Anda di halaman 1dari 76

Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

LAPORAN AKHIR KAJIAN AKTUAL


Penurunan Kualitas Ekosistem Mangrove Hubungannya Dengan
Pendapatan Masyarakat Nelayan di Sumatera Utara (Studi
Kasus di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat)

KERJASAMA

BALITBANG PROPINSI SUMATERA UTARA

DENGAN
LEMBAGA PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (LPPM)
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN – 2005

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 1


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya

penelitian berupa kajian aktual yang berjudul “Penurunan Kualitas Ekosistem

Mangrove Hubungannya Dengan Pendapatan Masyarakat Nelayan di Sumatera

Utara (Studi Kasus di Kecamatan Secanggang Kabupaten Langkat)”. Penelitian ini

diselenggarakan kerjasama antara Badan Penelitian dan Pengembangan Propinsi

Sumatera Utara dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat (LPPM) Universitas

Medan Area.

Dalam laporan penelitian ini dijelaskan tentang penurunan kualitas ekosistem

hutan mangrove sebagai akibat dilakukannya eksploitasi yang berlebihan tanpa

dilakukannya upaya reboisasi, yang berdampak pada penurunan pendapatan

masyarakat setempat. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai

salah satu dasar dalam menyusun kebijakan pembangunan pertanian ke depan di

Propinsi Sumatera Utara khususnya dalam penanganan ekosistem hutan mangrove.

Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Medan, Desember 2005.

Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan


Universitas Medan Area Propinsi Sumatera Utara
Ketua, Kepala,

H. Abdul Lawali Hasibuan, SH Ir. H. Syarifullah Harahap, MSi.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 2


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

NIP. 010095728
RINGKASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji Penurunan Kualitas Ekosistem Mangrove


Hubungannya Dengan Pendapatan Masyarakat Nelayan di Sumatera Utara (Studi Kasus Di Kecamatan
Secanggang Kabupaten Langkat). Desa yang menjadi lokasi penelitian adalah Jaring Halus dan Kwala
Besar, yang berlokasi di sekitar ekosistem hutan bakau, memiliki garis pantai panjang dan hampir
seluruh penduduknya memiliki mata pencaharian di sektor perikanan.
Untuk mendapatkan gambaran dampak kerusakan, dilakukan analisis statistik dengan
menggunakan uji-t mached pair untuk mengetahui signifikansi perbedaan beberapa indikator yang
dianalisis pada saat sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem mangrove. Indikator-
indikator tersebut antara lain pendapatan rumah tangga, keragaman jenis biota tangkapan nelayan,
kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan yang
berbasiskan sumber daya perikanan. Hal ini dikarenakan sektor perikanan laut/payau sangat terkait
dengan eksistensi dan peran ekosistem mangrove sebagai habitat dan penyangga kehidupan aneka
biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan. Sedangkan untuk mengetahui fungsi
konsumsi dan masyarakat pantai digunakan analisis regresi linier sederhana.
Analisis pendapatan sebelum dan sesudah kerusakan dilakukan dengan pendekatan nilai
kiwari (precent value approach) dikarenakan terdapat perbedaan preferensi terhadap nilai sumber daya
alam seiring dengan perubahan waktu. Keragaman jenis biota tangkapan dianalisis melalui jenis-jenis
yang menjadi langka atau hilang (pendekatan frekuensi perjumpaan) dan tinjauan persepsi masyarakat
terhadap populasi dan keragaman jenis-jenis biota laut tangkapan nelayan. Adapun kemudahan
bekerja dan berusaha serta kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan merupakan
analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi sebelum dan sesudah terjadi kerusakan ekosistem hutan
mangrove di lokasi studi.
Dari analisis statistik terhadap data diketahui bahwa pendapatan rumah tangga, keragaman
jenis biota tangkapan nelayan, kemudahan bekerja dan berusaha, serta ketersediaan bahan baku dan
komoditas perdagangan antara kondisi sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem
mangrove ternyata berbeda secara signifikan pada taraf keyakinan 95%. Nilai t-hitung masing masing
indikator secara berurut antara lain 7.11 (t-tabel 1.995), 20.65 (t-tabel 1.999), 17.02 (t-tabel 1.999), dan
19.20 (t-tabel 1.999). Terjadi penurunan volume dan keragaman jenis hasil tangkapan, dimana rata-rata
56.32% dari jenis-jenis ikan yang biasa ditangkap oleh nelayan menjadi langka (sulit didapat) dan
35.36% diantaranya bahkan menjadi hilang (tidak pernah lagi tertangkap). Selain itu, diperoleh hasil
bahwa terjadi penurunan pendapatan responden akibat kerusakan ekosistem mangrove sebesar rata-rata
Rp.667.562,- atau sebesar 33.89% dari pendapatan sebelum terjadinya kerusakan, meskipun penurunan
tersebut terjadi secara variatif antar kelompok pekerjaan pokok. Kelompok pekerjaan pokok yang
paling tinggi tingkat penurunannya adalah nelayan pembudidaya dengan proporsi penurunan sebesar
41.12% dari total pendapatan semula. Hal ini dikarenakan komoditi yang dibudidayakan di wilayah
studi adalah jenis-jenis ikan kerapu, jenahar, udang dan kepiting bakau yang selama daur hidupnya
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem mangrove. Kerusakan ekosistem hutan
bakau/mangrove berdampak langsung terhadap ketersediaan bibit kegiatan budidaya, sehingga
sebagian besar kegiatan budidaya laut maupun payau yang tidak lagi berjalan.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove juga berdampak terhadap kesempatan
kerja dan berusaha, dimana 85.4% masyarakat berpendapat bahwa sebelum
kerusakan mereka agak mudah sampai dengan mudah mendapatkan kesempatan kerja
dan berusaha, namun sebaliknya setelah terjadi kerusakan dimana 85.4% responden
menyatakan agak sulit sampai dengan sulit mendapatkan kesempatan bekerja dan
berusaha.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 3


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Dalam kajian makro, tingkat pembentukan saving rata-rata keluarga di lokasi


studi hanya sebesar 8% dari total pendapatan keluarga, jauh lebih rendah dari angka
normal yaitu sebesar 15%. Hal ini berdampak pada kurangnya support terhadap
berkembangnya investasi lokal yang dampaknya bermuara kepada kurangnya
ketersediaan lapangan kerja dan rendahnya multiplier effect terhadap perekonomian
maupun pengembangan wilayah di kawasan pantai Kecamatan Secanggang.
Sedangkan Marginal Prospencity to Consume (MPC) diketahui sebesar 0.807 dan
Marginal Prospencity to Saving (MPS) sebesar 0.193. Hal ini berarti kecenderungan
untuk mengkonsumsi lebih besar dibandingkan dengan hasrat untuk menabung.
Pemerintah daerah bersama masyarakat lembaga swadaya masyarakat dan
semua pihak yang terkait harus segera melakukan upaya rehabilitasi hutan mangrove
yang seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap arti pentingnya
ekosistem hutan mangrove bagi kelangsungan hidup mereka. Selain itu, kalangan
akademisi perlu mengkaji bentuk kelembagaan pengelolaan hutan mangrove yang
lebih baik, yang menempatkan masyarakat sebagai pemangku kepentingan sekaligus
pelaku utama dalam pengelolaan hutan bakau.
Pengembangan bentuk-bentuk mata pencaharian alternatif bagi masyarakat
pantai yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak sekedar eksploitatif,
memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi dengan konsep pemanfaatan
sumber daya alam secara lestari melalui pendekatan budaya (kultur) serta sinergi
dengan peningkatan kapasitas sumberdaya manusia, tetapi lebih pada peningkatan
daya tumbuh investasi lokal melalui kebijakan dan fasilitasi dari pemerintah sebagai
triger bagi pengembangan investasi di kawasan pantai. Di pihak lain, perlu dilakukan
upaya antisipasi dengan pendekatan ekonomi maupun sosial budaya, guna mencegah
dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat pantai akibat menurunnya
pendapatan serta kesempatan kerja dan berusaha.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 4


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

DAFTAR ISI

RINGKASAN ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vii

I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.4. Hipotesis ............................................................................................... 5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 7


2.1. Karakteristik Ekosistem Hutan Bakau .................................................. 7
2.1.1. Vegetasi Mangrove ................................................................ 8
2.1.2. Satwa...................................................................................... 9
2.2. Kondisi dan Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau ................................. 13
2.3. Dampak kerusakan Ekosistem Bakau ................................................... 19
2.4. Korelasi Ekosistem Hutan Bakau dan Perikanan.................................. 20

III. METODE PENELITIAN................................................................................. 22


3.1. Lokasi Penelitian.................................................................................. 22
3.2. Populasi dan Sampel ............................................................................. 23
3.3. Teknik Pengumpulan Data.................................................................... 23
3.4. Teknik Analisis Data............................................................................. 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN......................................................................... 26


4.1. Hasil ................................................................................................ 26
4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...................................... 26
a. Administrasi ..................................................................... 26
b. Kondisi Fisik Wilayah ..................................................... 27
c. Letak Geografis................................................................ 28
d. Penduduk.......................................................................... 28
4.1.2. Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Pantai ............................. 30
a. Umur ................................................................................ 30
b. Pendidikan........................................................................ 31
c. Pekerjaan.......................................................................... 31
d. Tingkat Kesejahteraan...................................................... 33
4.1.3. Keragaman Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan..................... 37

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 5


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

4.1.4. Pendapatan Nelayan............................................................... 41


4.1.5. Kesempatan Berusaha ............................................................ 48
4.1.6. Kesempatan Kerja .................................................................. 51
4.2. Pembahasan........................................................................................... 53
4.2.1. Keragaman Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan..................... 53
4.2.2. Pendapatan Nelayan............................................................... 55
4.2.3. Kesempatan Berusaha ............................................................ 57
4.2.4. Kesempatan Kerja .................................................................. 58

V. KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................... 63


5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 63
5.2. Saran ................................................................................................ 63

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 66

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 6


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

2.1. Perbandingan Kerapatan Bakau (R. apiculata) pada Tingkat Semai,


Pancang dan Tiang ........................................................................................... 15
3.1. Kondisi Desa di Kecamatan Secanggang.......................................................... 22
3.2. Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ........................................................... 23
4.1. Luas Wilayah Kecamatan Secanggang 2003 .................................................. 27
4.2. Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Secanggang
Tahun 2003 ...................................................................................................... 29
4.3. Disribusi Umur Kepala Keluarga Masyarakat Pantai (2004) ........................... 30
4.4. Data Pendidikan Kepala Keluarga Masyarakat Pantai (2004).......................... 31
4.5. Pekerjaan Pokok dan Sambilan Masyarakat Pantai (2004) .............................. 32
4.6. Paired Samples Test untuk Data Keragaman Jenis .......................................... 38
4.7. Data Perubahan Keragaman Jenis Hasil Tangkapan Nelayan Setelah
Kerusakan Ekosistem Mangrove ...................................................................... 39
4.8. Paired Samples Test untuk Data Pendapatan.................................................... 43
4.9. Pendapatan Rata-rata Berdasarkan Kelompok Profesi (2004).......................... 45
4.10. Distribusi Kelas Pendapatan Masyarakat Pantai (2004) ................................... 46
4.11. Komparasi Rata-Rata Pendapatan, Pengeluaran dan Saving (2004) ................ 47
4.12. Paired Samples Test untuk Data Kesempatan Kerja dan Berusaha .................. 49
4.13. Paired Samples Test untuk Data Ketersediaan Bahan Baku dan Komoditi
Perdagangan ....................................................................... 50
4.14. Kondisi Kesempatan Bekerja dan Berusaha Sebelum dan Sesudah
Kerusakan. ........................................................................................................ 52
4.15. Kendala yang Dialami Masyarakat Nelayan dalam Berusaha .......................... 61

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 7


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul
Halaman

2.1. Kondisi Ekosistem Hutan Bakau di Kecamatan Secanggang Over


Eksploitasi dan Mengalami Alih Fungsi........................................................... 8
2.2. Degredasi Jumlah Spesies Mangrove di SM KGLTL ...................................... 15
2.3. Bentuk Pengelolaan Hutan Bakau di SM KGLTL yang tidak Lestari:
Alih Fungsi Menjadi Tambak Terbuka Tanpa Green Belt .............................. 16
4.1. Proporsi Kondisi Fisik Rumah Masyarakat Pantai ........................................... 34
4.2. Proporsi Sumber Energi Utama Keluarga Masyarakat Pantai .......................... 36
4.3. Proporsi Sumber Air Minum Keluarga Masyarakat Pantai ............................. 37
4.4. Perubahan Rata-rata Pendapatan Akibat Kerusakan
Ekosistem Mangrove ........................................................................................ 45
4.5. Proporsi Pendapatan, Pengeluaran dan Saving Masyarakat Pantai .................. 48

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 8


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Aktivitas manusia yang berlebihan dalam mengeksploitasi sumberdaya alam

di kawasan pantai menyebabkan kerusakan hutan mangrove yang cukup parah.

Diperkirakan luas hutan mangrove yang rusak di seluruh Indonesia telah mencapai 3

juta hektar. Di Sumatera Utara sendiri diperkirakan kerusakan telah mencapai

300.000 hektar yang hingga saat ini belum dapat ditanggulangi.

Departemen Kehutanan Republik Indonesia telah melihat dampak yang lebih

parah akan terjadi apabila kondisi ini tidak segera ditangani. Usaha penanganan

kerusakan hutan mangrove ini telah ditindaklanjuti dengan telah ditetapkan anggaran

sebesar 4 trilyun rupiah untuk program reboisasi hutan mangrove di seluruh

Indonesia.

Ekosistem hutan bakau (mangrove) merupakan salah satu ekosistem di

wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan. Ekosistem hutan bakau

berada di wilayah hilir atau muara dimana segala bentuk dampak kerusakan di

wilayah hulu dan tengah akan membawa berdampak ke wilayah ini. Namun

demikian ekosistem hutan bakau memiliki fungsi kontrol, pertahanan dan bahkan

netralisir terhadap dampak-dampak tersebut, sepanjang kondisinya baik. Fungsi ini

menjadi tidak efisien apabila terjadi kerusakan dan ketidak seimbangan pada

ekosistem hutan bakau.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 9


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Umumnya ekosistem hutan bakau merupakan sumber daya alam (natural

resources) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat, mengingat

hutan bakau mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup

terbuka/berkembang. Selain itu, potensi ekonomi hutan ini cukup tinggi dengan

didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong

laju kerusakan ekosistem hutan bakau umumnya berlangsung cepat.

Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat merupakan salah satu kecamatan

yang berada di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Sei Besitang. Secara

umum kawasan ini merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem utama berupa hutan

bakau. Salah satu ekosistem mangrove yang masuk kategori kawasan lindung di

wilayah ini adalah kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Laut (SM KGLTL). Bagian dari kawasan Suaka Margasatwa ini yang masuk dalam

wilayah administrasi Kabupaten Langkat adalah bagian Langkat Timur Laut yang

berada di Kecamatan Secanggang.

Ekosistem hutan bakau di Kecamatan Secanggang saat ini telah mengalami

kerusakan. Menurut laporan Anonimous (1999), di wilayah ini telah terjadi berbagai

bentuk kerusakan ekosistem hutan bakau yang berupa penebangan liar/pencurian

kayu, perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar,

pencemaran sungai dan pemukiman. Okupasi lahan yang terjadi pada tahun 1999

mencapai 3.650 ha (24%) yang meliputi 1.600 ha untuk kegiatan pertambakan, 1.800

ha untuk kebun kelapa sawit dan 250 ha dikonversi untuk penggunaan lainnya.

Selanjutnya dilaporkan bahwa bentuk-bentuk pengrusakan meningkat secara drastis

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 10


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

sejak tahun 1995, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Bahkan

Anonimous (2002) melaporkan adanya kerusakan ekosistem mangrove di wilayah ini

yang sudah mencapai tingkat yang cukup parah. Berdasarkan data hasil interpretasi

citra landsat TM tahun 2002 dilaporkan bahwa hutan bakau yang ada di Kecamatan

Secanggang tinggal 4.450,2 ha dari luas potensial sebanyak 9.000 ha. Hal itu berarti

secara bentang fisik telah terjadi kehilangan/alih fungsi sebanyak 5.549,8 ha (61,7%).

Untuk suatu ekosistem lindung, tingkat kerusakan seperti itu sudah cukup

memprihatinkan, terlebih kawasan ini memiliki beberapa keistimewaan, antara lain :

1. Suaka Margasatwa KGLTL merupakan satu-satunya suaka margasatwa yang

keseluruhan kawasannya merupakan ekosistem hutan bakau.

2. Suaka Margasatwa KGLTL merupakan kawasan persinggahan burung-burung

migran dari Siberia ke Australia dan sebaliknya.

3. Merupakan kawasan hutan bakau yang memiliki lebar jalur cukup lebar

dengan jumlah paluh dan sungai yang cukup banyak.

4. Merupakan kawasan lindung yang berada di daerah yang relatif terbuka dan

memiliki intensitas interaksi dengan masyarakat yang tinggi.

Ekosistem hutan bakau sangat terkait dengan pencaharian nelayan, sehingga,

kerusakan pada ekosistem hutan bakau akan terkait dengan perekonomian nelayan

secara keseluruhan. Sebaliknya, perilaku masyarakat pantai juga masih cenderung

destruktif terhadap ekosistem hutan bakau. Waktu-waktu tidak melaut (sekitar 10

hari dalam setiap bulannya) umumnya merupakan waktu untuk memperbaiki jaring

dan menangkap ikan di paluh-paluh, namun sebagian memanfaatkannya untuk

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 11


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

menebang kayu bakau. Akan tetapi sejauh ini belum dikaji kaitan kuantitatif antara

kerusakan ekosistem hutan bakau dengan pendapatan nelayan, sehingga

pemahaman/kesadaran masyarakat akan hal tersebut masih sangat minim dan terus

melakukan tindakan pengrusakan. Dalam konteks perekonomian wilayah, penurunan

mata pencaharian berakibat kepada aspek-aspek sosial ekonomi masyarakat nelayan.

Korelasi ini perlu dianalisis secara ilmiah sehingga masyarakat dan terutama

pengambil keputusan dapat melakukan perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir

secara komprehensif (terpadu) dan bisa meminimalisir dampak negatif yang terjadi.

Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana dampak yang

ditimbulkan dengan adanya kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap pendapatan

nelayan, dalam tataran rumah tangga secara kuantitatif. Kajian ini sangat diperlukan

sebagai acuan dalam mendesain bentuk pengelolaan yang tepat sesuai dengan

karakteristik wilayahnya, agar tercipta bentuk pengelolaan sumberdaya pesisir

(khususnya ekosistem hutan bakau) yang terpadu, lestari dan berkesinambungan.

Perlunya bentuk pengelolaan yang tepat ini dikarenakan adanya perubahan azas

pengelolaan hutan dari resources based development menjadi community based

development yang memiliki implikasi bahwa orientasi pengelolaan hutan harus lebih

mengarah lagi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini dirumuskan

sebagai berikut :

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 12


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

1. Apakah ada perbedaan keragaman jenis hasil tangkapan nelayan sebelum dan

sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

2. Apakah ada perbedaan pendapatan nelayan yang signifikan antara sebelum

dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

3. Bagaimana dampak kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap kesempatan

kerja dan berusaha nelayan.

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji dampak yang terjadi terhadap pendapatan nelayan setelah adanya

kerusakan ekosistem hutan bakau.

2. Mengkaji secara statistik perbedaan keragaman jenis tangkapan nelayan

sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

3. Mengkaji secara statistik perbedaan pendapatan nelayan sebelum dan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

4. Mengkaji pengaruh kerusakan ekosistem hutan bakau terhadap kesempatan

kerja dan berusaha nelayan.

1.4. Hipotesis

Di antara beberapa permasalahan penelitian yang dirumuskan, terdapat dua

permasalahan yang akan diuji secara statistik dengan hipotesis :

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan nelayan sebelum dan

sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 13


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

2. Terdapat penurunan keragaman jenis tangkapan nelayan yang signifikan

antara sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

3. Terdapat perbedaan kesempatan kerja dan berusaha bagi nelayan yang

signifikan antara sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan

bakau.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Diketahuinya secara kuantitatif dan ilmiah dampak kerusakan ekosistem hutan

bakau terhadap pendapatan nelayan.

2. Sebagai data ilmiah untuk kampanye konservasi sumber daya hutan bakau dan

diplomasi lintas sektoral guna mencegah bentuk-bentuk kerusakan ekosistem

hutan bakau yang berdampak langsung kepada perekonomian wilayah pesisir.

3. Sebagai bahan masukan bagi perencanaan pengembangan wilayah pesisir

yang berbasis pengelolaan sumber daya alam yang lestari.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 14


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Karakteristik Ekosistem Hutan Bakau

Salah satu karakteristik hutan dengan sumberdaya alam lainnya menurut

Suparmoko (1989) adalah bahwa hutan mempunyai banyak manfaat (multilple

use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan juga

mempunyai berbagai fungsi penting lainnya. Sehingga, dalam pengambilan

keputusan mengenai macam penggunaan/pengelolaan hutan perlu diperhatikan

bahwa tidak semua lahan cocok untuk semua bentuk pemanfaatan.

Berdasarkan bentuk/wujudnya, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi

dua macam, yaitu : manfaat tangible dan manfaat intangible. Manfaat tangible

antara lain : kayu, getah, hasil hutan ikutan dan lain-lain. Sementara manfaat

intangible antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain

(Darusman, 1990 dalam Arifudin, 1990).

Hutan bakau di Kabupaten Langkat (seperti pada umumnya hutan bakau

di Indonesia) berkembang baik pada daerah-daerah pantai berlumpur, di muara-

muara sungai berlumpur, terpengaruh pasang surut, dan umumnya pada garis-

garis pantai yang landai dan terlindung dari hempasan ombak yang besar.

Beberapa jenis tanaman mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang

pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp), gambut (peat, seperti

Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizopora stylosa), dan bahkan tanah

berkoral yang kaya akan dentritus (walaupun tidak baik pertumbuhannya, seperti

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 15


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Pemphis acidula). Pada kawasan pantai berbatu yang ditutupi lumpur, tumbuhan

hutan bakau dapat juga berkembang namun pertumbuhannya akan kerdil dan

kerapatannya rendah (contohnya di sepanjang pantai Pulau Batam).

Gambar 2.1. Kondisi ekosistem hutan bakau di Kecamatan Secanggang: over-


eksploitasi dan mengalami alih fungsi.

2.1.1. Vegetasi Mangrove

Adaptasi tumbuhan hutan bakau terhadap habitatnya membentuk

karakteristik yang khas pada morfologi, fisiologi, fenologi, fisiognomi, serta

komposisi struktur vegetasi yang khas untuk hutan bakau. Habitat yang

membuat hutan bakau harus beradaptasi antara lain keadaan tanah (lumpur

atau pasir), salinitas, penggenangan, pasang surut dan kandungan oksigen

tanah. Dari segi fisiologi, ciri yang paling menonjol adalah sifat-sifat hutan

bakau yang tahan terhadap tanah yang mengandung garam dan genangan air

laut (halofit). Adaptasi pohon hutan bakau terhadap kondisi lingkungan

berlumpur dan miskin oksigen tersebut di diwujudkan dalam bentuk

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 16


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

perakaran istimewa yang berfungsi sebagai akar nafas (pneumatofora) serta

penunjang tegaknya pohon. Namun demikian, beberapa jenis pohon

mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar, seperti ditunjukkan

oleh Bruguiera sexangula, Bruguiera gymnorhiza dan Sonneratia caseolaris

di Kebun Raya Bogor (Anonimous, 1997).

2.1.2. Satwa

Secara umum, terdapat dua kategori satwa yang ada di ekosistem

hutan bakau, yaitu fauna yang mutlak hidup di dekat/dalam air (aquatik,

terdiri dari jenis ikan, kepiting, siput, kerang, cacing) dan fauna yang

hidupnya tergantung pada air. Studi di hutan mangrove Sundarban

melaporkan terdapat 120 jenis ikan tangkapan. Di Cagar Alam Cimanuk

ditemukan 52 jenis ikan dan udang tangkapan yang bernilai ekonomi penting.

Dua per tiga dari jenis-jenis tersebut paling tidak menghabiskan sebagian dari

daur hidupnya di perairan dangkal atau muara yang tergantung pada pasokan

pakan dan perlindungan dari rawa-rawa mangrove.

Secara teoritis menurut Davies, Claridge dan Nararita (1995), mangrove

memiliki fungsi-fungsi dan manfaat sebagai berikut :

1. Habitat satwa langka. Mangrove sering menjadi habitat jenis-jenis satwa

endemik seperti Bekantan (Nasalis larvatus) yang endemik di Kalimantan,

Beruk Mentawai (Macacapagensis) yang endemik di Kepulauan Mentawai

dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 17


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

jenis burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan

dengan hutan bakau merupakan tempat mendaratnya ribuan burung pantai

migran, termasuk jenis burung langka Blekok Asia (Limnodromus

semipalmatus).

2. Pelindung terhadap bencana alam. Vegetasi mangrove dapat melindungi

bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai

atau angin yang bermuatan garam.

3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses

pengendapan lumpur. Pengendapan lumpur berhubungan erat dengan

penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut

seringkali terikat pada partikel lumpur.

4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran

air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi

pengendapan unsur hara yang berasal dari berbagai sumber, termasuk

pencucian dari areal pertanian.

5. Penambat racun. Banyak racun yang memasuki ekosistem perairan dalam

keadaan terikat pada permukaan lumpur atau terdapat di antara kisi-kisi

molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau

bahkan melakukan proses penambatan racun secara aktif.

6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil

alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau

mineral yang dapat dimanfaatkan secara langsung di dalam kawasan.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 18


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Sedangkan sumber alam ex-situ meliputi produk-produk yang dihasilkan oleh

proses-proses alamiah di hutan bakau dan terangkut/berpindah ke tempat lain

yang kemudian digunakan oleh masyarakat di daerah tersebut, menjadi

sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti

menambah luas pantai karena pemindahan pasir dan lumpur.

7. Transportasi. Pada beberapa hutan bakau, transportasi melalui air merupakan

cara yang paling efisien dan paling sesuai dengan lingkungan.

8. Sumber plastma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar

manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa komersial maupun untuk

memelihara populasi hidupan liar itu sendiri.

9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan bakau memiliki potensi nilai estetika, baik

dari faktor alamnya maupun dari hidupan yang ada di dalamya.

10. Sarana pendidikan dan penelitian. Upaya pengembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi membutuhkan laboratorium lapang yang baik untuk kegiatan

penelitian dan pendidikan.

11. Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan bakau sangat tinggi

peranannya dalam mendukung berlangsungnya proses-proses ekologi,

geomorfologi atau geologi di dalamnya.

12. Penyerapan karbon. Proses fotosintesis mengubah karbon anorganik (dari

CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian

besar ekosistem, bahan ini membusuk dan melepaskan karbon kembali ke

atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 19


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih

berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan sebagai sumber karbon.

13. Memelihara iklim mikro. Evapotranspirasi dari hutan mampu menjaga

kelembaban dan curah hujan kawasan tersebut, sehingga keseimbangan iklim

mikro terjaga.

14. Mencegah berkembangnya tanah sulfat masam. Keberadaan hutan bakau

dapat mencegah teroksidasinya lapisan pirit dan menghalangi berkembangnya

kondisi asam.

Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan

satu-satunya kawasan lindung yang keseluruhan arealnya merupakan ekosistem

hutan bakau. Kawasan ini memiliki luas total 15.765 ha, terbagi atas dua wilayah

kabupaten, yakni 6.245 ha diantaranya berada di Kabupaten Deli Serdang

(Kecamatan Hamparan Perak) dan 9.520 ha berada di Kabupaten Langkat,

tepatnya di kawasan Langkat Timur Laut (Kecamatan Secanggang dan Tanjung

Pura). Secara astronomis kawasan ini terbentang antara 98030’ BT – 98042’ BT

dan 3051’30” LU – 3059’45” LU.

Formasi geologi kawasan SM KGLTL terbentuk relatif muda. Menurut

Verstappen (1973) dalam Giesen dan Sukotjo (1991), sedimen yang membentuk

dataran pantai di daerah ini adalah Hoocxene, dengan demikian usianya tidak

lebih dari 10.000 tahun. Tanah didominasi oleh lempung, kadang-kadang

bercampur dengan kerikil, pasir halus, bahan organik dan bioklastik karbonat

(terutama pecahan karang). Adapun jenis-jenis tanah di dalam kawasan ini antara

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 20


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

lain Aluvial, Regosol dan Organosol dengan bahan induk endapan sungai dan

bahan organik.

Menurut Anonimous (1999), vegetasi di kawasan ini didominasi (70 %)

oleh kawasan hutan bakau (Rhizopora spp dan Bruguiera spp) dan sisanya berupa

kawasan dengan dominasi nipah (Nypa fruticans) dan cemara laut (Casuarina

equisetifolia). Sedangkan faunanya terdiri dari mamalia, aves, reptil, molusca,

crustacea dan ikan.

Kondisi hutan bakau di lokasi studi dilaporkan USU (1999) bahwa

kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut masih

memiliki keliaran (wildness) yang tinggi. Kawasan ini memiliki sedikitnya tiga

kelompok manfaat, yaitu sebagai kawasan penyangga kegiatan perekonomian

masyarakat (perikanan pantai/laut), konservasi sumberdaya genetik dan tujuan

lainnya berkaitan dengan faktor lingkungan dan kehidupan.

2.2. Kondisi dan Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau

Ekosistem wilayah pesisir memiliki keragaman yang tinggi. Ada kawasan

pesisir yang berupa daerah berbukit terjal dengan ekosistem karang yang dominan

di perairan, ada kawasan pesisir yang merupakan zona muara dengan hamparan

pantai berlumpur yang luas dan diantaranya ada kawasan pesisir dengan formasi

hutan bakau yang tebal dan memanjang sepajang garis pantai. Semua jenis

ekosistem pesisir tersebut memiliki karakteristik, potensi manfaat, masalah dan

pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan fungsi kawasan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 21


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

pesisir maka dapat dikatakan bahwa kawasan pesisir mempunyai tingkat

produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah terjadi

konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena kawasan

pesisir dapat dijadikan kegiatan pembangunan dan investasi, sehingga terjadi

tekanan yang merugikan terhadap kawasan pesisir yang tidak diperhitungkan.

Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan bakau

secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti

mengenai luasan hutan bakau, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah

berubah bentang lahannya, karena umumnya hutan bakau tidak memiliki

boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun

1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha atau sebesar 61 %. Contoh

kasus lokal di kawasan hutan bakau Kabupaten Langkat (SM KGLTL) yang

diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral (2001) yang menyatakan bahwa

berdasarkan kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan SM KGLTL

sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan

beregenerasi secara alami (Gambar 2.2. dan 2.3.). Hal ini nampak dari kondisi

jenis tanaman utama (R. apiculata) sebagai berikut :

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 22


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 2.1. Perbandingan kerapatan bakau (R. apiculata) pada tingkat semai, pancang
dan tiang.

Tingkat Tiang Tingkat Pancang Tingkat Semai


Jenis
K KR K KR K KR
(ind/ha) (%) (ind/ha) (%) (ind/ha) (%)
R. apiculata 0 0 2.750 89,80 1.000 36,36

Sumber : Ramli & Purwoko, 2003.

Jumlah Spesies

40
34
35
30
25 21
20 18

15
10
5
0 1951 1991 2001
Tahun

Sumber : Ramli & Purwoko, 2003.

Gambar 2.2. Degradasi jumlah spesies hutan bakau di SM KGLTL.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 23


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Gambar 2.3. Bentuk pengelolaan hutan bakau di SM KGLTL yang


tidak lestari: alih fungsi menjadi tambak terbuka tanpa
green belt.

Kerusakan ekosistem pesisir juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber

daya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai,

ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada

menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir. Kasus-kasus adanya

keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan

Purwoko terjadi di beberapa tempat seperti di Pantai Cermin, Pantai Labu,

Secanggang, Pantai Pandan dan Sei Berombang.

Di Kabupaten Langkat, hutan bakau umumnya memiliki tingkat

keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra kegiatan

perekonomian masyarakat. Kondisi ini membuat hutan bakau di Kabupaten

Langkat memiliki interaksi sosio-ekosistem yang tinggi. Menurut Purwoko &

Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 24


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

biasanya membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan

maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan

bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian dan kontribusinya

terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain,

dampak degradasi ekosistem hutan bakaunya terhadap perekonomian wilayah

pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem hutan

bakau mutlak harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk

mempertahankan peran, fungsi serta keseimbangan ekosistem kehidupan di

sekitar kawasan pesisir. Dalam kasus kerusakan di SM KGLTL, Purwoko &

Onrizal (2002) melaporkan beberapa indikator kerusakan ekosistem di wilayah ini

yang menunjukkan tingginya tingkat kerusakan yang terjadi, misalnya :

1. Tejadinya degradasi keragaman spesies yang ditemukan di wilayah ini,

dimana pada tahun 1951 melaporkan ditemukannya 34 spesies vegetasi

mangrove di kawasan ini, namun pada tahun 1991 menjadi 21 spesies

(Giesen dan Sukotjo, 1991) dan bahkan pada tahun 2001 tinggal 18 spesies

yang ditemukan (Purwoko dan Onrizal, 2001).

2. Adanya kerapatan individu pada tingkat semai yang lebih rendah dari

tingkat pancang. Kondisi kerapatan pohon seperti itu menggambarkan

ketidakmampuan dari ekosistem tersebut untuk melakukan regenerasi secara

alami.

3. Tidak ditemukannya pohon pada kelas tiang dan pohon untuk beberapa jenis

pohon komersial seperti Rhizopora mucronata, Rhizopora apiculata,

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 25


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Bruguierra gymorhyza, dan Bruguiera sexangula akibat penebangan secara

terus menerus. Hal ini menyebabkan tidak tersedianya pohon induk untuk

permudaan alami secara generatif. Teknik penebangan yang salah dengan

menebang sampai ke akar-akarnya juga menyebabkan permudaan alami

secara vegetatif tidak terjadi.

Masalah-masalah yang mengancam kelestarian kawasan ini menurut

Anonimous (1999) diantaranya adalah penebangan liar/pencurian kayu,

perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar,

pencemaran sungai dan pemukiman. Pengambilan kayu bakau oleh masyarakat

sekitar kawasan sudah melampaui batas daya dukung kawasan. Di sekitar

kawasan Suaka Margasatwa KGLTL terdapat 88 dapur kilang arang (charcoal

kiln) (laporan Anonimous, 2002 terdapat 200 kilang) dengan kebutuhan bahan

baku sebanyak 2.000 batang/dapur/bulan. Perambahan di kawasan ini dilakukan

oleh masyarakat dan pengusaha untuk kegiatan perkebunan sawit dan tanaman

lainnya (1.496 ha), tambak udang (885 ha), pemukiman dan lain-lain.

Pencemaran yang terjadi pada kawasan ini bersumber dari kegiatan pabrik tebu,

limbah tambak, limbah minyak boat dan sebagainya. Pencemaran berat terjadi

secara periodik setiap 6 bulan sekali, dimana pada saat itu air sungai menjadi

keruh dan biota air banyak yang mati. Sedangkan perambahan untuk pemukiman

penduduk tidak terlalu banyak, akan tetapi keberadaannya bisa membengkak

dengan adanya pendatang ataupun karena faktor kelahiran.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 26


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

2.3. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau.

Kawasan pesisir merupakan wilayah yang secara ekologis sangat peka

terhadap gangguan akibat adanya perubahan lingkungan, baik yang disebabkan

oleh aktivitas manusia yang meningkat, sehingga wilayah pesisir mengalami

tekanan dan cenderung menurunkan kualitas lingkungan wilayah pesisir serta

kerusakan-kerusakan kawasan pesisir. Kondisi tersebut tidak bisa secara parsial

dilihat sebagai masalah salah satu sektor saja, walaupun sektor hulu yang

menerima dampak terbesar adalah sektor perikanan. Masalah degradasi kualitas

dan nilai ekonomi sumber daya alam merupakan masalah lintas sektoral yang

membutuhkan penanganan yang terpadu, tidak hanya pada tataran komitmen

namun sampai pada tataran aksi manajemen pengelolaan ekosistem.

Potensi manfaat ekonomi, sosial dan kemasyarakatan dari kawasan

tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies

maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi

yang dibangun antara ekosistem dengan masyarakat sekitar kawasan tidak

mengalami perubahan. Ditambah lagi dengan fenomena bahwa sampai dengan

saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan hutan bakau yang efektif

dan efisien di Kabupaten Langkat dengan berbasis pada potensi kawasan yang

ada. Fenomena di atas secara langsung menimbulkan akibat berupa sumber

daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang

sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat,

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 27


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

tingkat kesehatan masyarakat akan terus menurun, tingkat hubungan antara

kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).

2.4. Korelasi Ekosistem Hutan Bakau dan Perikanan

Siregar, dan Purwoko (2002) menyatakan, kawasan pesisir dan laut

merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkorelasi secara timbal

balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang

saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya

(daratan atau lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan

ekosistem secara keseluruhan.

Di antara elemen ekosistem pesisir yang ada, hutan bakau merupakan

elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan

dan menetralisir bahan-bahan pencemaran. Masyarakat Kabupaten Langkat

(khususnya nelayan) dalam tataran sederhana sebenarnya telah memahami peran

dan fungsi hutan bakau bagi sektor perikanan dan kelautan. Menurut laporan

Anonimous (1999), nelayan lokal di Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli

Serdang percaya bahwa hutan bakau sangat penting bagi perikanan sebagai

tumpuan hidup mereka. Walaupun mereka sering menebang pohon dan hutan

bakau, akan tetapi mereka yakin bahwa merusak hutan bakau akan mempengaruhi

perikanan dan akan mengganggu kehidupan masyarakat nelayan.

Dalam tinjauan siklus biomasa, hutan bakau memberikan masukan unsur

hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 28


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

bagi anak-anak ikan, tempat kawin dan pemijahan dan lain-lain. Sumber

makanan utama bagi organisme air di daerah hutan bakau adalah dalam bentuk

partikel bahan organik (dentritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah hutan

bakau (contoh: daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah

hutan bakau berangsur-angsur meningkat kadar proteinnya dan berfungsi sebagai

sumber makanan bagi berbagai organisme penyaring makanan, pemakan

partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing palychaeta.

Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya

didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil dan slenjutnya dimakan oleh

juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga. Disamping

itu terdapat jenis-jenis Crustacea penting seperti udang yang secara langsung

memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama.

Singkatnya, hutan bakau berperan peting dalam menyediakan habitat bagi aneka

ragam jenis-jenis komoditi penting perikanan, baik dalam keseluruhan maupun

sebagian dari daur hidupnya (Anonimous, 1997).

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 29


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di dua desa pantai di Kecamatan

Secanggang, yaitu Desa Jaring Halus dan Kuala Besar. Kedua Desa ini dipilih

diantara 6 desa pantai yang terdapat di Kecamatan Secanggang, karena kedua desa

ini secara geografis dikelilingi oleh ekosistem hutan bakau dan memiliki panjang

garis pantai terbesar diantara desa-desa yang lain, sehingga memiliki keterkaitan

yang tinggi dengan ekosistem hutan bakau. Dari sisi mata pencaharian, hampir

keseluruhan penduduk di kedua desa tersebut memiliki mata pencaharian sebagai

nelayan dan/atau usaha lain yang terkait dengan hasil tangkapan perikanan dan

ekosistem hutan bakau.

Tabel 3.1. Kondisi desa di Kecamatan Secanggang

Panjang Garis Penduduk dengan


No Desa Pantai Mata Pencaharian
(m) Terkait Sektor
Perikanan Laut (%)
1 Tanjung Ibus 0 2.96
2 Sei Ular 0 2.86
3 Pekan Secanggang 0 38.66
4 Selotong 2675 39.98
5 Karang Gading 1595 6.45
6 Kwala Besar 6117 98.53
7 Jaring Halus 4602 98.68
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Langkat, 2002

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 22


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

3.2. Populasi dan Sampel

Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pantai dengan populasi berupa rumah

tangga masyarakat pantai di 2 desa, yaitu Desa Jaring Halus dan Kwala Besar.

Populasi meliputi rumah tangga masyarakat pantai dari berbagai bentuk aktivitas

ekonomi seperti penangkapan, perdagangan hasil laut, pengolahan hasil laut,

budidaya perikanan laut dan kelompok pekerjaan lain yang ada. Sampel (responden)

diambil secara purposive proporsional dengan mengacu kepada sebaran data populasi

(data sekunder) untuk mendapatkan jumlah sampel yang layak pada masing-masing

kelompok responden. Responden diusahakan sejauh mungkin mewakili kelompok

aktivitas ekonomi masyarakat nelayan yang terkait dengan kegiatan perikanan,

seperti penangkapan, budidaya, pengolahan dan perdagangan.

Tabel 3.2. Jumlah populasi dan sampel penelitian

Jumlah KK Populasi Jumlah Responden


No Desa Budi- Wira- Budi- Wira-
Penang- Penang-
daya swasta/ Jumlah daya swasta/ Jumlah
kapan kapan
Lainnya Lainnya
1. Kwala
270 30 20 320 20 7 5 32
Besar
2. Jaring
200 200 30 430 19 19 5 43
Halus
Jumlah 39 26 10 75
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Langkat, 2002.

3.3. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data sekunder

diperoleh dari sumber-sumber seperti Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Biro Pusat

Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan,

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 23


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Unit Manajemen Leuser, lembaga-lembaga penelitian dan sumber-sumber lain yang

sahih. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara dengan responden terpilih

dari desa-desa yang menjadi lokasi penelitian dengan bantuan kuisioner.

3.4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh berupa pendapatan, keragaman jenis tangkapan,

kemudahan bekerja dan berusaha serta ketersediaan bahan baku dan komoditas

perdagangan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau akan

diuji dengan Uji t macthed pair, yaitu uji statistik untuk menentukan signifikasi

perbedaan dua populasi data yang saling berhubungan. Sedangkan fungsi konsumsi

masyarakat pantai sebagai bahan analisis diperoleh melalui regresi linear sederhana

(Nurgiyantoro, dkk., 2000).

1. Pengujian dilakukan dengan menggunakan kriteria uji :

§ Jika Nilai thitung < Nilai ttabel, maka H0 tidak ditolak, sehingga µp1 = µp0 yang

berarti bahwa pendapatan, keragaman jenis tangkapan, kemudahan bekerja

dan berusaha serta ketersediaan bahan baku dan komoditas perdagangan

sesudah terjadinya kerusakan tidak berbeda nyata dengan sebelum terjadinya

kerusakan ekosistem hutan bakau.

§ Jika Nilai thitung > Nilai ttabel, maka H0 ditolak (terima H1) sehingga µp1 ≠ µp0

yang berarti bahwa pendapatan, keragaman jenis tangkapan, kemudahan

bekerja dan berusaha serta ketersediaan bahan baku dan komoditas

perdagangan sesudah terjadinya kerusakan berbeda nyata dengan sebelum

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 24


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

2. Untuk analisis regresi digunakan model penduga :

Ĉ = a + βY, dimana :

Ĉ : konsumsi,

a : konstanta,

Y : pendapatan,

β : koefisien penduga, yang juga merupakan Marginal Prospencity to


Consume (MPC). Marginal Prospencity to Saving (MPS) diperoleh
dengan rumus MPC = 1-MPC

Kriteria uji yang sama juga akan digunakan untuk data-data lain yang bisa

dibangkitkan dalam pengumpulan data. Selain itu, pengolahan dan penyajian data

secara kuantitatif (analisa kalkulatif) juga dilakukan untuk mengetahui besarnya

pendapatan nelayan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan

bakau. Sedangkan aspek kesempatan kerja dan berusaha juga dianalisa secara

deskriptif kuantitatif untuk menggambarkan sejauh mana pengaruh kerusakan

ekosistem hutan bakau yang terjadi terhadap masyarakat pantai di lokasi studi.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 25


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil

Data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber data sekunder maupun hasil

wawancara dengan masyarakat pantai. Data yang bersumber dari data sekunder

berupa data karakteristik ekosistem lokasi penelitian, profil lokasi penelitian (desa,

kecamatan dan kabupaten). Adapun data primer berupa data nominal maupun

ordinal yang diperoleh melalui pengisian opsi-opsi pertanyaan dalam kuisioner.

Selanjutnya data masyarakat pantai dari tersebut dikalkulasi dan dianalisis

berdasarkan prinsip-prinsip matematis maupun statistik sesuai dengan metodologi

yang telah direncanakan. Dari hasil pengolahan data primer dan data sekunder dapat

diperoleh beberapa hasil penelitian sebagai berikut :

4.1.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Berikut ini diuraikan gambaran umum daerah penelitian yang meliputi

kondisi fisik wilayah, tofografi, luas wilayah, penduduk dan mata pencaharian.

a. Administrasi

Kecamatan Secanggang memiliki luas wilayah 223,27 km2. Secara

administratif Kecamatan Secanggang terdiri dari 15 desa/kelurahan dengan luas

masing-masing bervariasi dari yang paling sempit yakni 4,24 km2 (Karang

Anyar) hingga yang terluas yakni 35,54 km2 (Tanjung Ibus). Luasan dan rasio

masing-masing desa/kelurahan terhadap total luas kecamatan selengkapnya

sebagai berikut:

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 26


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 4.1. Luas wilayah Kecamatan Secanggang menurut desa/kelurahan


tahun 2003

Luas Ratio terhadap Total


No. Desa/Kelurahan
(km2) Luas Kecamatan (%)
1 Kepala Sungai 9,64 3,96
2 Perkotaan 8,92 3,66
3 Teluk 29,92 12,28
4 Cinta Raja 18,25 7,49
5 Telaga Jernih 10,52 4,32
6 Karang Gading 19,38 7,95
7 Kuala Besar 17,11 7,02
8 Selotong 28,38 11,64
9 Secanggang 21,75 8,92
10 Tanjung Ibus 35,54 14,58
11 Hinai Kiri 4,25 1,74
12 Kebun Kelapa 14,46 5,93
13 Sungai Ular 10,12 4,15
14 Jaring Halus 11,25 4,62
15 Karang Anyar 4,24 1,74
JUMLAH 243,73 100,00
Sumber: BPS Kabupaten Langkat, 2003.

b. Kondisi Fisik Wilayah

Topografi di wilayah penelitian yang merupakan kawasan pantai secara

umum berbentuk datar dengan kemiringan lereng antara 0 – 8% dan ketinggian 4

meter di atas permukaan laut. Faktor iklim yang berpengaruh besar terhadap

wilayah pantai adalah curah hujan dan angin. Pada musim penghujan terjadi

angin barat, dan pada kemarau terjadi angin timur. Keadaan angin barat dan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 27


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

angin timur ini dapat berdampak terhadap proses abrasi (pengikisan pantai oleh

gelombang air laut).

Kecamatan Secanggang adalah merupakan salah satu wilayah pasang

surut air asin dan muara beberapa sungai kecil yang pada garis pantainya terdapat

6.882,2 hektar hutan bakau.

Curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2,258 mm dan terjadi pada bulan

Oktober sampai dengan bulan April. Sedangkan musim kemarau terjadi pada

bulan Mei sampai dengan bulan September pada setiap tahunnya.

c. Letak Geografis

Wilayah Kecamatan Secanggang terletak diantara 03º14’ – 04º13’ LU dan

97º 52’ sampai 98° Bujur Timur. dengan ketinggian 4 meter di atas permukaan

laut. Kecamatan Secanggang berbatasan dengan Selat Sumatera/Malaka di

sebelah Utara, Kecamatan Stabat di sebelah Selatan, Kecamatan

Hinai/Kecamatan Tanjung Pura di sebelah Barat dan Kabupaten Deli Serdang di

sebelah Timur.

d. Penduduk

Jumlah penduduk di Kecamatan Secanggang seluruhnya adalah 62.118

jiwa dengan kepadatan rata-rata penduduk 254,86 jiwa/Km2 hingga pada tahun

2003. Kepadatan penduduk masing-masing desa bervariasi. Desa dengan

kepadatan penduduk rendah adalah Kuala Besar dikarenakan desa ini merupakan

desa pantai yang masih cukup terisolir dan sulit dijangkau dengan angkutan

umum (hanya ada angkutan sungai berupa boat). Disusul kemudian Desa Cinta

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 28


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Raja yang kepadatannya rendah dikarenakan desa tersebut merupakan daerah

perkebunan kakao dan sawit. Kepadatan penduduk dan rata-rata anggota rumah

tangga penduduk Kecamatan Secanggang tahun 2003 selengkapnya disajikan

pada Tabel 4.2. berikut ini.

Tabel 4.2. Jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Secanggang Tahun 2003

Banyaknya Kepadatan
Luas Jiwa/
No Desa/Kelurahan Penduduk
(km2) RT Penduduk RT
Jiwa/km2
1 Kepala Sungai 9,64 1.038 4.462 462,86 4,30
2 Perkotaan 8,92 487 1.945 218,05 3,99
3 Teluk 29,92 1.675 7.162 239,37 4,28
4 Cinta Raja 18,25 369 1.630 89,32 4,42
5 Telaga Jernih 10,52 1.073 4.254 404,37 3,96
6 Karang Gading 19,38 2.098 8.957 462,18 4,27
7 Kuala Besar 17,11 245 1.059 61,89 4,32
8 Selotong 28,38 1.069 4.403 155,14 4,12
9 Pekan Secanggang 21,75 1.367 5.999 275,82 4,39
10 Tanjung Ibus 35,54 1.160 4.992 140,46 4,30
11 Hinai Kiri 4,25 1.232 4.827 1.135,76 3,92
12 Kebun Kelapa 14,46 616 2.424 167,63 3,94
13 Sungai Ular 10,12 675 2.613 258,20 3,87
14 Jaring Halus 11,25 631 2.770 246,22 4,39
15 Karang Anyar 4,24 1.053 4.621 1.089,86 4,39

Kecamatan Secanggang 243,73 14.788 62.118 254,86 4,20

Sumber : BPS Langkat, 2003

Data pada Tabel 4.2. tersebut juga memperlihatkan bahwa Desa Hinai Kiri

merupakan daerah yang terpadat jumlah penduduknya. Hal ini disebabkan Hinai Kiri

adalah merupakan pusat perdagangan sekaligus sebagai pusat pemerintahan

Kecamatan Secanggang.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 29


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

4.1.2. Profil Sosial Ekonomi Masyarakat Pantai

a. Umur

Total responden dalam penelitian ini adalah 75 orang, terdiri dari 72

orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Dalam hal ini responden adalah kepala

keluarga dengan umur antara 23 tahun sampai dengan 73 tahun, dengan rata-rata

komulatif 44 tahun. Secara demografis, kondisi ini menunjukkan fenomena

bahwa pekerjaan tradisional di kawasan pesisir lebih didominasi generasi usia

menengah ke tua. Sementara generasi menengah ke muda cenderung

meninggalkan pekerjaan tersebut. Dari sisi gender, sedikitnya wanita yang

terpilih menjadi responden di sini menggambarkan bahwa kaum wanita sangat

sedikit yang secara mandiri bekerja di jenis-jenis pekerjaan seperti melaut

maupun mencari kayu. Umumnya peranan kaum wanita hanya bersifat

membantu pekerjaan kaum laki-laki terutama dalam penanganan pasca

tangkap/pasca panen di rumah sebagai kegiatan/usaha rumah tangga.

Tabel 4.3. Distribusi umur kepala keluarga masyarakat pantai (2004)

No Kelompok Umur Proporsi (%)


1 2 3

1 < 20 tahun 0.00


2 20 - 30 tahun 8.00
3 30 - 40 tahun 20.00
4 40 - 50 tahun 48.00
5 50 - 60 tahun 21.33
6 > 60 tahun 2.67
Jumlah 100.00

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 30


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

b. Pendidikan

Pendidikan masyarakat pantai rata-rata adalah SD (48.0%), disusul

berikutnya SLTP (30.7%), SLTA (14.67%), diploma (5.3%) dan sarjana (1.3%).

Profil ini merupakan kondisi tingkat pendidikan yang cukup baik untuk kategori

wilayah desa seperti pada lokasi studi. Relatif banyaknya masyarakat pantai

dengan tingkat pendidikan menengah ditopang oleh keberadaan Madrasah

Tsanawiah di kedua desa lokasi penelitian dan SLTA di Kecamatan Secanggang.

Namun untuk mendapatkan jenjang perguruan tinggi mereka harus ke Ibu Kota

Kabupaten Langkat (Stabat) atau Kota Medan.

Tabel 4.4. Data pendidikan kepala keluarga masyarakat pantai (2004)

No Pendidikan Proporsi (%)


1. SD 48.00
2. SLTP 30.67
3. SLTA 14.67
4. Diploma 5.33
5. Sarjana 1.33
Jumlah 100.00

c. Pekerjaan

Pekerjaan pokok mayoritas masyarakat pantai adalah nelayan

(penangkap ikan), yakni sebanyak 35 orang (46,67%), selanjutnya adalah

pedagang 9 orang (12%), pembudidaya ikan sebanyak 8 orang (10,67%), aparat

desa sebanyak 7 orang (9,33%), pembuat arang sebanyak 6 orang (8%), PNS

sebanyak 4 orang (5,33%) dan sisanya adalah pengumpul kayu dan pengolah

ikan masing 4 dan 2 orang (5,3 dan 2,67%). Distribusi pekerjaan non nelayan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 31


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

cukup merata, yang berarti di lokasi penelitian tidak ada pekerjaan alternatif

yang menonjol dan menjadi sumber mata pencaharian yang signifikan bagi

masyarakat. Meskipun proporsi nelayan penangkap di sini hanya 46,67 persen,

namun sesungguhnya hampir seluruh masyarakat pantai memiliki mata

pencaharian yang terkait langsung dengan sektor perikanan, karena baik

perdagangan, budidaya, maupun industri yang ada juga masih bergerak pada

sektor perikanan laut. Selain itu, meskipun sebagian masyarakat pantai

memiliki pekerjaan pokok bukan nelayan tangkap, namun mereka juga masih

melakukan penangkapan ikan sebagai pekerjaan sambilan.

Berdasarkan data pekerjaan sambilan masyarakat pantai, mayoritas

masyarakat pantai memiliki mata pencaharian sebagai pengumpul kayu (28%),

nelayan tangkap (18,67%) dan budidaya perikanan (12%). Mata pencaharian

sambilan lainnya antara lain petani, pedagang, pengolah ikan, pembuat arang

dan buruh/pekerja dengan proporsi yang tidak menonjol. Tingginya proporsi

mata pencaharian masyarakat pantai yang memiliki mata pencaharian sambilan

sebagai pengumpul kayu menggambarkan masih tingginya tingkat

ketergantungan dan intervensi masyarakat di lokasi penelitian terhadap

ekosistem hutan bakau. Meskipun umumnya masyarakat di lokasi studi

memiliki pekerjaan sambilan, namun juga terdapat 14 persen masyarakat pantai

yang tidak memiliki pekerjaan sambilan. Umumnya kelompok ini berasal dari

masyarakat pantai yang pekerjaan utamanya PNS dan nelayan tangkap.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 32


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 4.5. Pekerjaan pokok dan sambilan masyarakat pantai (2004)

Pekerjaan Pokok Pekerjaan Sambilan


No Jumlah Proporsi Jumlah Proporsi
Jenis Pekerjaan (orang) (%) Jenis Pekerjaan (orang) (%)
1 2 3 4 5 6 7

1 Nelayan 35 46.67 Pengumpul kayu 21 28.00


2 Pedagang 9 12.00 Tidak ada 14 18.67
3 Pembudidaya 8 10.67 Nelayan 11 14.67
4 Aparat Desa 7 9.33 Budidaya ikan 9 12.00
5 Pembuat arang 6 8.00 Petani 7 9.33
6 PNS 4 5.33 Karyawan/buruh 4 5.33
7 Pengumpul kayu 4 5.33 Pembuat arang 4 5.33
9 Pengolah ikan 2 2.67 Pedagang 3 4.00
10 - - - Pengolah ikan 2 2.67
Jumlah 75 100.0 Jumlah 75 100.0

d. Tingkat Kesejahteraan

Kondisi tingkat kesejahteraan keluarga masyarakat pantai dilihat

berdasarkan fasilitas dasar rumah tangga yang dimiliki masyarakat pantai,

seperti kondisi rumah, sumber penerangan, alat masak utama, sumber energi,

sumber air minum dan jenis jamban keluarga (Anonimous, 1992). Indikator-

indikator di atas diidentifikasi secara langsung (primer) agar bisa lebih

menggambarkan kondisi tingkat kesejahteraan keluarga masyarakat di lokasi

penelitian. Kondisi masing-masing parameter kesejahteraan diuraikan

selengkapnya sebagai berikut :

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 33


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

1. Kondisi Rumah Masyarakat Pantai

Kondisi rumah merupakan indikator utama dan paling mendasar

dalam menggambarkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Kondisi

rumah dikelompokkan menjadi 5 kategori, yaitu rumah mewah, rumah

permanen, rumah semi permanen, rumah sederhana dan rumah darurat

(Anonimous, 1992). Sebagian besar (61%) rumah nelayan di lokasi

penelitian adalah rumah sederhana, dengan bahan dasar kayu, ukuran sempit

dan konstruksi sederhana dan hanya sebagian kecil saja yang memiliki rumah

dengan kategori permanen (Gambar 4.1.). Tidak ada nelayan di lokasi

penelitian yang memiliki rumah mewah, namun terdapat nelayan yang masih

menghuni rumah darurat, yaitu rumah yang hanya dibuat dengan konstruksi

dan bahan sekedar untuk bisa berteduh dan tinggal.

1% 0% 23%
Rumah Mewah
Rumah Permanen
Semi Permanen
Sederhana
61% 15%
Darurat

Gambar 4.1. Proporsi kondisi fisik rumah masyarakat pantai

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 34


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

2. Sumber energi

Sumber energi dalam hal ini adalah sumber energi utama yang

digunakan oleh rumah tanggal guna melaksanakan aktivitas rumah tangga.

Sumber energi terkait juga dengan jenis alat masak utama, karena energi

terbesar untuk rumah tangga non produksi digunakan untuk kegiatan masak-

memasak. Sumber energi rumah tangga dikategorikan menjadi energi

listrik/gas, minyak tanah, kayu dan lainnya. Sumber energi lainnya yang

sering digunakan dalam rumah tangga misalnya hewan ternak, angin, panas

matahari, dan sebagainya. Di lokasi studi, sumber energi utama yang

umumnya digunakan adalah minyak tanah, dengan proporsi sebesar 87

persen. Sisanya menggunakan sumber energi listrik/gas (9 %) dan kayu (4

%). Tidak ada rumah tangga yang menggunakan sumber energi dari panas

matahari, angin, maupun hewan ternak (Gambar 4.4.). Sumber energi hewan

ternak memang tidak lazim digunakan di kawasan desa pantai, karena

umumnya ternak yang dipelihara nelayan berupa unggas dan sebagian kecil

memelihara kambing atau domba, namun tidak untuk digunakan sebagai

sumber energi.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 35


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

4% 0% 9%
Listrik/Gas
Minyak Tanah
Kayu
Lainnya

87%

Gambar 4.2. Proporsi sumber energi utama keluarga masyarakat pantai

3. Sumber Air Minum

Sumber air minum merupakan indikator kesejahteraan yang sekaligus

mengarah kepada kondisi kesehatan keluarga. Kategori jenis-jenis air minum

yang digunakan adalah air minum kemasan, air ledeng, air sumur/mata air, air

hujan dan sumber air lainnya. Kedua desa yang menjadi lokasi penelitian

(Desa Jaring Halus dan Desa Kwala Besar) merupakan desa pantai yang

letaknya langsung berbatasan dengan laut dan dikelilingi oleh paluh-paluh air

asin/payau. Dengan demikian, sulit untuk mendapatkan pasokan air ledeng

dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM sehingga air bersih menjadi

masalah yang sudah berkepanjangan dan menjadi barang mahal. Sumur

sebagai satu-satunya sumber air bersih di lokasi ini harus dibuat dengan

mengebor sampai kedalaman lebih dari 100 m.

Sebagian besar (87%) masyarakat di Desa Jaring Halus dan Desa

Kwala Besar menggunakan air minum yang bersumber dari sumur bor

dengan cara mengambil dan membayar di lokasi sumur bor. Sebagian

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 36


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

diantaranya (7%) memasang instalasi distribusi dari sumur bor menuju

rumahnya dan membayar secara bulanan, dan inilah yang dimaksud dengan

air ledeng dalam kasus ini. Sebagian kecil masyarakat bahkan masih

menggunakan air hujan sebagai sumber air minum mereka, dan tidak ada

yang secara rutin menggunakan air kemasan sebagai sumber air minum

mereka (Gambar 4.3.). Kasus di Desa Kwala Besar, sebagian penduduk

menggunakan air bersih dengan cara membeli dari pemasok air bersih yang

datang dari luar Desa Kwala Besar secara berkala.

1% 5% 0% 7%
Air Kemasan
Air Ledeng
Air Sumur/Mata Air
Air Hujan
Lainnya

87%

Gambar 4.3. Proporsi sumber air minum keluarga masyarakat pantai

4.1.3. Keragaman Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan

Secara umum dapat diperoleh hasil bahwa baik keragaman jenis maupun

jumlah hasil tangkapan nelayan di lokasi penelitian mengalami penurunan.

Terdapat beberapa jenis ikan yang dahulu sering tertangkap nelayan, namun

sekarang sudah tidak pernah dan/atau sangat jarang tertangkap lagi, diantaranya

jenis-jenis bawal, kepiting, kerapu, udang kapur, udang tiger, kakap, pari,

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 37


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

senangin, cumi, gembung. Sebagian jenis lagi merupakan kelompok ikan yang

dahulu juga sering tertangkap nelayan, akan tetapi sekarang menjadi jarang

tertangkap. Secara umum, semua jenis biota laut mengalami penurunan

frekuensi penangkapannya.

Keragaman jenis hasil tangkapan nelayan diuji dengan menggunakan uji t

mached pair untuk mencari signifikansi perbedaan antara rata-rata persepsi

masyarakat terhadap keragaman jenis hasil tangkapan nelayan sebelum

terjadinya kerusakan dengan sesudah terjadinya kerusakan, dengan kriteria uji

sebagai berikut :

Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara keragaman jenis hasil tangkapan nelayan sebelum

dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1): Terdapat perbedaan yang

signifikan antara keragaman jenis hasil tangkapan nelayan sebelum

dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Hasil Uji : t-hitung (20.651) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan

95% dengan signifikasi mendekati 0 yang menunjukkan bahwa kedua populasi

data memiliki korelasi yang benar-benar signifikan.

Tabel 4.6. Paired samples correlations untuk data keragaman jenis

N Correlation Sig

Pair 1. Sblm rusak 62 0.431 0.000


&
Ssdh rusak

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 38


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di lokasi studi terdapat

perbedaan yang signifikan antara keragaman jenis hasil tangkapan nelayan

sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Searah dengan penurunan keragaman jenis, juga terjadi penurunan

jumlah/volume hasil tangkapan untuk jenis alat tangkap dan waktu kerja yang

sama. Sebanyak 85% masyarakat pantai menyatakan bahwa saat ini terjadi

penurunan hasil tangkapan jika dibandingkan dengan kondisi 7-10 tahun yang

lalu, ketika kondisi ekosistem hutan bakau di Suaka Margasatwa Karang Gading

dan Langkat Timur Laut masih relatif baik. Rata-rata umum penurunan jumlah

hasil tangkapan nelayan di lokasi studi sebesar Rp. 667.462,- atau sebesar

33,89%. Penurunan ini menurut hasil wawancara dengan masyarakat pantai

terjadi secara gradual (bertahap sedikit demi sedikit), dengan puncak

penurunannya terjadi pada 3 tahun terakhir. Data selengkapnya tersaji dalam

Tabel 4.7. di bawah ini.

Tabel 4.7. Data perubahan keragaman jenis hasil tangkapan nelayan setelah
kerusakan ekosistem hutan bakau (2004)

Menjadi Langka Menjadi Hilang Tetap/Sama


No Jenis Tangkapan Jumlah
Jlh Masy. Jlh Masy. Jlh Masy.
pantai (%) pantai (%) pantai (%)
1 Ikan bawal 21 67.74 8 25.81 2 6.45 31
2 Kepiting 19 82.61 1 4.35 3 13.04 23
3 Kerapu 16 94.12 0 0.00 1 5.88 17
4 Udang tiger 11 84.62 0 0.00 2 15.38 13
5 Udang kapur 14 93.33 0 0.00 1 6.67 15
6 Ikan Jenahar 10 100.0 0 0.00 0 0.00 10
7 Ikan Kakap 9 52.94 5 29.41 3 17.65 17
8 Ikan Pari 8 50.00 6 37.50 2 12.50 16
9 Ikan senangin 8 47.06 7 41.18 2 11.76 17

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 39


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

10 Cumi-cumi 8 100.0 0 0.00 0 0.00 8


11 Ikan gembung 7 100.0 0 0.00 0 0.00 7
12 Tengiri 6 100.0 0 0.00 0 0.00 6
13 Udang ambai 6 100.0 0 0.00 0 0.00 6
14 Udang galah 5 100.0 0 0.00 0 0.00 5
15 Ikan selampai 4 80.00 0 0.00 1 20.00 5
16 Ikan kurau 3 60.00 2 40.00 0 0.00 5
17 Ikan Lidah 3 60.00 2 40.00 0 0.00 5
18 Ikan tomok 3 50.00 3 50.00 0 0.00 6
19 Kakap merah 3 75.00 0 0.00 1 25.00 4
20 Senangin 3 60.00 0 0.00 2 40.00 5
21 Ikan kapas 2 66.67 1 33.33 0 0.00 3
22 Ikan Pelotan 2 66.67 1 33.33 0 0.00 3
23 Ikan Sembilang 3 75.00 1 25.00 0 0.00 4
24 Sotong 2 66.67 1 33.33 0 0.00 3
25 Monggoripu 2 40.00 3 60.00 0 0.00 5
26 Gelama 2 100.0 0 0.00 0 0.00 2
27 Ikan aji-aji 2 66.67 0 0.00 1 33.33 3
28 Ikan pelado 2 100.0 0 0.00 0 0.00 2
29 Udang sondong 2 66.67 0 0.00 1 33.33 3
30 Ikan Bedukang 2 100.0 0 0.00 0 0.00 2
31 Caru-caru Kuda 1 50.00 1 50.00 0 0.00 2
32 Ikan Bulu Ayam 1 50.00 1 50.00 0 0.00 2
33 Ikan Sinohong 1 50.00 1 50.00 0 0.00 2
34 Gerpuh 1 33.33 0 0.00 2 66.67 3
35 Ikan Lando 1 100.0 0 0.00 0 0.00 1
36 Kebah 1 100.0 0 0.00 0 0.00 1
37 Ikan Duri 1 33.33 0 0.00 2 66.67 3
38 Ikan Koli 1 100.0 0 0.00 0 0.00 1
39 Ikan Songir 1 50.00 0 0.00 1 50.00 2
40 Ikan Landak 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
41 Ikan Mayong 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
42 Ikan Mengkroi 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
43 Ikan Selampai 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
44 Ikan Silembu 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
45 Ikan Solebu 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 40


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

46 Kurau 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1


47 Ikan Seludu 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
48 Ikan Talang 0 0.00 1 100.0 0 0.00 1
Ikan tudung
49 periok 0 0.00 2 100.0 0 0.00 2
50 Terubuk 0 0.00 2 100.0 0 0.00 2
51 Udang lipan 0 0.00 5 100.0 0 0.00 5
Rata-rata 3.86 56.32 1.22 35.36 0.53 8.32 5.61

4.1.4. Pendapatan Nelayan

Pendapatan rumah tangga merupakan jumlah keseluruhan dari

pendapatan yang diperoleh dari keseluruhan anggota rumah tangga dari berbagai

sumber pendapatan yang ada (Simanjuntak, 1985). Dengan demikian,

pendapatan rumah tangga nelayan berarti jumlah keseluruhan dari seluruh

anggota rumah tangga dari berbagai sumber pendapatan, baik dari sektor

perikanan/kelautan maupun sektor lain baik pertanian, perdagangan maupun jasa

yang dilakukan oleh anggota rumah tangga. Sedangkan terminologi keluarga

yang digunakan di sini dibatasi pada pengertian keluarga luas, yang terdiri dari

ayah, ibu, anak dan/atau anggota rumah tangga lain yang memiliki pertalian

darah dan merupakan satu kesatuan ekonomi (Sosroatmodjo, 1985).

Meskipun pendapatan rumah tangga memiliki sumber yang luas, namun

pendapatan rumah tangga nelayan seringkali kurang memiliki variasi, lebih

banyak mengandalkan sektor perikanan khususnya penangkapan sebagai sumber

mata pencaharian keluarga. Hal ini juga tercermin dari data yang diperoleh

menunjukkan bahwa 74,67% masyarakat pantai memiliki tingkat ketergantungan

yang tinggi terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya laut baik sebagai

pekerjaan utama maupun sambilan. Selain itu, hanya sebagian kecil dari

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 41


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

masyarakat pantai yang memiliki mata pencaharian alternatif dan/atau tambahan

di luar kegiatan eksploitasi sumber daya laut. Konteks pendapatan alternatif di

sini berbeda dengan pendapatan tambahan, dimana ketika nelayan melakukan

usaha alternatif pada saat yang sama nelayan meninggalkan pekerjaan utamanya,

misalnya ketika nelayan mengumpulkan kayu berarti mereka tidak menangkap

ikan di laut.

Secara keseluruhan terjadi perbedaan pendapatan riil masyarakat nelayan

di lokasi studi, dimana pendapatan riil masyarakat setelah terjadi kerusakan

ekosistem hutan bakau lebih rendah dibandingkan sebelum terjadi kerusakan.

Perbedaan pendapatan tersebut terlihat dengan jelas apabila pendapatan tersebut

dinilai dari standar harga tetap sekarang (pendekatan present value), sehingga

diperoleh nilai pendapatan riil. Present value aproach ini dipilih karena menurut

Ichwandi (1996), untuk melakukan valuasi terhadap nilai sumber daya alam

lebih akurat jika digunakan pendekatan nilai kiwari, dikarenakan banyak manfaat

langsung maupun tidak langsung dari sumber daya alam yang pada masa lalu

belum memiliki nilai ekonomis namun saat ini telah memiliki nilai ekonomis

bahkan nilai pasar (market value). Dengan demikian, pendekatan nilai kiwari

lebih menggambarkan manfaat sumber daya alam yang sesungguhnya. Selain

itu, komoditi-komoditi yang merupakan manfaat dari sumber daya alam yang

pada masa lampau belum memiliki nilai pasar menjadi sulit untuk

dikomparasikan dengan nilai aktual yang sudah memiliki nilai pasar yang jelas.

Untuk pengambilan keputusan mengenai signifikansi perbedaan

pendapatan digunakan kriteria uji sebagai berikut :

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 42


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara pendapatan rumah tangga sebelum dengan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang

signifikan antara pendapatan rumah tangga sebelum dengan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Hasil Uji : t-hitung = 7,113 > t-tabel 1.995, taraf kepercayaan 95 %

dengan signifikasi mendekati 0 yang berarti kedua populasi yang diuji benar-

benar memiliki korelasi yang signifikan.

Tabel 4.8. Paired samples correlations untuk data pendapatan

N Correlation Sig

Pair 1 Sblm rusak


& 75 0.79 0.00
Ssdh rusak

Berdasarkan uji t mached pair tersebut t-hitung yang diperoleh sebesar

7,113 dan jauh lebih besar dari t-tabel. Dengan demikian H0 : tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara pendapatan nelayan sebelum dan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau dinyatakan ditolak, sedangkan H1:

terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan nelayan sebelum dan

sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau dinyatakan diterima.

Secara statistik dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pendapatan yang

signifikan dengan tingkat kepercayaan 95% antara pendapatan masyarakat pantai

sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 43


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Secara kalkulatif, terjadi penurunan pendapatan rata-rata sebesar Rp.

667.462,- atau 33,89% dari total pendapatan keluarga. Penurunan tertinggi

terutama terjadi pada kelompok masyarakat pantai yang bermata pencaharian

sebagai nelayan pembudidaya, yakni sebesar 41,12%. Kelompok lainnya yang

juga mengalami penurunan pendapatan cukup besar di antaranya pengumpul

kayu, pedagang dan nelayan penangkap yang masing-masing mengalami

penurunan relatif sebesar 38,38%, 33,56% dan 33,54%. Sedangkan kelompok

nelayan yang bermata pencaharian utama di bidang pembuat arang dan pengolah

ikan hanya terjadi penurunan sebesar 21-22% dan merupakan kelompok yang

paling kecil menerima dampak kerusakan ekosistem hutan bakau. Pembuat

arang mengalami perbedaan yang relatif kecil karena usaha dapur arang

memiliki kapasitas produksi yang tetap, meskipun dahulu bahan tersedia cukup.

Sedangkan pengolah ikan mengalami perbedaan yang juga relatif kecil karena

usaha ini bersifat jasa, sehingga margin keuntungan yang diperoleh per orangnya

cenderung konstan, akan tetapi terjadi penurunan yang signifikan dalam hal

jumlah pengusaha pengolah ikan karena ketersediaan bahan baku yang sangat

kurang. Data rekap pendapatan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan

berdasarkan kelompok mata pencaharian disajikan dalam Tabel 4.9. dan Gambar

4.4.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 44


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 4.9. Pendapatan rata-rata berdasarkan kelompok profesi (2004)

Jumlah Pendapatan Perbedaan


Perbedaan
Kelompok (Rp/Bln) Sebelum &
No Relatif
Pekerjaan Pokok Sebelum Sesudah Sesudah
(%)
Kerusakan Kerusakan (Rp/Bln)
1 Aparat Desa 1,597,100 1,187,214 409,886 25.66
2 Pedagang 2,518,409 1,673,318 845,091 33.56
3 Nelayan 2,088,721 1,388,061 700,660 33.54
4 Pembuat Arang 1,298,750 1,020,833 277,917 21.40
5 Pembudidaya 2,340,611 1,378,148 962,463 41.12
6 Pengolah Ikan 1,410,000 1,100,000 310,000 21.99
7 Pengumpul kayu 1,338,750 825,000 513,750 38.38
8 Petani 1,280,000 800,000 480,000 37.50
9 PNS 1,709,833 1,210,500 499,333 29.20
Rata-rata 1,999,233 1,331,771 667,462 33.89

3,000,000
Sebelum Kerusakan Sesudah Kerusakan Penurunan
2,500,000

2,000,000

1,500,000

1,000,000

500,000

0
i
e sa ang ka p a ng a ya ka
n
ayu tan PN
S
a tD dag t ang at Ar u d id la hI u lk Pe
p ar Pe yan bu mb n go u mp
A la Pe
m Pe Pe ng
Ne Pe

Gambar 4.4. Perubahan rata-rata pendapatan akibat kerusakan ekosistem


hutan bakau.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 45


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 4.10. Distribusi kelas pendapatan masyarakat pantai (2004)

Kelas Pendapatan Proporsi (%)


No (Rp/Bln) Sebelum Sesudah
Kerusakan Kerusakan
1 < 500000 1.33 1.33
2 500000-1000000 9.33 33.33
2 1000000-1500000 34.67 34.67
3 1500000-2000000 24.00 14.67
4 2000000-2500000 12.00 9.33
5 2500000-3000000 2.67 4.00
6 3000000-3500000 6.67 2.67
7 3500000-4000000 2.67 -
8 4000000-4500000 2.67 -
9 4500000-5000000 1.33 -
10 >5000000 2.67 -
Jumlah 100.00 100

Dalam tinjauan analisis ekonomi makro, keseimbangan penghasilan dan

pengeluaran masyarakat nelayan di lokasi studi kurang baik bagi pengembangan

perekonomian dan wilayah. Rata-rata pengeluaran masyarakat di lokasi studi

mencapai 92% dari total pendapatan keluarga, sehingga tingkat rata-rata saving

hanya 8% dari pendapatan (Gambar 4.5.).

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 46


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Tabel 4.11. Komparasi rata-rata pendapatan, pengeluaran dan saving (2004)

Sisa (Saving)
Kelompok Pekerjaan Total Pendapatan Total Pengeluaran
No Nominal Relatif
Pokok (Rp/Bln) (Rp/Bln)
(Rp/Bln) (%)
1 Aparat Desa 1,187,214 1,069,071 118,143 9.95
2 Pedagang 1,673,318 1,447,318 182,889 13.51
3 Nelayan 1,388,061 1,265,278 226,000 8.85
4 Pembuat Arang 1,020,833 1,017,833 122,783 0.29
5 Pembudidaya 1,378,148 1,195,259 3,000 13.27
6 Pengolah Ikan 1,100,000 1,023,000 77,000 7.00
7 Pengumpul kayu 825,000 841,250 -16,250 -1.97
8 Petani 800,000 765,000 35,000 4.38
9 PNS 1,210,500 1,206,833 98,167 8.11
Rata-rata 1,331,771 1,081,816 124,936 9.36

Apabila digunakan analisis regresi linear dengan model dasar

pendapatan: Ŷ = β1X + C, dengan Y = pengeluaran dan X = pendapatan, maka

diperoleh persamaan konsumsi : Ŷ = 0.807X + 141.504,1. Dari persamaan di

atas diketahui bahwa Marginal Prospencity to Comsume (MPC) desa pantai

sebesar 0.807 dan Marginal Prospencity to Saving (MPS) sebesar 1-0.807 =

0.193. Model di atas memiliki signifikan jauh di bawah 0.05 dengan R Sguare

sebesar 89.1 %.

Kondisi perekonomian di atas jelas tidak baik secara makro, karena

tingkat saving yang terbentuk kurang mampu menggerakkan investasi lokal.

Dampaknya, multiplier efect yang diharapkan berupa berkembangnya kegiatan

usaha lokal, penyerapan tenaga kerja setempat dan peningkatan perekonomian

wilayah tidak terwujud dengan baik.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 47


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

1,800,000
1,600,000 Pendapatan Pengeluaran Saving
1,400,000
1,200,000

Rp/Bln
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
-200,000 i
sa an
g ap an
g
ay
a
ka
n
ay
u
t an S
De ag gk Ar d id hI lk Pe PN
t d an t la u
ar a Pe nt ua mb
u
go mp
Ap la y
a mb Pe Pe
n
ng
u
Ne Pe Pe

Pekerjaan Pokok

Gambar 4.5. Proporsi pendapatan, pengeluaran dan saving masyarakat pantai

4.1.5. Kesempatan Berusaha

Kesempatan berusaha merupakan fungsi dari ketersediaan sumberdaya

manusia, sumber daya alam, permodalan dan kelembagaan yang

memungkinkan/memudahkan masyarakat bisa melakukan kegiatan usaha.

Dalam hal ini, faktor kelembagaan dan sumber daya manusia diasumsikan tetap.

Pembahasan akan ditekankan kepada faktor sumberdaya alam sebagai bahan

baku/obyek dan faktor permodalan. Faktor sumber daya alam menjadi penting

untuk dibahas mengingat kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih

berkisar pada aktifitas mengolah dan/atau mendistribusikan hasil alam beserta

kebutuhan pendukungnya, sehingga sumber daya alam merupakan bahan

baku/obyek utama dari aktivitas usaha masyarakat nelayan. Usaha-usaha yang

lazim ditemukan di lingkungan nelayan, termasuk di lokasi penelitian

diantaranya pengolahan hasil laut, budiaya hasil laut (ikan, kepiting, udang) dan

distribusi/pemasaran hasil laut yang kesemuanya bergantung dari hasil

tangkapan dari alam. Kegiatan usaha pendukung seperti pemenuhan kebutuhan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 48


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

pokok dan kebutuhan rumah tangga juga akan terkait dengan keberadaan usaha

di atas. Adapun faktor permodalan penting untuk dikaji karena pembentukan

modal dalam struktur perekonomian masyarakat merupakan bagian dari

distribusi pendapatan masyarakat, yang erat kaitannya dengan perubahan

kualitas ekosistem yang menjadi tumpuan pendapatan.

Secara statistik, kesempatan kerja dan berusaha diuji dengan

menggunakan uji t mached pair untuk mencari signifikansi perbedaan antara

rata-rata persepsi masyarakat terhadap kesempatan kerja dan berusaha sebelum

terjadinya kerusakan dengan sesudah terjadinya kerusakan, dengan kriteria uji

sebagai berikut :

Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara kesempatan kerja dan berusaha sebelum dengan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang

signifikan antara kesempatan kerja dan berusaha sebelum dengan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Hasil Uji: t-hitung (17,024) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan 95% dengan

signifikasi lebih besar dari 0.05 sehingga menunjukkan bahwa kedua populasi

data yang diuji memiliki korelasi yang tidak signifikan.

Tabel 4.12. Paired samples correlations untuk data kesempatan kerja


dan berusaha

N Correlation Sig
Pair 1 Sblm rusak
62 -0.175 0.175
&
Ssdh rusak

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 49


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di lokasi studi terdapat perbedaan

yang signifikan antara kesempatan kerja dan berusaha sebelum dengan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Selain kesempatan kerja dan berusaha, dalam kajian ini juga dianalisis

kondisi ketersediaan bahan baku dan komoditi perdagangan antara sebelum

dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Dengan

menggunakan alat uji t matched pair, keputusan diambil dengan kriteria uji

sebagai berikut :

Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang

signifikan antara ketersediaan bahan baku dan komoditi perdagangan

sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang

signifikan antara ketersediaan bahan baku dan komoditi perdagangan

sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Hasil Uji : t-hitung (19,260) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan

95% dengan signifikasi di bawah 0.05 yang menunjukkan bahwa kedua populasi

data memiliki korelasi yang signifikan.

Tabel 13. Paired samples correlations untuk data ketersediaan bahan baku
dan komoditi perdagangan

N Correlation Sig
Pair 1 Sblm rusak
62 0.276 0.030
&
Ssdh rusak

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 50


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa di lokasi studi terdapat

perbedaan yang signifikan antara ketersediaan bahan baku dan komoditi

perdagangan sebelum dengan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan

bakau.

Berdasarkan data pada Tabel 4.7. terlihat bahwa terjadi penurunan

kuantitas dan keragaman hasil tangkapan nelayan, yang itu secara langsung

berakibat pada berkurangnya obyek/bahan baku bagi kegiatan usaha masyarakat

nelayan. Usaha perdagangan mengalami penurunan seiring dengan menurunnya

kuantitas hasil tangkapan, demikian juga dengan usaha pengolahan. Usaha

budidaya bahkan menjadi kelompok usaha yang paling terkait dengan degradasi

ekosistem hutan bakau dan penurunan hasil tangkapan. Kerusakan ekosistem

berarti kerusakan habitat budidaya, terutama budidaya laut yang lebih

mengandalkan daya dukung alam. Penurunan kuantitas dan keragaman jenis

hasil tangkapan berarti penurunan benih alam dan pakan alam yang selama ini

menjadi tumpuan dari usaha budidaya nelayan di lokasi penelitian.

4.1.6. Kesempatan Kerja

Kesempatan kerja merupakan turunan dari kesempatan berusaha. Dengan

demikian, penurunan kesempatan berusaha secara langsung berdampak kepada

penurunan kesempatan kerja bagi masyarakat nelayan (Simanjuntak, 1985).

Akan tetapi kesempatan kerja relatif sulit untuk diukur indikatornya, sehingga

dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kajian persepsi dengan data ordinal.

Berdasarkan data pada Tabel 4.14. dapat dilihat bahwa umumnya masyarakat

pantai (85,4%) menyatakan bahwa sebelum terjadinya kerusakan ekosistem

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 51


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

hutan bakau, mereka “mudah bekerja dan berusaha sampai dengan agak mudah

bekerja dan berusaha” untuk mendapatkan pekerjaan. Hanya 3,2% masyarakat

pantai yang menyatakan “agak sulit bekerja dan berusaha” di sektor perikanan

sebelum terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, bahkan tidak ada yang

menyatakan “sangat sulit”. Akan tetapi, setelah terjadinya ekosistem hutan

bakau yang terjadi justru sebaliknya dimana 45,2% masyarakat pantai

menyatakan agak sulit bekerja dan berusaha di sektor perikanan dan bahkan

43,5% masyarakat pantai menyatakan “sulit bekerja dan berusaha”, dan hanya

1,6 % yang menyatakan mudah untuk bekerja dan berusaha di sektor perikanan

sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau.

Tabel 4.14. Kondisi kesempatan bekerja dan berusaha sebelum dan sesudah
kerusakan ekosistem hutan bakau (2004).

Sebelum Sesudah
Perubahan
Kerusakan Kerusakan
No Kategori
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Resp) (Resp) (Resp)
1 Mudah 34 54.8 1 1.6 -33 -53.2
2 Agak Mudah 19 30.6 2 3.2 -17 -27.4
3 Biasa 7 11.3 4 6.5 -3 -4.8
4 Agak Sulit 2 3.2 28 45.2 26 41.9
5 Sulit 0 0.0 27 43.5 27 43.5
Jumlah 62 100.0 62 100.0 0 0.0

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 52


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

4.2. Pembahasan

Sebagaimana dilaporkan oleh Anonimous (2002), telah terjadi

kerusakan yang cukup parah pada ekosistem hutan bakau di kawasan Suaka

Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (SM KGLTL). Secara

teoritis, degradasi ekosistem hutan bakau akan berdampak pada

hilangnya/berkurangnya substrat yang menjadi sumber pakan, rusaknya habitat

berbiak, tempat mengasuh dan membesarkan anak, serta rusaknya tempat

perlindungan bagi biota laut di kawasan tersebut dan sekitarnya. Secara holistik

kesemuanya itu berdampak langsung pada menurunnya populasi dan keragaman

biota laut yang menjadi sumber mata pencaharian nelayan.

Apabila dilihat dari data yang disajikan pada hasil penelitian, diperoleh

fakta bahwa kondisi ekosistem hutan bakau yang mengalami degradasi telah

mengakibatkan penurunan keragaman dan jumlah biota laut hasil tangkapan

nelayan. Hal itu secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan riil

dari masyarakat nelayan yang umumnya hanya menggantungkan mata hidupnya

dari mengeksploitasi hasil laut sebagai sumber pencahariannya.

4.2.1. Keragaman Jenis dan Jumlah Hasil Tangkapan

Berdasarkan data pada Tabel 4.7. menunjukkan bahwa kerusakan

ekosistem hutan bakau yang terjadi selama kurung waktu 10 tahun terakhir telah

mengakibatkan penurunan jenis biota laut hasil tangkapan nelayan secara

signifikan. Berdasarkan data jenis-jenis ikan yang mengalami kondisi “tidak

pernah lagi” atau “semakin jarang” ditemukan, kesemuanya merupakan jenis-

jenis ikan pelagis kecil dan demersal yang sepanjang dan/atau sebagian daur

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 53


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

hidupnya sangat bergantung kepada eksistensi ekosistem hutan bakau. Misalnya

jenis-jenis ikan bawal, kepiting, kerapu, udang tiger, udang kapur, kakap, pari,

senangin, cumi-cumi, gembung, tengiri, udang ambai, udang galah dan ikan

selampai.

Menurut Anonious (1997), pada rantai makanan di habitat ekosistem

hutan bakau, biomasa yang berasal dari serasah hutan bakau menduduki

peringkat pertama. Biomasa hutan (contoh: daun, ranting dan bunga) yang

mengalami dekomposisi menjadi partikel bahan organik (dentritus). Dalam

proses dekomposisi, serasah hutan bakau berangsur-angsur meningkat kadar

proteinnya dan berfungsi sebagai sumber makanan bagi berbagai organisme

penyaring makanan, pemakan partikulat dan pemakan deposit seperti moluska,

kepiting dan cacing palychaeta. Berbagai jenis udang yang menjadi sumber

tangkapan utama masyarakat di desa Jaring Halus juga berapa pada rantai ini,

yang berarti berkorelasi sangat dekat terhadap ketersediaan dentritus di

ekosistem hutan bakau. Jenis-jenis Crustacea penting seperti udang ini secara

langsung memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer

tingkat pertama. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat

dua yang biasanya didominasi oleh jenis-jenis ikan-ikan karnivor berukuran

kecil. Predator berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator

besar yang membentuk konsumen tingkat tiga.

Dalam satu rantai makanan pada sebuah habitat tertentu, keberadaan

salah satu unsur penyeimbang akan mempengaruhi keberadaan seluruh tangga

rantai makanan. Hal yang sama terjadi di kawasan ekosistem hutan bakau SM

KGLTL, dimana berkurangnya substrat biomasa dari ekosistem hutan bakau

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 54


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

berpengaruh terhadap keragaman dan jumlah biota laut pada seluruh tangga

rantai makanan. Dan jenis-jenis biota laut yang paling terpengaruh

keberadaannya adalah biota yang lebih dekat korelasinya dengan ketersediaan

substrat yang dihasilkan dari ekosistem hutan bakau.

Dentritus pada ekosistem hutan bakau bahkan juga dipasok dari luar

ekosistem hutan bakau, misalnya dari aliran sungai yang mengangkut partikel-

partikel biomasa dan biokimia yang terendapkan pada hutan bakau, mengingat

salah satu fungsi utama ekosistem hutan bakau adalah mengendapkan unsur hara

dan menetralisir zat-zat racun tersuspensi. Dengan demikian, kerusakan pada

ekosistem hutan bakau juga berakibat menurunnya daya endap dan kemampuan

netralisir terhadap substrat yang terbawa aliran sungai. Hal ini juga berakibat

menurunnya ketersediaan pakan pada tangga primer rantai makanan di

ekosistem pesisir, yang kemudian berakibat pada penurunan biota perairan

pesisir secara keseluruhan.

4.2.2. Pendapatan Nelayan

Pendapatan rumah tangga yang dimaksud di sini merupakan jumlah dari

keseluruhan pendapatan bersih yang diperoleh dari kegiatan produksi

barang/jasa dari seluruh anggota rumah tangga setelah dikurangi biaya produksi

(family income). Dalam kasus rumah tangga nelayan, pendapatan rumah tangga

nelayan merupakan nilai dari hasil tangkapan, pengolahan, perdagangan dan/atau

jasa yang dilakukan. Kegiatan penangkapan ikan di laut merupakan aktivitas

ekonomi utama (dan umumnya menjadi andalan) dari keluarga nelayan,

termasuk di lokasi penelitian. Oleh karena itu, penurunan jenis dan jumlah biota

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 55


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

laut hasil tangkapan nelayan secara langsung berakibat pada menurunnya

pendapatan rumah tangga nelayan di lokasi penelitian.

Berdasarkan data hasil penelitian, terjadi perbedaan secara signifikan

pada taraf nyata 95 persen antara pendapatan riil nelayan sebelum dan sesudah

terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau. Perbedaan tersebut berasal dari ;

1) berkurangnya keragaman jenis biota hasil tangkapan, sehingga beberapa jenis

biota hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi seperti bawal, kerapu,

kepiting bakau dan udang tiger yang sebelumnya merupakan jenis-jenis hasil

tangkapan nelayan, saat ini sering tidak diperoleh lagi. Seringnya tidak

mendapatkan jenis-jenis ikan tersebut dari kegiatan penangkapan sehari-hari

menyebabkan penurunan yang cukup berarti bagi pendapatan riil nelayan.

2) berkurangnya secara umum jumlah hasil tangkapan nelayan. Dari data hasil

penelitian diketahui bahwa berkurangnya jumlah hasil tangkapan nelayan

terjadi pada seluruh jenis biota tangkapan. Hal ini jelas menyebabkan

berkurangnya pendapatan riil nelayan dari kegiatan penangkapan.

Dari data hasil penelelitian juga menujukkan bahwa prosentase

penurunan pendapatan riil terbesar terjadi pada kelompok nelayan pembudidaya

dan petani. Tingginya penurunan relatif pada kelompok ini dikarenakan

komoditi utama budidaya laut di lokasi studi adalah ikan kerapu dan kepiting

bakau, dimana keduanya memiliki habitat hutan mengrove pada sebagian besar

(kerapu) dan seluruh daur hidupnya (kepiting bakau), sehingga kerusakan

ekosistem hutan bakau berakibat langsung terhadap ketersediaan benih untuk

budidaya laut. Berkurangnya spesies-spesies biota laut tangkapan nelayan ini

juga berdampak langsung terhadap sebagian besar masyarakat pantai, yaitu

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 56


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

mereka yang berpenghasilan utama dari penangkapan ikan di laut. Kegiatan

penangkapan inilah yang secara langsung terkena dampak penurunan keragaman

jenis dan jumlah biota laut hasil tangkapan.

Pada kasus sub sektor perdagangan, penurunan nilai pendapatan riil juga

terjadi dan signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen, namun secara relatif

tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan meskipun volume fisik komoditi

perdagangan menurun namun nilai nominal transaksi menjadi lebih besar,

sehingga profit margin yang diambil oleh pedagang bisa menjadi lebih tinggi.

Selain itu, adanya penurunan volume komoditi perdagangan menyebabkan

pelaku usaha di sub sektor perdagangan hasil laut menyusut, sehingga komoditi

perdagangan yang ada terdistribusi kepada pedagang yang masih eksis dengan

proporsi yang lebih besar. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab relatif

konstannya pendapatan pedagang.

4.2.3. Kesempatan Berusaha

Pada kasus analisis kesempatan berusaha, melalui perceptional test

diperoleh perbedaan yang signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen antara

kondisi sebelum dan sesudan terjadi kerusakan ekosistem hutan bakau. Hal itu

berarti setelah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, masyarakat pantai

menyatakan bahwa kesempatan berusaha menjadi lebih sedikit dibandingkan

kondisi sebelum terjadinya kerusakan. Kegiatan berusaha yang dimaksudkan di

sini adalah kegiatan usaha nelayan yang umumnya berbasis pemanfaatan

sumberdaya perikanan dan usaha pendukung kebutuhan sehari-hari nelayan,

seperti budidaya laut, perdagangan hasil laut, pengolahan hasil laut, suplai

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 57


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

kebutuhan melaut dan kebutuhan harian rumah tangga, jasa pembuatan alat

penangkapan, dan lain-lain.

Usaha yang terkait dengan penangkapan hasil laut seperti budidaya ikan

laut, perdagangan hasil laut dan pengolahan hasil laut secara langsung

dipengaruhi oleh keragaman jenis dan volume hasil tangkapan. Sebagai contoh,

di Desa Jaring Halus pada tahun 1995 terdapat sedikitnya 300 keramba jaring

tancap untuk budidaya ikan kerapu yang beroperasi sesuai dengan kapasitas

normal, namun pada tahun 2004 tinggal 25 persen saja yang beroperasi secara

normal, meskipun jumlah keramba yang ada mengalami peningkatan menjadi

tidak kurang dari 500 keramba.

Usaha pemasok/jasa yang berkaitan dengan peralatan penangkapan juga

dipengaruhi oleh jumlah dan keragaman jenis, dimana sebagian komoditi

tangkapan ditangkap dengan alat tangkap khusus, seperti jaring udang untuk

udang, bubu dan pancing untuk ikan kerapu, jaring insang untuk ikan pelagis

kecil, ambai untuk ikan/udang di sepanjang paluh yang mengikuti arus pasang

surut, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan usaha yang terkait dengan

pasokan barang/jasa untuk kebutuhan sehari-hari, tergantung pada kapasitas

daya beli masyarakat yang ditentukan oleh tingkat pendapatannya. Penurunan

pendapatan riil nelayan berdampak pada penurunan daya beli nelayan terhadap

kebutuhan sehari-hari.

4.2.4. Kesempatan Kerja

Sama halnya pada kasus kesempatan berusaha, masyarakat pantai juga

menyatakan adanya perbedaan yang signifikan pada taraf nyata 95 persen antara

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 58


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

kesempatan kerja yang tersedia sebelum terjadinya kerusakan dengan sesudah

terjadinya kerusakan. Kesempatan kerja yang dimaksudkan di sini adalah

kesempatan kerja di lokasi penelitian yang terkait dengan pemanfaatan sumber

daya alam pesisir dan laut beserta aktivitas pendukung kehidupan yang ada.

Berkurangnya hasil tangkapan juga berakibat pada berkurangnya

volume aktivitas ekonomi di lokasi penelitian, yang secara langsung berakibat

pada menurunnya kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan. Berkurangnya hasil

tangkapan berupa jenis-jenis ikan yang bisa dibudidayakan (seperti kerapu,

jenahar, kepiting bakau) menyebabkan berkurangnya pelaku usaha dan volume

usaha budidaya, yang berakibat pada berkurangnya tenaga kerja langsung

maupun tidak langsung yang terlibat. Tenaga kerja langsung yang terlibat

dalam budidaya ikan kerapu misalnya adalah tenaga kerja pengelola (memberi

pakan dan mengurus keramba) dan penjaga keramba, sedangkan tenaga kerja

tidak langsung yang terlibat misalnya tenaga pencari dan pemasok pakan ikan,

pencari dan pengumpul bibit, pembuat keramba, pengangkut produk dan lain

sebagainya.

Penurunan hasil tangkapan juga berakibat menurunnya kegiatan usaha

pengolahan hasil laut. Kegiatan usaha pengolahan hasil laut yang dilakukan

masyarakat di lokasi penelitian antara lain pembuatan ikan asin (pengeringan),

pembuatan keripik ikan cincang rebung dan pembuatan terasi udang (blacan).

Semua usaha pengolahan tersebut bergantung kepada ketersediaan bahan baku

berupa ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan. Berkurang atau bertambahnya

kegiatan usaha pengolahan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh ada atau

tidaknya bahan baku, terutama pada kasus usaha pengolahan terasi udang dan

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 59


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

pengolahan keripik ikan cincang rebung. Sedangkan ketersediaan tenaga kerja

tidak menjadi kendala, karena tenaga kerja di lingkungan masyarakat nelayan

umumnya belum termanfaatkan secara optimal. Dengan demikian, perubahan

hasil tangkapan berdampak pada penurunan kesempatan kerja bagi masyakat di

lokasi studi, terutama bagi anggota keluarga seperti anak-anak dan kaum ibu.

Analisis di atas mengenai kesempatan kerja dan berusaha terkait dengan

tinjauan makro perekonomian masyarakat di lokasi studi. Tingkat

pembentukkan saving yang hanya delapan persen relatif rendah jika

dibandingkan dengan kondisi rata-rata ideal yaitu + 15 persen dari total

pendapatan keluarga. Rendahnya saving tersebut secara langsung berdampak

pada rendahnya pembentukkan modal untuk investasi, yang kemudian

berdampak luas terhadap perekonomian setempat seperti : sulitnya

pengembangan usaha setempat, sedikitnya daya serap lapangan kerja terhadap

SDM potensial, serta kecilnya multiplier efect yang ditimbulkan terhadap

lingkungan sekitar (Saleh, 1983). Rendahnya tingkat saving tersebut

dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor kultur dan faktor kondisi

perekonomian. Faktor kultur di sini berupa pola pemikiran nelayan yang sudah

terbiasa memenuhi kebutuhan hidupnya hanya dengan mengeksploitasi sumber

daya alam (perikanan), yang selama ini cenderung masih relatif mudah.

Masyarakat nelayan terbiasa dengan hanya mengeluarkan sedikit energi

tanpa dibarengi dengan perencanaan dan manajemen yang rumit untuk

memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Kondisi tersebut secara akumulatif telah

membentuk pola pikir jangka pendek, termasuk dalam hal perekonomian. Hal

ini sangat berbeda dengan masyarakat yang berkultur agraris (budidaya), dimana

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 60


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

mereka harus melakukan kegiatan budidaya dengan perencanaan, teknis dan

manajemen yang baik untuk dapat memperoleh penghasilan, bahkan masih

dibayang-bayangi dengan resiko (risk). Semua itu membuat pola pikir

masyarakat agraris jauh lebih berwawasan kewirausahaan dibandingkan dengan

masyarakat pantai, termasuk di lokasi studi.

Berdasarkan data kendala sulitnya mendapatkan kesempatan kerja dan

berusaha (Tabel 4.14.) diketahui bahwa umumnya kendala yang dialami oleh

masyarakat nelayan adalah masalah permodalan dan disusul kemudian masalah

bahan baku. Hal ini sesuai dengan data rendahnya proporsi saving yang

memang berkorelasi dengan kesulitan dalam permodalan usaha. Selain itu,

kendala sulitnya bahan baku usaha juga sesuai dengan hasil uji statistik yang

menyatakan bahwa terjadi penurunan yang signifikan dalam ketersediaan bahan

baku dan komoditas perdagangan di wilayah pesisir, terutama yang berupa

sumber daya perikanan.

Tabel 4.15. Kendala yang dialami masyarakat nelayan dalam berusaha (2004)

Jumlah Masyarakat Pantai


Nilai Kendala Utama
Nominal Relatif (%)
1 Modal 42 56
2 Bahan Baku 23 30.67
3 Teknologi 1 1.33
4 Pemasaran 2 2.67
5 Keamanan 2 2.67
6 Lainnya 5 6.67
Jumlah 75 100

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 61


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Data pendukung pada Tabel 4.15. di atas menunjukkan bahwa kendala

utama yang dihadapi masyarakat pantai dalam pengembangan usaha mereka

adalah permodalan dan bahan baku. Adanya kendala permodalan ini sejalan

dengan hasil analisis sebelumnya bahwa kecilnya proporsi saving berakibat pada

rendahnya kemampuan permodalan lokal dalam pengembangan kegiatan usaha.

Teridentifikasinya bahan baku sebagai kendala pengembangan usaha masyarakat

pantai juga sinergi dengan temuan di atas, dimana menurunnya keragaman jenis

hasil tangkapan nelayan berakibat pada menurunnya bahan baku dan komoditas

perdagangan utama masyarakat pantai yang masih sangat bergantung kepada

sumber daya alam, sehingga baik kegiatan usaha budidaya maupun perdagangan

dan pengolahan mengalami kendala keterbatasan bahan baku. Selain adanya dua

kendala utama, data pendukung di atas juga menunjukkan bahwa permasalahan

lain seperti teknologi, permodalan dan pemasaran bukan merupakan kendala

utama dalam pengembangan usaha dan peluang kerja di lokasi studi, setidaknya

menurut persepsi masyarakat pantai di lokasi penelitian.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 62


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan masyarakat pantai

sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau di lokasi

penelitian. Tingkat saving masyarakat nelayan relatif rendah, yaitu hanya

sebesar rata-rata delapan persen dari total pendapatan keluarga, sehingga

potensi pengembangan perekonomian wilayah melalui peningkatan investasi

lokal juga relatif rendah.

2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara keragaman jenis tangkapan

nelayan antara sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan

bakau, dimana berbagai jenis biota laut tangkapan nelayan yang menjadi

hilang dan/atau menjadi semakin langka setelah terjadinya kerusakan

ekosistem hutan bakau.

3. Kerusakan ekosistem hutan bakau berpengaruh terhadap kesempatan

berusaha dan bekerja masyarakat nelayan, yang disebabkan oleh

berkurangnya bahan baku industri pengolahan, berkurangnya bahan/komoditi

perdagangan, berkurangnya benih untuk budidaya dan berkurangnya potensi

tangkapan.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil/kesimpulan dari penelitian di atas, dapat disarankan

beberapa hal sebagai berikut :

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 63


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

1. Mengingat sangat pentingnya peranan ekosistem hutan bakau bagi

kelangsungan mata pencaharian nelayan, maka untuk mengatasi dan

mencegah terus terjadinya degradasi sumber daya perikanan, pemerintah

daerah Propinsi dan Kabupaten di Sumatera Utara harus segera melakukan

upaya rehabilitasi melalui penanaman hutan bakau dengan melibatkan peran

serta masyarakat seiring dengan upaya penyadaran masyarakat terhadap akan

arti pentingnya ekosistem hutan bakau bagi kelangsungan hidup mereka.

Untuk itu, perlu dilakukan penyuluhan tentang urgensi keberadaan hutan

bakau bagi kelangsungan sumber daya perikanan di kawasan pesisir. Dalam

aspek kelembagaan, institusi akademis (Lembaga Penelitian dan Perguruan

Tinggi) perlu mengkaji alternatif bentuk kelembagaan pengelolaan hutan

bakau yang lebih baik, yang menempatkan masyarakat sebagai pemangku

kepentingan sekaligus pelaku utama dalam pengelolaan hutan bakau

(pendekatan optimasi dan partisipasi dalam pengelolaan sumber daya hutan).

2. Dikarenakan sumberdaya alam perikanan yang semakin menurun dan

berdampak terhadap penurunan pendapatan masyarakat pantai, maka

sebaiknya pemerintah daerah Kabupaten Langkat, LSM dan pihak-pihak yang

terkait berupaya untuk mengembangkan bentuk-bentuk mata pencaharian

alternatif bagi masyarakat pantai. Mata pencaharian alternatif di sini berupa

kegiatan ekonomi yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak

sekedar eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan sinergi

dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Salah satu

bentuk mata pencaharian alternatif tersebut adalah melalui pengembangan

industri rumah tangga (seperti pembuatan belacan, ikan kering tawar, kerupuk

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 64


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

cincang rebung, tepung ikan, kerajinan tikar, kerajinan daun nipah), budidaya

padi sawah, budidaya kelapa, ternak itik dan lain-lain. Program tersebut harus

diimplementasikan melalui pendekatan yang sesuai dengan budaya (kultur)

masyarakat lokal serta diikuti dengan peningkatan kapasitas Sumber Daya

Manusia (SDM) masyarakat nelayan, baik dari sisi pengetahuan (knowledge),

skill, sikap mental maupun manajemen, baik manajemen finansial,

manajemen waktu maupun manajemen sumber daya manusianya. Dalam

konteks makro, mengingat daya tumbuh investasi lokal relatif lemah,

diperlukan kebijakan dan fasilitasi sebagai triger bagi pengembangan

investasi di kawasan pesisir, melalui pendekatan kebijakan, fasilitasi jejaring

pengembangan ekonomi (kemitraan), maupun upaya bantuan permodalan

bagi potensi ekonomi lokal yang layak berkembang. Di samping itu,

Pemerintah Daerah di Propinsi Sumatera Utara khususnya Kabupaten

Langkat perlu melakukan upaya pengembangan budidaya air payau (seperti :

tambak dan keramba) melalui pola kemitraan dengan melibatkan investor

dengan memberikan kemudahan usaha/insentif untuk pemberdayaan

sumberdaya lokal.

3. Semakin sulitnya kondisi perekonomian di wilayah desa-desa pantai yang

mengakibatkan sulitnya melaksanakan kegiatan usaha dan mendapatkan

lapangan kerja berpotensi menimbulkan kerawanan sosial. Oleh karena itu

perlu dilakukan upaya antisipasi dengan pendekatan ekonomi maupun sosial

budaya guna mencegah dan mengeliminir timbulnya potensi kerawanan

sosial di masyarakat pantai.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 65


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2003. Kabupaten Langkat dalam Angka. Biro Pusat Statistik


Kabupaten Langkat. Stabat.

. 2002. Peta Potensi Perikanan Kabupaten Langkat. Dinas Perikanan


dan Kelautan Kabupaten Langkat. Stabat.

. 2001. Pedoman Umum Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir.


Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP RI. Jakarta.

. 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Forest Watch Indonesia dan


Global Forest Watch. Bogor-Washington DC.

. 1999. Pelestarian dan Pengembangan Suaka Margasatwa Kab.


Langkat dan Langkat Timur Laut. Makalah Seminar Pelestarian dan
Pengembangan SM KGLTL. Universitas Sumatera Utara. Medan.

. 1997. Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Mangrove di Indonesia.


Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta.

. 1992. Indikator Kesejahteraan Rakyat. Biro Pusat Statistik. Jakarta.

. 1992. Statistik Kesejahteraan Rumah Tangga. Biro Pusat Statistik.


Jakarta.

Davies, J., Claridge, G. dan Natarita. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan
Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Ditjend.
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan – Asian
Wetland Buereau Indonesia (AWB). Jakarta.

Delvian., Muhdi dan Budi, C. 1999. Pengelolaan Sumberdaya Mangrove dan


Gambut. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.

Edyanto, H. 2000. Pengelolaan Wilayah Wisata Alam Laut dan Pantai Berwawasan
Lingkungan. Makalah Pelatihan Pengelolaan Wisata Alam Laut dan Pantai
Berwawasan Lingkungan. BPPT-P2PAR-ITB, 6-10 Maret 2000. Jakarta.

Giesen, W., and Sukotjo. 1991. Kabupaten Langkat - Langkat Timur Laut Wildlife
Reserve, North Sumatra. Director-General of Forest Protection and Nature
Conservation - Asian Wetland Bureau Indonesia. Jakarta

Holmes, D. 2000. Deforestation in Indonesia: A Review of the Situation in 1999.


World Bank. Jakarta.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 66


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Ichwandi, I. 1996. Penilaian Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor


(IPB). Bogor.

Oeliem, T.M.H., Purwoko, A. dan Patana, P. 2001. Peluang Bisnis Melalui


Pembangunan Hutan Rakyat dan Agroforestry. Dalam Prosiding Seminar
Pengembangan Hutan Rakyat dan Agroforestry di Wilayah Sumatera Bagian
Utara. Balai Penelitian Kehutanan Pematang Siantar. Aek Nauli.

Partomihardjo, T., Purwanto, Y., Handini, S., Koestanto, Julistiono, H., Agustiyani,
D., Sulawesty, F. dan Widiyanto, T. Laporan Teknik 1998/1999: 7 – 18.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI. Bogor.

Purwoko, A. dan Onrizal, 2002. Identifikasi Potensi Sosial Ekonomi Hutan


Mangrove di SM KGLTL. Makalah Seminar Nasional Hasil-hasil Penelitian
Dosen Muda dan Kajian Wanita. Ditjend DIKTI. Jakarta.

Ramli dan Purwoko, A. 2003. Peran dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan
Kawasan Pesisir Terpadu. Makalah pada Lokakarya Antar Sektor dalam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat tanggal 9
September 2003. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Langkat. Stabat.

Saleh, C.H. 1983. Pola Pengeluaran Rumah Tangga dan Penguasaan Modal Bukan
Tanah. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sayogyo. 1978. Lapisan Masyarakat Paling Miskin di Pedesaan Jawa. Prisma Vol.
3 1978. Jakarta.

Simanjuntak, T. 1985. Pengantar Ekonomi Sumberdaya Manusia. Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.

Siregar, E.B.M. dan Purwoko, A. 2002. Pengelolaan Ekosistem dan Lingkungan


Pesisir. Makalah pada Lokakarya Partisipasi Publik dalam Pengelolaan
Pesisir dan Laut, 28-30 Oktober 2002. Kerjasama Pemkab Langkat dengan
LPPM USU. Stabat.

Soemarwoto, O. 1999. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

Sosroatmodjo. 1980. Sosiologi Pembangunan. Fakultas Pasca Sarjana IKIP Jakarta


Bekerjasama dngan Badan Kordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN). Jakarta.

Sukarjo, S. 1987. Conservation of the Marine Life Mangrove Forest, Estuaries and
Wetland Vegetation in Cimanuk Nature Reserve, BIOTROP Spec. Publ. No.
30. Bogor.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 67


Kajian Aktual Ekosistem Mangrove

Suparmoko, 1989. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Pusat Antar


Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Thomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press.


London.

Balitbang Propinsi Sumatera Utara 68

Anda mungkin juga menyukai