Anda di halaman 1dari 18

1

Pokok-Pokok Pikiran Pemantapan Sistim Penyuluhan di Jawa


Timur1)

Oleh : Prof. Dr. Ratya Anindita2)

Perubahan Paradigma Peranan Pembangunan Pertanian

Doktrin yang menyatakan bahwa peranan sektor pertanian terhadap


pertumbuhan ekonomi yang rendah merupakan akibat dari rate of return
sektor pertanian yang lebih rendah dibanding sektor non pertanian
ternyata tidak benar. Hasil penelitian di Negara OECD menemukan bahwa
selama tahun 1960-1990 sektor pertanian mempunyai pertumbuhan
ekonomi rata-rata sebesar 4.3% dan sektor non pertanian rata-rata hanya
sebesar 2.6%.

Hasil penelitian terakhir menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi


sektor pertanian tidak hanya mengurangi kemiskinan di perdesaan secara
lebih efektif, tetapi juga kemiskinan di perkotaan. Sektor non pertanian
ternyata tidak mempunyai efek distribusi sehingga tidak mampu
mengurangi kemiskinan di perkotaan.

Hasil penelitian di 35 negara menghasilkan bahwa pertumbuhan ekonomi


sektor pertanian sebesar 1% dapat menyumbangkan pertumbuhan
ekonomi total sebesar 1.63%, sedangkan sektor non pertanian hanya
sebesar 1,13%. Dengan demikian, sektor pertanian dapat dikatakan
mempunyai efek pengganda yang relatif besar.

Selama ini dalam berbagai analisis ekonomi dan kebijakan, perhitungan


peranan sektor pertanian tidak pernah memasukkan peranan sektor
terkait, seperti pemasaran, sektor input dan agro industri. Apabila sektor
yang terkait dengan sektor pertanian tersebut diperhitungkan, maka
peranan sektor pertanian akan menjadi relatif besar yaitu sekitar 35-45%.

Berdasarkan berbagai hasil penelitian di atas, para ahli dari World Bank
dan FAO menyarankan perlu untuk melakukan re-thingking terhadap
peranan dan strategi pembangunan pertanian karena umumnya
pemerintah di negara berkembang termasuk Indonesia melakukan
kebijakan yang diskriminatif terhadap sektor pertanian.

Teori Pertumbuhan Ekonomi

1
Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Penyuluhan di Kabupaten Malang, 4
Desember 2010
2
- Ketua Komisi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Propinsi Jawa Timur
- Guru besar Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
2

Sesuai dengan Teori Pertumbuhan ekonomi (Solow Model),


pertumbuhan ekonomi dapat terjadi apabila ada peningkatan Y (output).
Pada persamaan (1), Y(output) dapat meningkat apabila ada terjadi
perubahan positif terhadap tehnologi karena perubahan modal dan
tenaga kerja hanya mampu meningkatkan level produksi, sperti disajikan
dengan model fungsi produksi yaitu:

Y = A* f(K,L) ………………(1)

Dimana : A = Tehnologi
K = Modal
L = jumlah tenaga kerja
Y = output/hasil produksi

Model lain dari teori pertumbuhan dapat disajikan sbb:

Y = f(K, AL) …………………(2)

Dimana : K = Modal
AL = human capital (tenaga kerja + tehnologi)
Y = output/hasil produksi

Pada model persamaan (2) menunjukkan bahwa semakin tinggi AL


akan meningkatkan produktifitas tenaga kerja pada akhirnya Y (output)
dapat meningkat.
Oleh sebab itu, secara teori (pendekatan yang sesuai dengan
kenyataan) bahwa pertumbuhan ekonomi terutama di sektor pertanian
dapat tercapai apabila ada transfer tehnologi dan informasi kepada petani
yang pada akhirnya akan meningkatkan produksi ataupun
produktifitas`tenaga kerja. Tanpa ada perubahan tehnologi atau transfer
tehnologi yang dilakukan penyuluh maka peningkatan pertumbuhan
ekonomi (produksi) di sektor pertamian hanya mampu meningkatkan
level produksi di sekitar fungsi produksi.

Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup besar di sektor


pertanian, pemerintah perlu melakukan berbagai kebijakan di sektor
pertanian yaitu: kebijakan pemantapan sistim penyuluhan, kebijakan
manajemen sumberdaya air (irigasi), kebijakan perkreditan, kebijakan
teknologi dan lain-lain. Kebijakan sistim penyuluhan yang tepat, terutama
kelembagaan di tingkat regional karena dengan kondisi pemerintahan
yang bersifat desentralisasi, pemerintah daerah dianggap lebih mampu
menangani penyuluhan, merupakan kebijakan paling utama yang dapat
mempercepat transfer teknologi yang pada akhirnya akan mampu
memacu pertumbuhan ekonomi di sektor pertanian.

Pandangan Para Ahli Tentang Perubahan Sistim Penyuluhan

Perkembangan model penyuluhan pertanian


3

Model penyuluhan pertanian saat ini menjadi agenda


pembangunan. Menurut Eicher (2007) hal ini diakibatkan kegagalam
model penyuluhan Training & Visiting (Latihan dan Kunjungan/Laku) di
Asia dan Afrika pada akhir tahun 80an dan awal tahun 90 an yang
kemudian menjadi debat perlunya reformasi sistim penyuluhan dan
munculnya model baru penyuluhan yaitu Farmer Field Schools (Sekolah
Lapang).
Pada saat ini, reformasi penyuluhan di berbagai Negara termasuk di
Indonesia terus dilakukan karena pentingnya peranan penyuluhan dalam
pembangunan pertanian dan menolong petani kecil dalam memperbaiki
produksi dan tingkat kehiduoannya (Eicher, 2007).
Pada awalnya, sistem informasi pengetahuan di sektor pertanian
menunjukkan hubungan yang sederhana dan searah di antara pelaku
yang terlibat di dalamnya yaitu peneliti, petani, sektor swasta, lembaga
non pemerintah, perguruan tinggi dan penyuluh seperti yang ditunjukkan
di Gambar 1. Sistim ini mungkin sesuai dengan kondisi dan permasalahan
sektor pertanian pada waktu itu yang relatif tidak kompleks seperti
kondisi dan permasalahan sektor pertanian saat ini.
Namun, paradigma AKIS sudah dikritik oleh karena visi nya yang
linier dalam mentransfer teknologi ke petani berskala besar namun
mengabaikan petani-petani yang terbatas lahan dan sumber dayanya,
tidak memperhatikan masalah petani serta prioritas pemerintah dan
peneliti perguruan tinggi. Oleh karena itu, debat konseptual sekarang
telah bergeser dari paradigma AKIS ke sistem inovasi pertanian.
Paradigma yang baru ini menekankan pada pentingnya inovasi dalam
pembangunan sektor pertanian yang berarti menunjukkan pentingnya
peran penelitian di bidang pertanian.
Di India, sejak pertanian menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah, SAU (State Agricultural University) saat ini memperoleh 80 %
dana dari pemerintah daerah dan 20 % dari pemerintah pusat melalui
Dewan Penelitian Pertanian India.
4

Gambar 1. Sistem Informasi dan Pengetahuan Pertanian ( AKIS =


Agriculture Knowledge Information System)

Enam Model Penyuluhan Pertanian


Saat ini, ada enam model dasar penyuluhan pertanian dalam berbagai
tahap pembangunan dan implementasinya di negara yang sedang
berkembang. Selain mencoba untuk mengidentifikasi model penyuluhan
yang paling sesuai untuk negara-negara tertentu, terdapat fakta bahwa
model-model tersebut saat ini banyak digunakan di sebagian besar
negara-negara di Asia dan Afrika (Davis 2006; Birner and Anderson 2007
and Birner et al 2006). Hampir di setiap negara yang sedang berkembang
saat ini memiliki perusahaan pemerintah, NGO dan swasta (misalnya
penyalur bibit dan pupuk) yang memberikan bimbingan penyuluhan
kepada petani penggarap. Berikut ini penjelasan mengenai enam model
penyuluhan yang digunakan di negara-negara sedang berkembang.

1) The national public extension model secara historis merupakan


model penyuluhan paling dominan di seluruh dunia dan biasanya
merupakan lembaga kunci di dalam dan bertanggung jawab kepada
Kementerian Pertanian. Di Amerika Serikat, penyuluhan publik
ditempatkan di dalam State Land Grant Universities. Biaya transaksi
5

model Land Grant relatif rendah karena satu administratur yaitu


Dekan Fakultas Pertanian bertanggung jawab atas koordinasi dan
manajemen 3 (tiga) lembaga terkait: penelitian pertanian,
penyuluhan dan pendidikan pertanian lanjutan. Meskipun model
SAU India didasarkan pada Land Grant Model dari Amerika Serikat,
SAU bertanggung jawab kepada departemen pertanian di masimg-
masing wilayah dan dewan penelitian pertanian India.

2) The commodity extension and research model diperkenalkan


oleh penguasa kolonial di Malaysia, Mali dan koloni lainnya yang
mengekspor kapas, minyak goreng dan lain-lain (Ruttan 1982;
Eicher 1989). Model ini menggabungkan penelitian dan penyuluhan
dan model ini tetap digunakan di banyak negara hingga saat ini. Di
Mali, sebagai contoh, petani penggarap kapas dilayani oleh sistem
penelitian dan penyuluhan kapas yang dibiayai sendiri (swadaya)
sementara model penyuluhan publik melayani petani-petani di luar
zona kapas.

3) The Training and Visit (T&V) extension model (Latihan dan


Kunjungan) dikenal di Turki pada awal tahun 70-an dan kemudian
menyebar ke India dan seluruh Afrika dengan biaya Bank Dunia
pada akhir tahun 70-an hingga 80-an. Model T&V telah terbukti
tidak dapat berlanjut secara finansial (Anderson, Feder and Ganguly
2006). Meskipun demikian, beberapa negara (misalnya Zambia and
Mali) saat ini masih menggunakan program penyuluhan T&V yang
dimodifikasi. Indonesia baru saha memodifikasi model Laku (Latihan
dan Kunjungan) ini

4) The NGO extension model. Pada tahun 90-an, banyak lembaga


non pemerintah (NGO) yang berubah arah dari pemberi bantuan
pangan dan bantuan kemanusiaan menjadi “agen pembangunan”.
NGO membuat proyek pengembangan pangan dan di banyak
negara Afrika pada tahun 1990 yang pada awalnya dibiayai oleh
negara donor bilateral. Sebagai contoh, di Mozambique pada tahun
2005, NGO mempekerjakan 840 penyuluh yang relatif lebih banyak
jumlahnya dibandingkan dengan 770 penyuluh publik (Gemo, Eicher
and Teclemariam, 2005).
5) The private extension model sedang berkembang di negara-
negara industri seperti Belanda, Selandia Baru, Amerika Serikat dan
baru-baru ini berkembang di beberapa negara dengan pendapatan
menengah seperti Chili serta negara-negara berpendapatan rendah
seperti Uganda. Dengan private model, petani diharapkan untuk
membayar sebagian dari biaya penyuluhan dengan harapan bahwa
6

pengeluaran publik (pemerintah) untuk penyuluhan akan berkurang


(Anderson and Crowder 2000). Tetapi ada sedikit bukti hingga saat
ini bahwa petani kecil dapat “buy their way out of poverty” dengan
membayar bimbingan penyuluhan. Beberapa peneliti
mendokumentasikan privatisasi penyuluhan di Uganda tetapi
penilaian tetap ditekankan pada ketersediaan keuangan untuk
private extension (Anderson 2007). Di Indonesia, privatisasi
penyuluhan tidak mungkin dilakukan secara total karena sebagian
besar petani mempunyai skala usaha kecil.

6) The Farmer Field School (FFS) approach (model). Model ini


muncul di Asia pada tahun 1980-an ketika petugas penyuluhan
memberikan bimbingan kepada petani tentang penggunaan IPM
(Integrated Pest Management) untuk mengontrol hama di area padi
yang ditanam secara monokultur di Pilipina dan Indonesia (Feder,
Murgai and Quizon 2004a; Gallagher et al. 2006). Model ini sangat
efektif menurunkan hama hingga lebih dari 80 % dalam usahatani di
kedua negara ini. Model FFS saat ini digunakan oleh sekitar 50
negara yang sedang berkembang. Tetapi peralatan petani bagi
suatu sekolah lapang dilaporkan membatasi keberhasilan
penyebaran teknologi baru ke petani lainnya. Dengan demikian
dapat dijelaskan mengapa ada suatu kebutuhan untuk riset
berkaitan dengan isu-isu berikut ini: Apakah sekolah lapang (field
school) meningkatkan pengetahuan petani dalam jangka pendek,
menengah atau panjang? Apakah peningkatan pengetahuan petani
yang diperoleh dari sekolah ini mengarah pada meningkatnya hasil
panen dan produktivitas pertanian? Mengapa menyebarnya
teknologi dari petani-petani yang mengikuti sekolah lapang ke
petani-petani yang berdekatan sangat terbatas? Akhirnya, apakah
model ini dapat terus berlangsung masih diperhitungkan secara
finansial?
Sekarang kita beralih kembali ke bahasan tentang muncul dan
hilangnya model penyuluhan T&V dan perkembangan dari model Farmer
Field School yang kini sedang diterapkan di tingkat daerah dan nasional di
50 sampai 70 negara sedang berkembang. Kita juga akan menyoroti
munculnya model penyuluhan ATMA yang sedang berkembang dengan
cepat di India dan menafsirkan peran China yang baru di dalam
penyuluhan pertanian di Afrika.
Umumnya, T&V Sistem gagal untuk diterapkan dalam skala yang
lebih luas karena berbagai permasalahan yang menyertainya. Beberapa
permasalahan tersebut di antaranya :
7

1. Sistim T&V adalah rigid, top-down dan kebutuhan-kebutuhan petani


dari basis sumber daya yang berbeda tidak dipertimbangkan dengan
seksama,
2. Keikutsertaan petani dalam pengambilan keputusan dalam aktivitas
penyuluhan pengelolaan usaha tani merupakan suatu mata rantai yang
hilang,
3. Demonstrasi lapang diabaikan dalam rangka menyampaikan pesan
kepada petani. Demonstrasi-demonstrasi didasarkan pada fokus yang
parsial dari sistem usaha tani,
4. Kebutuhan petani dengan sumber daya terbatas (miskin) tidak
memperhatikan pada ketersediaan kebutuhan primer dan kebutuhan
dasar serta resource endowment tertentu,
5. Keterkaitan antara riset dan penyuluhan tidak diperbaiki seperti
yang diharapkan, dan
6. Transfer teknologi ke kontak tani tidak memberikan dampak kepada
petani lainnya.

Sistem penyuluhan T&V merupakan suatu public good karena


adanya kecenderungan menurunnya dana yang tersedia untuk jasa
penyuluhan publik, NGO dan pihak swasta dalam rangka memberikan
layanan kepada petani. Oleh karena itu peran pihak ketiga (organisasi
petani/profesional) menjadi fokus perhatian sehingga pengguna teknologi
dapat menerima tanggung jawab yang lebih besar dalam inovasi dan
transfer teknologi. Akibatnya peran sektor publik akan semakin meningkat
dengan makin terkonsentrasinya pada penyusunan kebijakan dan
kegiatan pengatur.

Penyuluhan merupakan barang publik


Ekonomi kesejahteraan menyediakan suatu alat yang canggih untuk
memahami tentang ekonomi insentif oleh berbagai agen yang
menyediakan jasa penyuluhan. Berdasarkan prinsip excludability dan
rivalry, berbagai tipe jasa penyuluhan dapat diklasifikasikan sebagai
barang publik, barang private, barang toll atau common pool goods.
Excludability terjadi ketika petani tidak bersedia membayar untuk jasa
penyuluhan, dapat dikeluarkan dari manfaatnya, misalnya advis kegiatan
usahatani tertentu. Rivalry terjadi ketika seorang petani dalam
memperoleh advis tersebut mengurangi kesempatan petani lain, misalnya
advis tentang teknologi usahatani komersial. Jasa lain dikatakan toll
goods bila dicirikan oleh tingginya excludability dan rendahnya rivalry
atau common pool good yang ditunjukkan dengan rendahnya
excludability dan tingginya rivalry.
Oleh sebab itu, ada pembedaan materi penyuluhan yang diberikan
kepada petani apabila penyuluhan adalah barang publik. Penyuluhan
8

sebagai barang public berarti bahwa semua petani mampu mengakses


dengan baik tanpa ada diskrimansi.

Model Penyuluhan Baru


Model penyuluhan di era reformasi dikembangkan dengan model
ATMA (Agricultural Technology Management Agency Model).

Gambar 2. Struktur Organisasi Agricultural Technology


Management Agency

Salah satu kritik-kritik tentang sistem penyuluhan publik nasional


adalah bahwa mereka sangat bersifat sentralisasi dan mereka
menghalangi umpan balik dari klien-klien ke spesialis-spesialis
penyuluhan, peneliti-peneliti, pembuat kebijaksanaan dan donatur.
Desentralisasi penyuluhan ke pemerintah-pemerintah lokal dikembangkan
dengan cepat di banyak negara-negara Amerika Latin pada tahun 1980 an
dan 1990 an. Desentralisasi kini sedang berlangsung di Asia. Di India,
desentralisasi sedang berusaha dicapai melalui suatu model penyuluhan
baru yaitu Agricultural Technology Management Agency Model (ATMA),
suatu organisasi otonomi yang pada awalnya disiapkan pada akhir tahun
9

1990 an dengan dukungan Bank Dunia (Singh, Swanson dan Singh 2006).
ATMA model (Gambar 2) mengkombinasikan desentralisasi dengan fokus
pada diversifikasi pertanian dan meningkatkan pendapatan usahatani dan
tenaga kerja.
Sistim penyuluhan yang efektif telah berubah karena informasi yang
diperoleh petani tidak selalu berasal dari penyuluh (lihat di lampiran)
sehingga design system penyuluhan perlu diatur sedemikian rupa dapat
semakin efektif.
Pengetahuan penyuluhan sebagai informasi diwujudkan sebagai
input atau peralatan (misalnya peralatan usahatani atau bibit) atau
informasi pertanian murni.
ATMA (Argicultural Technology Management Agency) memastikan
terjadinya diseminasi teknologi melalui desentralisasi fiskal dan
administratif serta koordinasi antar departemen dengan bekerja sama
dengan administrasi daerah, departemen lini, NGO, dan perwakilan petani
lokal. Perwakilan stakeholder dipimpin oleh suatu lembaga pemerintah,
yang menerapkan aktivitas penyuluhan menurut suatu rencana
penyuluhan yang strategis untuk diseminasi teknologi (Gambar 2). Untuk
meningkatkan capaian jasa penyuluhan yang melebih target, ATMA
mendorong partnerships dengan penyedia jasa sektor swasta dan sektor
ketiga di tingkat daerah dan tingkat di bawahnya.
Diseminasi teknologi di tingkat daerah, blok dan desa dilembagakan
dalam ATMA. ATMA merupakan lembaga otonomi yang mengelola
diseminasi teknologi, memfasilitasi desentralisasi perencanaan dan
implementasi, dan mempromosikan koordinasi antar departemen dan
demand-driven service provision di tingkat daerah, blok dan desa melalui
kerja sama dengan lembaga administrasi daerah, departemen lini, NGO,
perwakilan petani lokal. Sebagai lembaga otonomi, ATMA mempunyai
keleluasan atas anggarannya sehingga fleksibel untuk bereaksi terhadap
perubahan lingkungan dan teknologi. Di tingkat daerah, ATMA didukung
oleh lembaga pemerintah dan komite manajemen. Dalam kerangka
fungsional, lembaga pemerintah mengidentifikasi program-program dan
prosedur-prosedur kegiatan riset dan penyuluhan untuk tingkat daerah,
mereview kemajuan dan fungsi ATMA, dan menyetujui Rencana Riset dan
Penyuluhan Strategis. Komite manajemen mengimplementasikan program
riset dan penyuluhan tingkat daerah serta melakukan participatory rural
appraisals untuk mengidentifikasi masalah dalam menerapkan Rencana
Riset dan Penyuluhan Strategis. Di tingkat blok, program
diimplementasikan melalui Farm Information and Advisory Center (FIAC).
Lembaga ini merupakan lembaga operasional dari ATMA dan
dioperasikan melalui Block Technology Team dari penyuluh teknis dan
Farmer Advisory Committee (FAC). FAC melembagakan suatu platform
yang mendorong interaksi di antara seluruh stakeholders kunci (termasuk
10

petani dan staf departemen lini), sebagian melalui stimulasi pembentukan


kelompok tani dan kelompok wanita yang berorientasi komoditas di
tingkat blok dan tingkat desa.

Masalah Pengukuran Kinerja Model Penyuluhan

Salah satu masalah paling kompleks bagi pemerintah dan donatur adalah
mengembangkan suatu kapasitas untuk mengukur kinerja dari model
penyuluhan alternatif. Feder, Willett dan Zijp (2001) telah
mengidentifikasi delapan masalah umum yang menjelaskan mengapa ada
sangat banyak kerancuan tentang teknik-teknik pengukuran dan kinerja
yang sesuai dari berbagai model penyuluhan yang ingin dicapai negara
berkembang. Secara umum, faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kesulitan dalam menetapkan atribut dampak (Difficulty in


attributing impact): Menetapkan atribut dampak dari program
penyuluhan merupakan suatu tugas yang menantang secara analitis
karena tidak adanya informasi yang mendasari, tidak adanya kelompok
kendali (control group) yang sesuai, dan penyimpangan sistemik dalam
penempatan dan kontrak penyuluhan (Birkhaeuser, Evenson and
Feder, 1991).

2. Skala dan Intensitas (Scale and Intensity): Biaya untuk mencapai


area yang luas, tersebar secara geografis dan petani penggarap yang
sangat kecil (gurem) adalah tinggi, terutama sekali berkaitan dengan
tingginya tingkat buta huruf, terbatasnya akses ke media masa, dan
tingginya biaya pengangkutan.

3. Ketergantungan pada lingkungan kebijakan yang lebih luas


(Dependence on broader policy environment): Hasil dari upaya
penyuluhan tergantung pada kebijakan-kebijakan di mana agen-agen
dan para manajer mereka hanya mempunyai sedikit pengaruh (harga
input dan output, kebijakan-kebijakan kredit, pasokan input, sistim
pemasaran dan infrastruktur).

4. Interaksi dengan generasi pengetahuan (Interaction with


knowledge generation): sistem penyuluhan dan riset publik sering
kali bersaing dalam anggaran, tetapi lembaga riset sering kali
mempunyai keunggulan karena status yang lebih tinggi, mutu
manajemen lebih baik, dan keterkaitan dengan masyarakat ilmu
pengetahuan yang global.

5. Tanggung jawab yang lemah (Weak accountability): Tanggung-


jawab yang lemah (yang berkaitan dengan ketidak-mampuan untuk
11

menetapkan atribut dampak) dicerminkan dalam rendahnya kualitas


dan bimbingan berulang-ulang yang diberikan kepada para petani, dan
berkurangnya upaya untuk berinteraksi dengan petani, dan belajar dari
pengalaman mereka.

6. Komitmen dan dukungan politis yang lemah (Weak political


commitment and support): Banyak donatur melaporkan bahwa
proyek-proyek irigasi atau jalan nampaknya seringkali lebih menarik
perhatian para politikus dibanding pembelanjaan untuk penyuluhan.

7. Tugas publik selain transfer pengetahuan (Public duties other


than knowledge transfer): Pemerintah sering kali menggunakan
kader-kader tingkat lapangan dari pegawai negeri yang telah ada di
pedesaan untuk tugas-tugas bukan penyuluhan seperti mengumpulkan
data statistik, mendistribusikan input bersubsidi, membantu dan
mengumpulkan aplikasi pinjaman, dan kampanye pemilihan atas nama
pihak penguasa nasional atau lokal.

8. Kerentanan keuangan (Financial un-sustainability): Ini dapat


menyebabkan tidak berlanjutnya berbagai program investasi, tetapi ini
menunjukkan bahwa pada kendala fiskal umum pada waktu itu,
anggaran penyuluhan nampaknya lebih ditekan karena dukungan
politis yang lemah (Feder, Willet and Zijp 2001).

Kondisi Sistim Penyuluhan Setelah Era Reformasi

Pembangunan pertanian di Indonesia, khususnya di Jawa Timur


tidak terlepas dari peranan penyuluhan pertanian. Sejak Pelita I, peranan
penyuluhan pertanian melalui BIMAS dan berbagai program pertanian
lainnya sangatlah menonjol terutama dengan dicapainya swasembada
beras tahun 1984 melalui revolusi hijau, di mana penyuluhan mempunyai
peranan besar dalam mendorong petani untuk menerapkan panca
usahatani.

Pada saat ini, penyuluhan pertanian dihadapkan pada berbagai persoalan


yaitu:

- Perubahan pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi


mengakibatkan terjadinya perubahan kelembagaan penyuluhan dari
pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Akan tetapi lemahnya
kinerja sektor publik yang dicirikan oleh lemahnya komitmen politik
dan dukungan pemerintah daerah terhadap agen penyuluhan yang
12

berakibat pada rendahnya implementasi dan pendanaan, alokasi


sumberdaya yang tidak sesuai dengan kebutuhan lokal, lemahnya
hubungan antara pengeluaran publik dan hasil yang diharapkan. Hal
ini diperparah dengan lemahnya sistim monitoring dan evaluasi dan
kesulitan dalam mengukur dampak penyuluhan, lemahnya
keterkaitan antara lembaga penyuluhan dan lembaga penghasil
pengetahuan (lembaga penelitian dan perguruan tinggi) dan
seringnya penyebaran staf penyuluhan ke lain tugas.

- Otonomi daerah yang sebetulnya lebih terfokus pada dan mampu


meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama petani belum
berkembang karena kebijakan pemerintah yang memfokuskan pada
pelayanan penyuluhan kepada petani mengalami kesulitan
anggaran dan kinerja yang melemah.

- Sistim penyuluhan yang telah berjalan saat ini, telah banyak


dikritik oleh berbagai kalangan karena dianggap tidak efisien, tidak
efektif, tidak mempunyai tujuan dan motivasi yang jelas, tidak
akuntabel terhadap kliennya (petani) dan ketinggalan teknologi
yang relevan karena sistim dan kelembagaan di daerah belum
tertata sesuai dengan harapan. Hal ini karena lembaga penyuluhan
belum terbentuk dengan jelas sehingga kegiatan penyuluhan tidak
dimonitoring dengan akuntabel. Sekedar informasi, reformasi
penyuluhan di Cina sudah dilakukan sejak tahun 1949 dan
kemudian pada tahun 1979 penyelenggaraan penyuluhan dilakukan
oleh pemerintah lokal sehingga produksi pertanian meningkat 4x
lipat pada periode tersebut. Sedangkan di India, reformasi
penyuluhan dimulai sekitar tahun 1990 hingga tahun 2000 dan saat
ini penyelenggaraan penyuluhan dilakukan oleh pemerintah daerah
(lokal).

Menuju Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di Era


Otonomi

Perubahan sistim penyuluhan di Era Otonomi didasarkan atas :


- Salah satu tonggak untuk pelaksanaan revitalisasi penyuluhan
adalah keluarnya Undang-Undang Sistem Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun 2006 tanggal 18
Oktober 2006. UU SP3K merupakan payung hukum dalam
melakukan revitalisasi penyuluhan yaitu upaya mendudukkan,
13

memerankan, memfungsikan dan menata kembali penyuluhan agar


terwujud satu kesatuan pengertian, satu kesatuan korps dan satu
kesatuan arah serta kebijakan, dalam rangka peningkatan
kesejahteraan pelaku utama dan pelaku usaha. Dalam UU SP3K
tersebut dijelaskan pula perlu dibentuknya lembaga penyuluhan
mulai dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota sampai di
tingkat desa. Di tingkat provinsi, dibentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan dan Komisi Penyuluhan.

- Menurut data Kementerian Pertanian, dari 33 provinsi di Indonesia,


ada 5 provinsi (termasuk Jawa Timur) yang belum sepenuhnya
membentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Di Jawa Timur, Badan
Koordinasi Penyuluhan dan Komisi Penyuluhan memang sudah
terbentuk tetapi belum memenuhi syarat yang ditetapkan melalui
PP No. 43 tahun 2009 tentang pembiayaan, pembinaan, dan
pengawasan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan, di
mana pemerintah daerah perlu menjamin adanya penyelengaraan
penyuluhan.

- Sesuai INPRES No.1 tahun 2010 tentang percepatan pelaksanaan


prioritas pembangunan nasional tahun 2010 disebutkan bahwa
ketahanan pangan sebagai salah satu prioritas pembangunan
dilakukan salah satunya melalui pemantapan sistim penyuluhan
yang ditargetkan selesai pada bulan Desember 2010 yaitu
terselesaikannya kelembagaan penyuluhan sejumlah 245 SKPD
(Satuan Kerja Perangkat Dinas), gapoktan sejumlah 2830 kelompok,
BPP (Balai Penyuluhan Pertanian) model sejumlah 336 BPP dan
persentase jumlah kegiatan yang mendukung penyelenggaraan
penyuluhan pertanian sebesar 30%.

- Berdasarkan Rencana Pembangungan Jangka Panjang (RPJP)


Propinsi Jawa Timur 2005-2025 yang telah menetapkan visi sebagai
pusat agrobisnis terkemuka, berdaya saing global dan berkelanjutan
menuju Jawa Timur makmur dan berakhlak. Dengan Misi : (a).
mengembangkan perekonomian modern Jawa Timur berbasis agro;
(b) mewujudkan SDM yang handal, berakhlak mulia dan berbudaya;
(c) mewujudkan kemudahan memperoleh akses untuk
meningkatkan kualitas hidup; (d) mengoptimalkan pemanfaatan
sumber daya alam dan buatan; (e) mengembangkan infrastruktur
bernilai tambah tinggi dan (f) mengembangkan tata kelola
pemerintahan yang baik. Dalam mewujudkan visi dan misi RPJP
Propinsi Jawa Timur 2005-2025, maka pada tanggal 17 Juli 2010
telah diresmikan pasar Induk Agribisnis Puspa Agro yang terbesar di
Asia Tenggara sehingga membawa konsekuensi pentingnya
14

pembangunan pertanian di Jawa Timur. Pembangunan pertanian


sebagai prioritas utama dapat didorong pertumbuhan ekonominya
dengan baik apabila unsur transfer pengetahuan dan teknologi
kepada petani dapat dilakukan melalui sistim penyuluhan yang
efektif dan efisien. Dengan demikian, penyuluhan merupakan salah
satu prasyarat penting dalam membangun sektor pertanian,
perikanan dan kehutanan di Jawa Timur sesuai dengan UU No. 16
tahun 2006 tentang SP3K.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka pemerintah


daerah di Jawa Timur, baik di tingkat provinsi maupun tingkat
kota/kabupaten seharusnya segera meningkatkan kinerja penyuluhan
dengan memantapkan sistim penyuluhan pertanian, perikanan dan
kehutanan di Jawa Timur.

Visi dan Misi Penyuluhan


Misi penyuluhan dapat dijelaskan melalui beberapa alasan sebagai
berikut:
- Otonomi daerah telah menjadi kenyataan. Pemerintah Daerah
dituntut antara lain untuk memanfaatkan sumberdaya di daerahnya
secara optimal, dalam arti kata mengumpulkan sumberdaya (dana)
sebesar-besarnya dan secara bijak memanfaatkan dana tersebut
bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat di daerah yang
bersangkutan. Meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak
(termasuk para petani) adalah misi utama otonomi daerah (Margono
Slamet). Oleh sebab itu, penyuluhan pertanian bukan hanya
sekedar bagaimana meningkatkan produksi pertanian tetapi lebih
bermakna ke arah bagaimana meningkatkan pendapatan petani
dan keluarganya.
- Penyuluhan pertanian (termasuk kehutanan) tidak hanya sekedar
untuk meningkatkan produksi pertanian, tetapi lebih diarahkan
untuk mengembangkan manusia Indonesia, khususnya petani.

- Menurut Swanson et al. (1998), penyuluhan itu tidak hanya sekedar


melakukan transfer teknologi tetapi juga melakukan pembangunan
sumberdaya manusia, di mana pembangunan sumberdaya manusia
mempunyai makna yang lebih luas dari hanya sekedar transfer
teknologi. Selanjutnya Swanson dan Rajahlati (2010) menjelaskan
bahwa penyuluhan pertanian saat ini cukup kompleks karena
menyangkut berbagai masalah yang dihadapi petani mulai dari
teknologi usahatani, perubahan iklim, pemanfaatan sumberdaya
alam yang optimal hingga bagaimana menangkap peluang pasar.
Hal ini berarti juga bahwa menjadi penyuluh yang profesional
15

tidaklah mudah karena permasalahan yang dihadapi petani semakin


kompleks.

- Definisi formal penyuluhan pertanian berkembang dari waktu ke


waktu mengiringi perkembangan ilmu pengetahuan dan
perkembangan masyarakat. Pada saat ini, definisi tersebut telah
berkembang menjadi: “. . . . suatu sistem pemberdayaan terhadap
para petani dan keluarganya melalui proses pembelajaran yang
berkelanjutan, agar mereka dapat melaksanakan fungsinya sebagai
petani dengan baik dan meningkatkan harkat hidupnya serta
meningkatkan kesejahteraan hidupnya” (Swanson, 1984; Margono
Slamet).

- Definisi penyuluhan pertanian seperti disebutkan di atas bisa


dikatakan sebagai usaha mencerdaskan kehidupan petani yang
merupakan bagian dari kehidupan bangsa. Jadi penyuluhan
pertanian merupakan bagian dari amanat konstitusi (UUD) yang
merupakan kewajiban dan tanggungjawab pemerintah.

- Petani berhak mendapatkan pendidikan untuk mengembangkan


dirinya melalui penyuluhan pertanian dan kehutanan (mereka sudah
berada di luar sistem pendidikan formal).

- Dalam kondisi yang ada sekarang, para petani kelihatan kurang


berdaya dalam menghadapi kehidupannya agar dapat
meningkatkan harkat dan kesejahteraannya.

- Berdasarkan uraian di atas maka kelembagaan penyuluhan yang


mempunyai konsekuensi terhadap penyuluhan pertanian itu sendiri
juga harus diselenggarakan secara professional, antara lain:
lembaga independen yang mengakreditasi penyuluh pertanian
maupun lembaga penyuluhan yang ada dan menyelengarakan
penyuluhan yang professional dan akuntabel.

Oleh sebab itu, dengan berbagai pertimbangan dan alasan yang


telah dikemukakan, maka lembaga penyuluhan di tingkat pemerintah
daerah harus mempunyai visi meningkatkan kesejahteraan petani dengan
misi antara lain : mampu melakukan penyuluhan secara profesional dalam
rangka peningkatan produksi pertanian, mampu melakukan penyuluhan
secara akuntabel, dan mampu melakukan pemberdayaan petani menuju
petani yang sejahtera.

Tugas dan Fungsi Lembaga Penyuluhan

Sesuai dengan UU SP3K, maka lembaga penyuluhan ada di tingkat


pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota. Di tingkat provinsi,
16

lembaga penyuluhan adalah Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh)


yang diketuai oleh Gubernur dan mempunyai tugas:
a) melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi lintas sektor,
optimalisasi partisipasi, advokasi kepada masyarakat dengan
melibatkan unsur pakar, dunia usaha, institusi terkait, perguruan
tinggi, dan sasaran penyuluhan;
b) menyusun kebijakan dan programa penyuluhan provinsi yang
sejalan dengan kebijakan dan programa penyuluhan nasional;
c) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan forum masyarakat
bagi pelaku utama dan pelaku usaha untuk mengembangkan
usahanya dan memberikan umpan balik kepada pemerintah daerah;
dan
d) melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya, dan
swasta.

Di samping itu, Bakorluh dilaksanakan oleh sekretaris yang dijabat


oleh pejabat setingkat eselon IIa dan dibantu oleh Komisi Penyuluhan
dalam menyusun konsep dan strategi penyuluhan.
Sedangkan lembaga di tingkat kabupaten/kota adalah Badan
Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) yang diketuai oleh pejabat setingkat
eselon dua yang bertanggung jawab kepada bupati/walikota. Bapeluh
mempunyai tugas:
a) menyusun programa penyuluhan pada tingkat kecamatan sejalan
dengan programa penyuluhan kabupaten/kota;
b) melaksanakan penyuluhan berdasarkan programa penyuluhan;
c) menyediakan dan menyebarkan informasi teknologi, sarana
produksi, pembiayaan, dan pasar;
d) memfasilitasi pengembangan kelembagaan dan kemitraan pelaku
utama dan pelaku usaha;
e) memfasilitasi peningkatan kapasitas penyuluh PNS, penyuluh
swadaya, dan penyuluh swasta melalui proses pembelajaran secara
berkelanjutan; dan
f) melaksanakan proses pembelajaran melalui percontohan dan
pengembangan model usaha tani bagi pelaku utama dan pelaku
usaha.

Bapeluh dibantu oleh Komisi Penyuluhan di tingkat Kabupaten/Kota


dalam menyusun konsep dan strategi penyuluhan.
Selain itu, pengaturan pelaksanaan penyuluhan yaitu pembiayaan,
pembinaan, dan pengawasan diatur dalam PP No. 43 tahun 2009.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, maka dapat
disimpulkan bahwa penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan bagi
petani merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan produksi dan
meningkatkan kesejahteraan petani.
Sistim penyuluhan sentralisasi sudah tidak mungkin dipertahankan
dengan berubahnya sistim pemerintahan menjadi desentralisasi. Sistim
penyuluhan yang terdesentralisasi mempunyai peranan penting dalam
17

pembangunan daerah terutama di Jawa Timur (termasuk Kabupaten


Malang) karena peranan sektor pertanian dalam perekonomian yang
relative besar. Pemerintah daerah harus yakin bahwa peningkatan
pertumbuhan ekonomi dapat dicapai melalui pembangunan pertanian
(termasuk agribisnis) dimana penyuluhan mempunyai peranan cukup
besar.
Oleh karena itu, sesuai dengan UU SP3K, Inpres No. 1 tahun 2010,
pemerintah daerah diharapkan segera membentuk Badan Koordinasi
Penyuluhan di tingkat provinsi dan Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat
kota/kabupaten. Menurut Inpres No. 1 tahun 2010, pembentukan lembaga
penyuluhan setingkat SKPD menjadi prioritas`pembangunan tahun 2010
dan diharapkan dapat selesai pada akhir Desember 2010, dimana
pengaturan pelaksanaan penyuluhan yaitu pembiayaan, pembinaan, dan
pengawasan diatur dalam PP No. 43 tahun 2009

Referensi:
1. Burton E. Swanson; Robert P. Bentz; Andrew J. Sofranko. 1997.
Improving Agricultural extension. A Reference Manual Food and
Agriculture Organization of the United Nations. Rome
2. Burton E. Swanson and Rikka Rajalahti. 2010. Strengthening
Agricultural Extension and Advisory Systems: Procedures for
Assessing, Transforming,and Evaluating Extension Systems.
Agriculture and Rural Development Discussion Paper 45 The World
Bank
3. Eicher, Carl K. 2007. Agricultural Extension In Africa And Asia.
Literature Review Prepared For The World Aginfo Project, Cornell
University, Ithaca, New York
4. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 tahun 2010 Tentang
Percepatan Pelaksanaan Prioritas Pembangunan Nasional Tahun
2010.
5. Margono Slamet. Restrukturisasi & Reorientasi Penyuluhan
Pertanian Untuk Revitalisasi Penyuluhan Pertanian . Ketua Komisi
Penyuluhan Pertanian Nasional
6. Nie Chuang, Burton E. Swanson, and Feng Yan China: Financing
China’s Extension
7. Undang-Undang Republik Indonesia No 16 tahun 2006 Sistim
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 43 tahun 2009
tentang Pembiayaan, Pembinaan, Dan Pengawasan Penyuluhan
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan
18

Lampiran 1. Sumber Informasi Tehnologi Pertanian Modern bagi Rumah


Tangga Petani di India, 2003.

Lampiran 2. Model Informasi yang diperoleh petani

Anda mungkin juga menyukai