Anda di halaman 1dari 10

INFEKSI MENULAR SEKSUAL

Infeksi menular seksual (IMS) adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, atau
jamur, yang penularannya terutama melalui hubungan seksual dari seseorang yang terinfeksi
kepada mitra seksualnya. Infeksi menular seksual merupakan salah satu penyebab infeksi saluran
reproduksi (ISR). Tidak semua IMS menyebabkan ISR, dan sebaliknya tidak semua ISR
disebabkan IMS.

Berdasarkan penyebabnya, ISR dapat dibedakan menjadi :

 Infeksi menular seksual, misalnya gonore, sifilis, trikomoniasis, ulkus mole, herpes genitalis,
kondiloma akuminata, dan infeksi HIV.
 Infeksi endogen oleh flora normal komensal yang tumbuh berlebihan, misalnya kandidosis
vaginalis dan vaginosis bacterial.
 Infeksi iatrogenik yang disebabkan bakteri atau mikroorganisme yang masuk ke saluran
reproduksi akibat prosedur medik atau intervensi selama kehamilan, pada waktu partus atau
pascapartus dan dapat juga oleh karena kontaminasi instrumen.

Secara gender perempuan memiliki risiko tinggi terhadap penyakit yang berkaitan dengan
kehamilan dan persalinan, juga terhadap penyakit kronik dan infeksi. Selama masa kehamilan,
perempuan mengalami berbagai perubahan, yang secara alamiah sebenarnya diperlukan untuk
kelangsungan hidup janin dalam kandungannya. Namun, ternyata berbagai perubahan tersebut
dapat mengubah kerentanan dan juga mempermudah terjadinya infeksi selama kehamilan,
perubahan tersebut antara lain sebagai berikut.
 Perubahan imunologik
Selama kehamilan terjadi supresi imunokompetensi ibu yang dapat mempengaruhi
terjadinya berbagai penyakit infeksi. Supresi sistem imun akan semakin meningkat seiring
dengan berlanjutnya usia kehamilan, serta mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi
genital. Kandidosis pada perempuan hamil lebih sering dijumpai dan dapat lebih parah jika
dibandingkan dengan perempuan tidak hamil. Demikian pula dengan kondiloma akuminata
dan herpes genital.
Limfosit T jumlahnya berkurang dalam sampel darah tepi perempuan hamil, tetapi tidak
demikian halnya dengan limfosit B. Pengurangan maksimal CD4 + limfosit T terjadi pada
trimester ketiga.
Pada sejumlah besar perempuan yang dievaluasi selama dan setelah kehamilan, tampak
gangguan dalam respons transmisi limfosit secara in vitro terhadap sejumlah antigen
mikroba selama kehamilan. Proliferasi limfosit in vitro secara bermakna lebih rendah selama
kehamilan dibandingkan periode pascapartus, dan secara bermakna juga lebih rendah pada
perempuan hamil dibandingkan dengan perempuan tidak hamil.
 Perubahan anatomik
Anatomi saluran genital sangat berubah pada saat kehamilan. Dinding vagina menjadi
hiprtrofik dan penuh darah. Serviks mengalami hipertrofi, dan semakin meluas daerah epitel
kolumnar pada ektoserviks yang terpajan mikroorganisme. Perluasan ektopi serviks selama
kehamilan mengakibatkan mudahnya infeksi serviks atau reaktivasi laten. Namun, hal
tersebut belum diteliti lebih lanjut. Serviks akan menyekresikan mukus yang sangat kental
selama kehamilan, membentuk mucous plug. Mukus ini umumnya dianggap sebagai
penghalang jalannya mikroorganisme menuju uterus. Namun, hanya sedikit penelitian yang
dilakukan untuk mengetahui efektivitas mukus serviks sebagai penghalang fisik ataupun
antimikrobial.
 Perubahan flora mikrobial servikovaginal
Flora vagina merupakan ekosistem heterogen untuk berbagai bakteri anaerob dan bakteri
fakultatif anaerob. Beberapa penelitian menemukan, bahwa selama kehamilan, sejumlah
spesies bakteri yang terdapat di dalam vagina terutama spesies anaerob berkurang,
prevalensi dan kuantitas laktobasilus bertambah, sedangkan bakteri fakultatif lainnya tidak
berubah. Diduga mekanisme yang menyebabkan perubahan tersebut adalah pH vagina,
kandungan glikogen, dan vaskularisasi genital bagian bawah.

Epidemiologi
Prevalensi IMS / ISR di negara sedang berkembang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di
negara maju. Pada perempuan hamil di negara dunia ketiga, angka kejadian gonore 10-15 kali
lebih tinggi, infeksi klamidia 2-3 kali lebih tinggi, dan sifilis 10-100 kali lebih tinggi jika
dibandingkan dengan angka kejadiannya pada perempuan hamil di negara industri. Prevalensi
sifilis pada perempuan hamil di negara-negara maju hanya sebesar 0,03 – 0,3%, tetapi di negara
Afrika Sub-Sahara, sebagian besar Amerika Latin, dan Fiji, sifilis didapatkan pada 3-22%
perempuan hamil. Gonore hanya ditemukan sebanyak kurang dari 1% di Eropa Barat dan
beberapa bagian Amerika Utara, tetapi terdapat sebesar 4-20% di Afrika Sub-Sahara dan
Thailand.
Di Indonesia sendiri angka kejadian IMS/ISR pada perempuan hamil sangat terbatas. Pada
perempuan hamil pengunjung Puskesmas Merak Jawa Barat 1994, sebanyak 58% menderita ISR.
Sebanyak 29,5 % adalah infeksi genital nonspesifik, kemudian 10,2% vaginosis bacterial,
kandidosis vaginalis 9,1%, gonore sebanyak 3,4%, trikomoniasis 1,1%, dan gonore bersama
trikomoniasis sebanyak 1,1 %.
Penelitian lain di Surabaya menemukan 19,2% dari 599 perempuan hamil yang diperiksa
menderita paling tidak 1 jenis IMS, yaitu infeksi virus herpes simpleks tipe-2 sebanyak 9,9%,
infeksi klamidia 8,2%, trikomoniasis 4,8%, gonore 0,8%, dan sifilis 0,7%.
Penelitian di Jakarta, Batam, dan Tanjung Pinang pada pengunjung perempuan hamil di beberapa
rumah bersalin ditemukan infeksi klamidia 4,2%, trikomoniasis 1,2%, vaginosis bacterial 12,6%,
sementara tidak ditemukan infeksi gonore, sifilis, dan HIV.
Dampak ISR/IMS Pada Perempuan Hamil
Dampak IMS pada kehamilan bergantung pada organism penyebab, lamanya infeksi, dan usia
kehamilan pada saat perempuan terinfeksi. Hasil konsepsi yang tidak sehat seringkali terjadi
akibat IMS, misalnya kematian janin (abortus spontan atau lahir mati), bayi berat lahir rendah
(akibat prematuritas, atau retardasi pertumbuhan janin dalam rahim), dan infeksi congenital atau
perinatal (kebutaan, pneumonia neonates, dan retardasi mental).
Kematian janin, baik dalam bentuk abortus spontan maupun lahir mati, dapat ditemukan pada
20-25% perempuan hamil yang menderita sifilis dini, 7-54% perempuan hamil dengan herpes
genital primer, dan pada 4-10% pada perempuan hamil yang tidak menderita ISR. Bayi berat
lahir rendah (BBLR) dapat dijumpai pada 10-25% perempuan hamil dengan vaginosis bacterial,
11-15% pada perempuan dengan trikomoniasis, 30-35% herpes genital primer, 15-50% sifilis
dini, dan 2-12% pada perempuan hamil tanpa IMS/ISR. Infeksi congenital atau perinatal dapat
ditemukan pada bayi yang dilahirkan oleh 40-70% permpuan hamil dengan infeksi klamidia, 30-
68% perempuan hamil dengan gonore, 40-70% perempuan hamil dengan sifilis dini, 30-50%
perempuan hamil dengan herpes genital primer, dan tidak ditemukan pada perempuan hamil
tanpa ISR.
Risiko tranmisi dari ibu yang hamil menderita gonore kepada janin/neonates diperkirakan
sebesar 30%. Pada infeksi klamidia, risiko penularan terjadinya pneumonia sebesar 5-15%. Ibu
hamil yang menderita sifilis memiliki risiko transmisi sebesar 100% pada sifilis dini, 23% pada
sifilis lanjut, dan secara keseluruhan 40-70%. Pada herpes genital, risiko transmisi dari ibu hamil
kepada janinnya lebih tinggi pada saat terjadinya infeksi primer yaitu 30-50%, dibandingkan
pada keadaan rekuren (hanya 0,4-8%).
Diagnosis dan manajemen IMS pada kehamilan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
maternal maupun janin. Sebagian besar IMS bersifat asimptomatik atau muncul dengan gejala
yang tidak spesifik. Tanpa adanya tingkat kewaspadaan yang tinggi dan ambang batas tes yang
rendah, sejumlah besar kasus IMS dapat terlewatkan, yang pada akhirnya mengarah pada hasil
perinatal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu, riwayat IMS yang lengkap dan melakukan
pemeriksaan skrining yang sesuai pada pasien yang sedang hamil pada saat pemeriksaan prenatal
yang pertama adalah penting.
Dengan adanya perubahan fisiologik selama kehamilan yang mempengaruhi farmakokinetik dari
terapi medik, eksposur obat ke janin dan pertimbangan keamanan menyusui untuk bayi,
penatalaksanaan IMS pada perempuan hamil dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana
untuk perempuan tidak hamil dan pascapersalinan dapat berbeda dari tatalaksana untuk
perempuan tidak hamil. Selain itu, pertimbangan khusus berkaitan dengan potensi penularan
untuk beberapa IMS viral perlu dipertimbangkan dalam menentukan keamanan dari pemberian
air susu ibu (ASI).

Gonore
Gonore adalah semua infeksi yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae. Neisseria
gonorrhoeae di bawah mikroskop cahaya tampak sebagai diplokokus berbentuk biji kopi dengan
lebar 0,8 µm dan bersifat tahan asam. Kuman ini bersifat gram negative, tampak di luar dan di
dalam leukosit polimorfonuklear, tidak dapat bertahan lama di udara bebas, cepat mati pada
keadaan kering, tidak tahan pada suhu di atas 390 C, dan tidak tahan zat desinfektan.
Gambaran klinik dan perjalanan penyakit pada perempuan berbeda dari pria. Hal ini disebabkan
perbadaan anatomi dan fosiologi alat kelamin pria dan perempuan. Gonore pada perempuan
kebanyakan asimptomatik sehingga sulit untuk menentukan masa inkubasinya.
Infeksi pada uretra dapat bersifat simptomatik ataupun asimptomatik, terapi umumnya jarang
terjadi tanpa infeksi pada serviks, kecuali pada perempuan yang telah dihisterektomi.
Keluhan traktus genitourinarius bawah yang paling sering adalah bertambahnya di tubuh genital,
disuria yang kadang-kadang disertai poliuria, perdarahan antara masa haid, dan menoragia.
Daerah yang paling sering terinfeksi adalah serviks. Pada pemeriksaan, serviks tampak hiperemis
dengan erosi dan secret mukopurulen.
Komplikasi sangat erat hubungannya dengan susunan anatomi dan faal genital. Infeksi pada
serviks dapat menimbulkan komplikasi salpingitis atau penyakit radang panggul (PRP). PRP
yang simptomatik ataupun asimptomatik dapat mengakibatkan jaringan parut pada tuba sehingga
menyebabkan infertilitas atau kehamilan ektopik.
Diagnosis gonore dapat dipastikan dengan menemukan Neisseria gonorrhoeae sebagai
penyebab, baik secara mikroskopik maupun kultur (biakan). Sensitivitas dan spesifisitas dengan
perwarnaan gram dari sediaan serviks hanya berkisar antara 45-65%, 90-99%, sedangkan
sensivitas dan spesifisitas dengan kultur sebesar 85-95%, >99%. Oleh karena itu, untuk
menegakkan diagnosis gonore pada perempuan perlu dilakukan kultur. Secara epidemiologi
pengobatan yang dianjurkan untuk infeksi gonore tanpa komplikasi adalah pengobatan dosis
tunggal. Pilihan terapi yang direkomendasikan oleh CDC adalah sefiksim 400 mg per oral,
seftriakson 250 mg intramuscular, siprofloksasin 500 mg per oral, ofloksasin 400 mg per oral,
levofloksasin 250 mg per oral, atau spektinomisin 2 g dosis tunggal intramuscular.
Infeksi gonore selama kehamilan telah diasosiakan dengan pelvic inflammatory disease (PID).
Infeksi ini sering ditemukan pada trimester pertama sebelum korion berfungsi dengan desidua
dan mengisi kavum uteri. Pada tahap lanjut, Neisseria gonorrhoeae diasosiasikan dengan ruptur
membran yang prematur, kelahiran prematur, korioamnionitis, dan infeksi pascapersalinan.
Konjungtivitis gonokokal (ophthalmia neonatorum), manifestasi tersering dari infeksi perinatal,
umumnya ditransmisikan selama proses persalinan. Jika tidak diterapi, kondisi ini dapat
mengarah pada perforasi kornea dan panoftalmitis. Infeksi neonatal lainnya yang lebih jarang
termasuk meningitis sepsis diseminata dengan arthritis, serta infeksi genital dan rektal.
Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan resiko tinggi dianjurkan untuk dilakukan
skrining terhadap infeksi gonore pada saat datang untuk pertama kali antenatal dan juga pada
trimester ketiga kehamilan. Dosis dan obat-obat yang diberikan tidak berbeda dengan keadaan
tidak hamil. Akan tetapi, perlu diingatkan pemberian golongan kuinolon pada perempuan hamil
tidak dianjurkan.
Bila terjadi konjungtivitis gonore pada neonates, pengobatan yang dianjurkan adalah pemberian
seftriakson 50-100 mg/kg BB, intramuscular, dosis tunggal dengan dosis maksimum 125 mg.

Klamidiasis
Klamidiasis genital adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri Chlamydia trachomatis,
berukuran 0,2-1,5 mikron, berbentuk sferis, tidak bergerak, dan merupakan parasit intrasel
obligat.
Terdapat 3 spesies yang patogen terhadap manusia yaitu C.pneumonia, C.psittaci, dan
C.trachomatis. C.trachomatis sendiri mempunyain15 macam serovar, serovar A, B, Ba, dan C
merupakan penyebab trachoma endemic, serovar B, D, E, F, G, H, I, J, dan K, dan M merupakan
penyebab infeksi traktus genitourinarius serta pneumonia pada neonates. Sementara itu, serovar
L1, L2, dan L3 menyebabkan penyakit limfogranuloma venerum. Yang menjadi dasar
pembagian berbagai serovar CT adalah ekspresi major outer membrane protrein (MOMP).
Masa inkubasi berkisar antaran1-3 minggu. Manifestasi klinik infeksi CT merupakan efek
gabungan berbagai faktor, yaitu kerusakan jaringan akibat replikasi CT, respons inflamasi
terhadap CT, dan bahan nekrotik dari sel pejamu yang rusak. Sebagian besar infeksi CT
asimptomatik dan tidak menunjukkan gejala klinik spesifik. Endoserviks merupakan organ pada
perempuan yang paling sering terinfeksi CT. Walaupun umumnya infeksi CT asimptomatik ,
37% perempuan member gambaran klinik duh mukopurulen, ektopi serviks, edema, dan
perdarahan serviks baik spontan maupun dengan hapusan ringan lidi kapas. Infeksi pada serviks
dapat menyebar melalui rongga endometrium hingga mencapai tuba Fallopi. Secara klinis dapat
member gejala menoragia dan metroragia.
Sebanyak 10% CT pada serviks akan menyebar secara asendens dan menyebabkan penyakit
radang panggul (PRP). Infeksi CT yang kronis dan atau rekuren menyebabkan jaringan parut
pada tuba. Komplikasi jangka panjang yang sering adalah kehamilan ektopik dan infertilitas
akibat obstruksi. Komplikasi lain dapat pula terjadi seperti arthritis reaktif dan perihepatitis
(Sindrom Fitz-Hugh-Curtis).
Perempuan hamil yang terinfeksi dengan C.trachomatis menunjukkan gejala keluarnya sekret
vagina, perdarahan, disuria, dan nyeri panggul. Namun, sebagian besar perempuan hamil tidak
menunjukkan gejala. Pemeriksaan panggul dapat membantu menunjukkan adanya servisitis.
Perdarahan endoserviks juga dapat mengarah pada infeksi serviks pada kehamilan.
Dampak infeksi CT pada kehamilan dapat mengakibatkan abortus spontan, kelahiran prematur,
dan kematian perinatal. Disamping itu, bisa juga mengakibatkan konjungtivitis pada neonates
dan pneumonia infantile. Oleh karena itu, untuk perempuan hamil dengan risiko tinggi juga
dianjurkan untuk dilakukan skrining terhadap infeksi CT pada saat datang untuk pertama kali
antenatal dan juga pada trimester ketiga kehamilan.
Diagnosis dapat ditegakkan dengan mendeteksi CT yang dapat dilakukan melalui beberapa
metode yaitu :
 Kultur
 Deteksi antigen secara : Direct Fluorescent Antibody (DFA), Enzyme immune assay /
enzyme linked immunosorbent assay (EIA/ELISA) dan rapid atau point of care test
 Deteksi asam nukleat : Hibridasi probe deoxyribonucleic (DNA); uji amplikasi asam nukleat
seperti Polymerase Chain Reaction (PCR), dan Ligase Chain Reaction (LCR)
 Pemeriksaan serologi

Untuk pengobatan, obat yang diberikan terutama yang dapat mempengaruhi sintesis protein CT,
misalnya golongan tetrasiklin dan eritromisin. Obat yang dianjurkan adalah doksisiklin 100 mg
per oral, 2 kali sehari selama 7 hari atau azitromisin1 g per oral, dosis tunggal, atau tetrasiklin
500 mg, per oral, 4 kali per hari selama 7 hari, atau eritromisin 500 mg, per oral, 4 kali sehari
selama 7 hari, atau ofloksasin 200 mg, 2 kali sehari selama 9 hari. Untuk kehamilan obat
golongan kuinolon dan tetrasiklin tidak dianjurkan pemakaiannya.
Untuk pengobatan konjungtivitis pada neonates atau pneumonia infantile dianjurkan pemberian
sirup eritromisin, 50 mg per kg BB per oral, per hari dibagi dalam 4 dosis dan diberikan selama
14 hari.

Trikomoniasis
Trikomoniasis merupakan penyakit infeksi protozoa yang disebabakan oleh Trichomonas
vaginalis (TV), biasanya ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah baik pada perempuan maupun pria. Dari berbagai penelitian di
Indonesia yang dilakukan pada tahun 1987-1997 pada perempuan berisiko rendah, dijumpai
kasus trikomoniasis sebesar 1,6-7,3 %.
Gejala yang dikeluhkan oleh perempuan dengan trikomoniasis adalah keputihan, gatal, dan
iritasi. Tanda dari infeksi tersebut meliputi duh tubuh vagina (42%), bau (50%), dan edema atau
eritema (22-27%). Duh tubuh yang klasik berwarna kuning kehijauan dan berbusa, tetapi
keadaan ini hanya ditemukan pada 10-30% kasus. Kolpitis makularis (strawberry cervix)
merupakan tanda klinik yang spesifik untuk infeksi ini, tetapi jarang ditemukan pada
pemeriksaan rutin.
Gejala klinik pada perempuan hamil tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil. Akan
tetapi, bila ditemukan infeksi TV pada trimester kedua kehamilan dapat mengakibatkan
premature rupture membrane, bayi berat lahir rendah (BBLR), dan abortus. Oleh karena itu,
pemeriksaan skrining pada pertama kali antenatal perlu dilakukan.
Diagnosis trikomoniasis paling sering ditegakkan dengan melihat trikomonad hidup pada sediaan
langsung duh tubuh penderita dalam larutan NaCl fisiologik. Baku emas untuk diagnostic adalah
kultur. Namun, media kultur diamond tidak mudah didapat dan penggunaannya terutama untuk
penelitian.
Untuk pengobatan hingga saat ini metronodazol merupakan antimikroba yang efektif untuk
mengobati trikomoniasis. Dosis metronidazol yang dianjurkan adalah dosis tunggal 2 g secara
oral atau dapat juga diberikan dalam dosis harian 2 x 500 mg/hari selama 7 hari. Pemberian
metronidazol telah direkomendasikan oleh FDA selama masa kehamilan.
Vaginosis Bakterial
Vaginosis bakterial adalah sindrom klinik akibat pergantian Lactobasillus spp penghasil H2O2
yang merupakan flora normal vagina dengan bakteri anaerob dalam konsentrasi tinggi (seperti :
bacteroides spp, mobiluncus spp, gardnerella vaginalis, dan mycoplasma hominis).
Perempuan dengan vaginosis bacterial dapat tanpa gejala atau mempunyai keluhan dengan bau
vagina yang khas yaitu bau amis, terutama pada waktu/steeled senggama. Bau tersebut
disebabkan adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa.
Pada pemeriksaan ditemukan secret yang homogeny, tipis, dan berwarna keabu-abuan. Tidak
ditemukan tanda inflamasi pada vagina dan vulva.
Vaginosis bakterial telah diasosiasikan dengan gangguan kehamilan termasuk abortus spontan
pada kehamilan trimester pertama dan kedua, kelahiran premature, rupture membrane yang
premature, persalinan premature, bayi lahir dengan berat badan rendah, korioamnionitis,
endometritis pascapersalinan, dan infeksi luka pascaoperasi sesar. Bukti yang ada saat ini tidak
mendukung perlunya skrining rutin untuk vaginosis bacterial pada perempuan hamil pada
populasi umum. Namun, skrining pada kunjungan pertama prenatal direkomendasikan untuk
pasien yang berisiko tinggi untuk kelahiran premature (misalnya pasien dengan riwayat kelahiran
premature atau rupture membrane yang premature).
Sebagian besarr kasus (50-75%) vaginosis bacterial bersifat asimptomatik atau dengan gejala
ringan. Gejala klinik termasuk bau amis seperti ikan atau bau seperti ammonia yang berasal dari
secret vagina, dan secret vagina yang homogeny, tidak menggumpal, abu-abu keputihan, tipis.
Disuria dan dispareunia jarang ditemukan sedangkan pruritus dan inflamasi tidak ada. Secret
vagina yang diasosiasikan dengan vaginosis bakterialis berasal dari vagina dan bukan dari
serviks.
Mengingat dampak vaginosis bacterial pada kehamilan dan akhir kehamilan, maka sebaiknya
dilakukan skrining minimal pada waktu datang antenatal pertama kali.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan criteria Amsel yaitu adanya tiga dari empat tanda-tanda
berikut :
 Cairan vagina homogeny, putih keabu-abuan, dan melekat pada dinding vagina.
 PH vagina > 4,5
 Sekret vagina berbau amis sebelum atau steeled penambahan KOH 10% (Whiff test)
 Clue cells pada pemeriksaan mikroskopik

Pengobatan yang dianjurkan adalah metronidazol 500 mg 2 x sehari selama 7 hari, metronidazol
2 g per oral dosis tunggal atau klindamisin per oral 2 x 300 mg/hari selama 7 hari.
Pada perempuan hamil jenis obat dan dosisnya sama seperti pada perempuan tidak hamil.

Sifilis
Sifilis merupakan penyakit infeksi sistemik disebabkan oleh Treponema pallidum yang dapat
mengenai seluruh organ tubuh, mulai dari kulit, mukosa, jantung hingga susunan saraf pusat, dan
juga dapat tanpa manifestasi lesi di tubuh. Infeksi terbagi atas beberapa fase, yaitu sifilis primer,
sifilis sekunder, sifilis laten dini dan lanjut, serta neurosifilis (sifilis tersier). Sifilis umumnya
ditularkan lewat kontak seksual, namun juga dapat secara vertical pada masa kehamilan.
Lesi primer sifilis berupa tukak yang biasanya timbul di daerah genital eksterna dalam waktu 3
minggu steeled kontak. Pada perempuan kelainan sering ditemukan di labia mayor, labia minor,
fourchette, atau serviks. Gambaran klinik dapat khas, akan tetapi dapat juga tidak khas. Lesi awal
berupa papul berindurasi yang tidak nyeri, kemudian permukaannya mengalami nekrosis dan
ulserasi dengan tepi yang meninggi, teraba keras, dan berbatas tegas. Jumlah ulserasi biasanya
hanya satu, namun dapat juga multipel.
Lesi sekunder ditandai dengan malese, demam, nyeri kepala, limfadenopati generalisata, ruam
generalisata dengan lesi di palmar, plantar, mukosa oral atau genital, kondiloma lata di daerah
intertrigenosa dan alopesia. Lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa macula, papula,
papuloskuamosa, dan pustule yang jarang disertai keluhan gatal. T.pallidum banyak ditemukan
pada lesi di selaput lender atau lesi yang basah seperti kondiloma lata.
Sifilis laten merupakan fase sifilis tanpa gejala klinik dan hanya pemeriksaan serologic yang
reaktif. Hal ini mengindikasikan organism ini masih tetap ada di dalam tubuh, dan dalam
perjalanannya fase ini dapat berlangsung selama bertahun-tahun, bahkan seumur hidup. Kurang
lebih 2/3 pasien sifilis laten yang tidak diobati akan tetap dalam fase ini selama hidupnya.
Sifilis tersier terjadi pada 1/3 pasien yang tidak diobati. Fase ini dapat terjadi sejak sejak
beberapa bulan hingga beberapa tahun setelah fase laten dimulai. T.,pallidum menginvasi dan
menimbulkan kerusakan pada sistem saraf pusat, sistem kardiovaskular, mata, kulit, serta organ
lain. Pada sistem kardiovaskuler dapat terjadi aneurisma aorta dan endokarditis. Gumma timbul
akibat reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap antigen T.pallidum, lesi tersebut bersifat
destruktif dan biasanya muncul di kulit, tulang, atau organ dalam.
Pada kehamilan gejala klinik tidak banyak berbeda dengan keadaan tidak hamil, hanya perlu
diwaspadai hasil tes serologi sifilis pada kehamilan normal bisa memberikan hasil positif palsu.
Transmisi treponema dari ibu ke janin umumnya terjadi steeled plasenta terbentuk utuh, kira-kira
sekitar umur kehamilan 16 minggu. Oleh karena itu bila sifilis primer atau sekunder ditemukan
pada kehamilan setelah 16 minggu, kemungkinan untuk timbulnya sifilis kongenital lebih
memungkinkan.
Diagnosa pasti ditegakkan dengan cara menemukan T.pallidum dalam specimen dengan
menggunakan mikroskop lapang pandang gelap, pewarnaan Burry, atau mikroskop
immunofluoresensi. Pemeriksaan bantu lain adalah tes non treponemal (tes reagen) untuk
melacak antibodi IgG dan IgM terhadap lipid yang terdapat pada permukaan sel treponema
misalnya : Rapid Plasma Reagen (RPR), Veneral Disease Research Laboratory (VDRL). Hasil
positive palsu tes nontreponemal dalam populasi masyarakat umum mencapai 1-2% (termasuk
ibu hamil). Tes treponemal menggunakan T.pallidum subspecies pallidum sebagai antigen,
sehingga tes ini merupakan jenis tes konfirmatif misalnya : Treponema pallidum
haemaglutination Assay (TPHA). Pada sebagaian besar kasus treponema reaktif, hasil reaktif
tersebut akan tetap reaktif seumur hidup. Untuk menegakkan diagnose sifilis congenital
pemeriksaan IgM pada bayi sangat diperlukan, karena IgM dari ibu tidak dapat melalui plasenta.
WHO dan CDC telah merekomendasikan pemberian terapi injeksi Penisilin Benzatin 2,4 juta
MU untuk sifilis primer, sekunder, dan laten dini. Sedangkan untuk sifilis laten lanjut atau tidak
diketahui lamanya, mendapat 3 dosis injeksi tersebut. Alternatif pengobatan bagi yang alergi
terhadap penisilin dan tidak hamil dapat diberi doksisiklin per oral, 2 x 100 mg/ hari selama 30
hari, atau tetrasiklin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30 hari. Alternatif pengobatan bagi yang
alergi terhadap penisilin dan dalam keadaan hamil, sebaiknya tetap diberi penisilin dengan cara
desentisasi. Bila tidak memungkinkan, pemberian eritromisin per oral 4 x 500 mg/hari selama 30
hari dapat dipertimbangkan. Untuk semua bayi yang baru lahir dari ibu yang seropositif agar
diberi pengobatan dengan benzatin penisilin 50.000 IU per kg berat badan, dosis tunggal intra
muscular. Untuk memonitor hasil pengobatan dilakukan pemeriksaan serologi non treponemal 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, dan 2 tahun setelah pengobatan selesai.

Genital Warts (Kulit Kelamin)


Genital warts, juga dikenal sebagai kondiloma akuminata disebabkan oleh human papilloma
virus (hPV). Lesi dapat berproliferasi selama kehamilan dan sering mengalami regresi spontan
setelah persalinan. Genital warts jarang ditransmisikan pada neonates, tetapi terdapat laporan
adanya papillomatosis laring dan respiratorik dan perianal warts pada bayi. hPV tipe 6 dan 11
dapat menyebabkan papillomatosis respiratoris pada bayi dan anak.
Diagnosis klinik dari genital warts biasanya sudah cukup. Walaupun pemeriksaan serotype untuk
hPV tersedia, hal ini tidak diperlukan untuk diagnosis dan manajemen genital warts.
Terapi dipertimbangkan, terutama pada pasien asimptomatik, karena lesi dapat menjadi rapuh
ketika berproliferasi selama kehamilan atau mengganggu proses persalinan. Krioterapi dan
trikloroasetik asid merupakan terapi direkomendasikan. Karena area genital sangat vascular
selama kehamilan dan perdarahan berlebihan dapat terjadi pada elektrokauterisasi,
direkomendasikan terapi kauterisasi, jika diindikasikan, dilakukan di rumah sakit. Imikuimod, 5-
flurourasil, podofillin, dan podofillotoksin dikontraindikasikan pada kehamilan.

Herpes Genitalis
Herpes Genitalis merupakan IMS virus yang menempati urutan kedua tersering di dunia dan
merupakan penyebab ulkus genital tersering di negara maju. Virus herpes simplek tipe-2 (VHS-
2) merupakan penyebaba tersering (82%), sedangkan virus herpes simpleks tipe-1 (VHS-1) yang
lebih sering dikaitkan dengan lesi di mulut dan bibir, ternyata dapat pula ditemukan pada 18%
kasus herpes genitalis.
Penatalaksanaan Herpes Genitalis pada kehamilan dapat dibedakan antara perempuan hamil
dengan episode primer dan perempuan hamil dengan episode rekurens. Pengobatan dengan
asiklovir harus diberikan kepada semua perempuan yang menderita Herpes Genitalis episode
primer dalam kehamilan. Terapi supresif dengan asiklovir pada 4 minggu terakhir kehamilan
dapat mencegah rekurensi Herpes Genitalis pada saat partus. Dianjurkan untuk dilakukan seksio
sesarea terhadap semua perempuan hamil yang datang dengan herpes genitalis lesi primer pada
saat menjelang kelahiran, namun tidak dianjurkan untuk perempuan yang terserang herpes
genitalis lesi primer pada trimester pertama atau kedua.
Dosis asiklovir/valasiklovir yang dianjurkan untuk infeksi primer :
 Asiklovir per oral 5 x 200 mg/hari selama 7 hari; pada lesi berat asiklovir i.v. 3-5
mg/kgBB/hari, selama 7-10 hari atau
 Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 7 hari

Untuk infeksi rekurens :


 Asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari atau
 Valasiklovir 2 x 500 mg/hari selama 5 hari

Pengobatan untuk neonates dengan infeksi VHS dapat diberikan asiklovir 10 mg/kgBB intravena
tiap 8 jam selama 10-21 hari.

Infeksi HIV dan AIDS


Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah sindroma dengan gejala penyakit infeksi
oprtunistik atau kanker terutama akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi virus
Human Immunodeficiency Virus (HIV).
Antibodi virus mulai dapat dideteksi kira-kira 3 hingga 6 bulan sesudah infeksi. Pemeriksaan
konfirmasi menggunakan Western blot (WB) cukup mahal, sebagai penggantinya dapat dengan
melakukan 3 pemeriksaan ELISA sebagai tes penyaring memakai reagen dan teknik berbeda.
Telah banyak bukti menunjukkan bahwa keberadaan IMS meningkatkan kemudahan seseorang
terkena HIV, sehingga IMS dianggap sebagai kofaktor HIV. Oleh karena itu, upaya
pengendalian infeksi HIV dapat dilaksanakan dengan melakukan pengendalian IMS.

Anda mungkin juga menyukai