Anda di halaman 1dari 16

KEDUDUKAN SAHABAT DAN ‘ADALAHNYA

Oleh : Fitri Yanti

A. Pendahuluan
Hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua mendapat perhatian besar dari
kalangan ulama. Hal ini disebabkan oleh kedudukannya sebagai penjelas bagi Alquran
al-Karim. Di samping itu, Hadis juga memuat beberapa hukum tersendiri dan
menggambarkan corak kehidupan Rasulullah saw., sehingga kedudukannya sangat
urgen dalam perkembangan hukum Islam. Salah satu syarat untuk memahami ajaran
Islam dengan sempurna adalah pemahaman terhadap Hadis.
Periode kedua sejarah perkembangan Hadis, adalah masa sahabat, khususnya
masa Khulafa’ Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan dan Ali
ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini
juga disebut dengan masa sahabat besar.1
Para sahabat mempunyai peranan yang istimewa dalam proses periwayatan
Hadis. Sahabat adalah titik awal proses periwayatan Hadis, karena mereka lah yang
langsung melihat, mendengar atau menyaksikan Rasulullah saw.
Sebutan bagi siapa saja yang pernah bertemu atau melihat Nabi Muhammad
saw. dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang
panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus
dengan Rasulullah saw., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Ada pula
Ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu
dan beriman kepada Nabi Muhammad saw., serta hidup bersamanya dalam waktu yang
cukup lama.2

Dilihat dari segi kemulian dan perjumpaan dengan Rasul, derajat semua sahabat
sama. Tapi dilihat dari segi kapan mereka masuk Islam, lamanya bersama Nabi, besar
pengorbanannya membela Islam, dan ilmu yang dimiliki sahabat itu berbeda-beda
peringkatnya. Selain itu, Jumhur Ulama berpendirian bahwa seluruh sahabat bersifat

1
Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2008), h.79.
2
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 155.
‘adalah dan terpercaya dalam meriwayatkan Hadis Rasulullah saw. ‘adalah dimaksud
di sini harus dipahami dalam rangka periwayatan Hadis.3
Setidaknya ada tiga alasan mengapa topik ini perlu dibahas yaitu, pertama, salah
satu pokok akidah Islam adah mencintai Rasullah saw. dan sahabatnya sehingga
kebersihan hati dan lisan harus di jaga terhadap kebencian kepada para sahabat. Kedua,
dengan mengetahui kedudukan dan keadilan sahabat, kaum muslimin menyakini Hadis
yang diriwayatkan para sahabat Nabi saw. dan menerapkannya dalam kehidupan sehari
- hari Sahabat dikenal sebagai al Adillatussahabah (semua sahabat adil) yaitu yang
paling bertaqwa dan memilih sifat wara (menjauhkan diri dari maksiat dan perkara
subhat) serta tidak pernah berdusta. Ketiga, fenomena mencaci maki dan melecehkan
para sahabat. Contoh dalam hal ini adalah kaum syiah yang mengkafirkan Abu Bakar,
Ummahatul mukminin (Aisyah). Hal ini terjadi karena ketidaktahuan mereka tentang
sahabat menyangkut al wara wal bara.

Permasalahan yang penulis bahas dalam makalah ini antara lain : pengertian
sahabat, cara mengetahui sahabat, keadilan sahabat, pandangan Ulama dan
argumentasinya tentang keadilan sahabat serta jumlah sahabat yang meriwayatkan
Hadis.

B. Pembahasan
B.1. Pengertian Sahabat
Menurut M.’Ajjaj al-Khatib, dalam bukunya Al-Sunnah Qabl al-Tadwin sebagaimana
yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam bukunya Ulumul Hadis, kata sahabat (Arab:
Shahabat), dari segi kebahasaan adalah musytaq (turunan) dari kata shuhbah yang
berarti “orang yang menemani yang lain, tanpa ada batasan waktu dan jumlah”.4
Berdasarkan pengertian inilah para ahli Hadis mengemukakan rumusan mereka tentang
sahabat sebagai berikut:
1. Sahabat ialah orang yang bertemu Rasulullah saw., dengan pertemuan yang
wajar sewaktu Rasulullah saw. masih hidup, dalam keadaan Islam dan beriman.5
2. Maksud kata “bertemu” disini adalah “bergaul”. Jadi, orang yang tidak dapat
melihat karena buta misalnya Ibn Ummi Maktum tetapi karena bergaul dengan
Nabi, maka termasuk sahabat,6

3
Abuddin Nata, Alquran dan Hadis (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1996), h. 194.
4
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta : PT.Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 176.
5
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis (Bandung: Angkasa, Cet. Kedua, 1994), h. 29.
6
Ibid.

2
Menurut definisi di atas orang yang telah pernah bergaul dengan Nabi, walaupun
ia tidak pernah meriwayatkan Hadis dari beliau, tetapi dikategorikan sahabat. Orang
yang pernah bergaul dengan Nabi, dalam keadaan Islam dan Iman, kemudian murtad,
seperti Abdullah bin Jahasy dan Abdullah bin Khathai, bukan lagi disebut sahabat.
Tetapi bila sahabat yang murtad itu kemudian masuk Islam dan beriman kembali, maka
masih dapat dikategorikan sebagai sahabat. Hal ini seperti yang dikemukakan Ibnu
Hajar al-Asqalani tentang Asy’as bin Qais yang pernah murtad, kemudian dikala
menghadap kepada Abu Bakar as-Shiddiq sebagai tawanan perang ia menyatakan
kembali masuk Islam. Abu Bakar menerima keislamannya itu, bahkan ia
mengawinkannya dengan saudara perempuannya.7
Ahmad bin Hanbal mengatakan sahabat Rasul adalah orang yang pernah hidup
8
bersama beliau, sebulan atau sehari, atau sesaat atau hanya melihatnya”. Sa’id bin
Musayyab, seorang pemuka tabiin, mengatakan, sahabat adalah orang-orang yang hidup
bersama Rasulullah selama satu, dua tahun dan pernah ikut berperang bersamanya satu
atau dua kali.9
Menurut Ibnu Hajar al-Haitami, sahabat adalah “orang yang pernah berjumpa
dengan Nabi Muhammad saw dan orang itu menjadi mukmin dan hidup bersama beliau
baik lama atau sebentar, baik orang tersebut meriwayatkan Hadis atau tidak dari Nabi,
atau orang yang pernah melihat beliau sekali atau orang - orang yang tidak pernah
melihat beliau karena buta.10
Menurut Ibn al-Shalah (577-643) dalam bukunya Ulum al-Hadist sebagaimana
yang dikutip oleh Nawir Yuslem dalam bukunya Ulumul Hadis, mengatakan bahwa
yang dimaksud sahabat dikalangan Ulama Hadis adalah setiap muslim yang melihat
Rasulullah saw. adalah sahabat.11
Imam Bukhari (194-256) mengatakan bahwa sahabat ialah siapa saja dari umat
Islam yang menemani Nabi Muhammad saw. atau melihatnya, maka dia adalah sahabat
beliau.12 Yang dimaksud dengan melihat (al-Ru’yat) di dalam definisi tersebut adalah
bertemu dengan Rasulullah saw. meskipun tidak melihat beliau, sebagaimana halnya
Ibn Ummi Maktum, seorang sahabat Rasul yang buta.
7
Ibid.
8
Ensiklopedia Islam, h. 197.
9
Ibid.
10
Ibid.
11
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 176.
12
Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), h. juz. 4, h. 188.

3
Ibn Hajar as-Asqalani mendefinisikan sahabat dengan “setiap orang yang
bertemu dengan Nabi Muhammad saw., beriman dengan beliau dan mati dalam keadaan
Islam”. 13
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas disamping masih terdapat
rumusan-rumusan lainnya yang pada dasarnya tidak banyak berbeda dengan yang di
atas, pada prinsipnya ada dua unsur yang disepakati oleh para Ulama dalam menetapkan
seseorang untuk disebut sebagai sahabat, yaitu: pertama, ia pernah bertemu dengan
Rasulullah saw., kedua, pertemuan tersebut terjadi dalam keadaan dia beriman dengan
beliau dan meninggal juga dalam keadaan beriman (Islam).
Dengan demikian, mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah saw.,
atau bertemu tetapi tidak dalam keadaan beriman, atau bertemu dalam keadaan beriman
tetapi ia meningal tidak dalam keadaan beriman, maka ia tidak dapat disebut sebagai
sahabat. 14

B.2. Cara Mengetahui Sahabat


Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ka’ab ibn Malik, bahwa jumlah sahabat
Rasul, sangat banyak, tidak dapat dikumpulkan oleh sesuatu kitab. Diwaktu Rasulullah
wafat, sahabatnya terdiri 114.000 orang. Ada yang meriwayatkan Hadis dari padanya
dan turut berhaji Wada’ bersamanya. Semuanya mereka melihat Nabi, dan mendengar
Hadis beliau di padang Arafah. 15
Ada beberapa cara yang dipedomani oleh para Ulama untuk mengetahui
seseorang itu adalah sahabat, yaitu : 16
1. Melalui kabar mutawatir yang menyatakan bahwa seseorang itu adalah sahabat.
contohnya adalah status kesahabatan khalifah yang empat (Khulafa’ al-
rasyidin). Dan mereka yang terkenal lainnya, seperti sahabat yang sepuluh
dijamin Rasul saw. masuk surga.

13
Ibn Hajar al-Asqalani, Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), juz
I, h. 10.
14
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 179-180.
15
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
XI,1954), h. 271.
16
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
Kedua,1973), h. 141.

4
2. Melalui kabar masyhur dan mustafid, yaitu kabar yang belum mencapai tingkat
mutawatir, namun meluas dikalangan masyarakat, seperti kabar yang
menyatakan kesahabatan Dhammam ibn Tsa’labah dan ‘Ukasyah ibn Muhsam.
3. Melalui pemberitaan sahabat lain yang telah dikenal kesahabatannya melalui
cara-cara di atas. Contohnya adalah kesahabatan Hamamah ibn al-Dawsi yang
diberitakan oleh Abu Musa al-Asy’ari.
4. Melalui keterangan seorang Tabi’in yang tsiqat (terpercaya) yang menerangkan
seseorang itu adalah sahabat.
5. Pengakuan sendiri oleh seorang yang adil bahwa dirinya adalah seorang sahabat.
Pengakuan tersebut hanya dianggap sah dan dapat diterima selama tidak lebih
dari seratus tahun sejak wafatnya Rasulullah saw. Hal ini berdasarkan pada
Hadis Nabi Muhammad saw. yang menyatakan:

‫ارايتكم ليلتكم هذه ؟ فا ن على راس مائة سنة منها ل يبقى احد ممن هذا اليوم على‬
‫) ظهر الرض ) رواه لبخارى ومسلم‬

“Apakah yang kamu lihat pada malammu ini? Maka sesungguhnya sudah berlalu
seratus tahun tiadalah yang tinggal dari golongan orang sekarang ini (sahabat) di atas
permukaan bumi ini. (HR. Bukhari-Muslim)”
Abu al-Husain Muslim al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi atau Imam Muslim,
seorang ahli Hadis terkenal mengelompokkan sahabat-sahabat Rasulullah saw. ke dalam
dua belas peringkat (derajat) berdasarkan peristiwa yang mereka alami atau saksikan.
Peringkat pertama adalah as-Sabiqun al-Awwalun (mereka yang pertama kali
masuk Islam), dimulai dari Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan,
Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Peringkat kedua, mereka yang tergabung ke dalam
Daran Nadwah (gedung pertemuan bagi orang-orang quraisy yang pada masa sebelum
dan awal Islam), yang ketika Umar mengatakan, keislamannya mereka membawanya
menghadap Rasulullah saw., lalu membaiatnya. Peringkat ketiga mereka yang ikut
hijrah ke Habsyah (Abessina). Peringkat keempat, mereka yang membaiat Nabi saw. di
Aqabah pertama. Peringkat kelima, mereka yang membaiat Nabi saw. di Aqabah kedua.
Peringkat keenam, orang-orang Muhajirin yang pertama menemui Nabi ketika
beliau tiba di Quba sebelum memasuki kota Madinah pada waktu hijrah. Peringkat

5
ketujuh, mereka yang ikut dalam perang Badar. Peringkat kedelapan, mereka yang
berhijrah kesuatu tempat antara Badar dan Hudaibiyah. Peringkat kesembilan, mereka
yang tergabung dalam kelompok Baiat ar-Ridwan (Baiat yang dilakukan oleh kaum
muslim ketika terjadi gazwah/perjanjian Hudaibiyah). Peringkat kesepuluh, mereka
yang ikut hijrah antara Hudaibiyah dan al-Failah (Penakluk Makkah). Peringkat
kesebelas, berdasarkan urutan masuk Islam. Peringkat kedua belas, para remaja dan
anak-anak yang sempat melihat Rasulullah saw. pada waktu penolakan kota Makkah
dan haji wadak serta tempat-tempat lain. Jumlah orang yang mendapat predikat sahabat
pada waktu Nabi Muhammad saw. wafat sekitar 114.000 orang, yakni para pengikut
Nabi Muhammad saw. dan secara nyata melihatnya dan memeluk Islam.17

B.3. ‘Adalah Al-Shahabat (Keadilan Sahabat)


Al-‘Adalah menurut bahasa adalah masdar dan kata kerja ( ‫ )عدل‬dan sinonimnya
adalah al-Istiqomah, yang berarti lurus, menurut pengertian sahabat bersikap lurus di
jalan kebenaran dengan menghindarkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Menurut ibnu Sam’ani, keadilan seorang rawi harus memenuhi empat syarat, yaitu :

1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat

2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun

3. Tidak melakukan perkataan-perkataan mubah yang dapat menggugurkan Iman


kepada qadar dan mengakibatkan penyesalan.

4. Tidak mengikuti pendapat salah satu mazhab yang bertentangan dengan syara’.18

Para Ulama Hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Yang
dimaksud keadilan mereka di sini adalah dalam konteks ilmu Hadis, yaitu yang
terpeliharanya mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan Hadis,
dari melakukan penukaran (pemutarbalikan) Hadis, dan dari perbuatan-perbuatan lain
yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka.19 Diantara dalil yang
dikemukakan Ulama Hadis dalam menetapkan keadilan sahabat adalah :

17
Ensiklopedia Islam, h. 198.
18
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadits , (Jakarta : Bumi Aksara, 1997), h. 11.
19
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 182.

6
Surah al-Baqarah ayat 143 :
   
    
   

Artinya : Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang
adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. (al-Baqarah : 143)

Surah ali-Imran ayat 110 :


   
  
  
  
    
  
   
 

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh
kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada
Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik. (Ali-Imran : 110)
Hadis Rasulullah saw.

‫ارايتكم ليلتكم هذه ؟ فا ن على راس مائة سنة منها ل يبقى احد ممن هذا اليوم على‬
‫) ظهر الرض ) رواه لبخارى ومسلم‬

Artinya: Apakah yang kamu lihat pada malammu ini? Maka sesungguhnya sudah
berlalu seratus tahun tiadalah yang tinggal dari golongan orang sekarang ini
(sahabat) di atas permukaan bumi ini (HR. Bukhari-Muslim).

Ahmad Amin dalam mengkritik ‘adalah sahabat dalam kitabnya Fajr al-Islam
halaman 216 mengatakan “kebanyakan kritikus Hadis itu menganggap adil semua

7
sahabat, baik secara garis besar maupun secara rinci, sehingga para kritikus itu tidak
akan mengenakan keburukan apapun kepada para sahabat, dan tidak ada seorang pun
dari sahabat itu yang dinisbatkan kepada kebohongan. Sedikit saja dari kalangan
kritikus itu yang memperlakukan kepada orang-orang lain.”20
Untuk menguatkan pendapatnya itu, Amin di halaman yang sama
mengemukakan bukti, yang mengutip pendapat al-Ghazali yang mengatakan: dalam
pandangan Ulama Salaf dan kebanyakan Umat Khalaf bahwa ‘adalah para sahabat
sudah diketahui dengan bukti bahwa Allah swt. menganggap mereka itu adil dan
memuji mereka dalam Alquran, ini adalah kepercayaan kami terhadap mereka. Kecuali
kalau ada riwayat yang pasti benarnya bahwa mereka itu telah berbuat fasik sedang
mereka mengetahui yang dilakukannya. Keadaan yang demikian ini tidak terjadi. Sebab
itu, maka tidak perlu lagi ta’dil terhadap mereka.21
Melanjutkan penjelasannya, Amin mengemukakan anggapan umum yang
beredar dikalangan sebagian Hadis dengan menyampaikan pernyataan sebagai berikut:
”sebagian kritikus menganggap para sahabat ini sama saja dengan orang lain yang harus
pula diteliti. Mereka berkata, “pada mulanya kondisi para sahabat itu ‘adalah sampai
terjadinya peperangan dan perselisihan di antara mereka. Kemudian keadaan jadi
berubah, dan darah pun telah mengalir. Maka dari itu, ia haruslah diadakan
pembahasan.”22
Kemudian Amin mengemukakan suatu pembuktian, seperti yang dinyatakan
dalam kitabnya Fajr al-Islam sebagai berikut:
”dan jelas bahwa para sahabat sendiri pada zaman mereka saling mengeritik
(meneliti) di antara sesama mereka, dan memposisikan yang sebagian pada
posisi yang lebih tinggi dari sebagian yang lain yang berada di posisi yang
diteliti. Telah saya saksikan sebelumnya, bahwa di antara mereka kalau
diriwayatkan untuknya suatu Hadis, ia selalu minta kepada pembawa Hadis itu
akan pembuktian atas kebenarannya, bahkan ada yang lebih dari itu”.23

Sebagai contoh Hadis yang di bawah Abu Hurairah yang berbunyi:

‫من حمل جنا زة فليتوضا‬


“Barang siapa membawa (mengangkat) mayat, maka hendaklah dia berwudhu”.

20
Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975), h. 216.
21
Ibid.
22
Ibid.
23
Ibid.

8
Amin mengatakan, bahwa Ibn Abbas tidak mau mengambil Hadis ini, yang
berkata, ”Tidak mengharuskan kita berwudhu karena membawa kayu yang kering.”

B.4. Pandangan Ulama dan Argumentasinya Tentang Keadilan Sahabat


Kalau kita melihat pujian Nabi Muhammad saw. kepada sahabat-sahabat, begitu
juga pujian Allah swt. dibeberapa tempat dalam Alquran, maka tidak boleh kita mesti
tetapkan, bahwa sahabat-sahabat semua bersifat adil dalam meriwayatkan Hadis, yakni
mereka tidak khianat dan tidak berdusta dalam menyampaikan sabda-sabda dan
perjalanan Nabi Muhammad saw. begitu juga khabaran-khabaran yang lain. Tetapi oleh
karena mereka itu manusia seperti kita, maka terkadang ada kekeliruan dan kesalahan
dalam menyampaikan Hadis atau riwayat. Pendeknya diri sahabat tidak perlu kita
periksa, hanya kita perlu periksa Hadis yang meriwayatkan, ceritakan, adakah keliru
atau tidak. Cara memeriksanya, ialah dengan membanding-bandingkan, atau
mencocokkan dengan lain-lain dalil atau keterangan. 24
Tentang penilaian terhadap para sahabat juga terdapat beberapa pendapat.
1. Jumhur Ulama berpendapat, bahwa semua sahabat dipandang adil, baik yang
turut campur ke dalam pertentangan-pertentangan antara sahabat dengan
sahabat, ataupun tidak.
2. Segolongan Ulama berpendapat, bahwa seorang sahabat itu, tidaklah harus
dipandang adil karena dia dipandang sahabat. Keadaannya harus diteliti diantara
mereka ada yang tidak adil.
3. Menurut pendapat segolongan Ulama harus kita teliti keadaan mereka setelah
timbul kekacauan-kekacauan antara sesama mereka. 25
4. Menurut pendapat Muktazilah semua sahabat adil kecuali mereka yang terlibat
dalam perang siffin.
5. Menurut pendapat sebagaian kecil Ulama, semua sahabat seperti semua
periwayat yang lain harus diuji ‘adalah-nya. Para sahabat, itu tidak berbeda
dengan manusia lainnya dalam hal ketidakmustahilannya berbuat salah dan
alfa.26

24
A.Qadir Hassan, Ilmu Mushthalah Hadist (Bandung: Diponegoro, Cet. VII, 1996), h. 399.
25
M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet.
11, 1993), h. 268.
26
Ensiklopedia Islam, h. 198.

9
Ke-’adalahan mereka bukan secara umum seperti kaidah pendapat jumhur : as-
sahabat kulluhum ‘udul (sahabat semuanya adil), tetapi secara perorangan, karena
tingkat pengetahuan, penguasaan terhadap agama dan kemampuan mereka tidak sama.
Jadi bila ada sahabat yang meriwayatkan Hadis dari Rasulullah saw., maka ‘adalah-nya
harus diteliti untuk menerima atau tidak Hadis tersebut. Sebab, bila pendapat Jumhur
Ulama diterima, maka semua Hadis sahih.27
Sebahagian ulama yang tidak sependapat dengan rumusan yang dibuat oleh
Jumhur Ulama di atas. Mereka berpendapat bahwa para sahabat itu sama saja dengan
manusia biasa lainnya. Mereka bisa lupa, keliru, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini tidak
menggunakan rumusan yang oleh Jumhur Ulama di atas, karena yang dimaksud ‘adalah
sahabat secara kolektif, bukan perorangan. 28

B.5. Jumlah Sahabat Yang Meriwayatkan Hadis


Membatasi jumlah sahabat dengan angka tertentu adalah hal yang sulit, karena
kehidupan mereka berada di berbagai negeri dan kawasan. Di samping itu, tidak ada
juga catatan yang dengan jelas menyebutkan jumlah mereka pada saat Rasulullah saw.
wafat. Namun ada beberapa riwayat yang menyatakan jumlah para sahabat pada
peristiwa-peristiwa tertentu, seperti pada haji wada’ yakni berjumlah tujuh puluh ribu
orang. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa jumlah keseluruhan sahabat adalah
empat belas ribu orang yang terdiri dari penduduk Mekkah, Madinah, daerah di antara
keduanya, dan orang-orang Badui yang ikut serta dalam haji wada’.29

Dari seluruh sahabat di atas, hanya ada sedikit sahabat yang meriwayatkan
Hadis. Dalam hal periwayatan Hadis, para sahabat Nabi tidaklah sama kedudukannya,
terutama dalam kaitannya dengan banyaknya atau jumlah Hadis yang mereka
riwayatkan. Diantara mereka ada yang banyak meriwayatkan Hadis, ada yang sedang
jumlahnya, dan ada pula yang sedikit.
Sahabat-sahabat besar tidak banyak meriwayatkan Hadis seperti : Abu Bakar,
Usman, Thalhah, Zubair, Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdur Rahman bin’Auf, Abu

27
Ibid.
28
Abuddin Nata, Alquran dan Hadis, h. 194.
29
Ibnu Katsir, al-Ba’is al-Hasis Syarh Ikhtisar Ulum al-Hadis (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah,
1994), h. 180.

10
Ubaidah ibn Jarrah, Sa’id ibn Zaid, Ubay ibn Ka’ab, Sa’ad ibn Ubadah, Ubadah ibn
Samit, Usaid ibn Hudair, Muaz ibn Jabal, tidak banyak meriwayatkan Hadis.
Sahabat yang banyak menerima Hadis dari Nabi Muhammad saw., tidaklah
secara otomatis akan meriwayatkan Hadis yang banyak pula. Hal tersebut karena
banyaknya faktor yang dapat menghalanginya dari meriwayatkan Hadis yang telah
diterimanya. Umpamanya, Abu Bakar al-Shiddiq, seorang sahabat yang banyak
menerima Hadis dari Nabi saw., Abu Bakar, selain sebagai seorang yang terdahulu
memeluk agama Islam, juga sebagai sahabat yang sangat dekat pergaulannya dengan
Nabi, sehingga keadaan yang demikian menyebabkan banyak menerima Hadis.
Meskipun demikian Abu Bakar bukanlah termasuk sahabat yang banyak meriwayatkan
Hadis, penyebabnya di antaranya adalah:30
1. Setelah Nabi wafat, Abu Bakar disibukkan oleh peperangan untuk menumpas
kaum murtad dan anti zakat.
2. Pada masa pemerintahannya, Abu Bakar lebih mengutamakan pemeliharaan
Alquran.
3. Abu Bakar telah meninggal dunia sebelum ummat menaruh perhatian khusus
terhadap Hadis Nabi Muhammad saw.

Sahabat-sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis, yang jumlahnya lebih


dari seribu Hadis disebut al-muktsirun fi al-Hadis, mereka berjumlah tujuh orang,
yaitu :
1. Abu Hurairah. Dia meriwayatkan 5.374 Hadis. Diantaranya 325 Hadis
disepakati oleh Bukhari-Muslim, 93 diriwayatkan oleh Bukhari sendiri dan 189
Hadis diriwayatkan oleh Muslim.
2. ‘Abdullah Ibn ‘Umar ibn Khaththab. Dia meriwayatkan sejumlah 2.630 Hadis.
Dari Hadis tersebut, 170 Hadis disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 80 Hadis
oleh Bukhari saja, dan 31 Hadis oleh Muslim saja.
3. Anas ibn Malik. Dia meriwayatkan 2.286 Hadis. Diantaranya 168 Hadis
desepakati oleh Bukhari dan Muslim, 8 hadis oleh Bukhari saja, dan 70 Hadis
oleh Muslim saja.

30
Yuslem, Ulumul Hadis, h. 187-188.

11
4. ‘Aisyah binti Abu Bakar. Dia meriwayatkan 2.210 Hadis. Diantaranya 174
Hadis yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim, 64 Hadis diriwayatkan oleh
Bukhari saja, dan 68 Hadis diriwayatkan oleh Muslim saja.
5. ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Dia meriwayatkan 1.660 Hadis. Diantaranya 95
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 28 Hadis oleh Bukhari saja, dan 49
Hadis oleh Muslim saja
6. Jabir ibn ‘Abdullah. Dia meriwayatkan 1.540 Hadis. Diantaranya 60 Hadis
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 16 Hadis oleh Bukhari saja, dan 126
Hadis oleh Muslim.
7. Abu Sa’id al-Khudri. Dia meriwayatkan 1.170 Hadis. Diantaranya 46 Hadis
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, 16 Hadis oleh Bukhari sendiri, dan 52
Hadis oleh Muslim sendiri.31

Tak ada dari kalangan sahabat yang meriwayatkan Hadis lebih dari seribu, selain
dari mereka ini. Muhammad ibn Sa’ad dalam Thabaqatnya berkata, sebabnya kurang
diterima Hadis dari sahabat-sahabat besar, adalah karena para sahabat-sahabat itu wafat
sebelum masyarakat memerlukan mereka untuk menerima Hadis-hadisnya. Banyaknya
riwayat dari Umar dan Ali, karena kedua orang tersebut bertindak sebagai kepala
negara, maka banyaklah pertanyaan yang dihadapkan kepada beliau dan banyaklah pula
putusan-putusan yang beliau berikan selaku seorang hakim.32

C. Kesimpulan
1. Kata sahabat (Arab: Shahabat), dari segi kebahasaan adalah musytaq (turunan)
dari kata shuhbah yang berarti orang yang menemani yang lain, tanpa ada
batasan waktu dan jumlah. Menurut mayoritas Jumhur Ulama Hadis, seseorang
dapat disebut sahabat apabila ia tetap dalam keadaan beriman sampai ia wafat
bahkan sekalipun seorang telah mendapat gelar murtad, tetapi ia kembali
beriman, ia masih dikatakan sahabat.
2. Para Ulama untuk mengetahui seseorang itu adalah sahabat, yaitu :

31
Ibid, h. 188-189.
32
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah Perkembangan Hadist (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. Kedua,
1973), h. 143.

12
a. Melalui kabar mutawatir yang menyatakan bahwa seseorang itu adalah
sahabat
b. Melalui kabar masyhur dan mustafid.
c. Melalui pemberitaan sahabat lain yang telah dikenal kesahabatannya melalui
cara-cara di atas.
d. Melalui keterangan seorang Tabi’in yang tsiqat (terpercaya) yang
menerangkan seseorang itu adalah sahabat.
e. Pengakuan sendiri oleh seorang yang adil bahwa dirinya adalah seorang
sahabat.
3. Para Ulama Hadis sepakat menetapkan bahwa seluruh sahabat adalah adil. Yang
dimaksud keadilan mereka di sini adalah dalam konteks ilmu Hadis, yaitu yang
terpeliharanya mereka dari kesengajaan melakukan dusta dalam meriwayatkan
Hadis, dari melakukan penukaran (pemutarbalikan) Hadis, dan dari perbuatan-
perbuatan lain yang menyebabkan tidak diterimanya riwayat mereka.
4. Sahabat-sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadis, yang jumlahnya lebih
dari seribu Hadis disebut al-muktsirun fi al-hadis, mereka berjumlah tujuh
orang, yaitu :
- Abu Hurairah. Dia meriwayatkan 5374 Hadis.
- ‘Abdullah Ibn ‘Umar ibn Khaththab. Dia meriwayatkan sejumlah 2.630 Hadis.
- Anas ibn Malik. Dia meriwayatkan 2.286 Hadis.
- ‘Aisyah binti Abu Bakar. Dia meriwayatkan 2.210 Hadis.
- ‘Abdullah ibn ‘Abbas. Dia meriwayatkan 1.660 Hadis.
- Jabir ibn ‘Abdullah. Dia meriwayatkan 1.540 Hadis.
- Abu Sa’id al-Khudri. Dia meriwayatkan 1.170 Hadis.

Demikian makalah ini, mohon maaf atas segala kekurangan dan terima kasih
atas semua masukannya terutama dari dosen pembimbing.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asqalani, Ibn Hajar. Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah. Beirut: Dar al-Fikr, 1978,
juz I.

Amin, Ahmad. Fajr al-Islam. Kairo: Maktabat al-Nahdlah al-Mishriyyah, 1975.

Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M, juz. 4.

Dewan Redaksi. Ensiklopedia Islam. Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Cet.
Kesepuluh, 2002.

Hassan, A.Qadir. Ilmu Mushthalah Hadis. Bandung: Diponegoro, Cet. VII, 1996.

Haroen, Munzier. Ushul Fiqih. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu, 1997.

Ismail, M. Syuhudi. Pengantar Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa, Cet. Kedua, 1994.

14
Ibn al-Shalah. Ulum al-Hadis. ED. Nur al-Din ‘Atar. Madinah: Al-Maktabat
al’Ilmiyyah, Cet. Kedua, 1972.

Jumantoro, Totok, Kamus Ilmu Hadits. Jakarta : Bumi Aksara, 1997.

Nata, Abuddin. Alquran dan Hadis. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 1996.

Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis. Jakarta: Bulan Bintang,
1995.

Shiddieqy, M. Hasbi. Sejarah Perkembangan Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1973.

Soebahar, M.Erfan. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta: Kencana, 2003

Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2008.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, Cet. Pertama,
2001.

TUGAS MAKALAH SEMESTER III

PADA MATA KULIAH HADIS

DITULIS

FITRI YANTI

09 KOMI 1700

15
DOSEN PEMBIMBING

PROF. DR. NAWIR YUSLEM, MA

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

SUMATERA UTARA

2010

16

Anda mungkin juga menyukai