Anda di halaman 1dari 23

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecemasan

Kecemasan merupakan suatu keadaan emosional yang tidak menyenangkan


yang ditandai oleh rasa ketakutan serta gejala fisik yang menegangkan serta tidak
diinginkan (Saraswati, 2009).
Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa
gelisah, ketidak tentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber
aktual yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart et al, 1998).
Kecemasan adalah suatu keadaan yang ditandai dengan perasaan ketakutan
yang disertai dengan tanda somatik yang menyatakan terjadinya hiperaktifitas
sistem syaraf otonom. Kecemasan adalah gejala yang tidak spesifik yang sering
ditemukan dan sering kali merupakan suatu emosi yang normal.
1. Tanda dan Gejala
Kecemasan mempunyai gejala baik secara fisiologis, emosional,
maupun kognitif. Gejala cemas fisiologis meliputi peningkatan frekuensi nadi,
peningkatan tekanan darah, peningkatan pernafasan, mata bergetar, gemetar,
palpitasi, mual-mual, sering berkemih, badan terasa sakit, pusing, parastesia,
rasa panas, dan dingin. Gejala cemas secara emosional di tandai dengan
individu mengatakan ia merasa ketakutan, tidak berdaya, gugup, kehilangan
percaya diri, kehilangan kontrol, tegang, atau merasa terkunci, tidak dapat
rileks dan antisipasi kemalangan. Selain itu individu juga memperlihatkan
peka rangsang tidak sabar, meledak-ledak, menangis, cenderung menyalahkan
orang lain, reaksi terkejut, mengkritik diri sendiri dan orang lain. Sedangkan
berdasarkan reaksi kognitif ansietas ditandai dengan tidak mampu
berkonsentrasi, disorientasi lingkungan, pelupa, temenung, orientasi pada
masa lalu dan pada saat ini serta masa yang akan datang, memblok pemikiran
dan perhatian yang berlebihan (Carpenito, 1998).
Reaksi fisiologis terhadap kecemasan merupakan reaksi yang pertama
timbul pada sistem saraf otonom, meliputi peningkatan frekuensi nadi dan
pernafasan, pergerakan tekanan darah, dan peningkatan suhu tubuh, relaksasi
otot polos pada kandung kemih dan usus, kulit dingin dan lembab, dilatasi
pupil, dan mulut kering (Smeltzer et al, 2001).
2. Respon Terhadap Kecemasan
Menurut Stuard & Sudden (1998) membagi respon kecemasan meliputi :
a. Respon fisiologis
1) Kardiovaskuler
Palpitasi, jantung berdebar, tekanan darah tinggi, rasa mau pingsan,
pingsan, tekanan darah menurun, dan denut nadi menurun.
2) Pernafasan
Nafas cepat, nafas pendek, tekanan pada dada, nafas dangkal,
pembengkakan pada tenggorok, sensasi tercekik, terengah-engah.
3) Neuromuskuler
Reflek meningkat, reaksi kejutan, mata berkedip-kedip, insomnia, tremor,
rigiditas, gelisah, wajah tegang kelemahan umum, kaki goyah, gerakan
yang janggal.
4) Gastrointestinal
Kehilangan nafsu makan, menolak makan, rasa tidak nyaman pada
abdomen, mual, rasa terbakar pada jantung, diare.
5) Tractus Uriarius
Tidak dapat menahan kencing, selalu ingin berkemih.
6) Kulit
Wajah kemerahan, berkeringat setempat (telapak tangan), gatal dan rasa
panas yang dingin pada, wajah pucat, berkeringat seluruh tubuh.
b. Respon Perilaku
Respon perilaku terhadap kecemasan meliputi : gelisah, ketegangan fisik,
tremor, gugup, bicara cepat, kurang terkoordinasi, cenderung mendapat
cedera, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan dari masalah,
menghindari dan hiperventilasi.
c. Respon Kognitif
Respon kognitif terhadap kecemasan meliputi : konsentrasi buruk,
pelupa, salah dalam memberikan penilaian, hambatan berfikir, bidang
persepsi menurun, produktivitas menurun, binggung, sangat waspada,
kesadaran diri meningkat, kehilangan obyektifitas, takut kehilangan kontrol,
takut pada gambaran visual dan takut pada cedera atau kematian.
d. Respon Afektif
Respon afektif terhadap kecemasan meliputi : mudah terganggu, tidak
sadar, gelisah, tegang nervous, ketakutan dan gugup.
3. Klasifikasi Tingkat Kecemasan
Ada empat tingkat kecemasan, yaitu ringan, sedang, berat dan panik yaitu
a. Kecemasan ringan
Kecemasan ringan berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari dan menyebabkan seseorang menjadi waspada dan
meningkatkan lahan persepsinya. Kecemasan ringan dapat memotivasi
belajar dan menghasilkan pertumbuhan dan kreatifitas. Manifestasi yang
muncul pada tingkat ini adalah kelelahan, iritabel, lapang persepsi
meningkat, kesadaran tinggi, mampu untuk belajar, motivasi meningkat
dan tingkah laku sesuai situasi.
b. Kecemasan sedang
Memungkinkan seseorang untuk memusatkan pada masalah yang
penting dan mengesampingkan yang lain sehingga seseorang mengalami
perhatian yang selektif, namun dapat melakukan sesuatu yang terarah.
Manifestasi yang terjadi pada tingkat ini yaitu kelelahan meningkat,
kecepatan denyut jantung dan pernapasan meningkat, ketegangan otot
meningkat, bicara cepat dengan volume tinggi, lahan persepsi menyempit,
mampu untuk belajar namun tidak optimal, kemampuan konsentrasi
menurun, perhatian selektif dan terfokus pada rangsangan yang tidak
menambah ansietas, mudah tersinggung, tidak sabar,mudah lupa, marah
dan menangis.
c. Kecemasan berat
Sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Seseorang dengan
kecemasan berat cenderung untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci
dan spesifik, serta tidak dapat berpikir tentang hal lain. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area
yang lain. Manifestasi yang muncul pada tingkat ini adalah mengeluh
pusing, sakit kepala, nausea, tidak dapat tidur (insomnia), sering kencing,
diare, palpitasi, lahan persepsi menyempit, tidak mau belajar secara
efektif, berfokus pada dirinya sendiri dan keinginan untuk menghilangkan
kecemasan tinggi, perasaan tidak berdaya, bingung, disorientasi.
d. Panik
Panik berhubungan dengan terperangah, ketakutan dan teror karena
mengalami kehilangan kendali. Orang yang sedang panik tidak mampu
melakukan sesuatu walaupun dengan pengarahan. Tanda dan gejala yang
terjadi pada keadaan ini adalah susah bernapas, dilatasi pupil, palpitasi,
pucat, diaphoresis, pembicaraan inkoheren, tidak dapat berespon terhadap
perintah yang sederhana, berteriak, menjerit, mengalami halusinasi dan
delus (Stuart et al., 1998).
4. Cara Pengukuran Cemas

Skoring kecemasan dapat ditentukan dengan gejala yang ada dengan


menggunakan Hamilon Anxietas Rating Scale (HARS) atau HRS-A (Hawari,
2001).
a. Komponen HARS terdiri dari 14 komponen yaitu :
Perasaan cemas, ketegangan, ketakutan, gangguan tidur, gangguan
kecemasan, perasaan depresi, gejala somatik, gejala sensorik, gejala
kardiovaskuler, gejala pernafasan, saluran pencernaan makanan, urogenital,
vegetatif / otonom, tingkah laku / sikap.
b. Cara penilaian
Dengan sistem skoring, yaitu :
Skor 0 = tidak ada gejala, Skor 1 = ringan (satu gejala), Skor 2 = sedang
(dua gejala), Skor 3 = berat (lebih dari 2 gejala), Skor 4 = sangat berat (semua
gejala)
Bila Skor < 14 = tidak ada kecemasan, skor 14-20 = cemas ringan, skor
21-27 = cemas sedang, skor 28-41 = cemas berat dan skor 42-56 = cemas
berat sekali.
Pada HRS-A penting dinilai adalah intensitas dari tiap gejala. Makin besar
intensitasnya makin tinggi nilainya. Dari satu gejala, dalam keterangan gejala
mencakup beberapa area, yang dalam penilaian dinilai mungkin satu gejala
saja tetapi dengan intensitas yang meningkat. Suatu contoh pada gejala
autonomik didapatkan keterangan gejala, mulut kering, muka merah, sakit
kepala, bulu-bulu berdiri. Untuk menilai intensitas gejala autonomik tidak
perlu semua gejala ada, mungkin hanya satu / dua, misalnya hanya ada sakit
kepala dan berkeringat. Bila sakit kepla sangat hebat kita dapat memberikan
nilai 3 (walaupun angka tertinggi 4). Jadi dalam praktek skala Hamilton dari
0-4, angka 4 jarang dipakai, karena menunjukan gejala luar biasa yang tak
mungkin dipertahankan (Hawari, 2001).
5. Mekanisme Cemas dalam mempengaruhi Nyeri
Sistem limbik merupakan jaringan interaktif yang kompleks, ini berkaitan
dengan emosi, pola perilaku, sosio seksual dan kelangsungan hidup dasar,
motivasi dan belajar. Adanya stimulasi pada daerah tertentu dalam sistem
limbik akan menimbulkan sensasi subyektif, salah satu diantaranya adalah
kecemasan. Kecemasan dapat mempengaruhi sistem limbik sebagai kontrok
emosi yang dapat meningkatkan sistem syaraf otonom (terutama sistem syaraf
simpatis). Syaraf otonom berkaitan dengan pengendalian organ-organ dan
secara tidak sadar. Dimana serabut-serabut syaraf simpatis mensarafi otot
jantung, otot tidak sadar semua pembuluh darah serta semua organ dalam
seperti lambung, pankreas, dan usus. Melayani serabut-serabut motorik pada
otot tak sadar dalam kulit. Hal ini dapat meningkatkan ketegangan otot yang
akan menyebabkan peningkatan persepsi nyeri seseorang (Potter, 2001).

B. Nyeri pada Pirai


Nyeri merupakan suatu pengalaman psikis yang normalnya berhubungan
dengan kerusakan terhadap jaringan pada tubuh. Dapat didefinisikan sebagai
sensasi ketidakenakan, penderitaan atau kesakitan, yang lebih kurang terlokalisir,
yang dihasilkan dari stimulasi akhir-akhiran saraf yang khusus, dianggap sebagai
mekanisme protektif sepanjang ia menyebabkan penderita memindahkan atau
menarik dirinya dari sumber nyeri ( Soenarto, 1990).
Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan
ekstensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007).
Nyeri sendi merupakan salah satu keluhan pada penderita rematik. Penyakit
pirai (gout) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak
dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristal
monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya
kadar asam urat di dalam darah. Nyeri sendi pada penderita pirai cenderung
mengenai sendi pangkal ibu jari kaki. Biasanya dalami pada malam hari atau pada
saat bangun pagi. Rasa nyeri akan semakin bertambah, bila sendi digerakan. Pada
keadaan akut (parah), rasa nyeri akan datang tiba-tiba, bengkak, kemerahan dan
terasa hangat. Bila berkembang menjadi kronis, tumpukan asam urat akan
membentuk benjolan, baik pada sendi yang terkena maupun pada tempat lain,
seperti pada daun telinga, permukaan tulang lengan bawah dan pada jaringan
lunak lainnya.Rasa sakit / nyeri sendi ini sering menjadi penyebab gangguan
aktivitas sehari-hari pada penderita piari (Jingga, 2008).
1. Fisiologi
Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima
rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah ujung
syaraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat yang
secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara
anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga yang
tidak bermielin dari syaraf perifer.
Berdasarkan letaknya, nosireseptor dapat dikelompokkan dalam beberapa
bagaian tubuh yaitu pada kulit (Kutaneus), somatik dalam (deep somatic), dan
pada daerah viseral, karena letaknya yang berbeda-beda inilah, nyeri yang
timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.
Nosireceptor kutaneus berasal dari kulit dan sub kutan, nyeri yang berasal
dari daerah ini biasanya mudah untuk dialokasi dan didefinisikan. Reseptor
jaringan kulit (kutaneus) terbagi dalam dua komponen yaitu :
a. Reseptor A delta
Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan tranmisi 6-30 m/det)
yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam yang akan cepat hilang apabila
penyebab nyeri dihilangkan.
b. Serabut C
Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan tranmisi 0,5 m/det)
yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya bersifat
tumpul dan sulit dilokalisasi.
Struktur reseptor nyeri somatik dalam meliputi reseptor nyeri yang
terdapat pada tulang, pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga
lainnya. Karena struktur reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan
nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.
Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor viseral, reseptor ini meliputi
organ-organ viseral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya. Nyeri
yang timbul pada reseptor ini biasanya tidak sensitif terhadap pemotongan
organ, tetapi sangat sensitif terhadap penekanan, iskemia dan inflamasi.
(Andi, 2008)
2. Klasifikasi
Menurut Tamsuri (2007), klasifikasi nyeri dibedakan menjadi 4 yaitu :
a. Klasifikasi nyeri berdasarkan awitan
Berdasarkan waktu kejadian, nyeri dapat dikelompokan sebagai nyeri akut
dan nyeri kronis.
1) Nyeri akut
Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam waktu kurang dari enam
bulan. Umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pembedahan
dengan awitan cepat. Dapat hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa
tindakan setelah kerusakan jaringan sembuh.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis adalah nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari enam
bulan. Umumnya timbul tidak teratur, intermiten, atau bahkan persisten.
Nyeri kronis dapat menyebabkan klien merasa putus asa dan frustasi. Nyeri
ini dapat menimbulkan kelelahan mental dan fisik.
b. Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi
Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dibedakan menjadi 6 yaitu :
1) Nyeri superfisial
Biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi,
luka bakar, dan sebagainya. Memiliki durasi pendek, terlokalisir, dan
memiliki sensasi yang tajam.
2) Nyeri somatik
Nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong,
umumnya bersifat tumpul dan stimulasi dengan adanya peregangan dan
iskemia.
3) Nyeri viseral
Nyeri yang disebabkan kerusakan organ internal, durasinya cukup
lama, dan sensasi yang timbul biasanya tumpul.
4) Nyeri sebar (radiasi)
Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah asal
ke jaringan sekitar. Nyeri dapat bersifat intermiten atau konstan.
5). Nyeri fantom
Nyeri fantom adfalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang
mengalami amputasi.
6) Nyeri alih
Nyeri alih adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang
menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau
lokasi.
c. Klasifikasi nyeri berdasarkan organ
Berdasarkan tempat timbulnya, nyeri dapat dikelompokan dalam
1) Nyeri organik
Nyeri organik adalah nyeri yang diakibatkan adanya kerusakan organ.
2) Nyeri neurogenik
Nyeri neurogenik adalah nyeri akibat gangguan neuron, misalnya pada
neurologi.
3) Nyeri psikogenik
Nyeri psikogenik adalah nyeri akibat berbagai faktor psiokologis.
Nyeri ini umumnya terjadi ketika efek-efek psikogenik seperti cemas dan
takut timbul pada klien.
3. Respon terhadap nyeri
a. Respon Psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Arti nyeri bagi setiap individu
berbeda-beda antara lain : bahaya atau merusak, komplikasi seperti infeksi,
penyakit yang berulang, penyakit baru, penyakit yang fatal, peningkatan
ketidakmampuan, kehilangan mobilitas, menjadi tua, sembuh, perlu untuk
penyembuhan, hukuman untuk berdosa, tantangan, penghargaan terhadap
penderitaan orang lain, sesuatu yang harus ditoleransi, dan bebas dari
tanggung jawab yang tidak dikehendaki.
b. Respon Fisiologis
Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi :
1) Stimulius simpatik : dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan
respirasi rate, peningkatan heart rate, asokonstriksi perifer,
peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan kekuatan otot,
dilatasi pupil, dan penurunan motilitas gastro intestinal.
2) Stimulus parasimpatik : muka pucat, otot mengeras, penurunan HR,
nafas cepat dan irreguler, nausea dan vomitus, kelelahan dan keletihan.
c. Respon tingkah laku
Respon tingkah laku terhadap nyeri meliputi : mengaduh, menangis, sesak
nafas, mendengkur, meringis, menggeletukkan gigi, menggigit bibir, gelisah,
imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari & tangan, menghindari
percakapan, menghindari kontak sosial, penurunan rentang perhatian, fokus
pada aktivitas menghilangkan nyeri.
(Tamsuri, 2007)
4. Pengukuran Nyeri
Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri disebabkan oleh subyektivitas yang
tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual. Pengukuran
nyeri dapat merupakan pengukuran satu dimensional saja atau pengukuran
berdimensi ganda (Sudoyo, 2006).
Macam-macam pengukuran nyeri
a. Skala deskritif
Merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih
obyektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale, VDS)
merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata
pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis.
Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang
tidak tertahankan”. Perawat menunjukkan klien skala tersebut dan
meminta klien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan.
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan
dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan
nyeri. Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih
digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien
menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif
digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi
terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai nyeri, maka
direkomendasikan patokan 10 cm.
b. Skala analog visual (Visual analog scale, VAS)
Suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus
menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi
klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS
dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena
klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa
memilih satu kata atau satu angka. Sebagai contoh klien tidak merasakan
nyeri apapun, maka ia harus menggariskan pada ujung sisi kiri dari garis
VAS tersebut.
Pengukuran dengan VAS pada nilai di bawah 4 dikatakan sebagai
nyeri ringan, nilai antara 4-7 dinyakan sebagai nyeri sedang dan diatas 7
dianggap sebagai nyeri hebat.
c. Skala numerik
Numerical rating scale merupakan pengukuran nyeri dimana klien
untuk memberikan angka 1 sampai 10. Nol diartikan sebagai tidak ada
nyeri, sedangkan angka 10 diatrikan sebagai rasa nyeri hebat dan tidak
tertahankan.
5. Faktor yang mempengaruhi respon nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri menurut Prihardjo (1996) antara lain
a. Faktor internal
1) Usia
Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang
melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi.
Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka
mengangnggap nyeri adalah hal alamiah yang harus dijalani dan mereka
takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri
diperiksakan.
2) Jenis kelamin
Gill (1990) mengungkapkan laki-laki dan wanita tidak berbeda
secara signifikan dalam merespon nyeri, justru lebih dipengaruhi faktor
budaya (ex: tidak pantas kalo laki-laki mengeluh nyeri, wanita boleh
mengeluh nyeri).
3) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat
mempengaruhi persepsi nyeri. Menurut Gill (1990), perhatian yang
meningkat dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
distraksi dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun. Tehnik
relaksasi, guided imagery merupakan tehnik untuk mengatasi nyeri.
4) Ansietas
Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa
menyebabkan seseorang cemas.
5) Pengalaman masa lalu
Seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau,
dan saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah
mengatasi nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri
tergantung pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyeri.
6) Pengetahuan
Nyeri dirasakan dan disadari otak, tetapi berlum tentu penderita
akan tergangggu misalnya karena ia punya pengetahuan tentang nyeri
sehingga ia menerimanya secara wajar.
7) Kelelahan
Kelelahan dapat meningkatkan nyeri karena banyak orang merasa
lebih nyaman waktu istirahat.
b. Faktor eksternal
1) Pola koping
Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi
nyeri dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan
seseorang mengatasi nyeri
2) Support keluarga dan social
Individu yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada
anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan dan
perlindungan.
3) Kultur
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka
berespon terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut
kepercayaan bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena
mereka melakukan kesalahan, jadi mereka tidak mengeluh jika ada
nyeri.
4) Lingkungan
Nyeri dapat diperberat dengan adanya rangsanggan dari
lingkungan seperti kebisingan, cahaya yang sangat terang.
5) Pengobatan
Pengobatan analgesik yang diberikan sesuai dosis yang mmakai
akan mempercepat penurunan nyeri.
6. Penatalaksanaan
Berbagai tindakan dapat dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri.
Penatalaksanaan terserbut dibagi 2 yaitu farmakologis dan non farmakologis
(Tamsuri, 2007).
1. Penatalaksanaan farmakologis
Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki resiko
relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO menganjurkan tiga
langkah bertahap dalam penggunaan alagesik. Langkah 1 digunakan untuk
nyeri ringan dan sedang adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,
asetaminofen, atau AINS, ini diberikan tanpa obat tambahan lain. Jika
nyeri masih menetap atau meningkat, langkah 2 ditambah dengan opioid,
untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika
nyeri terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi
opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan
lain (Sudoyo, 2006).
2. Penatalaksanaan non farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terdiri dari berbagai tidakan
penanganan nyeri berdasarkan stimulasi fisik maupun perilaku kognitif
(Tamsuri, 2007).
a. Masase kulit
Masase kulit dapat memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot. Rangsangan masase otot ini dipercaya akan
merangsang serabut berdiameter besar, sehingga mampu memblok atau
menurunkan implus nyeri.
b. Kompres
Kompers panas dingin, selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan prosrs penyernbuhan jaringan yang mengalami
kerusakan.
c. Imobilisasi
Imobilisasi terhadap organ tubuh yang mengalami nyeri hebat
mungkin dapat meredakan nyeri. Kasus seperti rheumatoid arthritis
mungkin memerlukan teknik untuk mengatasi nyeri.
d. Distraksi
Distraksi merupakan pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri.
Teknik distraksi terdapat beberapa macam yaitu : distraksi visual,
distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, teknik
pernafasan, imajinasi terbimbing.
e. Relaksasi
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik
relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil
yang normal.
f. Plasebo
Plaebo merupakan suatu bentuk tidakan, misalnya pengobatan atau
tindakan keperawatan yang mempunyai efek pada pasien akibat sugesti
daripada kandungan fisik atau kimianya. Suatu obat yang tidak berisi
analgetika tetapi berisi gula, air atau saliner dinamakan plasebo
(Priharjo, 1996).
C. Pirai (Gout)
Pirai atau gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan
mendadak dan berulang dari artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya
endapan kristal monosodium urat, yang terkumpul di dalam sendi sebagai akibat
dari tingginya kadar asam urat di dalam darah (hiperurisemia) (Rokim, 2009).
Artritis pirai adalah penyakit yang disebabkan oleh deposisi kristal-
monosodium urat (MSU) yang terjadi akibat supersaturasi cairan ekstra selular
dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik (M. Hariadi, 2009).
Asam urat atau rematik gout (gout artritis) adalah hasil dari metabolisme
tubuh oleh salah satu protein, purin dan ginjal. Dalam kaitan ini, ginjal berfungsi
mengatur kestabilan kadar asam urat dalam tubuh dimana sebagian sisa asam urat
dibuang melalui air seni (Galih, 2009).
1. Etiologi
Penyakit pirai digolongkan menjadi penyakit gout primer dan penyakit
gout sekunder. Pada penyakit gout primer, 99 persen penyebabnya belum
diketahui (idiopatik). Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetic dan
faktor hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat
mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga diakibatkan
karena berkurangnya pengeluaran asam urat dari tubuh. Penyakit gout
sekunder disebabkan antara lain karena meningkatnya produksi asam urat
karena nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan dengan kadar purin yang tinggi.
Purin adalah salah satu senyawa basa organic yang menyusun asam nukleat
(asam inti dari sel) dan termasuk dalam kelompok asam amino, unsur
pembentuk protein (Sudoyo, 2006).
2. Patofisiologi
Adanya gangguan metabolisme purin dalam tubuh, intake bahan yang
mengandung asam urat tinggi, dan sistem ekskresi asam urat yang tidak
adequat akan menghasilkan akumulasi asam urat yang berlebihan di dalam
plasma darah (hiperurecemia), sehingga mengakibatkan kristal asam urat
menunpuk dalam tubuh. Penimbunan ini menimbulkan iritasi lokal dan
menimbulkan respon inflamasi. Hiperurecemia merupakan hasil:
a. Meningkatnya produksi asam urat akibat metabolisme purine abnormal
b. Menurunnya ekskresi asam urat
c. Kombinasi keduanya
Gout sering menyerang wanita post menopouse usia 50 – 60 tahun. Juga
dapat menyerang laki-laki usia pubertas dan atau usia di atas 30 tahun.
Penyakit ini paling sering mengenai sendi metatrsofalangeal, ibu jari kaki,
sendi lutut dan pergelangan kaki (Sylvia et al, 2005).
3. Manifestasi Klinik

Gejala khas dari serangan artritis gout adalah serangan akut biasanya
bersifat monoartikular (menyerang satu sendi saja) dengan gejala
pembengkakan, kemerahan, nyeri hebat, panas dan gangguan gerak dari sendi
yang terserang yang terjadi mendadak (akut) yang mencapai puncaknya kurang
dari 24 jam. Lokasi yang paling sering pada serangan pertama adalah sendi
pangkal ibu jari kaki. Hampir pada semua kasus, lokasi artritis terutama pada
sendi perifer dan jarang pada sendi sentral.
Serangan yang terjadi mendadak maksudnya tiba-tiba. Karena itu bisa saja
terjadi, siang hari sampai menjelang tidur tidak ada keluhan, tetapi pada tengah
malam penderita mendadak terbangun karena rasa sakit yang amat sangat.
Kalau serangan ini datang, penderita akan merasakan sangat kesakitan walau
tubuhnya hanya terkena selimut atau bahkan hembusan angin(Dwi Cahyo,
2008).
Perjalanan penyakit gout sangat khas dan mempunyai 3 tahapan yaitu :
a. Tahap pertama disebut tahap artritis gout akut. Pada tahap ini penderita akan
mengalami serangan artritis yang khas dan serangan tersebut akan
menghilang tanpa pengobatan dalam waktu 5 – 7 hari. Karena cepat
menghilang, maka sering penderita menduga kakinya keseleo atau kena
infeksi sehingga tidak menduga terkena penyakit gout dan tidak melakukan
pemeriksaan lanjutan.
b. Tahap kedua disebut sebagai tahap artritis gout akut intermiten. Setelah
melewati masa gout interkritikal selama bertahun-tahun tanpa gejala,
penderita akan memasuki tahap ini, ditandai dengan serangan artritis yang
khas. Selanjutnya penderita akan sering mendapat serangan (kambuh) yang
jarak antara serangan yang satu dan serangan berikutnya makin lama makin
rapat dan lama, serangan makin lama makin panjang, serta jumlah sendi
yang terserang makin banyak.
c. Tahap ketiga disebut sebagai tahap artritis gout kronik bertofus. Tahap ini
terjadi bila penderita telah menderita sakit selama 10 tahun atau lebih. Pada
tahap ini akan terjadi benjolan-benjolan di sekitar sendi yang sering
meradang yang disebut sebagai tofus. Tofus ini berupa benjolan keras yang
berisi serbuk seperti kapur yang merupakan deposit dari kristal monosodium
urat. Tofus ini akan mengakibatkan kerusakan pada sendi dan tulang di
sekitarnya. Tofus pada kaki bila ukurannya besar dan banyak akan
mengakibatkan penderita tidak dapat menggunakan sepatu lagi (Arif M,
2008).
4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan artritis gout:
a. Meredakan radang sendi (dengan obat-obatan dan istirahat sendi yang
terkena).
b. Pengaturan asam urat tubuh (dengan pengaturan diet dan obat-obatan).
Tujuan utama pengobatan artritis gout adalah:
a. Mengobati serangan akut secara baik dan benar
b. Mencegah serangan ulangan artritis gout akut
c. Mencegah kelainan sendi yang berat akibat penimbunan kristal urat
d. Mencegah komplikasi yang dapat terjadi akibat peningkatan asam urat pada
jantung, ginjal dan pembuluh darah.
e. Mencegah pembentukan batu pada saluran kemih.
Makin cepat seseorang mendapat pengobatan sejak serangan akut,
makin cepat pula penyembuhannya. Pengobatan dapat diberikan obat anti
inflamasi nonsteroid (antirematik) dan obat penurun kadar asam urat (obat
yang mempercepat/meningkatkan pengeluaran urat lewat kemih atau obat
yang menurunkan produksi asam urat) (Faisal, 2006).
5. Pengaturan Diet
Penderita gout mempunyai syarat-syarat diet, yaitu :
a. Pembatasan makanan tinggi purin hingga kira-kira hanya mengkonsumsi
100-150 mg purin perhari.
b. Cukup kalori sesuai kebutuhan yang didasarkan pada tinggi badan dan
berat badan individu.
c. Tinggi karbohidrat kompleks (nasi, roti, singkong, ubi) disarankan tidak
kurang dari 100 g/hari. Tinggi karbohidrat meningkatkan pengeluaran
asam urat melalui urin.
d. Rendah protein yang bersumber hewani, namun dianjurkan yang
bersumber dari nabati. Protein dapat meningkatkan produksi asam urat
e. Rendah lemak, baik dari nabati atau hewani. Lemak yang dapat
dikonsumsi sebaiknya 15 presen dari total kalori. Lemak dapat
menghambat ekskresi asam urat melalui urin.
f. Tinggi cairan. Usahakan dapat menghabiskan minuman sebanyak 2.5 ltr
atau sekitar 10 gelas sehari dapat berupa air putih masak, teh, sirop atau
kopi. Tinggi cairan dapat membantu pengeluaran asan urat melalui urin
g. Tanpa alkohol, termasuk tape dan brem perlu dihindari juga. Alkohol
dapat meningkatkan asam laktat plasma yang akan menghambat
pengeluaran asam urat (Sudoyo, 2006)

D. Hubungan Nyeri dengan Tingkat Kecemasan pada Penderita Pirai


Kecemasan merupakan rasa tidak nyaman sebagai suatu bentuk manifestasi
rasa ketakutan akan kehilangan sesuatu yang penting atau terjadinya peristiwa
buruk dan kondisi yang ada. Cemas yang dirasakan oleh penderita rematik
disebabkan karena adanya nyeri.
Setiap manusia dapat mengalami nyeri yang merupakan sensasi tidak enak.
Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan fisiologis. Banyak
orang yang datang ke rumah sakit atau puskesmas dengan keluhan nyeri yang
biasanya disertai dengan rasa lainnya seperti rasa tertekan, panas atau dingin.
Nyeri cenderung meningkat pada situasi kecemasan dan stress. Nyeri juga
dapat ditimbulkan oleh faktor emosi seperti ketakutan, kecemasan dan
pertentangan yang menyebabkan ketegangan, kejang otot dan lain-lain.
E. Kerangka Teori

Faktor Internal:
- Usia, jenis kelamin
- Perhatian
- Kelelahan
- Pengalaman nyeri sebelumnya
- Pengetahuan
- Kecemasan (tingkat)
Tingkat Kecemasan:
- Ringan
- Sedang
- Berat
Penyakit - Panik
Nyeri
Pirai

Faktor Eksternal:
- Budaya
- Support keluarga
dan sosial
- Penyakit kronis
- Lingkungan
- Pengobatan
- Pola koping

Gambar : Kerangka Teori modifikasi dari (Priharjo, 1996);


(Stuart et al, 1998); (Sudoyo, 2006).

F. Kerangka Konsep

Nyeri pada
Kecemasan
penderita pirai
an
G. Variabel
Variabel independent adalah Nyeri dan variabel dependent adalah
Kecemasan.
H. Hipotesis
Berdasarkan dari kerangka kerja dapat dirumuskan : Ada hubungan Nyeri
dengan Tingkat Kecemasan pada Penderita Pirai antara di Kelurahan Tambak Aji
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai