Anda di halaman 1dari 10

1

MITOLOGI SANG RATU KIDUL


Di dalam karaton banyak ditemukan
berbagai macam lambang dalam segi
kehidupan, dimulai dari bentuk dan
cara mengatur bangunan, mengatur
penanaman pohon yang dianggap
keramat, mengatur tempat duduk,
menyimpan dan memelihara pusaka,
macam pakaian yang dikenakan dan
cara mengenakannya, bahasa yang
harus dipakai, tingkah laku, pemilihan
warna dan seterusnya. Karaton juga
menyimpan dan melestarikan nilai-nilai
lama, Mitos yang sangat berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat dan
komunitas karaton adalah mitos
Kangjeng Ratu Kidul. Kedudukan mitos
itu sangat menonjol, karena tanpa
mengenal mitos Kangjeng Ratu Kidul,
orang tidak akan dapat mengerti
makna dari tarian sakral Bedhaya
Ketawang, yang sejak Paku Buwana X
naik tahta, setiap setahun sekali tarian
itu dipergelarkan pada acara ulang
tahun penobatan Raja. Tanpa mengenal
mitos itu makna Panggung Sangga
Buwana akan sulit dipahami, demikian
pula mengenai tahayul yang dikenal
rakyat sebagai lampor.
Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara
lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro. Di kerajaan Kediri,
terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji
Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari
daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di
hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun
putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu
ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus)
dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.
Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji
melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih
tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja
lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat
menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam
sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang
kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji
sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adalah saudara perempuan
Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji
2

Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil


perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama
Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri
oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi
nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan
harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya.
Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa
cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya
bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu
Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar
kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang
Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang
cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai
hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya
menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang
dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah
Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk
memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh
mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu
Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan
bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang
memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari
rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut
Selatan.
Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat
Wedatama yang berbunyi:
Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.
terjemahkan:
Tahu akan batas samudra
Semua telah dijelajahi
Dipesona nya masuk hati
Digenggam satu menjadi
Jadilah ia merajai
Syahdan Sang Ratu Kidul
Terbang tinggi mengangkasa
Lalu datang bersembah
Kalah perbawa terhadap
Junjungan Mataram
Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra,
seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam
3

sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga


terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa,
datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja
Mataram.

Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa


Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman
kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri
raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit
kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh
tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu,
Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-
saudaranya karena merasa malu mempunyai
saudara yang berpenyakitan seperti dia.
Dengan perasaan sedih dan kecewa, sang
putri kemudian bunuh diri dengan mencebur
ke laut selatan.
Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan
slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk
berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti
mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia
adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh
diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus
dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat,
ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa
Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut
Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan


Senopati

Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau


melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku
tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga
terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa
ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai
Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat
dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai
dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut
beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air
laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik
perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan
laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
4

Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang


satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah
Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada
waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian
jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang
menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan
tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di
laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya
Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut
Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu
Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati
mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul
keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja
keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul.
Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu
Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara
Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak.
Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan
ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu konon mengandung makna simbolis
bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul
dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan
dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan
bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan
Mataram yang akan datang.
Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja
Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan
cikal bakal atau leluhur para raja Mataram ,termasuk Karaton
Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton
Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi
suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja
Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul telah mendirikan
Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya.
Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu
Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah
Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain
asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua
menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X
terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil
diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu
Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku).
Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda
Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati. Sejak saat itu
hubungan kedudukan mereka berdua berubah bukanlah lagi
sebagai suami istri , tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak,
begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X
selanjutnya.
5

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA

Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya


sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng
Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut
persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke
Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja
sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.
Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana
yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah
hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia
sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu
bukan sekedar hiasan semata tetapi juga
dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila
diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu
berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti
tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan
tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana
(Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)
Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan
bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian
atas bangunan yangberbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang
mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang
atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.
Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu
sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan
kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama
tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan
akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah.
Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua
kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar
berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga
adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari
Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang
nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang
bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka
tahun 1198 Hijryah.
Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur
Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang
berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai
makna tanpa batas yang berarti angka 0. Sinangga bermakna angka
7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan
mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun
tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau
dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka
1782, saat pembangunan panggung tersebut.
6

Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan


milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya.
Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan
tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan
menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu
yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah
diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat
ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.
Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas
panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma.
Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga
tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya,
sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini
merupakan
Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh
mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang
bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun
kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.
Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan
mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan
sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan
rakyat jelata. Dan gambarkan manusia yang mengendarainya
dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran,
kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.
Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang
juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada
dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut
oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat
Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana =
1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke
tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun
kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga
Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap
api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat
dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga
mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu
melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada
setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat
dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton.
Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu
dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke
arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri
Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang
sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal
tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai
kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar
Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana,
7

Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan


Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu
kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon,
Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi
Begawan Solo.
Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga
bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas.
Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan
bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh
melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat
menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi
di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang
melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA
Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan
atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu
diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa
adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin
mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi
pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan
merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang
Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak
menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh
dari situasi manusiawi.
Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran
kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan
setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan
unsur alam yaitu:
1. Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin
harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2. Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3. Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4. Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik
harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5. Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak
mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6. Api yang berarti mematangkan yang mentah
7. Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus
dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8. Angin yang apabila berada dimanapun juga harus
dapat membawa kesejukkan.
Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat
mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat
8

demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai
sejahtera.
Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga
melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan
dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama
hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa
Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam
bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai
perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam
alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke
kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia
harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui
bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke
kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup
bermasyarakat.
Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan
juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping
menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau
utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga
Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian
terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan
sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah
manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya
dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.
Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti
sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda
yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan
sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung
dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian:
seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia
hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda
oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika
dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau
sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang
terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug
Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.

FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA

Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari


segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk
mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang
berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun
karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya
tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah
jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng
Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III
9

yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung


Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.
Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya
Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di
tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk
upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik
sedikitpun.
Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut
tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara
strategis dan filosofis atau spiritual adalah:
1. Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan
sekitarnya. Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung
dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas
yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan
teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang
melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas
untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh.
2. Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana
merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara
Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang
memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan
dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang
dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan
raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan
spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu
Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak
geografis Nusantara sebagai negara maritim.

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan


sebagai:
- tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang
tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
- tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan
pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
- Tempat untuk mengawasi keadaan atau
pemandangan sekeliling karaton.
Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan
dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan
bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan)
yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini
adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan
untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut
Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang
digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul
10

didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun


menjelang acara Jumenengan raja.

Menurut cerita, pada saat mengadakan


pertemuan dengan raja, Kangjeng Ratu Kidul
mengenakan pakaiannya dan seketika itu juga
beliau berwujud seperti manusia. Setelah
pertemuan selesai, Kangjeng Ratu Kidul kembali
ke alamnya dengan sebelumnya
mengembalikan ageman yang dikenakannya ke
dalam kotak.
Didalam ruang tutup saji yang berdiameter kira-
kira 6 meter, pada bagian tepat ditengah
ruangan terdapat kolom kayu yang secara
simbolis menunjukkan bahwa segala kegiatan
yang dilakukan di tutup saji mempunyai
hubungan dengan Tuhan. Kayu yang digunakan
adalah kayu jati yang berasal dari hutan
donoloyo yang dianggap angker bagi orang
jawa.

http://www.jawapalace.org
e-mail

Anda mungkin juga menyukai