Makna Hijrah
Secara bahasa, hijrah berarti berpindah tempat. Adapun secara syar‘i, para fukaha
mendefinisikan hijrah sebagai: keluar dari darul kufur menuju Darul Islam. (An-Nabhani,
Asy-Syakhsiyyah al-Islâmiyyah, II/276). Darul Islam dalam definisi ini adalah suatu wilayah
(negara) yang menerapkan syariat Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan
yang keamanannya berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah
(negara) yang tidak menerapkan syariat Islam dan keamanannya bukan di tangan kaum
Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini
diambil dari fakta Hijrah Nabi saw. sendiri dari Makkah (yang saat itu merupakan darul
kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Peristiwa Hijrah, paling tidak, memberikan makna sebagai berikut:
Pertama: pemisah antara kebenaran dan kebatilan; antara Islam dan kekufuran; serta
antara Darul Islam dan darul kufur. Menurut Umar bin al-Khaththab ra. ketika beliau
menyatakan: Hijrah itu memisahkan antara kebenaran dan kebatilan. (HR Ibn Hajar).
Kedua: tonggak berdirinya Daulah Islamiyah untuk pertama kalinya. Dalam hal ini, para
ulama dan sejarahwan Islam telah sepakat bahwa Madinah setelah Hijrah Nabi saw. telah
berubah dari sekadar sebuah kota menjadi sebuah negara Islam; bahkan dengan struktur
yang—menurut cendekiawan Barat, Robert N. Bellah—terlalu modern untuk ukuran
zamannya. Saat itu, Muhammad Rasulullah saw. sendiri yang menjabat sebagai kepala
negaranya.
Ketiga: awal kebangkitan Islam dan kaum Muslim yang pertama kalinya, setelah selama 13
tahun sejak kelahirannya, Islam dan kaum Muslim terus dikucilkan dan ditindas secara
zalim oleh orang-orang kafir Makkah. Demikianlah sebagaimana pernah diisyaratkan oleh
Aisyah ra.:
Dulu ada orang Mukmin yang lari membawa agamanya kepada Allah dan Rasul-Nya karena
takut difitnah. Adapun sekarang (setelah Hijrah, red.) Allah SWT benar-benar telah
memenangkan Islam, dan seorang Mukmin dapat beribadah kepada Allah SWT sesuka dia.
(HR al-Bukhari).
Setelah Hijrahlah ketertindasan dan kemalangan umat Islam berakhir. Setelah Hijrah pula
Islam bangkit dan berkembang pesat hingga menyebar ke seluruh Jazirah Arab serta
mampu menembus berbagai pelosok dunia. Setelah Rasulullah saw. wafat, yakni pada masa
Khulafaur Rasyidin, kekuasan Islam semakin merambah ke luar Jazirah Arab. Bahkan
setelah Khulafaur Rasyidin—yakni pada masa Kekhalifahan Umayah, Abbasiyah, dan
terakhir Utsmaniyah—kekuasaan Islam hampir meliputi 2/3 dunia. Islam bukan hanya
berkuasa di Jazirah Arab dan seluruh Timur Tengah, tetapi juga menyebar ke Afrika dan
Asia Tengah; bahkan mampu menembus ke jantung Eropa. Kekuasaan Islam malah pernah
berpusat di Andalusia (Spanyol).
Renungan
Dari paparan di atas, jelaslah bahwa Hijrah Nabi Muhammad saw. selayaknya dijadikan oleh
kaum Muslim sebagai momentum untuk segera meninggalkan sistem Jahiliah, yakni sistem
kapitalis-sekular yang diberlakukan saat ini, menuju sistem Islam. Apalagi telah terbukti,
sistem kapitalis-sekular yang jahiliah itu telah menimbulkan banyak penderitaan bagi kaum
Muslim, di samping menjadi alat bagi Barat (AS) yang kafir untuk menindas kaum Muslim.
Karena itu, momentum Hijrah sejatinya menjadi momentum kembalinya sistem Islam ke
tengah-tengah kaum Muslim. Kembalinya sistem Islam, yang berarti kembali diterapkannya
syariat Islam dalam kehidupan, tidak mungkin terwujud kecuali dalam institusi Daulah
Khilafah Islamiyah. Karena itu, perjuangan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah harus
terus digulirkan dan menjadi agenda utama seluruh komponen umat Islam saat ini. Hanya
dengan Daulah Khilafah Islamiyah-lah umat Islam akan kembali menjadi umat terbaik,
sebagaimana firman-Nya:
Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia; melakukan amar makruf nahi
mungkar, dan beriman kepada Allah. (QS Ali Imran [3] 103).
Hanya dengan Daulah Khilafah Islamiyah pula, janji Allah SWT akan segera terwujud,
sebagaimana firman-Nya:
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-
amal yang salih di antara kalian, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa; sungguh-sungguh akan meneguhkan bagi mereka
agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka; dan sungguh-sungguh akan
menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan, menjadi
aman sentosa. (QS an-Nur [24]: 55).
Bagaimanakah pandangan Islam mengenai awal tahun yang dimulai dengan bulan Muharram?
Ketahuilah bulan Muharram adalah bulan yang teramat mulia, yang mungkin banyak di antara
kita tidak mengetahuinya. Namun banyak di antara kaum Muslimin yang salah kaprah dalam
menyambut bulan Muharram atau awal tahun. Silakan simak pembahasan berikut.
Dalam agama ini, bulan Muharram, merupakan salah satu di antara empat bulan yang dinamakan
bulan haram. Lihatlah firman Allah Ta’ala berikut.
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan
Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram (suci).
Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam
bulan yang empat itu.” (QS. At Taubah: 36)
Suri tauladan dan panutan kita, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada syahrullah (bulan
Allah) yaitu Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah
shalat malam.
Bulan Muharram betul-betul istimewa karena disebut syahrullah yaitu bulan Allah, dengan
disandarkan pada lafazh jalalah Allah. Karena disandarkannya bulan ini pada lafazh jalalah
Allah, inilah yang menunjukkan keagungan dan keistimewaannya.
Perkataan yang sangat bagus dari As Zamakhsyari, kami nukil dari Faidhul Qodir (2/53), beliau
rahimahullah mengatakan, “Bulan Muharram ini disebut syahrullah (bulan Allah), disandarkan
pada lafazh jalalah ‘Allah’ untuk menunjukkan mulia dan agungnya bulan tersebut, sebagaimana
pula kita menyebut ‘Baitullah’ (rumah Allah) atau ‘Alullah’ (keluarga Allah) ketika menyebut
Quraisy. Penyandaran yang khusus di sini dan tidak kita temui pada bulan-bulan lainnya, ini
menunjukkan adanya keutamaan pada bulan tersebut.
Bulan Muharram inilah yang menggunakan nama Islami. Nama bulan ini sebelumnya adalah
Shofar Al Awwal. Bulan lainnya masih menggunakan nama Jahiliyah.. Bulan ini adalah
seutama-utamanya bulan untuk berpuasa penuh setelah bulan Ramadhan. Adapun melakukan
puasa tathowwu’ (puasa sunnah) pada sebagian bulan, maka itu masih lebih utama daripada
melakukan puasa sunnah pada sebagian hari seperti pada hari Arofah dan 10 Dzulhijah. Inilah
yang disebutkan oleh Ibnu Rojab. Bulan Muharram memiliki keistimewaan demikian karena
bulan ini adalah bulan pertama dalam setahun dan pembuka tahun.”
Semoga hari ini lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini
Amin