menirukan, dan mengaum dengan keras. Ya mengaum, menggetarkan
seantero hutan. Tak jauh dari situ serigala ganas itu lari semakin kencang, ia ketakutan
mendengar auman anak singa itu.
Anak singa itu kembali berteriak penuh kemenangan, “Aku adalah seekor singa! Raja hutan yang
gagah perkasa!”
Singa dewasa tersenyum bahagia mendengarnya.
please wait...
Rating: 8.1/10 (41 votes cast)

Pada suatu masa, hiduplah Pak Serkah dan keluarganya. Pak Serkah
hanya bekerja sebagai pedagang keliling. Hidupnya serba kecukupan. Dia mempunyai seorang
anak perempuan yang bernama Nana. Barang-barang yang dijualnya ada ember, gayung, tempat
minum, tempat makan, dan lain-lain. Semua barang dagangannya itu dimasukkan-nya kedalam
sebuah gerobak tua pemberian Kakeknya yang sudah meninggal. Itulah hadiah terakhir Pak
Serkah dari Kakeknya.
Pada suatu hari, seperti biasa, Pak Serkah berkeliling menjual dagangannya. Namun, apa yang
terjadi? Dagangan Pak Serkah tidak laku sama sekali. Pak Serkah duduk di taman kota sambil
termenung. “Oh… sungguh malang nasibku ini…”, gumam Pak Serkah dalam hati.
Tiba-tiba seorang Kakek tua yang berwajah mirip sekali dengan Kakek Pak Serkah datang. Dia
berpakaian kumal, penuh tambalan, dan membawa sebuah topi berisi beberapa keping uang
receh. Ternyata dia adalah seorang pengemis.
“Maaf, Pak, jujur, saya ingin membantu. Tapi dagangan saya hari ini tidak laku sama sekali.
Jadi, saya tidak memiliki uang…”, kata Pak Serkah. “Oh… terima kasih,”, kata Pengemis itu,
lalu berbalik arah. “Tunggu dulu, Kek! Tapi Kakek boleh mengambil salah satu dari barang saya
ini. Saya ikhlas, kok!”, ujar Pak Serkah.
Kakek Pengemis itu lalu berbalik arah lagi, lalu mengambil salah satu barang dari gerobak Pak
Serkah. “Terima kasih, Nak! Semoga Allah memberimu balasan yang lebih besar. Tapi ingat,
setelah kau menjadi kaya, sisihkanlah sebagian uangmu dan gunakanlah untuk beramal,”, kata
Pengemis itu.
Pengemis itu pun pergi. Tak berapa lama setelah Pengemis itu pergi, sebuah bus berhenti di situ.
Semua penumpang turun dan mengerubungi Pak Serkah. Ada yang membeli ember, gayung,
topi, dan lain-lain. Semuanya laku terjual. Bahkan tempat minum bocor pun laku.
Pak Serkah melongo. “Bagaimana ini bisa terjadi?”, gumam Pak Serkah bingung. Sudahlah… ini
kan rejeki, rejeki patut disyukuri… Pak Serkah menenangkan diri.
Saat Pak Serkah menengok ke gerobaknya, Pak Serkah melihat tempat makannya dan topi yang
robek pun laku terbeli. Pak Serkah mulai sadar, kalau segala barang yang dimasukkannya ke
dalam gerobak itu pasti akan laku terjual.
Pak Serkah lalu pulang ke rumahnya dengan wajah yang berseri-seri. “Kenapa Bapak terlihat
begitu bahagia, Pak?”, tegur Nana. “Mungkin semua dagangannya laku terjual,”, kata Bu Tiauw,
istri Pak Serkah. “Benarkah, Bapak?”, Tanya Nana. Pak Serkah mengangguk.
Keesokan harinya, Pak Serkah mulai memasukkan barang dagangannya ke dalam gerobak
kesayangannya itu. Dan…. seperti kemarin, semua barang yang ditaruh di situ laku semua!
“Alhamdulillah…”, gumam Pak Serkah bangga.
Semakin lama, Pak Serkah menjadi kaya. Rumah nya yang terbuat dari gedek’ (anyaman),
sekarang sudah dibangun menjadi dinding dari beton, dia sekarang sudah memiliki sawah yang
berhektar-hektar luasnya, kebunnya sangatlah luas, dan dia juga sudah memiliki kios tersendiri.
Semua barang dagangannya ditaruh di gerobak ajaibnya, supaya cepat laku. Semakin lama, Pak
Serkah memang menjadi kaya. Namun, semakin lama, Pak Serkah membagi uangnya menjadi
tiga bagian. Satu itu keperluan keluarga, satu untuk membeli barang dagangan, dan satu untuk
beramal. Pak Serkah semakin lama berpikir kalau semuanya itu adalah kenikmatan yang patut
disyukuri. Tapi, Pak Serkah malah tidak begitu mensyukurinya. Uang yang disisihkannya untuk
beramal kini semakin menipis, bahkan sekarang tidak ada lagi beramal. Dia hanya membagi
uangnya menjadi dua. Satu untuk keluarga, dan satunya lagi untuk membeli barang.
Pak Serkah merasa ingin membeli traktor untuk sawahnya, lalu ingin membangun kolam ikan di
kebun yang harganya mahal, membuat peternakan, dan bahkan, Pak Serkah ingin membeli
sawah lagi!
“Pak… kenapa Bapak sekarang tidak pernah beramal lagi?”, tegur Nana suatu saat, saat mereka
makan malam bersama. “Eeee…. Mmm…. sebenarnya Bapak juga ingin memberi mereka
sedekah, Nak. Bapak jujur….”, kata Pak Serkah. “Kalau begitu, kenapa sekarang Bapak tidak
menyisihkan uang untuk beramal lagi?”, Tanya Bu Tiauw.
“Begini, Bu, semakin lama kebutuhan kita semakin banyak saja. Kalau saja kebutuhan kita tidak
sebanyak ini, Bapak pasti akan bersedekah.”, Pak Serkah memberi alasan. “Ah, itu cuma
alasanmu saja, Pak. Pokoknya, aku ingin kita bersedekah.”, kata Bu Tiauw. “Jangan memaksa,
Bu…”, kata Pak Serkah. “Bapak, kalau Bapak tidak mau beramal, nanti, di akhirat nanti, Bapak
pasti akan dihukum oleh Allah SWT.”, kata Nana.
“Kalian berdua sama saja. Pokoknya aku nggak mau. Aku merasa sekarang kebutuhan kita
semakin bertambah, jadi, uang yang kita butuhkan semakin banyak juga,”, kata Pak Serkah.
“Bapak ngomongnya kok diulang-ulang terus, sih? Kayak kaset rusak aja, deh!”, ledek Nana.
“Gggrrrhhh….. kamu ini anak kecil kok!!!”, marah Pak Serkah.
Pak Serkah tidak peduli dengan apa yang dikatakan Bu Tiauw dan Nana, akhirnya, Pak Serkah
tidak mau beramal. Tidak mau beramal meski hanya sedikit.
Namun, disamping itu, Bu Tiauw dan Nana selalu beramal dan berinfaq. Diam-diam, kadang, Bu
Tiauw mengambil sebagian uang Pak Serkah untuk diinfaqkan. Bu Tiauw dan Nana memang
berhati mulia.
Pada suatu hari, saat Pak Serkah melihat dompetnya, Pak Serkah kebingungan, uang sebesar Rp.
200.000,00 nya hilang. Pak Serkah tidak tahu kalau Bu Tiauw mengambilnya.
“Bu, tadi ada pencuri yang mengubek-ubek dompetku, nggak?”, Tanya Pak Serkah pada Bu
Tiauw. “Nggak ada, kok! Tapi cuma aku dan Nana yang masuk. Dan kami berdua pastinya
bukan pencuri, kan?”, jawab Bu Tiauw, pura-pura tidak tahu.
“Ya Allah…. apakah ini hukumanmu bagi hambamu yang kurang bertaqwa ini?”, gumam Pak
Serkah dalam hati. Mulai dari hari itu juga, Pak Serkah rajin beramal dan berinfaq lagi. Uangnya
dibagi menjadi tiga bagian lagi.
“Bu, apakah Bapak sudah insyaf?”, Tanya Nana suatu saat. “Bukannya insaf Nana… Tapi
Bapak-mu itu sudah menyadari kesalahannya. Jadi, dia berusaha menghapus kesalahannya itu,”,
jelas Bu Tiauw. “Oh…”, kata Nana mengerti.
Tiba-tiba Pak Serkah datang. “Bu… semua amalan sudah saya berikan. Saya sudah meminta
maaf kepada Allah yang maha esa. Sekarang, tidak ada lagi pencuri yang mengambil uangku.
Mungkin Allah sudah mau mengampuniku,”, kata Pak Serkah. “Pak… sebenarnya ini rahsia.
Tapi yang namanya keluarga tidak boleh ada rahasia-rahasiaan.”, kata Bu Tiauw. “Ok!” “Tidak
ada pencuri yang datang. Semuanya aman. Akulah yang mengambilnya untuk beramal. Tapi
maaf kalau aku tidak bilang,”, jelas Bu Tiauw. Hahaha… Mereka bertiga pun tertawa terbahak-
bahak.
“Aku tidak akan sombong lagi, dan kau juga tidak boleh mengambil uang orang tanpa ijin ya,
Bu…”, kata Pak Serkah. “Aku senang Bapak menjadi orang yang baik lagi, Pak…”, kata Bu
Tiauw.
Perlu diketahui, orang yang pelit akan mempersempit rejekinya. Dan suka beramal bukan
membuat orang yang beramal menjadi miskin. Akan tetapi, di akhirat nanti, Allah pasti akan
membalas kebaikan dengan kebaikan. Dan begitu pula sebaliknya.
Dikirim oleh: Donita Keizha Az-Zahra
Kesombongan
please wait...
Rating: 8.7/10 (105 votes cast)
Tersebutlah seekor kera yang tinggal sendiri di atas pohon di dekat sebuah tepian. Kera itu
ditinggalkan kawan-kawannya karena ia sombong dan mementingkan diri sendiri. Dia
menganggap pohon tempat tinggalnya itu miliknya sehingga kera-kera lain tidak diizinkan
tinggal di sana. Tepian mandi itu pun dianggap miliknya.
Ada seekor itik yang selalu pergi ke tepian itu. Dia senang mandi sepuas-puasnya di tepian itu
setelah selesai mencari makan dan kenyang perutnya.
Pada mulanya, kera membiarkan itik itu mandi di tepian. Akan tetapi, ketika dia melihat air di
tepian menjadi keruh setiap itik itu selesai dia pun marah.
“Cis tak tahu malu, mandi di tepian orang lain!” maki kera kepada itik yang baru saja selesai
mandi. “Bercerminlah dirimu yang buruk rupa itu! Patukmu seperti sudu (paruh yang lebar).
Matamu sipit seperti pampijit (kutu busuk)! Sayapmu lebar seperti kajang sebidang (selembar
atap dari dawn nipah)! Jari-jarimu berselaput jadi satu! Enyahlah kau, itik jelek!”
Itik malu dan sakit hati dicemooh seperti itu. Ingin sekali dia menantang kera untuk berkelahi.
Akan tetapi, dia takut dikalahkan kera besar itu. Dia pun menangis sepanjang jalan
menumpahkan kekesalan dan kejengkelannya.
Seekor induk pipit yang sedang memberi makan kepada anak-anaknya terkejut. Dia
melongokkan kepala dari sarangnya yang tinggi di atas pohon.
“Hai itik yang baik, mengapa engkau menangis sepanjang jalan? Beri tahu kepadaku apa
sebabnya. Mungkin aku dapat menolongmu!”
“Kera besar di atas pohon di tepian itu menghinaku!” jawab itik. “Aku malu sekali! Itu sebabnya
aku menangis!” Itik itu menangis kembali seperti tadi.
“Ooo begitu! Apa saja yang dikatakannya?”
Itik menceritakan kembali semua caci maki yang diucapkan kera. Mendengar penjelasan itik,
induk pipit segera berkata, “Berhentilah menangis, itik yang baik! Besok kembalilah ke sana dan
mandilah sepuasmu!”
“Aku takut! Aku malu dimaki kera itu lagi!”
“Jangan takut, itik yang baik! Kalau kera itu memakimu, balaslah! Sebutlah segala
keburukannya!” Induk_pipit pun mengajari itik membalas cemoohan
kera.
“Terima kasih, induk pipit yang baik! Besok aku akan mandi lagi ke tepian dan nasihatmu akan
kuturuti!” Dengan perasaan tenang, itik kembali ke rumah. Kekesalannya agak terhibur dengan
nasihat induk pipit.
“Esok tahu rasa kau, hai kera yang sombong!” katanya dalam hati sambil tersenyum seorang diri.
Keesokan harinya, itik itu mandi sepuas-puasnya di tepian seperti biasa. Bukan main marahnya
kera menyaksikan itik mengeruhkan air di tepian itu lagi.
“Hei, berhenti! Apakah engkau tetap tak punya rasa malu?” jeritnya dari atas dahan.
Itik pura-pura tidak mendengar jeritan itu. Dia terus mandi dan mengepak-ngepakkan sayapnya.
Setelah puas, barulah dia naik ke tebing dan slap pulang ke rumah.
Seperti kemarin, kera kembali mencaci maki sepuas-puasnya. Dengan tenang itik mendengarkan.
Setelah kera puas mengungkapkan keburukan dan kejelekannya, itik pun membalas, “Apakah
engkau merasa cantik? Berkacalah di muka air di tepian itu! Tubuhmu ditumbuhi bulu-bulu
kasar! Kepalamu seperti buah tandui (sejenis kuini/mempelam yang tumbuh di hutan) dilumu
(dimasukkan ke mulut sambil diambil sarinya hingga tersisa biji dan ampasnya). Telapak
tanganmu hitam kotor! Kuku-kukumu ….”
Belum selesai itik membalas caciannya, kera itu segera memotong, “Lancang sekali mulutmu!
Tentu ada binatang lain yang memberi tahu kepada kamu!”
“Tentu saja, hai kera angkuh! Tidak jauh dari sini seekor induk pipit membuat sarang. Dialah
yang mengajariku!”
“Kurang ajar! Aku akan datang ke sarangnya!”
Itik bergegas pulang ke Tumahnya. Dia memberitahu induk pipit tentang niat busuk kera
sombong itu. “Alangkah bodohnya engkau!” kata induk pipit dengan kesai. “Seharusnya tidak
kau sebutkan siapa yang mengajarimu! Rupamu bukan hanya jelek, tetapi engkau pun tolol!”
Belum sempat induk pipit bersiap-siap mengungsi, kera sudah mendatangi sarangnya dan
langsung menerkamnya. Akan tetapi, dengan sigap induk pipit itu terbang. Sayang, anak pipit
tidak sempat dibawa untuk menyelamatkan diri.
Dengan kejengkelan luar biasa kera memasukkan anak pipit itu ke dalam mulutnya. Sarang pipit
diacak-acaknya. Kemudian, dia duduk di atas pohon itu menanti induk pipit kembali ke sarang
untuk menjemput anaknya. Pada saat itulah, induk pipit akan diterkamnya.
Anak pipit sedih berada dalam kegelapan karena kera selalu mengatupkan mulutnya. Kera takut
anak pipit itu terbang. Dalam keadaan itu, anak pipit mengeluh seorang diri. Setiap keluhannya
dijawab kera dengan gumaman.

“Apakah Ibuku sudah datang?”


“Mmm-mmm …!”
“Apakah Ibuku sudah mandi?”
“Mmrn-mmm …!”
“Apakah Bapak dan Ibu sudah tidur?”
“Ha-ha-ha-ha-ha …!”
Kera tidak dapat menahan geli. Dia tertawa mengakak hingga mulutnya terbuka lebar Anak pipit
tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia terbang mencari induknya.
“Kurang ajar!” kera menyumpah sejadi-jadinya.
Dia merasa tertipu. Apalagi anak pipit itu meninggalkan sesuatu di dalam mulutnya. Di daun
lidahnya ada kotoran anak pipit. Kera benar-benar merasa kalah. Bukan saja karena ditinggalkan
anak-beranak itu, melainkan karena mendapat kotoran anak pipit.
Kera marah bukan main. Akal sehatnya hilang. Dia mencari sembilu yang tajam dan kotoran
anak pipit itu bukan dikaisnya dengan sembilu, melainkan lidahnya yang dipotong. Darah pun
tak henti-hentinya mengalir dari Iidahnya. Dia menggelepar-gelepar kesakitan, lalu jatuh dari
dahan dan mati seketika. Tamatlah riwayat kera besar yang sombong itu.
Dua Orang Pengembara dan Seekor Beruang
http://www.ceritakecil.com/cerita-dan-dongeng/Dua-Orang-Pengembara-dan-
Seekor-Beruang-59Aesop

Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-
tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.
Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya,
memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.
Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian,
melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia
sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.
Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang
berbaring. Entah hal ini benar atau tidak, beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat
kepalanya, dan kelihatannya puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebutpun
berjalan pergi.
Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.
"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang
di katakan oleh beruang itu"
"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-
sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang
berada dalam bahaya."
Kemalangan dapat menguji sebuah persahabatan.

Anda mungkin juga menyukai