KERJASAMA
DENGAN
LEMBAGA PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (LPPM)
UNIVERSITAS MEDAN AREA
MEDAN – 2005
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
Medan Area.
masyarakat setempat. Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
NIP. 010095728
RINGKASAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN ............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv
DAFTAR TABEL...................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. vii
I. PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah .............................................................................. 4
1.3. Tujuan Penelitian .................................................................................. 5
1.4. Hipotesis ............................................................................................... 5
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................ 6
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul
Halaman
I. PENDAHULUAN
Diperkirakan luas hutan mangrove yang rusak di seluruh Indonesia telah mencapai 3
parah akan terjadi apabila kondisi ini tidak segera ditangani. Usaha penanganan
kerusakan hutan mangrove ini telah ditindaklanjuti dengan telah ditetapkan anggaran
Indonesia.
wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap kerusakan. Ekosistem hutan bakau
berada di wilayah hilir atau muara dimana segala bentuk dampak kerusakan di
wilayah hulu dan tengah akan membawa berdampak ke wilayah ini. Namun
demikian ekosistem hutan bakau memiliki fungsi kontrol, pertahanan dan bahkan
menjadi tidak efisien apabila terjadi kerusakan dan ketidak seimbangan pada
resources) yang memiliki intensitas relasi yang tinggi dengan masyarakat, mengingat
hutan bakau mudah dijangkau dan berada pada kawasan-kawasan yang sudah cukup
terbuka/berkembang. Selain itu, potensi ekonomi hutan ini cukup tinggi dengan
didukung oleh kemudahan pemanfaatan dan pemasaran hasilnya. Hal ini mendorong
yang berada di kawasan hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) Sei Besitang. Secara
umum kawasan ini merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem utama berupa hutan
bakau. Salah satu ekosistem mangrove yang masuk kategori kawasan lindung di
wilayah ini adalah kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur
Laut (SM KGLTL). Bagian dari kawasan Suaka Margasatwa ini yang masuk dalam
wilayah administrasi Kabupaten Langkat adalah bagian Langkat Timur Laut yang
kerusakan. Menurut laporan Anonimous (1999), di wilayah ini telah terjadi berbagai
kayu, perambahan, pengambilan biota air yang tidak terkendali, perburuan liar,
pencemaran sungai dan pemukiman. Okupasi lahan yang terjadi pada tahun 1999
mencapai 3.650 ha (24%) yang meliputi 1.600 ha untuk kegiatan pertambakan, 1.800
ha untuk kebun kelapa sawit dan 250 ha dikonversi untuk penggunaan lainnya.
sejak tahun 1995, baik yang dilakukan oleh individu maupun perusahaan. Bahkan
yang sudah mencapai tingkat yang cukup parah. Berdasarkan data hasil interpretasi
citra landsat TM tahun 2002 dilaporkan bahwa hutan bakau yang ada di Kecamatan
Secanggang tinggal 4.450,2 ha dari luas potensial sebanyak 9.000 ha. Hal itu berarti
secara bentang fisik telah terjadi kehilangan/alih fungsi sebanyak 5.549,8 ha (61,7%).
Untuk suatu ekosistem lindung, tingkat kerusakan seperti itu sudah cukup
3. Merupakan kawasan hutan bakau yang memiliki lebar jalur cukup lebar
4. Merupakan kawasan lindung yang berada di daerah yang relatif terbuka dan
kerusakan pada ekosistem hutan bakau akan terkait dengan perekonomian nelayan
hari dalam setiap bulannya) umumnya merupakan waktu untuk memperbaiki jaring
menebang kayu bakau. Akan tetapi sejauh ini belum dikaji kaitan kuantitatif antara
pemahaman/kesadaran masyarakat akan hal tersebut masih sangat minim dan terus
Korelasi ini perlu dianalisis secara ilmiah sehingga masyarakat dan terutama
secara komprehensif (terpadu) dan bisa meminimalisir dampak negatif yang terjadi.
Oleh karena itu perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana dampak yang
nelayan, dalam tataran rumah tangga secara kuantitatif. Kajian ini sangat diperlukan
sebagai acuan dalam mendesain bentuk pengelolaan yang tepat sesuai dengan
Perlunya bentuk pengelolaan yang tepat ini dikarenakan adanya perubahan azas
development yang memiliki implikasi bahwa orientasi pengelolaan hutan harus lebih
sebagai berikut :
1. Apakah ada perbedaan keragaman jenis hasil tangkapan nelayan sebelum dan
1.4. Hipotesis
bakau.
2. Sebagai data ilmiah untuk kampanye konservasi sumber daya hutan bakau dan
use). Hal ini disebabkan karena selain sebagai produsen kayu, hutan juga
dua macam, yaitu : manfaat tangible dan manfaat intangible. Manfaat tangible
antara lain : kayu, getah, hasil hutan ikutan dan lain-lain. Sementara manfaat
intangible antara lain : pengaturan tata air, rekreasi, pendidikan dan lain-lain
muara sungai berlumpur, terpengaruh pasang surut, dan umumnya pada garis-
garis pantai yang landai dan terlindung dari hempasan ombak yang besar.
Beberapa jenis tanaman mangrove juga dapat tumbuh di tanah lempung yang
pejal, kompak (firm clay soil, seperti Bruguiera spp), gambut (peat, seperti
Kandelia), berpasir (sandy soil, seperti Rhizopora stylosa), dan bahkan tanah
berkoral yang kaya akan dentritus (walaupun tidak baik pertumbuhannya, seperti
Pemphis acidula). Pada kawasan pantai berbatu yang ditutupi lumpur, tumbuhan
hutan bakau dapat juga berkembang namun pertumbuhannya akan kerdil dan
komposisi struktur vegetasi yang khas untuk hutan bakau. Habitat yang
membuat hutan bakau harus beradaptasi antara lain keadaan tanah (lumpur
tanah. Dari segi fisiologi, ciri yang paling menonjol adalah sifat-sifat hutan
bakau yang tahan terhadap tanah yang mengandung garam dan genangan air
mangrove juga dapat tumbuh dengan baik di air tawar, seperti ditunjukkan
2.1.2. Satwa
hutan bakau, yaitu fauna yang mutlak hidup di dekat/dalam air (aquatik,
terdiri dari jenis ikan, kepiting, siput, kerang, cacing) dan fauna yang
ditemukan 52 jenis ikan dan udang tangkapan yang bernilai ekonomi penting.
Dua per tiga dari jenis-jenis tersebut paling tidak menghabiskan sebagian dari
daur hidupnya di perairan dangkal atau muara yang tergantung pada pasokan
dan Tuntong (Batagur baska) yang endemik di Sumatera. Lebih dari 100
jenis burung hidup di sini, dan daratan lumpur yang luas yang berbatasan
semipalmatus).
bangunan, tanaman pertanian atau vegetasi alami dari kerusakan akibat badai
3. Pengendapan lumpur. Sifat fisik tanaman pada hutan bakau membantu proses
penghilangan racun dan unsur hara dari air, karena bahan-bahan tersebut
4. Penambat unsur hara. Sifat fisik hutan bakau cenderung memperlambat aliran
air dan terjadi pengendapan. Seiring dengan proses pengendapan ini terjadi
molekul partikel tanah liat. Beberapa spesies tertentu dalam hutan bakau
6. Sumber Alam dalam Kawasan (In-Situ) dan Luar Kawasan (Ex-Situ). Hasil
alam in-situ mencakup semua fauna, flora dan hasil pertambangan atau
sumber makanan bagi organisme lain atau menyediakan fungsi lain seperti
8. Sumber plastma nutfah. Plasma nutfah dari kehidupan liar sangat besar
9. Rekreasi dan Pariwisata. Hutan bakau memiliki potensi nilai estetika, baik
11. Memelihara proses-proses dan sistem alami. Hutan bakau sangat tinggi
CO2) menjadi karbon organik dalam bentuk bahan vegetasi. Pada sebagian
atmosfer sebagai CO2. Akan tetapi hutan bakau justru mengandung sejumlah
besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu, hutan bakau lebih
mikro terjaga.
kondisi asam.
hutan bakau. Kawasan ini memiliki luas total 15.765 ha, terbagi atas dua wilayah
Verstappen (1973) dalam Giesen dan Sukotjo (1991), sedimen yang membentuk
dataran pantai di daerah ini adalah Hoocxene, dengan demikian usianya tidak
bercampur dengan kerikil, pasir halus, bahan organik dan bioklastik karbonat
(terutama pecahan karang). Adapun jenis-jenis tanah di dalam kawasan ini antara
lain Aluvial, Regosol dan Organosol dengan bahan induk endapan sungai dan
bahan organik.
oleh kawasan hutan bakau (Rhizopora spp dan Bruguiera spp) dan sisanya berupa
kawasan dengan dominasi nipah (Nypa fruticans) dan cemara laut (Casuarina
kawasan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut masih
memiliki keliaran (wildness) yang tinggi. Kawasan ini memiliki sedikitnya tiga
pesisir yang berupa daerah berbukit terjal dengan ekosistem karang yang dominan
di perairan, ada kawasan pesisir yang merupakan zona muara dengan hamparan
pantai berlumpur yang luas dan diantaranya ada kawasan pesisir dengan formasi
hutan bakau yang tebal dan memanjang sepajang garis pantai. Semua jenis
pola pengelolaan yang berbeda. Berdasarkan nilai, manfaat dan fungsi kawasan
produktivitas dan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Akibatnya adalah terjadi
konsentrasi aktivitas dan populasi manusia yang cukup tinggi karena kawasan
Pada dasawarsa ini terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan bakau
secara drastis. Ironinya, sampai sekarang tidak ada data aktual yang pasti
mengenai luasan hutan bakau, baik yang kondisinya baik, rusak maupun telah
boundary yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama tahun 1985 s.d. tahun
kasus lokal di kawasan hutan bakau Kabupaten Langkat (SM KGLTL) yang
diteliti dilaporkan oleh Purwoko dan Onziral (2001) yang menyatakan bahwa
sudah tidak memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan
beregenerasi secara alami (Gambar 2.2. dan 2.3.). Hal ini nampak dari kondisi
Tabel 2.1. Perbandingan kerapatan bakau (R. apiculata) pada tingkat semai, pancang
dan tiang.
Jumlah Spesies
40
34
35
30
25 21
20 18
15
10
5
0 1951 1991 2001
Tahun
daya alam yang signifikan di kawasan pesisir, baik pada ekosistem hutan pantai,
ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain, yang berakibat langsung pada
keluhan penurunan hasil tangkapan oleh nelayan menurut laporan Ramli dan
keterbukaan wilayah yang tinggi dan relatif dekat dengan sentra-sentra kegiatan
Onrizal (2002), interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan
maupun terhadap fungsi dan keunikannya. Dari satu sisi, hal ini mengindikasikan
terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang lain,
pesisir secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem hutan
(Giesen dan Sukotjo, 1991) dan bahkan pada tahun 2001 tinggal 18 spesies
2. Adanya kerapatan individu pada tingkat semai yang lebih rendah dari
alami.
3. Tidak ditemukannya pohon pada kelas tiang dan pohon untuk beberapa jenis
terus menerus. Hal ini menyebabkan tidak tersedianya pohon induk untuk
kiln) (laporan Anonimous, 2002 terdapat 200 kilang) dengan kebutuhan bahan
oleh masyarakat dan pengusaha untuk kegiatan perkebunan sawit dan tanaman
lainnya (1.496 ha), tambak udang (885 ha), pemukiman dan lain-lain.
Pencemaran yang terjadi pada kawasan ini bersumber dari kegiatan pabrik tebu,
limbah tambak, limbah minyak boat dan sebagainya. Pencemaran berat terjadi
secara periodik setiap 6 bulan sekali, dimana pada saat itu air sungai menjadi
keruh dan biota air banyak yang mati. Sedangkan perambahan untuk pemukiman
dilihat sebagai masalah salah satu sektor saja, walaupun sektor hulu yang
dan nilai ekonomi sumber daya alam merupakan masalah lintas sektoral yang
tersebut akan terus menurun atau bahkan hilang, baik pada tingkat spesies
maupun tingkat ekosistem apabila bentuk pengelolaan dan relasi sosial ekonomi
saat ini belum terbentuk sistem pengelolaan kawasan hutan bakau yang efektif
dan efisien di Kabupaten Langkat dengan berbasis pada potensi kawasan yang
daya alam akan terus menurun, polusi akan meningkat hingga ke tingkat yang
sulit dikendalikan, jumlah petani dan nelayan miskin akan terus meningkat,
kriminal dan kemiskinan akan terus meningkat (Siregar dan Purwoko, 2002).
merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkorelasi secara timbal
balik. Masing-masing elemen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang
saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya
dan fungsi hutan bakau bagi sektor perikanan dan kelautan. Menurut laporan
Serdang percaya bahwa hutan bakau sangat penting bagi perikanan sebagai
tumpuan hidup mereka. Walaupun mereka sering menebang pohon dan hutan
bakau, akan tetapi mereka yakin bahwa merusak hutan bakau akan mempengaruhi
hara terhadap ekosistem air, menyediakan tempat berlindung dan tempat asuhan
bagi anak-anak ikan, tempat kawin dan pemijahan dan lain-lain. Sumber
makanan utama bagi organisme air di daerah hutan bakau adalah dalam bentuk
partikel bahan organik (dentritus) yang dihasilkan dari dekomposisi serasah hutan
bakau (contoh: daun, ranting dan bunga). Selama proses dekomposisi, serasah
partikulat dan pemakan deposit seperti moluska, kepiting dan cacing palychaeta.
Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat dua, biasanya
didominasi oleh ikan-ikan buas berukuran kecil dan slenjutnya dimakan oleh
juvenil ikan predator besar yang membentuk konsumen tingkat tiga. Disamping
itu terdapat jenis-jenis Crustacea penting seperti udang yang secara langsung
memakan partikulat bahan organik dan juga memakan konsumer tingkat pertama.
Singkatnya, hutan bakau berperan peting dalam menyediakan habitat bagi aneka
Secanggang, yaitu Desa Jaring Halus dan Kuala Besar. Kedua Desa ini dipilih
diantara 6 desa pantai yang terdapat di Kecamatan Secanggang, karena kedua desa
ini secara geografis dikelilingi oleh ekosistem hutan bakau dan memiliki panjang
garis pantai terbesar diantara desa-desa yang lain, sehingga memiliki keterkaitan
yang tinggi dengan ekosistem hutan bakau. Dari sisi mata pencaharian, hampir
nelayan dan/atau usaha lain yang terkait dengan hasil tangkapan perikanan dan
Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pantai dengan populasi berupa rumah
tangga masyarakat pantai di 2 desa, yaitu Desa Jaring Halus dan Kwala Besar.
Populasi meliputi rumah tangga masyarakat pantai dari berbagai bentuk aktivitas
budidaya perikanan laut dan kelompok pekerjaan lain yang ada. Sampel (responden)
diambil secara purposive proporsional dengan mengacu kepada sebaran data populasi
(data sekunder) untuk mendapatkan jumlah sampel yang layak pada masing-masing
Data yang dikumpulkan berupa data primer dan sekunder. Data sekunder
diperoleh dari sumber-sumber seperti Kantor Kepala Desa, Kantor Camat, Biro Pusat
Statistik (BPS), Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Perikanan dan Kelautan,
sahih. Data primer diperoleh melalui teknik wawancara dengan responden terpilih
kemudahan bekerja dan berusaha serta ketersediaan bahan baku dan komoditas
perdagangan sebelum dan sesudah terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau akan
diuji dengan Uji t macthed pair, yaitu uji statistik untuk menentukan signifikasi
perbedaan dua populasi data yang saling berhubungan. Sedangkan fungsi konsumsi
masyarakat pantai sebagai bahan analisis diperoleh melalui regresi linear sederhana
§ Jika Nilai thitung < Nilai ttabel, maka H0 tidak ditolak, sehingga µp1 = µp0 yang
§ Jika Nilai thitung > Nilai ttabel, maka H0 ditolak (terima H1) sehingga µp1 ≠ µp0
Ĉ = a + βY, dimana :
Ĉ : konsumsi,
a : konstanta,
Y : pendapatan,
Kriteria uji yang sama juga akan digunakan untuk data-data lain yang bisa
dibangkitkan dalam pengumpulan data. Selain itu, pengolahan dan penyajian data
bakau. Sedangkan aspek kesempatan kerja dan berusaha juga dianalisa secara
ekosistem hutan bakau yang terjadi terhadap masyarakat pantai di lokasi studi.
4.1. Hasil
Data dalam penelitian ini diperoleh dari sumber data sekunder maupun hasil
wawancara dengan masyarakat pantai. Data yang bersumber dari data sekunder
berupa data karakteristik ekosistem lokasi penelitian, profil lokasi penelitian (desa,
kecamatan dan kabupaten). Adapun data primer berupa data nominal maupun
yang telah direncanakan. Dari hasil pengolahan data primer dan data sekunder dapat
kondisi fisik wilayah, tofografi, luas wilayah, penduduk dan mata pencaharian.
a. Administrasi
masing-masing bervariasi dari yang paling sempit yakni 4,24 km2 (Karang
Anyar) hingga yang terluas yakni 35,54 km2 (Tanjung Ibus). Luasan dan rasio
sebagai berikut:
meter di atas permukaan laut. Faktor iklim yang berpengaruh besar terhadap
wilayah pantai adalah curah hujan dan angin. Pada musim penghujan terjadi
angin barat, dan pada kemarau terjadi angin timur. Keadaan angin barat dan
angin timur ini dapat berdampak terhadap proses abrasi (pengikisan pantai oleh
surut air asin dan muara beberapa sungai kecil yang pada garis pantainya terdapat
Curah hujan rata-rata per tahun sebesar 2,258 mm dan terjadi pada bulan
Oktober sampai dengan bulan April. Sedangkan musim kemarau terjadi pada
c. Letak Geografis
97º 52’ sampai 98° Bujur Timur. dengan ketinggian 4 meter di atas permukaan
sebelah Timur.
d. Penduduk
jiwa dengan kepadatan rata-rata penduduk 254,86 jiwa/Km2 hingga pada tahun
kepadatan penduduk rendah adalah Kuala Besar dikarenakan desa ini merupakan
desa pantai yang masih cukup terisolir dan sulit dijangkau dengan angkutan
umum (hanya ada angkutan sungai berupa boat). Disusul kemudian Desa Cinta
perkebunan kakao dan sawit. Kepadatan penduduk dan rata-rata anggota rumah
Tabel 4.2. Jumlah dan kepadatan penduduk Kecamatan Secanggang Tahun 2003
Banyaknya Kepadatan
Luas Jiwa/
No Desa/Kelurahan Penduduk
(km2) RT Penduduk RT
Jiwa/km2
1 Kepala Sungai 9,64 1.038 4.462 462,86 4,30
2 Perkotaan 8,92 487 1.945 218,05 3,99
3 Teluk 29,92 1.675 7.162 239,37 4,28
4 Cinta Raja 18,25 369 1.630 89,32 4,42
5 Telaga Jernih 10,52 1.073 4.254 404,37 3,96
6 Karang Gading 19,38 2.098 8.957 462,18 4,27
7 Kuala Besar 17,11 245 1.059 61,89 4,32
8 Selotong 28,38 1.069 4.403 155,14 4,12
9 Pekan Secanggang 21,75 1.367 5.999 275,82 4,39
10 Tanjung Ibus 35,54 1.160 4.992 140,46 4,30
11 Hinai Kiri 4,25 1.232 4.827 1.135,76 3,92
12 Kebun Kelapa 14,46 616 2.424 167,63 3,94
13 Sungai Ular 10,12 675 2.613 258,20 3,87
14 Jaring Halus 11,25 631 2.770 246,22 4,39
15 Karang Anyar 4,24 1.053 4.621 1.089,86 4,39
Data pada Tabel 4.2. tersebut juga memperlihatkan bahwa Desa Hinai Kiri
merupakan daerah yang terpadat jumlah penduduknya. Hal ini disebabkan Hinai Kiri
Kecamatan Secanggang.
a. Umur
orang laki-laki dan 3 orang perempuan. Dalam hal ini responden adalah kepala
keluarga dengan umur antara 23 tahun sampai dengan 73 tahun, dengan rata-rata
b. Pendidikan
berikutnya SLTP (30.7%), SLTA (14.67%), diploma (5.3%) dan sarjana (1.3%).
Profil ini merupakan kondisi tingkat pendidikan yang cukup baik untuk kategori
wilayah desa seperti pada lokasi studi. Relatif banyaknya masyarakat pantai
Namun untuk mendapatkan jenjang perguruan tinggi mereka harus ke Ibu Kota
c. Pekerjaan
desa sebanyak 7 orang (9,33%), pembuat arang sebanyak 6 orang (8%), PNS
sebanyak 4 orang (5,33%) dan sisanya adalah pengumpul kayu dan pengolah
ikan masing 4 dan 2 orang (5,3 dan 2,67%). Distribusi pekerjaan non nelayan
cukup merata, yang berarti di lokasi penelitian tidak ada pekerjaan alternatif
yang menonjol dan menjadi sumber mata pencaharian yang signifikan bagi
perdagangan, budidaya, maupun industri yang ada juga masih bergerak pada
memiliki pekerjaan pokok bukan nelayan tangkap, namun mereka juga masih
sambilan lainnya antara lain petani, pedagang, pengolah ikan, pembuat arang
yang tidak memiliki pekerjaan sambilan. Umumnya kelompok ini berasal dari
d. Tingkat Kesejahteraan
seperti kondisi rumah, sumber penerangan, alat masak utama, sumber energi,
sumber air minum dan jenis jamban keluarga (Anonimous, 1992). Indikator-
penelitian adalah rumah sederhana, dengan bahan dasar kayu, ukuran sempit
dan konstruksi sederhana dan hanya sebagian kecil saja yang memiliki rumah
penelitian yang memiliki rumah mewah, namun terdapat nelayan yang masih
menghuni rumah darurat, yaitu rumah yang hanya dibuat dengan konstruksi
1% 0% 23%
Rumah Mewah
Rumah Permanen
Semi Permanen
Sederhana
61% 15%
Darurat
2. Sumber energi
Sumber energi dalam hal ini adalah sumber energi utama yang
Sumber energi terkait juga dengan jenis alat masak utama, karena energi
terbesar untuk rumah tangga non produksi digunakan untuk kegiatan masak-
listrik/gas, minyak tanah, kayu dan lainnya. Sumber energi lainnya yang
sering digunakan dalam rumah tangga misalnya hewan ternak, angin, panas
%). Tidak ada rumah tangga yang menggunakan sumber energi dari panas
matahari, angin, maupun hewan ternak (Gambar 4.4.). Sumber energi hewan
umumnya ternak yang dipelihara nelayan berupa unggas dan sebagian kecil
sumber energi.
4% 0% 9%
Listrik/Gas
Minyak Tanah
Kayu
Lainnya
87%
yang digunakan adalah air minum kemasan, air ledeng, air sumur/mata air, air
hujan dan sumber air lainnya. Kedua desa yang menjadi lokasi penelitian
(Desa Jaring Halus dan Desa Kwala Besar) merupakan desa pantai yang
letaknya langsung berbatasan dengan laut dan dikelilingi oleh paluh-paluh air
dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM sehingga air bersih menjadi
sebagai satu-satunya sumber air bersih di lokasi ini harus dibuat dengan
Kwala Besar menggunakan air minum yang bersumber dari sumur bor
rumahnya dan membayar secara bulanan, dan inilah yang dimaksud dengan
air ledeng dalam kasus ini. Sebagian kecil masyarakat bahkan masih
menggunakan air hujan sebagai sumber air minum mereka, dan tidak ada
yang secara rutin menggunakan air kemasan sebagai sumber air minum
menggunakan air bersih dengan cara membeli dari pemasok air bersih yang
1% 5% 0% 7%
Air Kemasan
Air Ledeng
Air Sumur/Mata Air
Air Hujan
Lainnya
87%
Secara umum dapat diperoleh hasil bahwa baik keragaman jenis maupun
Terdapat beberapa jenis ikan yang dahulu sering tertangkap nelayan, namun
sekarang sudah tidak pernah dan/atau sangat jarang tertangkap lagi, diantaranya
jenis-jenis bawal, kepiting, kerapu, udang kapur, udang tiger, kakap, pari,
senangin, cumi, gembung. Sebagian jenis lagi merupakan kelompok ikan yang
dahulu juga sering tertangkap nelayan, akan tetapi sekarang menjadi jarang
frekuensi penangkapannya.
sebagai berikut :
Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang
Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1): Terdapat perbedaan yang
Hasil Uji : t-hitung (20.651) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan
N Correlation Sig
jumlah/volume hasil tangkapan untuk jenis alat tangkap dan waktu kerja yang
sama. Sebanyak 85% masyarakat pantai menyatakan bahwa saat ini terjadi
penurunan hasil tangkapan jika dibandingkan dengan kondisi 7-10 tahun yang
lalu, ketika kondisi ekosistem hutan bakau di Suaka Margasatwa Karang Gading
dan Langkat Timur Laut masih relatif baik. Rata-rata umum penurunan jumlah
hasil tangkapan nelayan di lokasi studi sebesar Rp. 667.462,- atau sebesar
Tabel 4.7. Data perubahan keragaman jenis hasil tangkapan nelayan setelah
kerusakan ekosistem hutan bakau (2004)
pendapatan yang diperoleh dari keseluruhan anggota rumah tangga dari berbagai
anggota rumah tangga dari berbagai sumber pendapatan, baik dari sektor
yang digunakan di sini dibatasi pada pengertian keluarga luas, yang terdiri dari
ayah, ibu, anak dan/atau anggota rumah tangga lain yang memiliki pertalian
mata pencaharian keluarga. Hal ini juga tercermin dari data yang diperoleh
yang tinggi terhadap kegiatan eksploitasi sumber daya laut baik sebagai
pekerjaan utama maupun sambilan. Selain itu, hanya sebagian kecil dari
usaha alternatif pada saat yang sama nelayan meninggalkan pekerjaan utamanya,
ikan di laut.
dinilai dari standar harga tetap sekarang (pendekatan present value), sehingga
diperoleh nilai pendapatan riil. Present value aproach ini dipilih karena menurut
Ichwandi (1996), untuk melakukan valuasi terhadap nilai sumber daya alam
lebih akurat jika digunakan pendekatan nilai kiwari, dikarenakan banyak manfaat
langsung maupun tidak langsung dari sumber daya alam yang pada masa lalu
belum memiliki nilai ekonomis namun saat ini telah memiliki nilai ekonomis
bahkan nilai pasar (market value). Dengan demikian, pendekatan nilai kiwari
itu, komoditi-komoditi yang merupakan manfaat dari sumber daya alam yang
pada masa lampau belum memiliki nilai pasar menjadi sulit untuk
dikomparasikan dengan nilai aktual yang sudah memiliki nilai pasar yang jelas.
Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang
Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang
dengan signifikasi mendekati 0 yang berarti kedua populasi yang diuji benar-
N Correlation Sig
7,113 dan jauh lebih besar dari t-tabel. Dengan demikian H0 : tidak terdapat
nelayan yang bermata pencaharian utama di bidang pembuat arang dan pengolah
ikan hanya terjadi penurunan sebesar 21-22% dan merupakan kelompok yang
arang mengalami perbedaan yang relatif kecil karena usaha dapur arang
memiliki kapasitas produksi yang tetap, meskipun dahulu bahan tersedia cukup.
Sedangkan pengolah ikan mengalami perbedaan yang juga relatif kecil karena
usaha ini bersifat jasa, sehingga margin keuntungan yang diperoleh per orangnya
cenderung konstan, akan tetapi terjadi penurunan yang signifikan dalam hal
jumlah pengusaha pengolah ikan karena ketersediaan bahan baku yang sangat
berdasarkan kelompok mata pencaharian disajikan dalam Tabel 4.9. dan Gambar
4.4.
3,000,000
Sebelum Kerusakan Sesudah Kerusakan Penurunan
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
i
e sa ang ka p a ng a ya ka
n
ayu tan PN
S
a tD dag t ang at Ar u d id la hI u lk Pe
p ar Pe yan bu mb n go u mp
A la Pe
m Pe Pe ng
Ne Pe
mencapai 92% dari total pendapatan keluarga, sehingga tingkat rata-rata saving
Sisa (Saving)
Kelompok Pekerjaan Total Pendapatan Total Pengeluaran
No Nominal Relatif
Pokok (Rp/Bln) (Rp/Bln)
(Rp/Bln) (%)
1 Aparat Desa 1,187,214 1,069,071 118,143 9.95
2 Pedagang 1,673,318 1,447,318 182,889 13.51
3 Nelayan 1,388,061 1,265,278 226,000 8.85
4 Pembuat Arang 1,020,833 1,017,833 122,783 0.29
5 Pembudidaya 1,378,148 1,195,259 3,000 13.27
6 Pengolah Ikan 1,100,000 1,023,000 77,000 7.00
7 Pengumpul kayu 825,000 841,250 -16,250 -1.97
8 Petani 800,000 765,000 35,000 4.38
9 PNS 1,210,500 1,206,833 98,167 8.11
Rata-rata 1,331,771 1,081,816 124,936 9.36
0.193. Model di atas memiliki signifikan jauh di bawah 0.05 dengan R Sguare
sebesar 89.1 %.
1,800,000
1,600,000 Pendapatan Pengeluaran Saving
1,400,000
1,200,000
Rp/Bln
1,000,000
800,000
600,000
400,000
200,000
0
-200,000 i
sa an
g ap an
g
ay
a
ka
n
ay
u
t an S
De ag gk Ar d id hI lk Pe PN
t d an t la u
ar a Pe nt ua mb
u
go mp
Ap la y
a mb Pe Pe
n
ng
u
Ne Pe Pe
Pekerjaan Pokok
Dalam hal ini, faktor kelembagaan dan sumber daya manusia diasumsikan tetap.
baku/obyek dan faktor permodalan. Faktor sumber daya alam menjadi penting
diantaranya pengolahan hasil laut, budiaya hasil laut (ikan, kepiting, udang) dan
pokok dan kebutuhan rumah tangga juga akan terkait dengan keberadaan usaha
sebagai berikut :
Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang
Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang
Hasil Uji: t-hitung (17,024) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan 95% dengan
signifikasi lebih besar dari 0.05 sehingga menunjukkan bahwa kedua populasi
N Correlation Sig
Pair 1 Sblm rusak
62 -0.175 0.175
&
Ssdh rusak
yang signifikan antara kesempatan kerja dan berusaha sebelum dengan sesudah
Selain kesempatan kerja dan berusaha, dalam kajian ini juga dianalisis
menggunakan alat uji t matched pair, keputusan diambil dengan kriteria uji
sebagai berikut :
Jika t-hitung < t-tabel, maka H0 tidak ditolak: Tidak ada perbedaan yang
Jika t-hitung > t-tabel, maka H0 ditolak (terima H1) : Terdapat perbedaan yang
Hasil Uji : t-hitung (19,260) > t-tabel (1.999) pada taraf kepercayaan
95% dengan signifikasi di bawah 0.05 yang menunjukkan bahwa kedua populasi
Tabel 13. Paired samples correlations untuk data ketersediaan bahan baku
dan komoditi perdagangan
N Correlation Sig
Pair 1 Sblm rusak
62 0.276 0.030
&
Ssdh rusak
bakau.
kuantitas dan keragaman hasil tangkapan nelayan, yang itu secara langsung
budidaya bahkan menjadi kelompok usaha yang paling terkait dengan degradasi
hasil tangkapan berarti penurunan benih alam dan pakan alam yang selama ini
Akan tetapi kesempatan kerja relatif sulit untuk diukur indikatornya, sehingga
dalam penelitian ini dilakukan pendekatan kajian persepsi dengan data ordinal.
Berdasarkan data pada Tabel 4.14. dapat dilihat bahwa umumnya masyarakat
hutan bakau, mereka “mudah bekerja dan berusaha sampai dengan agak mudah
pantai yang menyatakan “agak sulit bekerja dan berusaha” di sektor perikanan
sebelum terjadinya kerusakan ekosistem hutan bakau, bahkan tidak ada yang
menyatakan agak sulit bekerja dan berusaha di sektor perikanan dan bahkan
43,5% masyarakat pantai menyatakan “sulit bekerja dan berusaha”, dan hanya
1,6 % yang menyatakan mudah untuk bekerja dan berusaha di sektor perikanan
Tabel 4.14. Kondisi kesempatan bekerja dan berusaha sebelum dan sesudah
kerusakan ekosistem hutan bakau (2004).
Sebelum Sesudah
Perubahan
Kerusakan Kerusakan
No Kategori
Jumlah Jumlah Jumlah
% % %
(Resp) (Resp) (Resp)
1 Mudah 34 54.8 1 1.6 -33 -53.2
2 Agak Mudah 19 30.6 2 3.2 -17 -27.4
3 Biasa 7 11.3 4 6.5 -3 -4.8
4 Agak Sulit 2 3.2 28 45.2 26 41.9
5 Sulit 0 0.0 27 43.5 27 43.5
Jumlah 62 100.0 62 100.0 0 0.0
4.2. Pembahasan
kerusakan yang cukup parah pada ekosistem hutan bakau di kawasan Suaka
Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut (SM KGLTL). Secara
perlindungan bagi biota laut di kawasan tersebut dan sekitarnya. Secara holistik
Apabila dilihat dari data yang disajikan pada hasil penelitian, diperoleh
fakta bahwa kondisi ekosistem hutan bakau yang mengalami degradasi telah
nelayan. Hal itu secara langsung berdampak pada penurunan pendapatan riil
ekosistem hutan bakau yang terjadi selama kurung waktu 10 tahun terakhir telah
jenis ikan pelagis kecil dan demersal yang sepanjang dan/atau sebagian daur
jenis-jenis ikan bawal, kepiting, kerapu, udang tiger, udang kapur, kakap, pari,
senangin, cumi-cumi, gembung, tengiri, udang ambai, udang galah dan ikan
selampai.
hutan bakau, biomasa yang berasal dari serasah hutan bakau menduduki
peringkat pertama. Biomasa hutan (contoh: daun, ranting dan bunga) yang
kepiting dan cacing palychaeta. Berbagai jenis udang yang menjadi sumber
tangkapan utama masyarakat di desa Jaring Halus juga berapa pada rantai ini,
ekosistem hutan bakau. Jenis-jenis Crustacea penting seperti udang ini secara
tingkat pertama. Konsumen primer ini menjadi makanan bagi konsumen tingkat
kecil. Predator berukuran kecil selanjutnya dimakan oleh juvenil ikan predator
rantai makanan. Hal yang sama terjadi di kawasan ekosistem hutan bakau SM
berpengaruh terhadap keragaman dan jumlah biota laut pada seluruh tangga
Dentritus pada ekosistem hutan bakau bahkan juga dipasok dari luar
ekosistem hutan bakau, misalnya dari aliran sungai yang mengangkut partikel-
partikel biomasa dan biokimia yang terendapkan pada hutan bakau, mengingat
salah satu fungsi utama ekosistem hutan bakau adalah mengendapkan unsur hara
ekosistem hutan bakau juga berakibat menurunnya daya endap dan kemampuan
netralisir terhadap substrat yang terbawa aliran sungai. Hal ini juga berakibat
barang/jasa dari seluruh anggota rumah tangga setelah dikurangi biaya produksi
(family income). Dalam kasus rumah tangga nelayan, pendapatan rumah tangga
termasuk di lokasi penelitian. Oleh karena itu, penurunan jenis dan jumlah biota
pada taraf nyata 95 persen antara pendapatan riil nelayan sebelum dan sesudah
biota hasil tangkapan yang bernilai ekonomis tinggi seperti bawal, kerapu,
kepiting bakau dan udang tiger yang sebelumnya merupakan jenis-jenis hasil
tangkapan nelayan, saat ini sering tidak diperoleh lagi. Seringnya tidak
2) berkurangnya secara umum jumlah hasil tangkapan nelayan. Dari data hasil
terjadi pada seluruh jenis biota tangkapan. Hal ini jelas menyebabkan
komoditi utama budidaya laut di lokasi studi adalah ikan kerapu dan kepiting
bakau, dimana keduanya memiliki habitat hutan mengrove pada sebagian besar
Pada kasus sub sektor perdagangan, penurunan nilai pendapatan riil juga
terjadi dan signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen, namun secara relatif
tidak terlalu besar. Hal ini dikarenakan meskipun volume fisik komoditi
sehingga profit margin yang diambil oleh pedagang bisa menjadi lebih tinggi.
pelaku usaha di sub sektor perdagangan hasil laut menyusut, sehingga komoditi
perdagangan yang ada terdistribusi kepada pedagang yang masih eksis dengan
proporsi yang lebih besar. Hal itu diduga menjadi salah satu penyebab relatif
kondisi sebelum dan sesudan terjadi kerusakan ekosistem hutan bakau. Hal itu
seperti budidaya laut, perdagangan hasil laut, pengolahan hasil laut, suplai
kebutuhan melaut dan kebutuhan harian rumah tangga, jasa pembuatan alat
Usaha yang terkait dengan penangkapan hasil laut seperti budidaya ikan
laut, perdagangan hasil laut dan pengolahan hasil laut secara langsung
dipengaruhi oleh keragaman jenis dan volume hasil tangkapan. Sebagai contoh,
di Desa Jaring Halus pada tahun 1995 terdapat sedikitnya 300 keramba jaring
tancap untuk budidaya ikan kerapu yang beroperasi sesuai dengan kapasitas
normal, namun pada tahun 2004 tinggal 25 persen saja yang beroperasi secara
tangkapan ditangkap dengan alat tangkap khusus, seperti jaring udang untuk
udang, bubu dan pancing untuk ikan kerapu, jaring insang untuk ikan pelagis
kecil, ambai untuk ikan/udang di sepanjang paluh yang mengikuti arus pasang
surut, dan sebagainya. Demikian juga halnya dengan usaha yang terkait dengan
pendapatan riil nelayan berdampak pada penurunan daya beli nelayan terhadap
kebutuhan sehari-hari.
menyatakan adanya perbedaan yang signifikan pada taraf nyata 95 persen antara
daya alam pesisir dan laut beserta aktivitas pendukung kehidupan yang ada.
maupun tidak langsung yang terlibat. Tenaga kerja langsung yang terlibat
dalam budidaya ikan kerapu misalnya adalah tenaga kerja pengelola (memberi
pakan dan mengurus keramba) dan penjaga keramba, sedangkan tenaga kerja
tidak langsung yang terlibat misalnya tenaga pencari dan pemasok pakan ikan,
pencari dan pengumpul bibit, pembuat keramba, pengangkut produk dan lain
sebagainya.
pengolahan hasil laut. Kegiatan usaha pengolahan hasil laut yang dilakukan
pembuatan keripik ikan cincang rebung dan pembuatan terasi udang (blacan).
berupa ikan yang diperoleh dari hasil tangkapan. Berkurang atau bertambahnya
kegiatan usaha pengolahan tersebut dipengaruhi secara langsung oleh ada atau
tidaknya bahan baku, terutama pada kasus usaha pengolahan terasi udang dan
lokasi studi, terutama bagi anggota keluarga seperti anak-anak dan kaum ibu.
dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor kultur dan faktor kondisi
perekonomian. Faktor kultur di sini berupa pola pemikiran nelayan yang sudah
daya alam (perikanan), yang selama ini cenderung masih relatif mudah.
membentuk pola pikir jangka pendek, termasuk dalam hal perekonomian. Hal
ini sangat berbeda dengan masyarakat yang berkultur agraris (budidaya), dimana
berusaha (Tabel 4.14.) diketahui bahwa umumnya kendala yang dialami oleh
bahan baku. Hal ini sesuai dengan data rendahnya proporsi saving yang
kendala sulitnya bahan baku usaha juga sesuai dengan hasil uji statistik yang
Tabel 4.15. Kendala yang dialami masyarakat nelayan dalam berusaha (2004)
adalah permodalan dan bahan baku. Adanya kendala permodalan ini sejalan
dengan hasil analisis sebelumnya bahwa kecilnya proporsi saving berakibat pada
pantai juga sinergi dengan temuan di atas, dimana menurunnya keragaman jenis
hasil tangkapan nelayan berakibat pada menurunnya bahan baku dan komoditas
sumber daya alam, sehingga baik kegiatan usaha budidaya maupun perdagangan
dan pengolahan mengalami kendala keterbatasan bahan baku. Selain adanya dua
utama dalam pengembangan usaha dan peluang kerja di lokasi studi, setidaknya
5.1. Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan di atas dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :
bakau, dimana berbagai jenis biota laut tangkapan nelayan yang menjadi
tangkapan.
5.2. Saran
kegiatan ekonomi yang berbasis pada pengolahan sumber daya alam, tidak
dengan konsep pemanfaatan sumber daya alam secara lestari. Salah satu
industri rumah tangga (seperti pembuatan belacan, ikan kering tawar, kerupuk
cincang rebung, tepung ikan, kerajinan tikar, kerajinan daun nipah), budidaya
padi sawah, budidaya kelapa, ternak itik dan lain-lain. Program tersebut harus
sumberdaya lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Davies, J., Claridge, G. dan Natarita. 1995. Manfaat Lahan Basah, Potensi Lahan
Basah dalam Mendukung dan Memelihara Pembangunan. Ditjend.
Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Departemen Kehutanan – Asian
Wetland Buereau Indonesia (AWB). Jakarta.
Edyanto, H. 2000. Pengelolaan Wilayah Wisata Alam Laut dan Pantai Berwawasan
Lingkungan. Makalah Pelatihan Pengelolaan Wisata Alam Laut dan Pantai
Berwawasan Lingkungan. BPPT-P2PAR-ITB, 6-10 Maret 2000. Jakarta.
Giesen, W., and Sukotjo. 1991. Kabupaten Langkat - Langkat Timur Laut Wildlife
Reserve, North Sumatra. Director-General of Forest Protection and Nature
Conservation - Asian Wetland Bureau Indonesia. Jakarta
Partomihardjo, T., Purwanto, Y., Handini, S., Koestanto, Julistiono, H., Agustiyani,
D., Sulawesty, F. dan Widiyanto, T. Laporan Teknik 1998/1999: 7 – 18.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI. Bogor.
Ramli dan Purwoko, A. 2003. Peran dan Fungsi Hutan Bakau dalam Pengelolaan
Kawasan Pesisir Terpadu. Makalah pada Lokakarya Antar Sektor dalam
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut di Kabupaten Langkat tanggal 9
September 2003. Dinas Perikanan dan Kelautan Kab. Langkat. Stabat.
Saleh, C.H. 1983. Pola Pengeluaran Rumah Tangga dan Penguasaan Modal Bukan
Tanah. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sayogyo. 1978. Lapisan Masyarakat Paling Miskin di Pedesaan Jawa. Prisma Vol.
3 1978. Jakarta.
Sukarjo, S. 1987. Conservation of the Marine Life Mangrove Forest, Estuaries and
Wetland Vegetation in Cimanuk Nature Reserve, BIOTROP Spec. Publ. No.
30. Bogor.