Anda di halaman 1dari 9

Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Manusia)

I. Mukadimah (Pendahuluan)
Allah SWT menciptakan manusia ke dunia mempunyai maksud tertentu, yakni selain
agar beribadah kepadaNya diamanatkan sebagai Khalifah Fil Ardhi sehingga tercipta
masyarakat yang tentram serta sejahtera. Akan tetapi tugas yang diamanatkan kepada Al-
Insan (manusia) sering kali dimanipulasikan sesuai kehendak hawa nafsu
syaitan,sehingga fungsi sebagai khalifah tidak dapat dilaksanakan dengan sebenar-
benarnya.
Sesungguhnya, jika setiap manusia memahami akan maksud diciptakan Allah SWT ke
dunia ini, maka segala gerak langkahnya selalu disesuaikan dengan syariat dinullah.
Tujuan diciptakan manusia secara argumen yang ditegaskan Allah SWT seperti
firmanNya: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu." (QS.51:56). Dengan penjelasan firman Allah SWT tersebut sudah jelas
dan tegas apa yang seharusnya diperbuat oleh manusia dalam kehidupan sehar-hari, yaitu
penghambaan secara totalitas kepada Al-Khaliq.
Harus diakui dalam realita kehidupan sehari-hari penyimpangan hampir tidak dapat
dihindarkan dari perbuatan manusia, karena dunia sekuler lebih dominan dibandingkan
dengan hakekat kebesaran Allah SWT,sebagai penguasa tunggal. Terjajahnya oleh
bentuk kezaliman pada dasarnya terdapat peluang yang dimiliki oleh manusia, yakni
berupa da'fu iman (lemah iman). Terdapatnya da'fu iman jika dibiarkan hidup pada diri
seseorang akan memudahkan operasinya kelompok syaitan dengan leluasa. Karena para
syaitan mempunyai komitmen untuk menghancurkan umat manusia dengan wasail
(sarana) serta berbagai arah pengerti penegasan Allah SWT: "Kemudian saya akan
mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan kiri mereka.
Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)." (QS.7:17).
Perlu disadari secara cermat, bahwa aktivitas syaitan seperti ditegaskan oleh Allah SWT
melalui ayat di atas, sebuah gerakan yang akan dijalankan secara istimariyah sampai pada
suatu keberhasilan tertentu yaitu menciptakan manusia mungkar.

II. Sifatul Insan


Hilangnya penyadaran manusia terhadap asal serta tujuan diciptakan oleh Allah SWT
adalah konsekuensi tidak ma'rifah (mengenal) terhadap dirinya. Sehingga menjadikan
hidupnya tanpa memperhatikan norma-norma yang seharusnya dipatuhi. Dalam kaitan ini
perlu direnungkan pepatah yang menyebutkan: "man a'rafa nafsah faqad a'rafa rabbah,
maknanya "Barang siapa mengenal dirinya niscaya mengenal Rabbnya."
Maka sangat wajar jika di kalangan ummat kurang menyadari hakekat untuk apa diri ini
diciptakan dan harus bagaimana melakukan aktivitas di dunia, karena tidak mengenal
akan dirinya sendiri. Padahal manusia diciptakan lebih mulia dibandingkan dengan
makhluk lainnya, yakni diberikan akal. Hanya masalahnya, akal itu tidak difungsikan
sebagaimana seharusnya sesuai dengan petunjuk dari Sang Khaliq.
Gambaran manusia yang tidak memfungsikan akal seperti aturannya telah ditegaskan Al-
Quran: "Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin
dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami
(ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak,
bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." (QS.7:179).
Akal dalam arti yang sebenarnya akan mampu mengarahkan maupun mengondisikan
dirinya, jika setiap insan telah ma'rifah secara jujur. Ma'rifah seperti yang disinggung di
atas, sebuah tugas yang sepenuhnya tanggung jawab setiap insan, lebih-lebih
keterkaitannya dengan Al-Khaliq (hablum minallah).
Ketika akal berfungsi, maka reaksi pemahaman tentangakan penciptaan alam pun dapat
dikenalnya kemudian mengerti jalan yang harus ditempuh. Dan Allah SWT, memberikan
dua jalan yang disodorkan kepada manusia untuk dipilihnya seperti firmanNya: "Dan
Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan." (QS.90:10). Kemudian dua jalan yang
dimaksud secara transparan disinggung pada firman lain yaitu: "Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya (QS.91:8). Dua jalan
yang tersedia ketentuan final adalah diserahkan kepada setiap orang untuk memilihnya,
dan tentunya akan membawa konsekuensinya atas pilihannya itu.

III. Jalan Taqwa


Jika pilihan setiap manusia jatuh ke jalan ketaqwaan sudah dapat dibayangkan nilai akhir
akan sampai kepada sebuah kemenangan yang hakiki. Diraihnya suatu kemenangan
melalui aktivitas yang berat, tetapi atas dasar nilai-nilai ketaqwaan (ketaatan) itu,
keberhasilan menyertainya. Secara tegas Allah SWT menyatakan ketaqwaan seseorang
akan sampai kepada kemenangan: "Dan barang siapa yang taat kepada Allah dan
bertaqwa kepada Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya
maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Untuk sampai ke arah kemenangan, sewajarnya setiap manusia mencari jalan dengan
maksimal yang disertai sesuai ketentuan syari'at Islam. Maka jawaban yang tepat
mencapainya, ustadz Dr. Abdullah Nasih Ulwan melalui sebuah kitab berjudul
"Ruhaniyatud-Da'iah" memberikan cara mencapai ketaqwaan. Bahwa terdapat beberapa
marhalah (langkah) yang perlu dilalui untuk menuju taqwa yaitu:

1. Mu'ahadah
Langkah awal yang harus dilakukan setiap orang merenungkan mu'ahadah (mengingat
perjanjian) terhadap Allah SWT, maupun terhadap dirinya sendiri. Aktivitas shalat yang
dijalankan sehari semalam jika dipahami dengan benar, adalah indikator janji kepada
Allah SWT, kemudian disebutnya al-ibadah ritual. Akan tetapi shalat yang dijalankan
kurang dipahami sebagai aspek perjanjian (bai'at) sehingga tidak mampu mengubah sikap
dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kaitan ini Dr.Abdullah Nasih Ulwan memberi
metode cara mu'ahadah yakni hendaklah seseorang mukmin berkhlwat (menyendiri)
antara dia dan Allah untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya: "Wahai
jiwaku, sesungguhnya kamu tidak berjanji kepada Rabbmu setiap hari di saat kamu
berdiri membaca "iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in."
Janji itulah yang selalu keluar dari lisan maupun qalbu seorang muslim setiap melakukan
shalat, dengan demikian, seharusnya ditepati sehingga terhindar dari stempel munafik.
Padahal Allah SWT menekankan agar setiap orang menepati janji yang telah dibuatnya:
"Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji...." (QS.16:91). Kurang
memperhatikan dengan perjanjian yang keluar dari lisan seseorang, jika tidak ditepatinya
dapat menggugurkan jati diri kemuslimannya.
2. Muraqabah
Makna muraqabah adalah terpatrinya perasaan keagungan Allah Azza wa Jalla di setiap
waktu dan keadaan serta merasakan kebesaranNya di kala sepi ataupun ramai. Kuatnya
kebersamaan dengan Allah SWT dapat menumbuhkan sikap yang selalu berhati-hati
dalam berbuat, artinya akan senantiasa disesuaikan dengan aturan syariat. Jika
keberadaan seperti ini berjalan secara istimrariyah (berkesinambungan) sudah dapat
dipastikan kelak akan lahir pribadi-pribadi yang hanif.
Sikap muraqabah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW, ketika menjelaskan kata
ihsan: "Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihatNya, dan jika
memang kamu tidak melihatNya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu." Sikap seperti
ini di jaman modern sangat dibutuhkan sebagai pengendali udara materialistis yang dapat
merusak sendi-sendi keimanan seseorang. Pengendalian melalui muraqabah lebih jauh
akan mampu menciptakan tatanan masyarakat yang aman tentram (betul-betul
terkendali).
Pelaksanaan muraqabah dimulai ketika akan dimulai saat akan melakukan suatu
pekerjaan dan di saat mengerjakannya, hendaknya setiap orang mengoreksinya, apakah
telah sesuai dengan aturannya atau sebaliknya. Sehingga ketika sampai pada suatu waktu
tertentu akan terlihat, lebih-lebih bertemu dengan kegagalan. Mengapa terjadinya suatu
kegagalan, padahal menurut perasaan melakukannya secara maksimal. Inti muraqabah
tercermin melalui firman Allah SWT: "Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk
shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud."
(QS.26:218-219).

3. Muhasabah
Jika merenungkan apa yang disampaikan Umar Al-Farq r.a., tentang makna muhasabah
(introspeksi diri) yaitu: "Hisablah (nilailah) diri kalian sebelum kalian dihisab (dinilai),
timbanglah diri kalian sebelum ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukan yang
agung (hari kiamat)." Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang
tersembunyi dari amal kalian barang satu pun. Kesalahan yang sering terjadi di kalangan
manusia melarikan diri dari sikap muhasabah, sehingga melemahkan untuk meningkatkan
prestasi ibadah, karena merasa sudah berhasil. Lebih jauh lagi hakikat muhasabah
seharusnya seorang mukmin memperhatikan modal, keuntungan, dan kerugian, agar ia
dapat mengontrol apakah dagangannya bertambah atau menyusut. Yang dimaksud modal
di sini adalah Islam secara keseluruhan, mencakup segala perintah, larangan, tuntutan,
dan hukum-hukumnya. Sedangkan pengertian laba adalah melaksanakan ketaatan dan
menjauhi larangan. Kemudian yang dimaksud kerugian adalah melakukan perbuatan
pelanggaran (dosa). Allah SWT memberikan acuan yang berkaitan dengan muhasabah
seperti firmanNya: "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan
hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan
bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan." (QS.59:18).

4. Mu'aqabah
Dalam setiap pekerjaan akan berhadapan dengan sebuah perbuatan kesalahan walaupun
mungkin ada yang bersifat sengaja atau karena alpa. Ketika berhadapan dengan perbuatan
kesalahan yang dilakukan secara sengaja perlu diambil sanksi (mu'aqabah). Namun
ajaran Islam yang agung telah memberikan uswah, walaupun perbuatan kesalahan karena
alpa sebagai pendidikan adanya tindakan mu'aqabah. Hal ini dapat dilihat dari riwayat,
bahwa Uman bin Khatab ra., pergi ke kebunnya. Ketika pulang didapatinya orang-orang
sudah selesai melaksanakan shalat Ashar. Maka beliau berkata: "Aku pergi hanya untuk
sebuah kebun, aku pulang orang-orang sudah shalat Ashar...kini kebunku aku jadikan
shadaqah buat orang-orang miskin."
Ibrah yang dapat diambil dari riwayat shahabat, Umar bin Khatab ra bahwa kesadaran
untuk mengakui kesalahan atas perbuatan dirinya kemudian diterapkan mu'aqabah secara
konsekuen akan membawa dampak positif. Dalam pengertian, dapat dijadikan panutan
orang lain, lebih-lebih jika dijadikan panutan oleh para elit kekuasaan. Sekaligus
menerapkan aturan hukum diterapkan kepada siapapun tanpa kecuali, bukan perilaku
rejim yang menerapkan norma kesewenangan. Pemberian sanksi diberikan atas dasar
keadilan yang diberikan Allah SWT setelah sebelumnya diberikan peringatan agar
berjalan di wilayah Al-Haq: "....dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke
dalam kebinasaan....(QS.2:195). Demikian juga di tempat terpisah Allah SWT
mengingatkan manusia supaya waspada yaitu: "....dan janganlah kamu membunuh
dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS.4:29).

5. Mujahadah
Kerja keras secara maksimal merupakan tahapan yang harus diupayakan untuk mencapai
keberhasilan. Karena sesuatu yang mustahil kesuksesan didapat tanpa melalui perjuangan
dengan sungguh-sungguh dan itulah kemudian disebugt mujahadah (optimalisasi). Secara
terminologi makna mujahadah yakni apabila seorang mukmin terseret dalam kemalasan,
santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang
lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amalan-amalan
sunnah lebih banyak dari sebelumnya. Kemudian dalam kaitan ini, ia harus tegas, dan
penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi
dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.
Secara tersurat dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman: "Dan orang-orang yang berjihad
untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-
jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik." (QS.29:69). Bentuk mujahadah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW diperlihatkan ketika menghadapi akhir ramadhan seperti sabdanya: "Apabila
Rasulullah memasuki sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, beliau menghidupkan
malam (dengan ibadah), membangunkan keluarganya bersungguh-sungguh dan
mengencangkan ikat pinggang." (HR.Bukhari Muslim).

IV. Taskiyatun Nafs


Jika marhalah dalam mencapai ketakwaan dilaksanakan secara maksimal, maka akan
melahirkan orang-orang yang senantiasa mengadakan tazkiyatun nafs (pembersihan diri)
setiap saat. Tazkiyatun nafs sebagai konsekuensi logis tercapainya situasi ketakwaan
kepada Allah SWT yang merupakan cita-cita setiap mukmin.
Karena itulah Allah SWT menegaskan dalam kitab suci Al-Quran: "Dialah yang
mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul diantara mereka yang
membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan kepada
mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-
benar dalam kesesatan yang nyata." (QS.62:2). Syamarah (buah) dari tazkiyatun nafs
akan tampak dalam perilaku seseorang diantaranya yaitu:

1. Selalu Bersyukur
Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada seseorang adalah perbuatan mulia,
tetapi banyak diantara orang sulit melaksanakannya karena melupakan nilai nikmat yang
sangat besar telah diberikan oleh Allah SWT, kecuali orang-orang yang selalu
mengadakan tazkiyatun nafs terhadap dirinya sendiri. Sehingga menurut pandangan yang
digariskan oleh Allah sWT dengan bersyukur kepadaNya kenikmatan pun berlipat ganda
seperti firmanNya: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatKu), maka sesungguhnya
adzabKu sangat pedih." (QS.14:7). Maka pengaruh dari tazkiyatun nafs akan membekas
pada seseorang dengan kegiatan selalu melakukan syukur terhadap Allah SWT.

2. Bersabar
Sikap sabar pun hanya akan abadi dalam jiwa seseorang yang selalu dihidupi oleh
tazkiyatun nafs,sehingga melahirkan sikap di bawah monitor Al-Haq. Artinya sikap yang
keluar ketika menghadapi ujian maupun cobaan hidup akan dihadapi penuh kesabaran
serta keimanan kepadaNya. Di samping itu Allah SWT menyertai terhadap orang-orang
yang mampu mempergunakan pakaian kesabaran dalam menjalani kehidupan baik pada
kondisi suka maupun duka: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat
sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS.2:153).
Terutama dalam menghadapi zaman yang serba materialistis disertai oleh budaya
pembaratan, jika hilangnya pakaian kesabaran, maka hidup akan terasa "gerah". Dan
telah tampak bukti-bukti yang ada di hadapan mata, betapa kekerasan disertai
kriminalitas salah satu penyebabnya pengaruh sosial. Maka orang di sebelah seberang
membuat analisis akibat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin, sehingga
menimbulkan krisis moral maupun meningkatnya kriminalitas.
Apabila memperhatikan kondisi yang serba panas, terlihat dengan jelas bahwa nilai
kesabaran terlemparkan sejauh mungkin. Padahal, sabar sebuah ruh yang harus dijadikan
pola hidup oleh orang-orang beriman kepada Allah SWT, RasulNya maupun hari akhir.

3. Pemaaf
Konsekuensi tertanamnya tazkiyatun nafs, juga dapat melahirkan orang-orang yang
mampu menahan amarah dan membentuk perilaku pemaaf. Karena dalam udara penuh
emosional sulit orang mampu mewujudkan jiwa yang suka memaafkan terhadap
kesalahan pihak lain. Sesungguhnya menurut pandangan Islam nilai pemaaf merupakan
hasil penataan dari keimanan seseorang. Oleh karenanya Allah SWT mengabadikan
dalam Al-Quran: "...dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (QS.3:134).
Begitu urgensinya seorang mukmin harus mampu menahan amarahnya disertai sikap
suka memaafkan kesalahan orang lain, sehingga Rasulullah SAW memberikan petunjuk
dalam sabdanya: "Jangan engkau mudah marah." Maka diulangi beberapa kali, sabdanya:
"Janganlah engkau mudah marah." (HR.Bukhari,Muslim). Jelas sekali Islam memandang
pentingnya untuk memasyarakatkan pemaaf disertai berupaya mampu menahan amarah,
bila sudah membudaya maka niscaya akan diikuti orang di sekitarnya.

4. Ar-Rahim
Bentuk Ar-Rahim (kasih sayang) Allah SWT diciptakan agar dijadikan landasan hidup
setiap orang, sehingga terwujudnya masyarakat yang penuh damai. Hilangnya perasaan
kasih sayang yang kemudian diganti oleh pertikaian menjadikan dunia ini penuh
malapetaka. Kalau dunia diisi hanya oleh perbuatan biadab dan menafikan nilai Ar-
Rahim, jika yang terjadi demikian, kelak Allah SWT menurunkan peringatan: "Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar)." (QS.30:41).
Sangat penting untuk menciptakan perasaan kasih sayang agar terhindar dari malapetaka
yang diturunkan oleh Allah SWT hanya karena ulah segelintir manusia. Karena
pandangan itulah, Allah SWT menegaskan perlu ditekankan kondisi kasih sayang seperti
firmanNya: "Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia
adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi kasih sayang mereka, kamu lihat mereka
ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaanNya." (QS.48:29).

5. Al-Amin
Salah satu akhlak yang menonjol dalam perilaku Rasulullah SAW adalah Al-Amin
(terpercaya), yang harus menjadi petunjuk oleh setiap umat Islam. Karena faktor
kepercayaan akan mampu menciptakan kondisi yang mendekatkan perilaku kebajikan
dalam operasionalitas hidupnya. Dalam menumbuhkan sikap Al-Amin sedikit banyak
dipengaruhi oleh diyah (lingkungan) di mana seseorang berada, karena itu perlu adanya
orientasi keluar. Dalam pengertian, bergaullah dengan lingkungan yang terhindar dari
hilangnya wilayah Al-Amin, seperti Allah SWT memberikan informasi: "Hai orang-
orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-
orang yang beriman." (QS.9:119).
Maka peran pergaulanlah dapat mempengaruhi perilaku seseorang, untuk itulah
memperhatikan lingkungan dalam dimensi hubungan sosial yang dapat menciptakan
situasi aman tenteram sejauh mana adanya upaya ke arah ke sana. Demikian pula, jiwa
Al-Amin pada hakikatnya fitrah yang melekat dalam jiwa seseorang, tetapi sering
terabaikan untuk dimanfaatkan sesuai aturan syariah. Jalan taqwa yang menjadi pilihan
seseorang merupakan kesuksesan untuk meraih kondisi tazkiyatun nafsi, kemudian
terbangunnya ketenangan lahir batin.

6. Al-Falah
Puncak tazkiyatun nafsi yang sebelumnya telah melakukan aktivitas syukur hingga al-
amin sebagai syamarah (buahnya) adalah alfalah (kemenangan). Al-Falah yang diraihnya
bukan hadir tanpa melalui proses tadhiyah untuk meraihnya. Ketaatan/tsiqah kepada
Allah SWT dan Rasulullah SAW menyertainya: "Dan barang siapa yang taat kepada
Allah dan RasulNya dan takut kepada Allah dan bertaqwa kepadaNya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS.24:52).
Kemenangan yang dijanjikan Allah SWT sekaligus sebagai cambuk untuk berada serta
mampu mempertahankan nilai ketaqwaan sampai akhir zaman. Ketika dimilikinya, tentu
usaha untuk mempertahankan al-falah dalam sikap yang sesuai dengan syari'atullah, jika
melenceng akan menjadi preseden kurang baik.

V. Al-Fujura
Sifatul insan yang bertentangan dengan sifat at-taqwa adalah al-Fujur (fasik), sehingga
jalan ini harus dihindarkan jangan sampai masuk ke ruang hati maupun pikiran seorang
mukmin. Dimiliki sifat fujur karena dominasi kecintaan kepada dunia secara berlebih-
lebihan, sehingga kewajiban kepada Allah SWT atau hukum-hukumNya diabaikan.
Kelompok fasik ditegaskan Allah SWT: "Katakanlah: Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan,
perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang
kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan RasulNya dan (dari) berjihad di
jalanNya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusanNya. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." (QS.9:24).
Kefasikan yang melanda jiwa seseorang selain orientasi keduniaan lebih dominan, juga
banyak melakukan kemaksiatan lewat kehidupan sehari-hari, dengan melupakan untuk
bertaubat (perbaikan) sehingga berbuat penyimpangan terbiasa. Dengan lain perkataan,
selalu memproduksi penyakit atau mengotorinya (at-tadbiniyyah) syariat Islam. Jika
demikian kenyataannya, maka dominasi kefasikan akan membawa kerugian ummat
manusia dunia maupun akhirat kelak.

1. At-Tadbiniyyah
Aktivitas orang-orang fasik pada hakekatnya at-tadbiniyyah (mengotori) ketentuan Allah
SWT yang seharusnya mampu mengaktualisasikannya semata-mata untuk beribadah
kepadaNya secara kaffah. Bentuk nyata dari usaha at-tadbiniyyah terhadap hukum Allah
SWT, akan tampak dari aktivitas seseorang yang terkena penyakit fasik yaitu:

2. 'Ajuulan
Akibat kefasikan yang melanda hati dan pikiran, seseorang akan tampak dalam
berperilaku 'ajuulan (terburu-buru), sehingga hasilnya kurang memuaskan, kemungkinan
lain dapat merugikan semua pihak. Betapa berbahayanya, orang yang di luar terkena
getahnya, padahal tidak mengetahui permasalahannya. Di samping itu, manusia
mempunyai sifat tergesa-gesaan seperti ditegaskan oleh Allah SWT: "Dan adalah
manusia bersifat tergesa-gesa." (QS.17:11).
Perbuatan yang dilakukan secara tergesa-gesa pada hakekatnya bentuk orang-orang yang
membelakangi sunnatullah dan ketidakmampuan menghadapi kesabaran. Sehingga
ditempuh jalan garis cepat, yang sebenarnya akan berhadapan dengan kerugian serta
berbagai benturan. Pada akhirnya tercipta kondisi yang tidak menentu dan kemudian
lahirlah sikap ragu-ragu terhadap langkah berikutnya.

3. Al-Maluu'a
Bentuk kefasikan yang lainnya dalam mengotori kebenaran al-Haq yaitu dimilikinya sifat
keluh-kesah dalam jiwa seseorang. Terjadinya al-maluu'a (keluh-kesah) dalam diri
seseorang merupakan sebuah rangkaian yang tidak terlepaskan dari hasil kefasikan,
karenanya hidup selalu merasa terasingkan. Jika hanya dipahami secara kasar orang
mengatakan, bentuk keluh-kesah (al-maluu'a) diciptakan oleh Allah jadi tidak perlu
dipermasalahkan.
Sebenarnya bukan permasalahan yang jadi konteks di sini, namun menunjukkan bahwa
kekuasaan Allah SWT dalam menciptakan sesuatu. Termasuk pengertian al-maluu'a
seperti firmanNya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh-kesah lagi kikir."
(QS.70:19). Sekaligus informasi, bahwa Allahlah yang memiliki kekuasaan dan
penguasa, karena manusia berhadapan dengan kondisi keluh-kesah sekalipun tidak
mampu meninggalkannya. Oleh karena mengapa bangga akan kesombongan diri sendiri,
tidakkah kita seharusnya memikirkan ayat-ayatNya.

4. Al-Qatuura
Bentuk perilaku kotor dalam bentuk lain yang ada pada jiwa orang-orang fasik yakni Al-
Qatuura (kikir), seolah-olah segalanya adalah milik dirinya sendiri baik harta maupun
tahta sekalipun. Padahal menurut aturan Allah SWT semuanya merupakan amanah yang
harus dipenuhi ketentuannya, seperti diberikannya harta, di dalamnya ada hak orang lain:
"Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bahagian." (QS.51:19).
Walaupun manusia memiliki sifat kikir seperti dalam firmanNya: "Katakanlah: "Kalau
seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya
perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya. Dan adalah manusia itu
sangat kikir." (QS.17:100). Akan tetapi tidak demikian, jika seseorang yang komitmen
terhadap keimanannya. Karena menyadari, bahwa rizki yang Allah SWT berikan
sesungguhnya amanah semata, yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali olehNya. Jika
setiap umat menyadari asal-usul rizki secara proposional, tentu akan melahirkan pribadi-
pribadi yang abid (ahli ibadah) seperti akhlak para salafus shalihin.

5. Al-Kafuuraa
Konsekuensi mengambil jalur kefasikan maka melahirkan penyakit al-kafuuraa (kafir)
dengan kata lain perkataan mengingkari terhadap kebenaran. Kelompok umat ini, pada
hakekatnya mengetahui adanya kebenaran, tetapi menutup hati untuk melakukannya
(amal) karena kekafiran yang terdapat di dalam dirinya. Sehingga Allah SWT
memberikan informasi keberadaan orang-orang kafir seperti diabadikan Al-Quran:
"Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan, mereka
tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat." (QS.2:67).
Makna al-kafuuraa secara lebih jauh dapat dipahami baik secara i'tiqadi (keluar dari
Islam) maupun kafir secara amali (pengamalan). Dalam konteks kehidupan sehari-hari
yang lebih dominan kafir secara amali (pengamalan), walau pun hatinya masih Islam.
Sehingga yang perlu pemikiran lebih dalam, adanya usaha untuk mengembalikan ummat
ke jalan ketaqwaan sekaligus meninggalkan sikap kekafiran baik kafir i'tiqadi maupun
kafir secara amali. Kekafiran yang terdapat dalam jiwa seseorang baik secara i'tiqadi
maupun kafir amali, pada hakekatnya akan menempatkan dirinya pada suatu kerugian,
sehingga aktivitas amaliyahnya tidak mendapat nilai menurut pandangan Allah SWT,
dalam Al-Quran yang artinya: "Sesungguhnya orang-orang kafir kepada ayat-ayat Allah
dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah
mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang
yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak
memperoleh penolong." (QS.3:21-22).
6. Al-Jahuula
Bentuk pengobatan lain sebagai konsekuensi jalan kefasikan seseorang, adalah terkena
al-jahuula (bodoh) terhadap kebenaran, kemudian merasakan pemilikan al-jahuula tidak
dianggap lagi sebagai penyakit yang dapat mengganggu hubungan dengan Allah sWT
(hablum minallah) maupun keterkaitannya dengan sesama manusia (hablum minannas).
Efek itulah yang selanjutnya dapat mengubah sikap kebaikan kepada kebatilan sebagai
sarana jalan syaitan laknatullah.
Sebagai diilustrasikan Allah SWT ketika menawarkan tanggung jawab untuk
melaksanakan amanat yang ditolak oleh gunung, langit maupun bumi tetapi manusia
menerimanya, seperti firmanNya: "Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat
kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat
itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya dan dipikullah amanat itu oleh manusia,
sesungguhnya manusia itu amat zhalim dan amat bodoh." (QS.33:72).
Al-jahuula pada dewasa ini lebih tampak tercermin melalui kebijakan yang diambil
seseorang untuk memilih antara kebenaran dan kebatilan, tetapi pilihannya justru kepada
kebatilan, yang sesungguhnya mereka mengetahuinya akan mendapat murka (azab) dari
Allah SWT kenyataan seperti ini, bukanlah sesuatu yang mengherankan, tetapi dalam
zaman yang serba materialistis ini kemungkinan bisa terjadi seketika. Bahkan kebenaran
pun bisa dibeli dengan segepok uang! Itulah realita yang sungguh ironis terjadi di jaman
sekarang ini. Karena hilangnya kewaspadaan pada tiap-tiap diri seseorang, kemudian
hidupnya diliputi oleh ketergantungan yang bersifat materi semata.

VI. Khatimah (Penutup)


Setelah menelusuri dua sifat Al-Insan antara at-Taqwa dan al-Fujuur yang masing-masing
memiliki konsekuensinya. Tentunya bagi pilihan jalan taqwa akan mendapat berbagai
keberuntungan, dan sebaliknya jika jalan al-fujuur yang menjadi alternatifnya pintu
kesengsaraan akan diraihnya. Pada akhirnya Allah sWT memberikan pilihan kepada
setiap ummat untuk mengambil sikap antara iman atau kafir dan harus
dipertanggungjawabkan atas hasilnya kelak.
Konsep demokrasi yang ditawarkan oleh Allah SWT tercermin melalui firmanNya, yang
artinya: "Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir, sesungguhnya kami telah sediakan bagi orang-orang zhalim itu neraka, yang
gejolaknya mengepung mereka." (QS.18:29).
Jalan taqwa adalah pilihan yang tepat bagi orang-orang beriman dalam menyelamatkan
dirinya untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat. (QS.2:201).

Anda mungkin juga menyukai