Anda di halaman 1dari 11

Pemanfaatan Tanah Ulayat untuk Pengembangan

Agribisnis Perkebunan

Oleh: Syahyuti1

Permasalahan Umum dan Tinjauan Hukum

Pada prinsipnya, hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya


hak ulayat. Berdasarkan UUPA No. 5/1960, UU No 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia, dan UU No 41/1999 tentang Kehutanan; hak ulayat
masyarakat hukum adat diakui keberadaannya. Karena itu, bila hak ulayat
tersebut akan dipergunakan oleh pihak lain, haruslah atas persetujuan
masyarakat pemilik hak ulayat tersebut.
Namun, hak ulayat hanya diberikan jika pada kenyataannya masyarakat
adat tersebut masih ada (Pasal 3 UUPA No 5 tahun 1960). Persyaratan ini tidak
mudah dipenuhi, dan prosedurnya pun belum dipahami dengan baik.
Semenjak Orde Baru, namun baru merebak setelah era reformasi,
banyak terjadi konflik dalam pemanfaatan tanah ulayat ini. Permasalahan
utamanya adalah penggunaan tanah ulayat (menurut masyarakat) oleh
investor, terutama untuk perkebunan, namun tidak melibatkan masyarakat
setempat. Ini terjadi karena ”dualisme hukum”, meskipun UUPA disusun
untuk menghapuskan dualisme ini.
Akar permasalahannya adalah ”dualisme” yang sedari awal mestinya
diluruskan. Menurut saya, hukum cukup satu, yaitu hukum negara, namun
hukum negara tersebut disusun berdasarkan spririt hukum adat, mungkin
ditambah spirit hukum-hukum lain (misalnya agama). Jika kita konsekuen
dengan satu hukum (UUPA sebagai payungnya), maka begitu negara Republik
Indonesia ada, seluruh hak ulayat itu diserahkan ke negara. Kemudian, untuk
pemanfaatannya berpedoman kepada prinsip ”sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Negaralah yang memegang hak ulayat, bukan kelompok-kelompok
masyarakat. Tampaknya selama ini ada kekhawatiran bahwa jika hukum
negara yang dipakai akan bertolak belakang dengan persepsi rakyat dan tidak
akan menyerap sistem dan prinsip hukum masyarakat yang telah lama eksis
(yaitu hukum adat). Akibat ”dualisme” ini, maka terjadi tumpang tindih antara
apa yang disebut dengan ”tanah negara” dengan ”tanah ulayat” pada tanah
yang persis sama.
Menurut negara, tidak ada tanah adat, semua tanah yang tidak dapat
dibuktikan eigendomnya adalah tanah negara. Sebaliknya, menurut hukum
adat pada dasarnya tak ada tanah negara, yang ada hanyalah Tanah Ulayat
(tanah adat).

1
Peneliti Madya pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan Litbang Pertanian,
Bogor. @2008

1
Menurut hukum positif, ”tanah negara” adalah bidang-bidang tanah
yang belum ada hak atas tanah atau bekas hak yang habis masa berlakunya.
Tanah ini langsung dikuasai negara dan berfungsi untuk kepentingan publik
atau perlindungan. Disini termasuk tanah-tanah bentukan baru berupa tanah
oloran, tanah endapan baru di pantai maupun sungai atau tanah timbul dan
sebagainya. Negara menjadi organisasi kekuasaan tertinggi untuk mengelola
tanah dan sumber daya alam lainnya sebagai aset bangsa. Pada prinsipnya,
konsep Hukum Tanah Nasional adalah konsepsi hukum adat yang
ditingkatkan cakupannya meliputi semua tanah diseluruh wilayah Indonesia.
Di sisi lain, ”tanah ulayat” juga sesungguhnya mempunyai spirit yang
sama. Tanah ulayat di Sumatera Barat misalnya, menurut hukum adat
Minangkabau, merupakan sumber daya yang diperuntukkan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran warganya. Bidang-bidang tanah, dimanapun di wilayah
Sumbar, adalah tanah ulayat. Tanah-tanah yang tidak ”dikuasai” secara
pribadi dengan sendirinya menjadi ulayat nagari, sebagai cadangan untuk
nanti didistribusikan jika ada yang membutuhkan.
Pada zaman penjajahan Belanda dulu investor menggunakan Pasal 720
Burgerlijk Wetboek (BW) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata untuk
golongan Eropah yang terjemahannya Hak Guna Usaha (Erfpachtsregt). Yaitu
hak keberadaan untuk menikmati sepenuhnya barang tak bergerak milik orang
lain dengan kewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah, sebagai
pengakuan tentang pemilikannya, baik berupa uang maupun hasil atau
pendapatan. Dalam penguasaan ini, tanah tidak lepas dari pemiliknya, dan
investor berkewajiban membayar upeti tahunan kepada pemilik tanah sebagai
pengakuan tentang kepemilikannya. Semestinya, begitu Belanda pergi tanah
ini kembali menjadi tanah adat. Namun sayangnya melalui UUPA tanah eks
Erfpacht tersebut dikonversi menjadi tanah negara. Di zaman Orba, karena
tidak menggunakan hak ulayat, khusus di Sumbar, tanah ulayat yang sudah
lepas dari pemiliknya (menjadi HGU swasta) seluas 182.141,56 ha.
Semestinya kita tidak usah khawatir meskipun hanya hukum negara
yang berlaku. Pasal 28H Ayat (4) UUD 1945 merupakan komitmen negara
dalam mengakui dan menghormati hak milik perorangan, termasuk hak
warganegara atas tanah. Hak atas tanah yang berlaku di Indonesia tidak
bersifat mutlak, artinya tidak sepenuhnya dapat dipertahankan terhadap
siapapun oleh pemegang hak. Dalam kondisi tertentu dimana kepentingan
negara menghendaki, maka pemegang hak atas tanah harus rela melepaskan
haknya untuk kepentingan yang lebih besar. Jika ditilik dari konstitusi, UUD
1945 telah menggariskan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUPA
sebagai peraturan dasar juga mengakui prinsip-prinsip ini.
Artinya, menjadi tugas negara untuk menyelenggarakan kesejahteraan
umum bagi warganya termasuk dalam melindungi hak-hak warga negara atas
tanah. Hal ini kemudian diperkuat dan dilegitimasi oleh Ketetapan MPR No IX
tahun 2001 yang mengamanatkan kepada pemerintah untuk melakukan
berbagai hal baik menyangkut upaya penataan, penguasaan, pemilikan,
penggunaan, peruntukkan, dan penyediaan tanah yang semuanya diletakan
dalam kerangka membangun kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.

2
Permasalahan terhadap hak pemilikan atas tanah dalam masyarakat
adat di Indonesia telah ada sejak jaman penjajahan Belanda. Pada jaman
penjajahan sistem hukum pertanahan yang dijalankan pemerintah menganut
dan berorientasi pada sistem hukum Belanda dan Eropa yang mengabaikan
keberadaan hukum (masyarakat) adat termasuk hak kepemilikan tanah adat
(ulayat). Hal ini diperparah ketika bangsa Belanda menjajah Indonesia sedikit
sekali bukti-bukti kepemilikan atas tanah masyarakat termasuk tanah ulayat
yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda. Dengan tidak adanya
pendaftaran tanah, maka sebagian besar tanah ulayat tidak mempunyai bukti-
bukti kepemilikan (kecuali tanah Sultan di DIY).
Pengakuan keberadaan hak pemilikan atas tanah (hak ulayat) dan
masyarakat hukum adat mulai diperhatikan setelah dikeluarkan dan
diberlakukannya UUPA. Dalam Pasal 3 UUPA disebutkan “Dengan mengingat
ketentuan-ketentuan Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang
serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, berdasarkan atas
persatuan bangsa dan tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Selanjutnya kebijakan tersebut
dipertegas dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Pasal 18(b) UUD
1945 yang diamandemen.
Dalam perkembangannya, UUPA semakin sulit dilaksanakan dengan
munculnya UU No 5/1967 tentang Kehutanan, UU No 11/1967 tentang
Pertambangan, UU Pengairan dan UU No 4/1982 tentang Lingkungan Hidup
(diperbarui dengan UU No. 23/1997 tentang Kepemilikan Tanah) yang
didukung dengan diberlakukannya UU PMA dan PMDN. Hak kepemilikan
tanah ulayat semakin tidak jelas.
Salah satu peraturan yang sangat jelas dukungannya terhadap
keberadaan tanah ulayat adalah Peraturan Meneg Agraria/Kepala BPN No 5
tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Pada Pasal 1 disebutkan: ”hak ulayat” adalah kewenangan yang
menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas
wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah
tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari
hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus
antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Terkait dengan kewenangan pemerintah untuk mengatur penggunaan,
peruntukkan dan penyediaan tanah, maka hak-hak privat termasuk hak milik
atas tanah warga dapat diambil alih atau dicabut haknya guna pemenuhan
kebutuhan atas tanah yang diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan
pembangunan untuk kepentingan umum. Namun, pengambilalihan tanah
harus memperhatikan prinsip keadilan sehingga tidak merugikan pemilik asal.
Salah satu prinsip dasar dari pengambilalihan tanah yang universal adalah ‘no
private property shall be taken for public use without just and fair compensation”,
artinya proses pengambilalihan tanah dilakukan dengan kompensasi yang
jujur dan adil (Landpolicy org:2005). Namun, dalam prakteknya prinsip-prinsip
ini sering terabaikan dan pemerintah lebih mengedepankan kekuasaannya

3
dengan menggunakan tameng Hak Menguasai Negara dan kepentingan
umum.
Upaya menjembatani kepentingan rakyat atas tanahnya dan pemenuhan
kebutuhan tanah untuk kegiatan pembangunan telah dilakukan pemerintah
dengan mengeluarkan Peraturan Presiden No 36/ 2005 tentang Pengadaan
Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagai
pengganti Keppres No.55/1991. Pada awalnya PP No.36/2005 menuai
kontroversi yang bersumber pada definisi kepentingan umum yang terlalu luas
dan jaminan kompensasi bagi masyarakat yang tanahnya diambil alih untuk
kegiatan pembangunan demi kepentingan umum.
Namun dengan dikeluarkannya Perpres no. 65/2006 tentang Perubahan
Perpres No. 36/2005, definisi kepentingan umum relatif lebih tegas dan
berkepastian hukum, yaitu dengan berkurangnya jenis kepentingan umum
dari 21 menjadi 7 jenis serta penegasan pembatasan pengadaan tanah untuk
kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum yang dilaksanakan
oleh Pemerintah atau Pemda yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki oleh
Pemerintah atau Pemda. Dalam Perpres tersebut tidak lagi dimungkinkan
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
melalui mekanisme pencabutan hak atas tanah. Artinya, pengambilalihan
tersebut tidak secara paksa melainkan melalui musyawarah dan kesepakatan
para pihak yang berkepentingan.

Jenis Tanah Ulayat dan Sifat Penguasaannya

Aspek penguasaan tanah merupakan bagian yang sangat esensial dalam


keseluruhan sistem agraria, karena akan menentukan tingkat dan distribusi
kesejahteraan masyarakat di dalamnya. Ciri-ciri utama bentuk penguasaan
tanah menurut hukum adat pada beberapa suku bangsa di Indonesia adalah
bahwa tanah merupakan sumberdaya ekonomi yang unik, tidak mengenal
bentuk penguasaan yang mutlak, adanya sifat inklusifitas, larangan untuk
memperjual belikan tanah dalam arti sebagai komoditas pasar, serta lebih
diharganinya manusia dan kerja dibandingkan tanah (Syahyuti, 2006). Pada
penelitian Jamal et al. (2002), ditemukan ada kesamaan bentuk dan struktur
penguasaan tanah menurut hukum adat Minangkabau dengan Dayak di
Kalbar, meskipun mereka menyusunnya secara terpisah.
Pada suku Minangkabau, ada empat macam jenis (tingkatan) tanah
ulayat yaitu (Thalib, 1985): (1) Ulayat Rajo yakni tanah atau hutan lebat yang
terletak jauh dari kampung, koto atau nagari; (2) Ulayat Nagari yaitu tanah
adat milik nagari misalnya untuk fasilitas umum, tanah lapang, kolam nagari,
untuk kantor, sekolah, masjid, rumah sakit, tanah cadangan berupa belukar
muda, dll; (3) Ulayat Suku adalah tanah cadangan bagi suatu suku yang ada
dalam nagari tersebut, biasanya digunakan untuk perkebunan atau
perladangan milik bersama; dan (4) Ulayat Kaum adalah tanah milik kaum bisa
sebagai tanah cadangan yang kelak jika anggota kaum semakin berkembang,
maka tanah kaum itu dengan izin panghulunya dapat mendirikan rumah,
membuat kebun bersama, sawah atau ladang. Semua tanah ulayat ini disebut

4
tanah Pusako Tinggi yang berada di bawah pengawasan Panghulu (Umar,
1978).
Bentuk hak penguasaan tanah yang berlaku pada satu suku
sesungguhnya didasari oleh satu tujuan yang luhur. Di masyarakat Dayak
misalnya, tanah tidak hanya berfungsi sebagai benda ekonomis belaka, tetapi
merupakan basis politik, sosial, budaya dan spritual. Pada sub suku Dayak
Kanayatn (sebagian besar di Kalbar), tanah kesatuan hukum adat disebut
sebagai “Binua”. Konsep “kabinuaan” merupakan konsep geo-politik, yang
didalamnya terdapat rakyat yang memiliki seperangkat aturan (hukum) dan
individu-individu yang diangkat oleh rakyat untuk menegakkan aturan
tersebut.
Penataan ruang binua merupakan suatu land use management yang
diadaptasikan terhadap sistem pertanian asli terpadu (indigenous integrated
farming system). Di dalamnya sekurangnya terdapat tujuh komponen
(Djuweng, 1996), di antaranya adalah: kawasan hutan untuk cadangan masa
depan, tanah yang ditanami pohon buah-buahan (tembawang), tanah yang
ditanami tanaman keras, tanah pertanian (yang sedang dikerjakan dan sedang
diistirahatkan), tanah pekuburan dan keramat, perkampungan dan
pekarangan, serta sungai dan danau untuk perikanan.
Hak milik atas tanah menurut adat Dayak dikenal sebagai “hak milik
adat turun temurun” yang mencakup hak mengelola dan mengusahakan segala
sesuatu baik yang berada di dalam maupun di atasnya. Konsep “tanah adat”
pada Dayak Kanayatn disebut dengan Palasar Palaya, yang memadukan tanah
dengan fungsi-fungsinya bagi kehidupan manusia. Ada batas-batas teritorial
pengelolaan sumberdaya alam pada satu kampung (ampu sakampongan).
Berbagai fungsi yang dikenal adalah tanah keramat (panyugu, padagi,
pantulak, dll), tempat berburu dan tempat berladang (balubutatu, bawas),
tanah bersawah (tawakng, bancah), perkebunan rakyat (kabon gatah,
kampokng buah), dan cagar budaya (timawakng). Selain itu, juga ada tanah
colap tornat pusaka (tanah yang dingin), yaitu tanah perjanjian adat yang turun
temurun harus tetap diabadikan (pusaka). Tanah ini ada di setiap kampung.
Hal ini umum dijumpai pada berbagai suku. Suku Baduy misalnya juga
mengenal “tanah larangan” yaitu daerah yang dilindungi dan tidak sembarang
orang dapat masuk dan berbuat sekehendaknya (Permana, 2003).
Karena sifat penguasaan yang tidak mutlak, maka pihak luar dapat saja
memanfaatkan tanah-tanah milik ulayat Dayak, karena dimungkinkan dalam
aturan mereka. Pendatang etnik China yang mulai datang di wilayah
Kalimantan Barat semenjak tahun 1745, dapat mengolah tanah Suku Dayak
dan Melayu dengan meminta izin menggarap. Sebagian dari mereka ada yang
memperoleh hak penggarapan dengan meminjam (mungkin tanah saradangan
dan binua), namun sering juga diberikan kepada pendatang secara cuma-cuma
(Jamal et al., 2001).
Di Suku Dayak di Kalimantan Barat, diakui oleh berbagai nara sumber
bahwa memang tanah sesungguhnya tidak dapat diperjual belikan, meskipun
hal ini tidak lagi dipatuhi secara baik (Jamal et al., 2001). Bahkan, jika
sebagian besar anggota keluarga telah meninggalkan kampung, maka salah
seorang (biasanya anak tertua) bertanggung jawab untuk mengelola dan
menjaga seluruh tanah keluarga tersebut, namun tidak dapat menjualnya ke
pihak lain.

5
Prosedur dan Indikator untuk Menyatakan Bahwa Satu Masyarakat Adat
Masih Ada

Sebagaimana telah disebutkan di atas, banyak peraturan yang


mengakui bahwa satu masyarakat adat bisa dinyatakan eksis. Di antara
peraturan tersebut adalah UU No 41/1999 tentang Kehutanan (yang
diperbarui), UU No 11/1999 tentang Pertambangan, UU No 10/1992 tentang
Kependudukan, Keppres No 111/1999 tentang Komunitas Adat Terpencil
(KAT), SK Menteri Kehutanan No 47/1998 tentang Kawasan dengan Tujuan
Istimewa dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan pertanahan
Nasional No 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat. Sedangkan kebijakan yang memberi wewenang
kepada pemerintah Kabupaten/Kota didasarkan pada UU No. 22/1999 (direvisi
dengan UU No. 32/2004) dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah.
UU No 22/1999 (Pasal 7 dan 11) dan UU No 25/1999, memberikan
kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota untuk merumuskan dan
membuat kebijakan daerah yang memberikan perlindungan hak atas
kepemilikan tanah ulayat dan masyarakat hukum adat. Beberapa daerah
dengan berlandaskan UU No. 23/1997 tentang Lingkungan Hidup dan UU No.
22/1999 (UU No 32/2004) telah membuat Perda dimaksud antara lain Perda
Kabupaten Lebak (Banten) No. 32 tahun 2001 Tentang Perlindungan Atas Hak
Ulayat Masyarakat Baduy, Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2003 tentang Desa
Pakraman yang memberi perlindungan terhadap keberadaan “Desa Adat”,
keberadaan “Nagari” di Sumatera Barat, dan Perda Kabupaten Kampar (Riau)
Nomor 12 tahun 1999 tentang Hak Tanah Ulayat.
Bersamaan dengan ini, pada kenyataannya, di beberapa wilayah kita
dapat menemukan keberadaan masyarakat adat dan pengakuan terhadap hak
kepemilikan tanah ulayat meskipun tanpa bukti-bukti tertulis, misalnya di
Riau (Kabupaten Kampar, Palalawan, Indragiri Hulu, Bengkalis), Kab.
Rejanglebong (Bengkulu) dan Kabupaten Merangin (Jambi). Pada masyarakat
asli, kepala desa sekaligus merupakan kepala adat. Namun, dengan terbitnya
UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa, hilanglah wewenang Kepala Desa
dalam menentukan pengelolaan dan penguasaan hak kepemilikan tanah
ulayat.
Menurut Pasal 1 ayat 3 Permenag No 5/1999, masyarakat hukum adat
adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada
kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Menurut ketua tim
peneliti keberadaan masyarakat adat dan hak ulayat di Kabupaten Pasir Prof
Dr Amir Syarifuddin SH, eksistensi kelompok masyarakat hukum ini ditandai
oleh keberadaan dalam lingkup “ulayat”-nya sebagai tempat mereka hidup dan
menjalani kehidupannya sehari-hari sesuai dengan nilai-nilai religi, adat
istiadat dan pranata hukum adatnya.

6
Ia juga mengakui, meskipun satu kelompok masyarakat telah dapat
diidentifikasi, namun ini tidak berlaku general. Karena itu, untuk kelompok
lain, meskipun masih suku Dayak, perlu dilakukan penelitian lanjutan khusus
agar dapat memastikan dilingkungan komunitas mana yang masih dapat
dinilai sebagai masyarakat hukum atau persekutuan hukum sehingga jelas
yang mana merupakan hak kolektif masyarakat dan mana yang hak individual
seseorang. Tim ini merekomendasikan perlunya dijelaskan tentang ketentuan
“hak ulayat” itu sendiri, misalnya melalui Perda agar dapat dibedakan dari
istilah yang sama atau hampir sama dengan yang banyak digunakan dalam
masyarakat umum.

Pengakuan terhadap hak ulayat

Menurut Pasal 2 ayat 2 Permenag No. 5/1999, hak ulayat masyarakat


hukum adat dianggap masih ada apabila: (a) Terdapat sekelompok orang yang
masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama
suatau persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,
(b) Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari, dan (c) Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan,
penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para
warga persekutuan hukum tersebut. Jadi, penentu masih ada atau tidaknya
hak ulayat dapat dilihat pada tiga hal, yakni ada masyarakat hukum yang
memenuhi ciri-ciri tertentu (= subjek hak ulayat), adanya wilayah dengan
batas-batas tertentu (= objek hak ulayat), dan adanya kewenangan masyarakat
hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu.
Selanjutnya, siapa yang berwenang menetapkan adanya hak ulayat
tersebut? Menurut Pasal 5 ayat 1, yang berwenang melakukan penelitian
adalah Pemda dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat
hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, LSM dan instansi-instansi
yang mengelola sumber daya alam. Output penelitian ini adalah peta dasar
pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan
menggambarkan batas-batasnya. Output ini lalu dicatatkan dalam daftar
tanah. Pada masyarakat awam, bukti penguasaan tanah adat warisan dari
leluhur sangat sederhana, yang dibuktikan dengan adanya pohon tempat
madu yang mereka sering ambil hasilnya dan kuburan misalnya.

Penggunaan tanah ulayat untuk HGU

Sebelum di-HGU kan, tanah ulayat harus didaftarkan atau


disertifikatkan. Pada prinsipnya, kegiatan pendaftaran tanah menurut PP No
24/1997 meliputi 3 kegiatan utama. Pertama, adalah registrasi berupa
kegiatan pencatatan data bidang dari aspek hukum dan fisik yang dikenal
dengan teknik kadasteral. Kedua, pengesahan hubungan hukum antara
subyek dan obyek hak yang bertujuan untuk memperoleh pengesahan secara

7
yuridis mengenai haknya, siapa pemegang haknya (subyek hak) dan kondisi
tanahnya (obyek hak) ada atau tidaknya hak lain yang membebani dan atau
permasalahan dimana alat pembuktian berupa dokumen dan lainnya
merupakan instrumen utamanya. Ketiga, penerbitan tanda bukti, berupa
sertipikat hak atas.
Berdasarkan Pasal 4 Pemenag No. 5/1999, setelah disertifikatkan, tanah
ulayat dapat dikuasai oleh masyarakat adat itu sendiri dan oleh pihak lain.
Penguasaan oleh pihak lain dapat oleh instansi pemerintah, dan badan hukum
ataupun perseorangan. Pelepasan hak penguasaan tersebut sesuai dengan
ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Salah satu bentuk
penguasaan tanah ulayat oleh pihak lain adalah berupa HGU.
Berdasarkan PP No 40/1996, HGU bisa ditetapkan pada tanah-tanah
selain tanah yang dikuasai langsung oleh Negara melalui mekanisme pelepasan
hak dan pengeluaran status kawasan. Hal ini merupakan perluasan pemberian
alas HGU berdasar UUPA dengan prinsip transparansi, akuntibilitas, dan
peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan
Umumnya HGU berlaku untuk tanah negara, sebagaimana Pasal 28 ayat
1 UUPA dan Pasal 4 PP No. 40/1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan Dan Hak Pakai Atas Tanah. Namun Pasal 4 ayat 2 Permenag No.
5/1999 menyatakan bahwa: ”Pelepasan tanah ulayat sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 huruf b untuk keperluan pertanian dan keperluan lain yang
memerlukan Hak Guna Usaha atau Hak Pakai, dapat dilakukan oleh
masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka
waktu tertentu, sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah
tersebut tidak dipergunakan lagi atau ditelantarkan sehingga Hak Guna Usaha
atau Hak Pakai yang bersangkutan hapus, maka penggunaan selanjutnya
harus dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat
yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih
ada sesuai ketentuan Pasal 2.
Ketentuan ini sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat. Karena itulah,
ketika di Sumatera Barat disusun Raperda tentang tanah ulayat, timbul protes
karena dalam Raperda setelah habis HGU tanah tersebut menjadi tanah
negara.
Meskipun aturannya sudah ada, namun persepsi masyarakat belum
tentu positif, walau hanya untuk disertifikatkan. Pengalaman Tim SMERU
tahun 2002 di Sumatera Barat, menemukan bahwa tidak ada sertifikat yang
diterbitkan melalui pendaftaran sistematik, karena kurang dari 30% kepala
mamak waris tidak setuju dengan kegiatan pengukuran, pemetaan, dan
pendaftaran tanah. Mereka khawatir setelah sertifikat di tangan maka tanah
ulayat akan dapat diperjual-belikan atau dipergunakan sebagai agunan di
bank tanpa perlu sepengetahuan para ninik mamak. Ini akan menyebabkan
tanah ulayat akan cepat hilang. Sebaliknya para keponakan menolak
sertifikasi karena masih ada perselisihan tanah dalam keluarga yang
disebabkan ninik mamak menjual tanah keluarga tanpa sepengetahuan
mereka, dan khawatir akan menyebabkan pembagian tanah komunal yang
kurang adil.

8
Selama ini, terutama pada era Orde Baru, pemerintah mempunyai
modus sendiri untuk menyediakan tanah bagi pemberian HGU. Pasal 2
Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21/1994
Tentang Tata Cara Perolehan Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka
Penanaman Modal menentukan bahwa perolehan tanah dalam rangka
pelaksanaan ijin lokasi dapat dilakukan melalui cara pemindahan hak atau
melalui penyerahan atau pelepasan hak atas tanah yang diikuti dengan
pemberian hak baru. Perolehan tanah melalui pemindahan hak dilakukan
apabila tanah yang bersangkutan sudah dipunyai dengan hak atas tanah yang
sama jenisnya dengan hak atas tanah yang diperlukan oleh perusahaan dalam
menjalankan usahanya dengan ketetentuan bahwa apabila perusahaan yang
bersangkutan menghendaki, hak atas tanah tersebut dapat juga dilepaskan
untuk kemudian dimohonkan hak sesuai ketentuan yang berlaku.
Contoh penerbitan HGU di tanah ulayat terjadi di kabupaten Pasaman
(Sumbar). Pasal 4 Keputusan Bupati Pasaman No. 6/1998 menyatakan, ayat 1:
”Pengadaan kebun plasma berasal dari penyerahan tanah oleh Ninik
Mamak/Pemilik/Penguasa, tanah (ulayat adat) yang diserahkan kepada Negara
melalui Pemerintah Daerah yang selanjutnya diperuntukkan bagi kelompok
tani peserta plasma dengan pola Bapak Angkat Anak Angkat”. Selanjutnya
pada ayat 2: “Bupati Kepala Daerah setelah menerima penyerahan tanah dan
berikutnya calon petani peserta plasma sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal
ini, memerintahkan kepada kepala BPN untuk mencatat (Registrasi) sebagai
tanah negara bekas tanah ulayat adat, memasang tanda-tanda batas,
melaksanakan pengukuran keliling dan penghitungan luas areal secara
kadesteral”.
Terlihat bahwa tanah-tanah ulayat tersebut diserahkan terlebih dahulu
kepada Pemda dan setelah itu barulah masuk pada proses pemberian HGU.
Penyerahan hak ulayat ini diikuti dan beserta dengan proses adat ”adat diisi,
limbago dituang” dan pemberian ”siliah jariah”. Ada yang berpendapat,
semestinya setelah penelitian tentang hak ulayat, lalu dibuatkan rancangan
Perda dan diajukan ke DPRD setempat, untuk dibahas dan ditetapkan menjadi
Peraturan Daerah. DPRD juga bisa melakukan penelitian dengan hak
inisiatifnya.
DI Sumbar, hal ini dilakukan melalui Lembaga Siliah Jariah sebagai
mekanisme adat berupa pemberian izin berladang/izin pemakaian tanah ulayat
kepada pihak ketiga diluar komunitas mereka. Pembayaran uang atau barang-
barang sebagai siliah jariah, tidaklah secara otomatis terjadi perpindahan hak
milik atas tanah tersebut. Benda-benda atau sejumlah uang yang dibayarkan
adalah sebagai uang adat sebagai syarat dikeluarkannya izin berladang untuk
pihak ketiga tersebut. Tidak terjadinya perpindahan hak kepemilikan atas
tanah ulayat yang disiliah jariahkan tersebut juga disebabkan karena tanah
ulayat tidak dapat diperjual belikan.
Secara konseptual, lembaga Siliah Jariah ini sulit
dipertanggungjawabkan keabsahannya dalam tatanan adat Minangkabau.
Namun demikian, sebagaimana sifat hukum adat yang dinamis, lembaga Siliah
Jariah dapat diterima dalam tatanan hukum adat Minangkabau berdasarkan
pendekatan jenis adat, yaitu termasuk adat yang diadatkan, bukan adat yang

9
sebenarnya adat. Adat yang diadatkan dilahirkan untuk mengakomodir
dinamika internal mereka yang selalu berkembang.
Jika ada investor yang berminat untuk membangun perkebunan besar
disuatu daerah, pemerintah daerah melakukan pendekatan dengan penghulu-
penghulu adat setempat. Tanah-tanah yang digunakan, apakah itu berupa
tanah peladangan atau tanah cadangan berupa hutan diberikan melalui
lembaga Siliah Jariah tadi. Investor melalui pemerintah daerah setempat
kemudian memberikan sejumlah uang atau barang sebagai tanda telah
terjadinya siliah jariah antara masyarakat adat setempat dengan pemda.
Melalui Siliah Jariah ini yang terjadi adalah ”peminjam pakaian” tanah. Proses
siliah jariah tidak menghilangkan hak ulayat masyarakat. Sehingga apabila
HGU telah habis jangka waktunya, maka akan kembali kepada masyarakat.

Penutup

Pada hakekatnya, penguasaan menurut hukum negara maupun adat,


memiliki banyak kesamaan, karena pada hakekatnya disusun atas nilai-nilai
sosial dan kesejahteraan bersama di dalamnya. Sehingga penggunaan tanah
yang mampu memberi nilai ekonomi lebih, misalnya dengan membangun
perkebunan besar, dapat diterima asalkan misalnya dilakukan di atas prinsip
keadilan. Jika berdasarkan akal sehat, tidak mungkin suatu masyarakat
hukum adat mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara
mutlak, seakan-akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-
masyarakat hukum dan daerah-daerah lainnya didalam lingkungan Negara
sebagai kesatuan. Karena akan berakibat terhambatnya usaha-usaha untuk
mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya.
Namun, selain aspek ”penguasaan dan pemilikan”, perlu pula
diperhatikan aspek ”penggunaan dan pemanfaatan”. UUPA banyak memuat
aspek pertama, sedangkan aspek kedua banyak dimuat dalam UU Penataan
Ruang (UUPR). Pengakuan penguasaan lahan tradisional dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) akan mengurangi benturan antara pihak perusahaan
dan masyarakat lokal. Pemetaan kepentingan seluruh stakeholder, dan
mengintegrasikannya secara formal dapat mencegah dan meminimalkan
konflik atas lahan.
Untuk solusi lokal, diundangkannya UU No. 22/1999, UU No. 41/1999
dan UU No 3/ 2003 telah memberi peluang secara terbuka kepada Pemda
Kabupaten/Kota untuk menyusun dan membuat kebijakan yang akomodatif
terhadap pemenuhan hak-hak masyarakat adat sesuai kebutuhan dan otonomi
daerah. Pemda dapat menyusun Perda dengan berpedoman pada perlindungan
hak-hak masyarakat adat sesuai dengat amanat UUD 1945 dan TAP MPR
Nomor XVII tahun 1988 misalnya.
Daftar Bacaan

Bahari, Syaiful. 2005. Negara dan Hak Rakyat atas Tanah. Kompas, 13 Mei 2005.

10
Bushar, Muhammad. 1988. Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Pradnya Paramita,
Jakarta.
Djuweng, Stefanus. 1996. Kalimantan: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan. Oktober, 1996.
Institut Dayakologi.
Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia.
Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.
Harsono, Boedi. 2002. Menuju penyempurnaan hukum tanah nasional dalam
hubungannya dengan Tap MPR RI Nomor IX tahun 2001, makalah pad seminar
nasional pertanahan 2002 “pembaruan agraria”. STPN Yogyakarta, tanggal 16
Juli 2002.
Jamal, Erizal; Tri Pranadji; Aten M. Hurun; Adi Setyanto; Roosgandha E. Manurung; dan
Yusuf Nopirin. 2001. Struktur dan dinamika penguasaan lahan pada komunitas lokal.
Laporan Penelitian PSE no. 526, Bogor.
Kaban, Maria. 2004. Keberadaan Hak Masyarakat Adat Atas Tanah Di Tanah Karo. Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Pakpahan, MD. et al. 1998. Traditional Community Land Occupancy Pattern and Land
Registration Problem: Case Studies in West Sumatera, Central Kalimantan, and West
Nusa Tenggara. Study Report volume I December 1998. Center for Societal
Development Studies in Cooperation with The National Land Agency. Jakarta.
Permana, Cecep Eka. 2003. Religi dalam Tradisi Bercocok Tanam Sederhana. Jurusan
ArkeologiFIBUI. (http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_
news=45, 10 Mei 2006).
Purbacaraka, Purnadi dan Ridwan Halim. 1993. Sendi-Sendi Hukum Agraria. Penerbit Ghalia
Indonesia.
Rizal, Syamsul. 2003. Kebijaksanaan Agraria Sebelum dan Sesudah Keluarnya UUPA.
Fakultas Hukum Bagian Hukum Perdata, Universitas Sumatera Utara. Medan.
Syahyuti. 2006. Nilai-Nilai Kearifan pada Konsep Penguasaan Tanah menurut Hukum Adat
di Indonesia. Majalah Forum Agro Ekonomi No1. tahun 2006, Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Ter Haar. 1985. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Sumur Batu, Bandung.
Thalib, Sajuti. 1985. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Bina
Aksara, Jakarta.
Umar, Ali. 1978. Hukum Adat dan Lembaga-Lembaga Hukum Adat daerah Sumatera Barat.
Laporan Penelitian, Kerjasama BPN dengan FH Unand, Padang.
Yakub, B. Nurdin. 1995. Hukum Kekerabatan Minangkabau. CV Pustaka Indonesia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1984. Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria. (Hal 290-1).
Dalam S.M.P. Tjondronegoro dan G. Wiradi (eds). 1984. Dua Abad Penguasaan
Tanah: Pola penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Yayasan Obor
Indonesia dan PT Gramedia, Jakarta.
Wiradi, Gunawan. 1996. Jangan Perlakukan Tanah sebagai Komoditi. Jurnal “Analisis Sosial.
Edisi 3 Juli 1996.
******

11

Anda mungkin juga menyukai