Disampaikan dalam Workshop Pembinaan dan Pengembangan Karakter Bangsa yang
diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah-Kementerian
Agama RI di Hotel Endah Parahyangan Bandung pada tanggal 5 April 2011.
1
Oleh :
∗
A.Malik Madaniy
Apabila ayat terakhir ini menjelaskan perubahan nasib suatu bangsa dari
nasib baik berlimpah nikmat menjadi bernasib buruk dan jelek, maka ayat yang
disebut pertama menunjuk kepada pengertian yang lebih umum. Nasib suatu
bangsa bisa berubah pula dari buruk atau mundur menjadi baik atau maju
bergantung kepada kemampuan mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka
(ma bi anfusihim).
Perlu dicatat di sini bahwa kedua ayat dimaksud di atas sering disalahpahami
dengan mengartikannya sebagai penegasan bahwa Allah tidak akan merubah nasib
suatu bangsa sehingga bangsa itu sendiri yang merubah nasib mereka. Sepintas
lalu, terjemahan seperti ini tampak sangat menarik dan progresif dalam
menempatkan manusia pada posisi yang sangat strategis, namun di lain pihak
terjemahan ini telah memarginalkan posisi Tuhan dalam mengatur dan menentukan
nasib manusia. Penerjemahan ini relevan untuk aliran teologi Mu’tazilah yang
menempatkan manusia pada posisi yang kuat nyaris tak terbatas, berhadapan
dengan kekuasaan Allah. Manusialah yang menentukan nasibnya sendiri, bukan
Disampaikan dalam Workshop Pembinaan dan Pengembangan Karakter Bangsa yang
diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah-Kementerian
Agama RI di Hotel Endah Parahyangan Bandung pada tanggal 5 April 2011.
2
Allah. Hal ini jelas berbeda dengan aliran teologi Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Sunni)
yang dianut oleh mayoritas umat Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Bagi kaum
Sunni, Tuhanlah yang menentukan dan merubah nasib manusia. Namun hal itu tidak
berarti bahwa manusia tidak punya peran dan kontribusi dalam penentuan dan
perubahan nasib mereka. Peran awal justru datang dari manusianya itu sendiri,
yakni ketika mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka (ma bi anfusihim).
Maka ketika hal itu terjadi, Allah akan mengubah nasib mereka.
Pemahaman kaum Sunni ini telah menempatkan Allah dan manusia secara
proporsional. Allah sebagai Dzat yang Maha Kuasa tetap sebagai penentu mutlak
bagi perubahan nasib manusia, sementara manusia tidak dinafikan peran dan
potensinya dalam mengubah nasib dirinya.
Kesalahan dalam memahami kedua ayat di atas terkait erat dengan ketidak-
cermatan dalam memaknai kalimat ma bi anfusihim. Kalimat ini sering diartikan
sama dengan kalimat ma bi qawmin (apa yang ada pada suatu kaum yakni nasib
mereka). Penyamaan ini tidak dapat dibenarkan, karena ma bi qawmin sangat
berbeda dengan ma bi anfusihim. Yang pertama menunjuk kepada pengertian
keadaan atau nasib suatu bangsa, sedangkan yang kedua menunjuk kepada
pengertian sifat-sifat kejiwaan atau karakter bangsa itu. Andai kata keduanya sama-
sama menunjuk kepada pengertian nasib, pastilah ayat itu berbunyi: hatta
yughayyiruhu bi anfusihim, bukan hatta yughayyiru ma bi anfusihim, seperti yang
termaktub dalam al-Qur’an.
3
dicermati apa yang dimaksud dengan karakter itu dalam bahasa agama (Islam).
Setelah kita maklumi bahwa istilah karakter menunjuk kepada pengertian
seperangkat sifat kejiwaan yang tertanam sedemikian rupa pada diri manusia, yang
menjadi penggeraknya dalam bertingkah laku dalam kehidupan; maka istilah
keagamaan yang paling sesuai dengan istilah itu ialah akhlaq yang merupakan
bentuk jamak (plural) dari kata khuluq. Hujjatul-Islam Abu Hamid al-Ghazali
mendefinisikannya sebagai sifat kejiwaan yang sangat mantap, yang dari sifat
kejiwaan itu muncul perilaku dengan mudah dan spontan, tanpa membutuhkan
pemikiran dan perenungan. 2)
Akhlaq seperti dipahami oleh Al-Ghazali ini sangat sesuai dengan pengertian
karakter, yakni sifat kejiwaan yang telah menjadi sebuah watak pada diri manusia.
Manusia bergerak ke arah kebaikan atau keburukan, sesuai dengan karakter yang
dimiliki. Akhlak dalam pengertian seperti inilah yang oleh penyair Mesir terkemuka,
Ahmad Syawqi Bik disebut sebagai penentu eksis tidaknya suatu bangsa 3). Dalam
ajaran Islam, akhlak menempati kedudukan yang sangat penting dan strategis.
Salah satu sabda Nabi yang sangat popular menyatakan bahwa tujuan beliau diutus
sebagai rasul oleh Allah hanyalah untuk menyempurnakan kesalehan akhlak (shalih
al-akhlaq) atau kemuliaan akhlak (makarim al-akhlaq). 4)
Ada beberapa hal yang layak diperhatikan pada hadits dimaksud, antara lain
bahwa hadits itu menggunakan kata yang menunjukkan arti pembatasan (qashr)
yakni dengan kata innama. Dengan demikian, hadits ini membatasi tujuan diutusnya
nabi hanya pada tujuan untuk membangun akhlak, bukan untuk tujuan yang lain.
Untuk itu, maka perlu pengertian yang komprehensif tentang akhlak ini agar supaya
layak untuk menjadi tumpuan satu-satunya tujuan risalah dan kenabian Muhammad
saw. Pengertian yang komprehensif yang kita maksud ialah akhlak sebagai karakter
dan moralitas. Sebagaimana telah dimaklumi, membangun manusia yang bermoral
dan berkarakter merupakan tujuan akhir dari ajaran Islam.
4
dianggap sebagai orang yang berakhlak mulia. Hal ini disebabkan kemampuan yang
bersangkutan untuk menampilkan diri dengan sopan dan santun dalam etiket
pergaulan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu dari nilai-nilai luhur itu ialah komitmen Islam kepada kedamaian
(salam). Hal ini sangat penting untuk ditekankan, terutama dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbangsa akhir-akhir ini yang banyak diwarnai oleh kerusuhan
dan kekerasan atas nama agama. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa sesuai
dengan namanya yang mengacu kepada kata al-silm dan al-salam, komitmen Islam
kepada perdamaian dan keselamatan, sungguh sangat kuat. Hal itu antara lain
dimanifestasikan dalam syi’ar pergaulan hidup sehari-hari yang berupa ucapan
salam. Dalam ucapan itu terkandung makna yang sangat dalam tentang komitmen
Islam dan muslim terhadap kehidupan yang damai, terlepas dari adanya praktek
yang tidak sejalan dengan nilai luhur tersebut dalam kehidupan umat Islam.
Erat kaitannya dengan dengan prinsip kedamaian ini, terdapat nilai luhur lain
yang melekat kuat dalam ajaran Islam, yakni nilai kasih sayang (rahmah / rahmat).
Dalam surat 21 (al-Anbiya’) : 107 ditegaskan bahwa tujuan diutusnya Muhammad
saw sebagai rasul adalah sebagai rahmat bagi semesta alam. Dengan demikian,
umat Islam sebagai pengikut nabi Muhammad saw memikul tanggung-jawab untuk
menyebarkan rahmat kasih sayang, bukan hanya untuk umat manusia – apalagi
5
dibatasi dengan orang-orang mukmin semata- melainkan juga untuk segenap
makhluk Allah, termasuk flora, fauna dan lingkungan hidup seluruhnya. Oleh
karenanya, kecenderungan sebagian orang Islam untuk mengedepankan kekerasan
apalagi tindakan teror dalam memperjuangkan kebenaran yang mereka yakini,
sangat bertentangan dengan nilai rahmat yang dikembangkan Islam.
Di samping itu, nilai keadilan merupakan nilai yang sangat dijunjung tinggi
dalam Islam. Perintah untuk menegakkan keadilan bertebaran dalam banyak ayat al-
Qur’an dan hadits-hadits nabi. Keadilan yang sering didefinisikan sebagai
menempatkan sesuatu pada tempatnya (wadl’u al-syay-i fi mahallih) memiliki
cakupan yang luas. Setidak-tidaknya keadilan yang sangat dibutuhkan oleh suatu
bangsa ialah keadilan dalam penegakan hukum (law enforcement / iqamat al-hukm)
dan keadilan dalam rekrutmen personalia dalam tugas dan jabatan publik. Tentang
mutlak pentingnya keadilan dalam penegakan hukum bagi suatu bangsa, antara lain
dapat disimak dari pernyataan nabi tentang sebab kehancuran umat-umat terdahulu,
yakni karena mereka diskriminatif dalam penegakan hukum.6)
Di luar ketiga nilai luhur di atas, masih terdapat berbagai nilai luhur Islam
yang lain, seperti kebenaran dan kejujuran yang semakin hari semakin sulit dijumpai
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bahkan sebaliknya,
kebohongan dalam berbagai dimensinya, termasuk kebohongan publik banyak
mewarnai kehidupan masyarakat kita pada waktu-waktu terakhir ini.
Sebagai pengantar diskusi, uraian singkat tentang beberapa nilai pokok Islam
di atas dirasa sudah cukup untuk memancing pengungkapan nilai-nilai luhur yang
lain. Hal ini mungkin saja berlangsung dalam diskusi kita kali ini, di samping bisa
pula dalam kesempatan yang lain. Wallahul-Muwaffiq wa Huwal-Musta’an.
6
-----
Catatan Akhir
5) ‘Abd al-‘Aziz al-Khuli, al-Adab al-Nabawi, Beirut: Dar al-Fikr, t.t., hal. 209 (H.R.
Muslim, Abu Dawud dan al-Tarmidzi dari Abu Hurairah).
7) Taqi al-Din ibn Taimiyyah, al-Siyasah al-Syar’iyyah, Cairo : Dar al-Kitab al-‘Arobi,
1969, hal.11 (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).