Anda di halaman 1dari 5

RENUNGAN 1 MUHARRAM 1428 H ”MEWUJUDKAN

KEMBALI MAKNA HAKIKI HIJRAH NABI ”


Tidak terasa, bulan demi bulan menjelang; tahun demi tahun pun berlalu. Kaum Muslim
kembali memasuki bulan Muharram, menandai datangnya kembali tahun yang baru 1428 H.
Tidak seperti ketika datang Tahun Baru Masehi yang disambut dengan penuh semarak oleh
masyarakat, Tahun Baru Hijrah disikapi oleh kaum Muslim dengan ‘dingin-dingin’ saja.
Memang, Tahun Baru Hijrah tidak perlu disambut dengan kemeriahan pesta. Namun
demikian, sangat penting jika Tahun Baru Hijrah dijadikan sebagai momentum untuk
merenungkan kembali kondisi masyarakat kita saat ini. Tidak lain karena peristiwa Hijrah
Nabi saw. sebetulnya lebih menggambarkan momentum perubahan masyarakat ketimbang
perubahan secara individual. Peristiwa Hijrah Nabi saw. tidak lain merupakan peristiwa yang
menandai perubahan masyarakat Jahiliah saat itu menjadi masyarakat Islam. Inilah
sebetulnya makna terpenting dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. Ketidakmampuan kita
memahami sekaligus mewujudkan makna terpenting Hijrah ini dalam realitas kehidupan
saat ini hanya akan menjadikan datangnya Tahun Baru Hijrah tidak memberikan makna
apa-apa bagi kita, selain rutinitas pergantian tahun. Ini tentu tidak kita inginkan bukan?

Makna Hijrah

Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha
mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani,
Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah
(negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan
yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah
(negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum
Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini
diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul
kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta
antara Darul Islam dan darul kufur. Menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau
menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para
ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah
berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur
yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran
zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala
negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13
tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara
zalim oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyaratkan oleh
Aisyah ra.:
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena
takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah
memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia.
(HR al-Bukhari).

Setelah Hijrahlah ketertindasan dan kemalangan umat Islam berakhir. Setelah Hijrah pula
Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta
mampu menembus berbagai pelosok dunia. Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa
Khulafaur Rasyidin, kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab. Bahkan
setelah Khulafaur Rasyidin—yakni pada masa Kekhalifahan Umayah, Abbasiyah, dan
terakhir Utsmaniyah—kekuasaan Islam hampir meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya
berkuasa di Jazirah Arab dan seluruh Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan
Asia Tengah; bahkan mampu menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam malah pernah
berpusat di Andalusia (Spanyol).

Mewujudkan Kembali Makna Hakiki Hijrah Nabi


Dengan mengacu pada tiga makna Hijrah di atas, dengan mengaitkannya dengan kondisi
masyarakat saat ini, kita melihat:
Pertama: Saat ini umat Islam hidup di dalam darul kufur, bukan Darul Islam. Keadaan ini
menjadikan umat Islam membentuk masyarakat yang tidak islami alias masyarakat
Jahiliah. Masyarakat Jahiliah tidak lain adalah masyarakat yang didominasi oleh pemikiran
dan perasaan umum masyarakat yang tidak islami serta sistem yang juga tidak islami.
Dalam konteks zaman Jahiliah modern saat ini, kita melihat, yang mendominasi masyarakat
adalah pemikiran dan perasaan sekular serta sistem hukum sekular, yang bersumber dari
akidah sekularisme; yakni akidah yang menyingkirkan peran agama dari kehidupan. Saat ini
masyarakat didominasi oleh pemikiran demokrasi (yang menempatkan kedaulatan rakyat di
atas kedaulatan Tuhan), HAM, nasionalisme (paham kebangsaan), liberalisme (kebebasan),
permissivisme (paham serba boleh), hedonisme (paham yang menjadikan kesenangan
duniawi/jasadiah sebagai orientasi hidup), feminisme (paham mengenai kesetaraan jender,
pria-wanita), kapitalisme, privatisasi, pasar bebas, dll. Perasaan masyarakat pun didominasi
oleh perasaan ridha dan benci atas dasar pandangan hidup sekular. Mereka meridhai semua
yang bersumber dari akidah sekular dan sebaliknya membenci semua yang bertentangan
dengan pandangan sekularisme; mereka meridhai demokrasi (yang menjunjung tinggi
kedaulatan manusia) dan sebaliknya membenci kedaulatan Tuhan untuk mengatur
manusia; mereka meridhai nasionalisme dan nation state (negara-bangsa) dan sebaliknya
membenci ikatan ukhuwah islamiyah dan kesatuan kaum Muslim di bawah satu negara
(Khilafah Islamiyah); mereka meridhai liberalisme, permissivisme, hedonisme, dan
sebaliknya membenci keterikatan dengan syariah/hukum-hukum Allah dan menjadikan
akhirat sebagai orientasi hidup mereka; mereka meridhai sistem ekonomi kapitalisme yang
berasaskan manfaat, ekonomi ribawi, privatisasi, dan pasar bebas dan sebaliknya
membenci sistem ekonomi Islam; mereka pun meridhai hukum-hukum kufur yang bobrok
dan sebaliknya membenci hukum-hukum Islam—seperti hukum cambuk, hukum rajam,
atau hukum potong tangan—yang mendatangkan keadilan dan rahmat bagi manusia. Lebih
dari itu, sistem yang mengatur masyarakat saat ini tidak lain adalah sistem yang juga
bersumber dari akidah sekularisme. Sebaliknya, sistem Islam—yakni sistem ekonomi,
politik, pemerintahan, peradilan, hukum, sosial, budaya maupun pertahanan dan keamanan
negara yang bersumber dari akidah Islam—mereka campakkan. Itulah realitas masyarakat
Jahiliah pada zaman modern saat ini.
Karena itu, upaya mengubah masyarakat Jahiliah menjadi masyarakat Islam, itulah di
antara makna hakiki dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. yang harus kita realisasikan kembali
saat ini. Caranya tidak lain dengan menggusur dominasi pemikiran, perasaan, dan sistem
sekular di tengah-tengah masyarakat saat ini; kemudian menggantinya dengan dominasi
pemikiran, perasaan, dan sistem Islam. Tanpa berusaha mengubah ketiga unsur tersebut di
tengah masyarakat Jahiliah saat ini, masyarakat Islam yang kita cita-citakan tentu tidak
akan pernah dapat diwujudkan.
Kedua: Saat ini tidak ada satu pun negeri Islam yang layak disebut sebagai Daulah
Islamiyah. Padahal kita tahu, di antara makna dari Peristiwa Hijrah Nabi saw. adalah
pembentukan Daulah Islamiyah, yang saat itu ditegakkan di Madinah al-Munawwarah.
Daulah Islamiyah yang dibentuk oleh Nabi saw.—yang dalam perjalanan selanjutnya setelah
beliau wafat disebut sebagai Khilafah Islamiyah—tidak lain adalah sebuah negara yang
memberlakukan syariat Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Karena itu,
upaya membangun kembali Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah ini seharusnya
menjadi cita-cita bersama umat Islam yang betul-betul ingin mewujudkan kembali makna
Hijrah dalam kehidupan mereka saat ini.
Ketiga: Saat ini keadaan umat Islam di seluruh Dunia Islam sangat memprihatinkan. Di
negeri-negeri di mana kaum Muslim minoritas, mereka tertindas. Bahkan, kaum Muslim di
Palestina, Libanon, Filipina (Moro), Thailand (Pattani), India (Kashmir), dan beberapa
wilayah lain merupakan saksi nyata kesengsaraan dan ketertindasan umat Islam saat ini.
Bahkan di negeri-negeri yang kaya akan kekayaan alam, namun mereka tak berdaya,
dengan mudah negeri mereka diduduki dan dijajah, lihatlah Afghanistan dan Irak. Mereka
ditindas hanya karena satu alasan, yakni karena mereka Muslim; persis seperti orang-orang
kafir Qurays dulu memperlakukan Nabi saw. dan para Sahabatnya ketika di Makkah. Mereka
sama sekali tidak diberi kesempatan untuk memunculkan Islam, bahkan sekadar
menampilkan identitas mereka sebagai Muslim. Sebaliknya, kaum Muslim yang tinggal di
negeri-negeri di mana mereka mayoritas pun, hukum-hukum Islam tidak bisa ditegakkan.
Kaum Muslim yang berpegang teguh pada aturan-aturan Allah SWT disisihkan. Mereka yang
konsisten dalam perjuangan menegakkan syariat Islam terus-menerus difitnah dengan
berbagai cap yang menyudutkan seperti ekstremis, radikal, fundamentalis, bahkan teroris!
Akibatnya, aspirasi Islam dibungkam dan para pejuangnya pun diburu, dijebloskan ke
penjara, bahkan dibunuh. Kaum Muslim saat ini hidup tertekan dalam “penjara besar”,
yakni negeri mereka sendiri, yang telah dikuasai oleh sistem kufur yang dikontrol oleh
negara-negara kafir Barat imperialis. Posisi umat Islam yang pernah mengalami masa
kejayaannya sejak zaman Nabi saw. sampai Kekhilafahan Ustmaniyah di Turki yang terakhir
pada tahun 1924. Apalagi setelah Peristiwa 11 September 2001, Islam dan kaum Muslim
betul-betul menjadi 'bulan-bulan' AS dan sekutu-sekutunya. Inilah masa-masa yang paling
tragis yang dialami kaum Muslim saat ini. Besarnya jumlah kaum Muslim justru hanya
menjadi 'makanan empuk' orang-orang kafir yang rakus. Keadaan ini persis seperti yang
diramalkan oleh Rasulullah saw. beberapa abad yang lalu:
"Berbagai bangsa akan mengerubuti kalian sebagaimana orang-orang rakus mengerubuti
makanan." Seseorang bertanya, "Apakah karena jumlah kami sedikit pada saat itu?" Rasul
saw. menjawab, "Kalian pada saat itu bahkan berjumlah banyak. Akan tetapi, kalian seperti
buih di lautan. (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Renungan

Dari paparan di atas, jelaslah bahwa Hijrah Nabi Muhammad saw. selayaknya dijadikan oleh
kaum Muslim sebagai momentum untuk segera meninggalkan sistem Jahiliah, yakni sistem
kapitalis-sekular yang diberlakukan saat ini, menuju sistem Islam. Apalagi telah terbukti,
sistem kapitalis-sekular yang jahiliah itu telah menimbulkan banyak penderitaan bagi kaum
Muslim, di samping menjadi alat bagi Barat (AS) yang kafir untuk menindas kaum Muslim.
Karena itu, momentum Hijrah sejatinya menjadi momentum kembalinya sistem Islam ke
tengah-tengah kaum Muslim. Kembalinya sistem Islam, yang berarti kembali diterapkannya
syariat Islam dalam kehidupan, tidak mungkin terwujud kecuali dalam institusi Daulah
Khilafah Islamiyah. Karena itu, perjuangan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah harus
terus digulirkan dan menjadi agenda utama seluruh komponen umat Islam saat ini. Hanya
dengan Daulah Khilafah Islamiyah-lah umat Islam akan kembali menjadi umat terbaik,
sebagaimana firman-Nya:
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi
mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3] 103).

Hanya dengan Daulah Khilafah Islamiyah pula, janji Allah SWT akan segera terwujud,
sebagaimana firman-Nya:
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-
amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa; sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan sungguh-sungguh akan
menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi
aman sentosa. (QS an-Nur [24]: 55).

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []

Bulan Muharram Termasuk Bulan Haram

Bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram?
Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara
kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum Muslimin yang salah kaprah dalam
menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.

Dalam agama ini, bulan Muharram, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan
bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.

ْ ‫ك الدِّينُ ْالقَيِّ ُم فَاَل ت‬


‫َظلِ ُموام‬ َ ِ‫ض ِم ْنهَا أَرْ بَ َعةٌ ُح ُر ٌم َذل‬
َ ْ‫ت َواأْل َر‬ ِ ‫ُور ِع ْن َد هَّللا ِ ْاثنَا َع َش َر َش ْهرًا فِي ِكتَا‬
َ َ‫ب هَّللا ِ يَوْ َم َخل‬
َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ ِ ‫إِ َّن ِع َّدةَ ال ُّشه‬

“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)

Bulan Muharram adalah Syahrullah (Bulan Allah)

Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صالَةُ اللَّي ِْل‬ َ ‫صالَ ِة بَ ْع َد ْالفَ ِري‬


َ ‫ض ِة‬ َ ‫ضانَ َش ْه ُر هَّللا ِ ْال ُم َح َّر ُم َوأَ ْف‬
َّ ‫ض ُل ال‬ َ ‫صيَ ِام بَ ْع َد َر َم‬ َ ‫أَ ْف‬
ِّ ‫ض ُل ال‬

“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat malam.

Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan
disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah
Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.

Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau
rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana
pula kita menyebut ‘Baitullah’ (rumah Allah) atau ‘Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut
Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini
menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut.

Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah
Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah.. Bulan ini adalah
seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan
puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada
melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah
yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena
bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”

Selamat Tahun Baru Hijriah

Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini

Amin

Anda mungkin juga menyukai