Anda di halaman 1dari 20

Tugas Kelompok

M.K. Psikologi Pembelajaran

PENDEKATAN PEMBELAJARAN HUMANISTIK

Oleh :
Kelompok VII

Muhammad Yusuf 082514019


Ady Nirwan Nur 082514005
Ahmad Afandy 082514013
Ade Ilham Husain 0825140
Andis Ena Saputra 082514047
Mukhlas Pratomo 082514038
Yitro Liku Sakuta 082514015
JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK ELEKTRONIKA
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2011

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis penjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas rahmat-Nya
maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul
“Pendekatan Pembelajaran Humanistik”.

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan


untuk menyelesaikan tugas mata kuliah psikologi pendidikan.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan
kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua
pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini.

Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih


yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada :

1. Sapto Haryoko  Selaku Dosen mata kuliah psikologi pendidikan


yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pkiran dalam
pelaksanaan bimbingan, pengarahan, dorongan dalam rangka
penyelesaian penyusunan makalah ini
2. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada
keluarga tercinta yang telah memberikan dorongan dan bantuan
serta pengertian yang besar kepada penulis, baik selama mengikuti
perkuliahan maupun dalam menyelesaikan makalah ini
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan dalam penulisan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang


setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat
menjadikan semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal
‘Alamiin.
Makassar, 3
April 2011

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pandangan mengenai hakikat manusia dapat dibedakan dalam dua


aliran besar yaitu aliran idealisme spritualisme dan materialisme.
Hakikat manusia menurut pandangan kelompok idealis melihat
kemampuan yang besar dari ide, seperti yang dikemukakan oleh
Friedrich Hegel. Hakikat kehidupan manusia ditentukan oleh percaturan
antara ide-ided yang saling berlawanan. Dari satu ide atau thesa
bertentangan dengan ide yang lain atau antu-thesa yang melahirkan ide
pada tingkat yang lebih tinggi atau sintesa dan berakhir pada ide
absolute, sebaliknya paham materialistik melihat manusia tidak lebih
dari alam mikro yaitu bagian dari alam materi yang melihat hal realistis
yang dpat diraba dan dapat dibentuk dedngan kekuatan-kekuatan yang
ada di dalam masyarakat.
Salah satu kekuatan yang membentuk manusia adalah kekuatan-
kekuatan ekonomi yang tersembunyi di dalm kelas-kelas dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, berbagai ungkapan manusia yang disebut
kebudayaan atau agama merupakan produk dari kelas-kelas di dalam
masyarakat. Tugas pendidikan adalah menyadari akan adanya
kepincangan-kepincangan di dalam masyarakat yang diakibatkan oleh
kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga tugas pendidkan adalah
merombak kelas-kelas artifisial yang dikonstruksikan oleh kekuatan-
kekuatan ekonomi di dalam masyarakat (H.A.R Tilaar, Riant Nugroho:
2008)
Demikianlah pandangan manusia yang telah dijadikan titik tolak dari
berbagai pemikiran pendidkan tidak terkecuali oleh aliran humanistik.
Aliran humanistik muncul pada tahun 1940-an sebagai reaksi
ketidakpuasan terhadap pendekatan psikoanalisa dan behavioristik.
Sebagai sebuah aliran dalam psikologi, aliran ini boleh dikatakan relatif
masih muda, bahkan beberapa ahlinya masih hidup dan terus-menerus
mengeluarkan konsep yang relevan dengan bidang pengkajian
psikologi, yang sangat menekankan pentingnya kesadaran, aktualisasi
diri, dan hal-hal yang bersifat positif tentang manusia.

Dalam artikel “some educational implications of the Humanistic


Psychologist” Abraham Maslow mencoba untuk mengkritisi teori Freud
dan behavioristik. Menurut Abraham, yang terpenting dalam melihat
manusia adalah potensi yang dimilikinya. Humanistik lebih melihat pada
sisi perkembangan kepribadian manusia daripada berfokus pada
“ketidaknormalan” atau “sakit” seperti yang dilihat oleh teori
psikoanalisa Freud. Pendekatan ini melihat kejadian setelah “sakit”
tersebut sembuh, yaitu bagaimana manusia membangun dirinya untuk
melakukan hal-hal yang positif. Kemampuan bertindak positif ini yang
disebut sebagai potensi manusia dan para pendidik yang beraliran
humanistik biasanya memfokuskan penganjarannya pada
pembangunan kemampuan positif ini.
Kemampuan positif disini erat kaitannya dengan pengembangan emosi
positif yang terdapat dalam domain afektif, misalnya ketrampilan
membangun dan menjaga relasi yang hangat dengan orang lain,
bagaimana mengajarkan kepercayaan, penerimaan, keasadaran,
memahami perasaan orang lain, kejujuran interpersonal, dan
pengetahuan interpersonal lainnya. Intinya adalah meningkatkan
kualitas ketrampilan interpersonal dalam kehidupan sehari-hari.
Selain menitik beratkan pada hubungan interpersonal, para pendidikan
yang beraliran humanistik juga mencoba untuk membuat pembelajaran
yang membantu anak didik untuk meningkatkan kemampuan dalam
membuat, berimajinasi, mempunyai pengalaman, berintuisi,
merasakan, dan berfantasi. Pendidik humanistik mencoba untuk
melihat dalam spektrum yang luas mengenai perilaku manusia. “Berapa
banyak hal yang bisa dilakukan manusia? Dan bagaimana aku bisa
membantu mereka untuk melakukan hal-hal tersebut dengan lebih
baik?
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan
yang lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik
melihat bahwa manusia mempunyai keinginan alami untuk
berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar. Jadi sekoah harus
berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan memaksakan
anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar
apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap
secara fisiologis dan juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru
adalah sebagai fasilitator yang membantu siswa untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan sebagai konselor seperti
dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada behaviorisme.
Secara singkatnya, pendekatan humanistik dalam pendidikan
menekankan pada perkembangan positif. Pendekatan yang berfokus
pada potensi manusia untuk mencari dan menemukan kemampuan
yang mereka punya dan mengembangkan kemampuan tersebut. Hal ini
mencakup kemampuan interpersonal sosial dan metode untuk
pengembangan diri yang ditujukan untuk memperkaya diri, menikmati
keberadaan hidup dan juga masyarakat. Ketrampilan atau kemampuan
membangun diri secara positif ini menjadi sangat penting dalam
pendidikan karena keterkaitannya dengan keberhasilan akademik.
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses
belajarnya harus berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai
aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Teori belajar ini berusaha
memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya, bukan dari
sudut pandang pengamatnya.
Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk
mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu
untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri
mereka.
BAB II

PEMBAHASAN

Tokoh Penting Dalam Aliran Humanistik dan Teorinya

1. Abraham Maslow
Abraham H. Maslow (selanjutnya ditulis Maslow) adalah tokoh yang
menonjol dalam psikologi humanistik. Karyanya di bidang
pemenuhan kebutuhan berpengaruh sekali terhadap upaya
memahami motivasi manusia. Sebagian dari teorinya yang penting
didasarkan atas asumsi bahwa dalam diri manusia terdapat
dorongan positif untuk tumbuh dan kekuatan-kekuatan yang
melawan atau menghalangi pertumbuhan.
Maslow berpendapat, bahwa manusia memiliki hierarki kebutuhan
yang dimulai dari kebutuhan jasmaniah-yang paling asasi- sampai
dengan kebutuhan tertinggi yakni kebutuhan estetis. Kebutuhan
jasmaniah seperti makan, minum, tidur dan sex menuntut sekali
untuk dipuaskan. Apabila kebutuhan ini terpuaskan, maka muncullah
kebutuhan keamanan seperti kebutuhan kesehatan dan kebutuhan
terhindar dari bahaya dan bencana. Berikutnya adalah kebutuhan
untuk memiliki dan cinta kasih, seperti dorongan untuk memiliki
kawan dan berkeluarga, kebutuhan untuk menjadi anggota
kelompok, dan sebagainya. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan
ini dapat mendorong seseorang berbuat lain untuk memperoleh
pengakuan dan perhatian, misalnya dia menggunakan prestasi
sebagai pengganti cinta kasih. Berikutnya adalah kebutuhan harga
diri, yaitu kebutuhan untuk dihargai, dihormati, dan dipercaya oleh
orang lain.
Apabila seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang
tingkatannya lebih rendah tadi, maka motivasi lalu diarahkan kepada
terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk
mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu.
Bagaimana cara aktualisasi diri ini tampil, tidaklah sama pada setiap
orang. Sesudah kebutuhan ini, muncul kebutuhan untuk tahu dan
mengerti, yakni dorongan untuk mencari tahu, memperoleh ilmu dan
pemahaman. Sesudahnya, Maslow berpendapat adanya kebutuhan
estetis, yakni dorongan keindahan, dalam arti kebutuhan akan
keteraturan, kesimetrisan dan kelengkapan.
Maslow membedakan antara empat kebutuhan yang pertama
dengan tiga kebutuhan yang kemudian. Keempat kebutuhan yang
pertama disebutnya deficiency need (kebutuhan yang timbul karena
kekurangan), dan pemenuhan kebutuhan ini pada umumnya
bergantung pada orang lain. Sedangkan ketiga kebutuhan yang lain
dinamakan growth need (kebutuhan untuk tumbuh) dan
pemenuhannya lebih bergantung pada manusia itu sendiri.
Implikasi dari teori Maslow dalam dunia pendidikan sangat penting.
Dalam proses belajar-mengajar misalnya, guru mestinya
memperhatikan teori ini. Apabila guru menemukan kesulitan untuk
memahami mengapa anak-anak tertentu tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, mengapa anak tidak dapat tenang di dalam kelas,
atau bahkan mengapa anak-anak tidak memiliki motivasi untuk
belajar. Menurut Maslow, guru tidak bisa menyalahkan anak atas
kejadian ini secara langsung, sebelum memahami barangkali ada
proses tidak terpenuhinya kebutuhan anak yang berada di bawah
kebutuhan untuk tahu dan mengerti. Bisa jadi anak-anak tersebut
belum atau tidak melakukan makan pagi yang cukup, semalam tidak
tidur dengan nyenyak, atau ada masalah pribadi / keluarga yang
membuatnya cemas dan takut, dan lain-lain.

2. Carl R. Rogers
Carl R. Rogers adalah seorang ahli psikologi humanistik yang
gagasan-gagasannya berpengaruh terhadap pikiran dan praktek
psikologi di semua bidang, baik klinis, pendidikan, dan lain-lain.
Lebih khusus dalam bidang pendidikan, Rogers mengutarakan
pendapat tentang prinsip-prinsip belajar yang humanistik, yang
meliputi hasrat untuk belajar, belajar yang berarti, belajar tanpa
ancaman, belajar atas inisiatif sendiri, dan belajar untuk perubahan.
Adapun penjelasan konsep masing-masing prinsip tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Hasrat untuk Belajar
Menurut Rogers, manusia mempunyai hasrat alami untuk belajar.
Hal ini terbukti dengan tingginya rasa ingin tahu anak apabila
diberi kesempatan untuk mengeksplorasi lingkungan. Dorongan
ingin tahu untuk belajar ini merupakan asumsi dasar pendidikan
humanistik. Di dalam kelas yang humanistik anak-anak diberi
kesempatan dan kebebasan untuk memuaskan dorongan ingin
tahunya, untuk memenuhi minatnya dan untuk menemukan apa
yang penting dan berarti tentang dunia di sekitarnya.
b. Belajar yang Berarti
Belajar akan mempunyai arti atau makna apabila apa yang
dipelajari relevan dengan kebutuhan dan maksud anak. Artinya,
anak akan belajar dengan cepat apabila yang dipelajari
mempunyai arti baginya.
c. Belajar Tanpa Ancaman
Belajar mudah dilakukan dan hasilnya dapat disimpan dengan
baik apabila berlangsung dalam lingkungan yang bebas ancaman.
Proses belajar akan berjalan lancer manakala murid dapat
menguji kemampuannya, dapat mencoba pengalaman-
pengalaman baru atau membuat kesalahan-kesalahan tanpa
mendapat kecaman yang bisaanya menyinggung perasaan.
d. Belajar atas Inisiatif Sendiri
Belajar akan paling bermakna apabila hal itu dilakukan atas
inisiatif sendiri dan melibatkan perasaan dan pikiran si pelajar.
Mampu memilih arah belajarnya sendiri sangatlah memberikan
motivasi dan mengulurkan kesempatan kepada murid untuk
“belajar bagaimana caranya belajar” (to learn how to learn ).
Tidaklah perlu diragukan bahwa menguasai bahan pelajaran itu
penting, akan tetapi tidak lebih penting daripada memperoleh
kecakapan untuk mencari sumber, merumuskan masalah, menguji
hipotesis atau asumsi, dan menilai hasil. Belajar atas inisiatif
sendiri memusatkan perhatian murid baik pada proses maupun
hasil belajar.Belajar atas inisiatif sendiri juga mengajar murid
menjadi bebas, tidak bergantung, dan percaya pada diri sendiri.
Apabila murid belajar atas inisiatif sendiri, ia memiliki kesempatan
untuk menimbang-nimbang dan membuat keputusan, menentukan
pilihan dan melakukan penilaian. Dia menjadi lebih bergantung
pada dirinya sendiri dan kurang bersandar pada penilaian pihak
lain.
Di samping atas inisiatif sendiri, belajar juga harus melibatkan
semua aspek pribadi, kognitif maupun afektif. Rogers dan para
ahli humanistik yang lain menamakan jenis belajar ini sebagai
Whole-person learning, belajar dengan seluruh pribadi, belajar
dengan pribadi yang utuh. Para ahli humanistik percaya, bahwa
belajar dengan tipe ini akan menghasilkan perasaan memiliki
(feeling of belonging ) pada diri murid. Dengan demikian, murid
akan merasa terlibat dalam belajar, lebih bersemangat menangani
tugas-tugas dan yang terpenting adalah senantiasa bergairah
untuk terus belajar.
e. Belajar dan Perubahan
Prinsip terakhir yang dikemukakan oleh Rogers ialah bahwa
belajar yang paling bermanfaat ialah bejar tentang proses belajar.
Menurut Rogers, di waktu-waktu yang lampau murid belajar
mengenai fakta-fakta dan gagasan-gagasan yang statis. Waktu itu
dunia lambat brerubah, dan apa yang diperoleh di sekolah sudah
dipandang cukup untuk memenuhi tuntutan zaman. Saat ini
perubahan merupakan fakta hidup yang sentral. Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi selalu maju dan melaju. Apa yang
dipelajari di masa lalu tidak dapat membekali orang untuk hidup
dan berfungsi baik di masa kini dan masa yang akan dating.
Dengan demikian, yang dibutuhkan saat ini adalah orang yang
mampu belajar di lingkungan yang sedang berubah dan akan
terus berubah.

3. Arthur Combs
Perasaan, persepsi, keyakinan dan maksud merupakan perilaku-
perilaku batiniah yang menyebabkan seseorang berbeda dengan
yang lain. Agar dapat memahami orang lain, seseorang harus
melihat dunia orang lain tersebut, bagaimana ia berpikir dan merasa
tentang dirinya. Itulah sebabnya, untuk mengubah perilaku orang
lain, seseorang harus mengubah persepsinya.
Menurut Combs, perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena
tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya
dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain, yang lebih
menarik atau memuaskan. Misalkan guru mengeluh murid-muridnya
tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu
tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau
saja guru tersebut lalu mengadakan aktivitas-aktivitas yang lain,
barangkali murid-murid akan berubah sikap dan reaksinya.
Sesungguhnya para ahli psikologi humanistik melihat dua bagian
belajar, yaitu diperolehnya informasi baru dan personalisasi informasi
baru tersebut. Adalah keliru jika guru berpendapat bahwa murid akan
mudah belajar kalau bahan pelajaran disusun dengan rapi dan
disampaikan dengan baik, sebab arti dan maknanya tidak melekat
pada bahan pelajaran itu; murid sendirilah yang mencerna dan
menyerap arti dan makna bahan pelajaran tersebut ke dalam dirinya.
Yang menjadi masalah dalam mengajar bukanlah bagaimana bahan
pelajaran itu disampaikan, tetapi bagaimana membantu murid
memetik arti dan makna yang terkandung di dalam bahan pelajaran
tersebut, yakni apabila murid dapat mengaitkan bahan pelajaran
tersebut dengan hidup dan kehidupan mereka, guru boleh bersenang
hati bahwa missinya telah berhasil.Semakin jauh hal-hal yang terjadi
di luar diri seseorang (dunia) dari pusat lingkaran lingkaran (persepsi
diri), semakin kurang pengaruhnya terhadap seseorang. Sebaliknya,
semakin dekat hal-hal tersebut dengan pusat lingkaran, maka
semakin besar pengaruhnya terhadap seseorang dalam berperilaku.
Jadi jelaslah mengapa banyak hal yang dipelajari oleh murid segera
dilupakan, karena sedikit sekali kaitannya dengan dirinya.

4. Aldous Huxley
Manusia memiliki banyak potensi yang selama ini banyak terpendam
dan disia-siakan. Pendidikan diharapkan mampu membantu manusia
dalam mengembangkan potensi-potensi tersebut, oleh karena itu
kurikulum dalam proses pendidikan harus berorientasi pada
pengembangan potensi, dan ini melibatkan semua pihak, seperti
guru, murid maupun para pemerhati ataupun peneliti dan perencana
pendidikan.Huxley (Roberts, 1975) menekankan adanya pendidikan
non-verbal yang juga harus diajarkan kepada siswa. Pendidikan non
verbal bukan berwujud pelajaran senam, sepak bola, bernyanyi
ataupun menari, melainkan hal-hal yang bersifat diluar materi
pembelajaran, dengan tujuan menumbuhkan kesadaran seseorang.
Proses pendidikan non verbal seyogyanya dimulai sejak usia dini
sampai tingkat tinggi.Betapapun, agar seseorang bisa mengetahui
makna hidup dalam kehidupan yang nyata, mereka harus membekali
dirinya dengan suatu kebijakan hidup, kreativitas dan
mewujudkannya dengan langkah-langkah yang bijaksana. Dengan
cara ini seseorang akan mendapatkan kehidupan yang nikmat dan
penuh arti. Berbekal pendidikan non verbal, seseorang akan memiliki
banyak strategi untuk lebih tenang dalam menapaki hidup karena
memiliki kemampuan untuk menghargai setiap pengalaman
hidupnya dengan lebih menarik. Akhirnya apabila setiap manusia
memiliki kemampuan ini, akan menjadi sumbangan yang berarti bagi
kebudayaan dan moral kemanusiaan.

5. David Mills dan Stanley Scher


Ilmu Pengetahuan Alam selama bertahun-tahun hanya dibahas dan
dipelajari secara kognitif semata, yakni sebagai akumulasi dari fakta-
fakta dan teori-teori. Padahal, bagaimanapun, praktek dari ilmu
pengetahuan selalu melibatkan elemen-elemen afektif yang meliputi
adanya kebutuhan akan pengetahuan, penggunaan intuisi dan
imajinasi dalam usaha-usaha kreatif, pengalaman yang menantang,
frustasi, dan lain-lain. Berdasarkan fenomena tersebut, David Mills
dan Stanley Scher (Roberts, 1975) mengajukan konsep pendidikan
terpadu, yakni proses pendidikan yang mengikutsertakan afeksi atau
perasaan murid dalam belajar.
Metode afektif yang melibatkan perasaan telah bisaa diterapkan
pada murid-murid untuk pelajaran IPS, Bahasa dan Seni. Sebetulnya
ahli yang memulai merintis usaha ini adalah George Brown, namun
kedua ahli ini kemudia mencoba melakukan riset yang bertujuan
menemukan aplikasi yang lebih real dalam usaha tersebut.
Penggunaan pendekatan terpadu ini dilakukan dalam pembelajaran
IPA, pendidikan bisnis dan bahkan otomotif. Pendekatan terpadu
atau confluent approach merupakan sintesa dari Psikologi
Humanistik dan pendidikan, yang melibatkan integrasi elemen-
elemen afektif dan kognitif dalam proses belajar. Elemen kognitif
menunjuk pada berpikir, kemampuan verbal, logika, analisa, rasio
dan cara-cara intelektual, sedangkan elemen afektif menunjuk pada
perasaan, cara-cara memahami yang melibatkan gambaran visual-
spasial, fantasi, persepsi keseluruhan, metaphor, intuisi, dan lain-
lain.
Tujuan umum dari pendekatan ini adalah mengembangkan
kesadaran murid-murid terhadap dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, serta meningkatkan kemampuan untuk menggunakan
kesadaran ini dalam menghadapi lingkungan dengan berbagai cara,
menerima petunjuk-petunjuk internal dan menerima tanggung jawab
bagi setiap pilihan mereka. Fungsi guru dalam pendekatan terpadu
adalah untuk lebih membebaskan murid dari ketergantungan kepada
guru, dengan tujuan akhir mengembangkan responsibilitas murid
untuk belajar sendiri. Guru hanya membantu mereka dengan
memberikan pilihan-pilihan yang masuk akal bagi pikiran mereka,
dan jika perlu guru bisa menolak memberikan bantuan untuk hal-hal
yang bisa ditangani oleh murid sendiri.
Lebih jauh, David Mills dan Stanley Scher memaparkan tujuan
pendidikan terpadu ini secara detail sebagai berikut :
a. Membantu murid untuk mengalami proses ilmu pengetahuan,
termasuk penemuan ide-ide baru, baik proses intelektual maupun
afektif.
b. Membantu murid dalam mencapai kemampuan untuk menggali
dan mengerti diri mereka sendiri dan lingkungan sekitarnya
dengan cara yang ilmiah.
c. Meningkatkan pengertian dan ingatan terhadap konsep-konsep
dan ide-ide dalam ilmu pengetahuan.
d. Menggali bersama-sama murid, implikasi-implikasi dari aplikasi
yang mungkin dari ilmu pengetahuan.
e. Memungkinkan murid untuk menerapkan baik proses maupun
pengetahuan ilmiah untuk diri mereka, serta meningkatkan
kesadaran murid terhadap dunia mereka dan setiap pilihan yang
mereka ambil.

Penerapan metode gabungan antara kognitif dan afektif ini


menunjukkan hasil yang lebih efektif dibanding pengajaran yang
hanya menekankan aspek kognitif. Para siswa merasa lebih cepat
menangkap pelajaran dengan menggunakan fantasi, role playing
dan game , misalnya mengajarkan teori Newton dengan murid
berperan sebagai astronot.

Model - Model Pembelajaran Humanistik

Dari beberapa literatur pendidikan, ditemukan beberapa model


pembelajaran yang humanistik ini yakni: humanizing of the classroom,
active learning, quantum learning, quantum teaching, dan the
accelerated learning.

a. Humanizing of the classroom ini dilatarbelakangi oleh kondisi


sekolah yang otoriter, tidak manusiawi, sehingga banyak
menyebabkan peserta didik putus asa, yang akhirnya mengakhiri
hidupnya alias bunuh diri. Kasus ini banyak terjadi di Amerika Serikat
dan Jepang. Humanizing of the classroom ini dicetuskan oleh John
P. Miller yang terfokus pada pengembangan model “pendidikan
afektif”. Pendidikan model ini bertumpu pada tiga hal: menyadari diri
sebagai suatu proses pertumbuhan yang sedang dan akan terus
berubah, mengenali konsep dan identitas diri, dan menyatupadukan
kesadaran hati dan pikiran. Perubahan yang dilakukan tidak terbatas
pada substansi materi saja, tetapi yang lebih penting pada aspek
metodologis yang dipandang sangat manusiawi.
b. Active learning dicetuskan oleh Melvin L. Silberman. Asumsi dasar
yang dibangun dari model pembelajaran ini adalah bahwa belajar
bukan merupakan konsekuensi otomatis dari penyampaian informasi
kepada siswa. Belajar membutuhkan keterlibatan mental dan
tindakan sekaligus. Pada saat kegiatan belajar itu aktif, siswa
melakukan sebagian besar pekerjaan belajar. Mereka mempelajari
gagasan-gagasan, memecahkan berbagai masalah dan menerapkan
apa yang mereka pelajari.Dalam active learning, cara belajar dengan
mendengarkan saja akan cepat lupa, dengan cara mendengarkan
dan melihat akan ingat sedikit, dengan cara mendengarkan, melihat,
dan mendiskusikan dengan siswa lain akan paham, dengan cara
mendengar, melihat, diskusi, dan melakukan akan memperoleh
pengetahuan dan ketrampilan, dan cara untuk menguasai pelajaran
yang terbagus adalah dengan mengajarkan. Belajar aktif merupakan
langkah cepat, menyenangkan, dan menarik. Active learning
menyajikan 101 strategi pembelajaran aktif yang dapat diterapkan
hampir untuk semua materi pembelajaran.
c. Adapun quantum learning merupakan cara pengubahan bermacam-
macam interaksi, hubungan dan inspirasi yang ada di dalam dan di
sekitar momen belajar. Dalam prakteknya, quantum learning
menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar dan
neurolinguistik dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu.
Quantum learning mengasumsikan bahwa jika siswa mampu
menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu akan mampu
membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya.
Dengan metode belajar yang tepat siswa bisa meraih prestasi belajar
secara berlipat-ganda. Salah satu konsep dasar dari metode ini
adalah belajar itu harus mengasyikkan dan berlangsung dalam
suasana gembira, sehingga pintu masuk untuk informasi baru akan
lebih besar dan terekam dengan baik.
d. Sedang quantum teaching berusaha mengubah suasana belajar
yang monoton dan membosankan ke dalam suasana belajar yang
meriah dan gembira dengan memadukan potensi fisik, psikis, dan
emosi siswa menjadi suatu kesatuan kekuatan yang integral.
Quantum teaching berisi prinsip-prinsip sistem perancangan
pengajaran yang efektif, efisien, dan progresif berikut metode
penyajiannya untuk mendapatkan hasil belajar yang mengagumkan
dengan waktu yang sedikit. Dalam prakteknya, model pembelajaran
ini bersandar pada asas utama bawalah dunia mereka ke dunia kita,
dan antarkanlah dunia kita ke dunia mereka. Pembelajaran, dengan
demikian merupakan kegiatan full content yang melibatkan semua
aspek kepribadian siswa (pikiran, perasaan, dan bahasa tubuh) di
samping pengetahuan, sikap, dan keyakinan sebelumnya, serta
persepsi masa mendatang. Semua ini harus dikelola sebaik-baiknya,
diselaraskan hingga mencapai harmoni (diorkestrasi).

e. The accelerated learning merupakan pembelajaran yang dipercepat.


Konsep dasar dari pembelajaran ini adalah bahwa pembelajaran itu
berlangsung secara cepat, menyenangkan, dan memuaskan. Pemilik
konsep ini, Dave Meier menyarankan kepada guru agar dalam
mengelola kelas menggunakan pendekatan Somatic, Auditory,
Visual, dan Intellectual (SAVI). Somatic dimaksudkan sebagai
learning by moving and doing (belajar dengan bergerak dan
berbuat). Auditory adalalah learning by talking and hearing (belajar
dengan berbicara dan mendengarkan). Visual diartikan learning by
observing and picturing (belajar dengan mengamati dan
mengambarkan). Intellectual maksudnya adalah learning by problem
solving and reflecting (belajar dengan pemecahan masalah dan
melakukan refleksi).
Bobbi DePorter menganggap accelerated learning dapat
memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang
mengesankan, dengan upaya yang normal dan dibarengi
kegembiraan. Cara ini menyatukan unsur-unsur yang sekilas tampak
tidak mempunyai persamaan, tampak tidak mempunyai persamaan,
misalnya hiburan, permainan, warna, cara berpikir positif, kebugaran
fisik dan kesehatan emosional. Namun semua unsur ini bekerja
sama untuk menghasilkan pengalaman belajar yang efektif.

Aspek-Aspek Kemanusiaan Pembelajaran Humanistik

Manusia adalah makhluk multidimensional yang dapat ditelaah dari


berbagai sudut pandang. Eduart Spranger (1950), melihat manusia
sebagai makhluk jasmani dan rohani. Yang membedakan manusia
dengan makhluk lain adalah aspek kerohaniannya.Manusia akan
menjadi sungguh-sungguh manusia kalau ia mengembangkan nilai-nilai
rohani (nilai-nilai budaya), yang meliputi: nilai pengetahuan,
keagamaan, kesenian, ekonomi, kemasyarakatan dan politik.Howard
Gardner (1983) menelaah manusia dari sudut kehidupan mentalnya
khususnya aktivitas inteligensia (kecerdasan). Menurutnya, manusia
memiliki 7 macam kecerdasan yaitu:
1. Kecerdasan matematis/logis: yaitu kemampuan penalaran ilmiah,
penalaran induktif/deduktif, berhitung/angka dan pola-pola abstrak.
2. Kecerdasan verbal/bahasa: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan kata/bahasa tertulis maupun lisan. (sebagian materi
pelajaran di sekolah berhubungan dengan kecerdasan ini)
3. Kecerdasan interpersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan keterampilan berelasi dengan orang lain, berkomunikasi
antar pribadi
4. Kecerdasan fisik/gerak/badan: yaitu kemampuan mengatur gerakan
badan, memahami sesuatu berdasar gerakan
5. Kecerdasan musikal/ritme: yaitu kemampuan penalaran berdasarkan
pola nada atau ritme. Kepekaan akan suatu nada atau ritme
6. Kecerdasan visual/ruang/spasial: yaitu kemampuan yang
mengandalkan penglihatan dan kemampuan membayangkan obyek.
Kemampuan menciptakan gambaran mental.
7. Kecerdasan intrapersonal: yaitu kemampuan yang berhubungan
dengan kesadaran kebatinannya seperti refleksi diri, kesadaran akan
hal-hal rohani.
Kecerdasan inter dan intra personal ini selanjutnya oleh Daniel
Goleman (1995) disebut dengan kecerdasan emosional. Ternyata pula
bahwa sebagian besar kegiatan kecerdasan logis matematis dan
kecerdasan verbal bahasa dilakukan dibelahan otak kiri. Sedangkan
kegiatan kecerdasan lainnya dilakukan pada otak kanan (intra personal,
interpersonal, visual-ruang, gerak-badan, dan musik-ritme). Penting
pula dengan demikian bahwa nilai akademik dan tingkah laku
dibedakan. Hukuman akademik dan hukuman “kepribadian” dipisahkan.
Sayang bahwa hanya kecerdasan logis-matematis dan verbal-bahasa
yang dikembangkan di sekolah, sedangkan yang lainnya hanya sedikit
sekali.

Implikasi dan Aplikasi Teori Belajar Humanistik

Teori belajar humanistik dalam metode pendidikan yaitu guru mengajar


dengan penuh semangat dan rasa kasih sayang yang tinggi, suasana
yang menyenangkan, dan terjadi komunikasi yang baik antara guru dan
murid. Dalam mengajar, guru juga perlu banyak menceritakan kisah-
kisah yang dapat menjadikan perilaku siswa semakin berkembang ke
arah yang lebih baik. Selain itu, guru juga perlu menugaskan kepada
siswa untuk saling mengajara antar siswa, karena hal ini berguna sekali
baik bagi siswa yang diajar maupun siswa yang mengajar.
Psikologi humanistik lebih menitik beratkan agar guru berperan sebagai
fasilitator dalam proses pembelajaran.  Berikut ini adalah berbagai cara
untuk memberi kemudahan belajar dan berbagai kualitas fasilitator:
1. Fasilitator sebaiknya memberi perhatian kepada penciptaan
suasana awal, situasi kelompok, atau pengalaman kelas
2. Fasilitator membantu untuk memperoleh dan memperjelas tujuan-
tujuan perorangan di dalam kelas dan juga tujuan-tujuan kelompok
yang bersifat umum.
3. Dia mempercayai adanya keinginan dari masing-masing siswa
untuk melaksanakan tujuan-tujuan yang bermakna bagi dirinya,
sebagai kekuatan pendorong, yang tersembunyi di dalam belajar
yang bermakna tadi.
4. Dia mencoba mengatur dan menyediakan sumber-sumber untuk
belajar yang paling luas dan mudah dimanfaatkan para siswa untuk
membantu mencapai tujuan mereka.
5. Dia menempatkan dirinya sendiri sebagai suatu sumber yang
fleksibel untuk dapat dimanfaatkan oleh kelompok.
6. Di dalam menanggapi ungkapan-ungkapan di dalam kelompok
kelas, dan menerima baik isi yang bersifat intelektual dan sikap-
sikap perasaan dan mencoba untuk menanggapi dengan cara yang
sesuai, baik bagi individual ataupun bagi kelompok
7. Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-
angsur dapat berperanan sebagai seorang siswa yang turut
berpartisipasi, seorang anggota kelompok, dan turut menyatakan
pendangannya sebagai seorang individu, seperti siswa yang lain.
8. Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok,
perasaannya dan juga pikirannya dengan tidak menuntut dan juga
tidak memaksakan, tetapi sebagai suatu andil secara pribadi yang
boleh saja digunakan atau ditolak oleh siswa
9. Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang
menandakan adanya perasaan yang dalam dan kuat selama
belajar
10. Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus
mencoba untuk menganali dan menerima keterbatasan-
keterbatasannya sendiri.

Adapun aplikasi dari teori humanistik lebih menunjuk pada ruh atau
spirit selama proses pembelajaran yang mewarnai metode-metode
yang diterapkan. Peran guru dalam pembelajaran humanistik adalah
menjadi fasilitator bagi para siswa sedangkan guru memberikan
motivasi, kesadaran mengenai makna belajar dalam kehidupan siswa.
Guru memfasilitasi pengalaman belajar kepada siswa dan
mendampingi siswa untuk memperoleh tujuan pembelajaran.
 
Siswa berperan sebagai pelaku utama (student center) yang memaknai
proses pengalaman belajarnya sendiri. Diharapkan siswa memahami
potensi diri , mengembangkan potensi dirinya secara positif dan
meminimalkan potensi diri yang bersifat negatif.
 
Tujuan pembelajaran lebih kepada proses belajarnya daripada hasil
belajar. Adapun proses yang umumnya dilalui adalah :
1. Merumuskan tujuan belajar yang jelas
2. Mengusahakan partisipasi aktif siswa melalui kontrak belajar yang
bersifat jelas , jujur dan positif.
3. Mendorong siswa untuk mengembangkan kesanggupan siswa untuk
belajar atas inisiatif sendiri
4. Mendorong siswa untuk peka berpikir kritis, memaknai proses
pembelajaran secara mandiri
5. Siswa di dorong untuk bebas mengemukakan pendapat, memilih
pilihannya sendiri, melakukkan apa yang diinginkan dan
menanggung resiko dariperilaku yang ditunjukkan.
6. Guru menerima siswa apa adanya, berusaha memahami jalan
pikiran siswa, tidak menilai secara normatif tetapi mendorong siswa
untuk bertanggungjawab atas segala resiko perbuatan atau proses
belajarnya.
7. Memberikan kesempatan murid untuk maju sesuai dengan
kecepatannya
8. Evaluasi diberikan secara individual berdasarkan perolehan prestasi
siswa
 
Pembelajaran berdasarkan teori humanistik ini cocok untuk diterpkan
pada materi-materi pembelajaran yang bersifat pembentukan
kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, dan analisis terhadap
fenomena sosial. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa
merasa senang bergairah, berinisiatif dalam belajar dan terjaadi
perubahan pola pikir, perilaku dan sikap atas kemauan sendiri.
 
Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, berani, tidak terikat
oleh pendapat orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara
bertanggungjawab tanpa mengurangi hak-hak orang lain atau
melanggar aturan , norma , disiplin atau etika yang berlaku.
 
Ciri-ciri guru yang baik dan kurang baik menurut Humanistik
Guru yang baik menurut teori ini adalah : Guru yang memiliki rasa
humor, adil, menarik, lebih demokratis, mampu berhubungan dengan
siswa dengan mudah dan wajar.Ruang kelads lebih terbuka dan
mampu menyesuaikan  pada perubahan.
 
Sedangkan guru  yang tidak efektif adalah guru yang memiliki rasa
humor yang rendah ,mudah menjadi tidak sabar ,suka melukai
perasaan siswaa dengan komentsr ysng menyakitkan,bertindak agak
otoriter, dan kurang peka terhadap perubahan yang ada.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Humanistik tertuju pada masalah bagaimana tiap individu dipengaruhi


dan dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang mereka
hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri.

Prinsip- prinsip belajar humanistik:


1. Manusia mempunyai belajar alami
2. Belajar signifikan terjadi apabila materi plajaran dirasakan murid
mempuyai relevansi dengan maksud tertentu
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai
dirinya
4. Tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasarkan
bila ancaman itu kecil
5. Bila bancaman itu rendah terdapat pangalaman siswa dalam
memperoleh caar
6. Belajar yang bermakna  diperolaeh jika siswa melakukannya
7. Belajar lancer jika siswa dilibatkan dalam proses belajar
8. Belajar yang melibatkan siswa seutuhnya dapat memberi hasil yang
mendalam
9. Kepercayaan pada diri pada siswa ditumbuhkan dengan
membiasakan untuk mawas diri
10. Belajar sosial adalah belajar mengenai proses belaja

Psikologi humanistik sangat relevan dengan dunia pendidikan, karena


aliran ini selalu mendorong peningkatan kualitas diri manusia melalui
penghargaannya terhadap potensi-potensi positif yang ada pada setiap
insan. Seiring dengan perubahan dan tuntutan zaman, proses
pendidikan pun senantiasa berubah. Dengan adanya perubahan dalam
strategi pendidikan dari waktu ke waktu, humanistikl memberikan
arahan yang signifikan tujuan ini.
DAFTAR PUSTAKA

H.A.R Tilaar & Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta.


Pustaka Pelajar.

Alwilsol. 2007. Psikologi Kepribadian, UMM Press.

Siregar, Eveline. Nara, Hartini. 2007. Buku Ajar Teori Belajar dan
Pembelajaran. Jakarta. Universitas Negeri Jakarta.

Arjana. 2010. Pendekatan Aliran Humanistik Dalam Pembelajaran Di


Pendidikan Tinggi. http://arjana-stahn.blogspot.com. [Diakses
tanggal 30 Maret 2011].

Novina. 2009. Teori Belajar Humanistik.


http://novinasuprobo.wordpress.com. [Diakses tanggal 30 Maret
2011].

Ridlowi, Ahmad. 2009. Teori Belajar Humanistik.


http://aridlowi.blogspot.com. [Diakses tanggal 30 Maret 2011]

---------. 2010. Teori-Teori Belajar Dan Pengaplikasiannya Dalam Proses


Pembelajaran http://mahasiswa-humanis.blogspot.com. [Diakses
tanggal 30 Maret 2011].

Dyah, Novi. 2009. Teori Belajar Humanisme.http://vie218.blogspot.com.


[Diakses tanggal 30 Maret 2011].

Rachmahana, Ratna. 2009. Psikologi Humanistik dan Aplikasinya dalam


Pendidikan. El-Tarbawj.

Anda mungkin juga menyukai