Anda di halaman 1dari 5

Siti Octrina Malikah

209000061
Teknik Diplomasi

Status for Sale:


Taiwan and the Competition for
Diplomatic Recognition

A. PENDAHULUAN

Artikel ini mengulas mengenai betapa pentingnya pengakuan diplomatik bagi setiap
negara di mana hal inilah yang sangat diperjuangkan oleh Republic of China (ROC)/ Taiwan
untuk bisa mendapatkan pengakuan secara de facto dari dunia internasional. Hal inilah yang
kemudian akan melegitimasi sekaligus menjamin ruang gerak ROC untuk proaktif secara
internasional. Untuk memperoleh pengakuan ini (recognition) tidak jarang
mengenyampingkan rasionalitas sehingga timbul pertanyaan seperti: Mengapa, meskipun
People’s of China (PRC) telah tumbuh sebagai negara yang powerful, negara dunia ketiga
justru tetap secara formal mengakui ROC? Apa sebenarnya yang diperoleh ROC sebagai
feedback atas usahanya yang mahal untuk merawat pengakuan tersebut?

I. Recognition

"Internal sovereignty can be defined as a government having exclusive de facto


control over a specific area and its citizens generally accepting this rule.”
(Montevideo Convention)

Jelas bahwa ROC, setidaknya semenjak demokratisasi, memiliki persyaratan


sederhana untuk berdaulat berdasarkan penjabaran Konvensi Montevideo di atas. Meskipun,
pengakuan internasional sebenarnya jarang sekali mempunyai kekuatan untuk mengklaim
teritori. Legitimasi eksternal diyakini lebih rumit. Hedley Bull menyatakan bahwa komunitas
politik yang mengklaim kedaulatan, bahkan jika ditinjau orang lain dianggap legitimasi, tidak
bisa disebut sebuah negara jika dalam praktiknya ia tidak bisa memenuhi haknya.

Meskipun ada banyak indicator mengenai konsep kedaulatan, namun indicator paling
eksplitsit adalah ‘pengakuan diplomatik’. Dalam hal ini ROC sebenarnya kurang kokoh
karena hanya tidak sampai seperempat negara di dunia yang mengakui kedaulatannya.
Kekurangan akan legitimasi eksternal ini memberikan rasa ketidakamanan terhadap posisi
ROC di mana Beijing mengklaim bahwa ROC hanyalah sebuah provinsi yang berupa pulau
terpisah dari daratan induk.

II. The Two Chinas


Keadaan terkini antara PRC dan ROC merupakan sebuah kasus yang unik di mana
rasionalitas untuk mendapatkan pengakuan telah berlangsung sekian lama. Situasi ini bisa
diusut hingga kepada masa-masa perang dingin yang melahirkan jurang ideology diantara
PRC dan ROC. Situasi ini bergulir mengenai status Taiwan antara sebagai negara berdaulat
melawan sebagai provinsi yang memberontak. Pesaingan untuk pengakuan ini telah
merambah kepada negara-negara yang biasanya powerless namun memiliki kedaulatan.
Negara-negara powerless ini dijadikan instrumen untuk memperoleh pengakuan kedualatan
bagi konflik PRC dan ROC.

Beberapa negara pada awalnya tidak memiliki hubungan dengan kedua pihak sampai
pada tahun 1949, di mana ada sekitar enam belas negara yang mengakui eksistensi PRC,
termasuk Inggris terkait kepentingannya akan Hong Kong. Sementara, hanya tiga puluh tujuh
negara yang secara formal mengakui ROC, dan dari semua itu, hanya tujuh negara yang
mempunyai misi-misi permanen di Taiwan. Setelah Amerika Serikat secara resmi mengakui
PRC pada tahun 1979, banyak negara yang mengikuti dan meninggalkan hanya beberapa
negara yang menjaga hubungan resmi dengan ROC.
III. Checkbook Diplomacy
Kepentingan ekonomi sejak dahulu telah memainkan peran yang cukup penting dalam
memperoleh pengakuan di mana di dalam pengakuan itu terdapat proses interaksi dan
mengurangi biaya informasi dari perdagangan. Dalam kasus ROC-PRC ini, bagaimanapun
juga peranan ekonomi muncul sebagai sesuatu yang eksplisit sejak tahun 1961, ROC baik
secara eksplisit ataupun implicit menghubungkan antara paket bantuan terhadap pengakuan.
Taiwan disinyalir merupakan donor tunggal dan terbesar bagi Haiti, Grenada, St. Kitts dan
Nevis, dan St. Vincent dan Grenadines.

Kedua pihak secara berkala mempraktikkan checkbook diplomacy mislanya Beijing


yang menawarkan investasi besar dan paket bantuan ke Bahamas, St. Lucia, dan Dominika
sesaat setelah mereka memberikan pengakuannya kepada PRC. Taipei memberikan Nigeria
pinjaman ringan US$50 juta di tahun 1992, US$35 juta kepada Gambia di tahun 1995, US$50
juta kepada Kosta Rika si tahun 2003-2004, semua itu dilakukan untuk memperoleh
pengakuan atas kedaulatan ROC.

PRC juga menawarkan berbagai upaya dampingan ekonomi ke negara-negara Afrika


dengan tujuan untuk mendapat pengakuan dan para petinggi di Cina sanagt yakin bahwa
masyarakat Afrika akan selalu mendukung mereka. ‘Chinese Marshall Plan’ ini sangat
potensial untuk merekonfigurasi lahan persaingan diplomasi di Afrika dengan mengasuh
mereka, baik dengan program saling menguntungkan dalam jangka panjang maupun
meningkatkan peluang potensial untuk merubah pengakuan mereka.

IV. Why Taiwan Plays the Game

Pengakuan diplomatik, secara domestik, sangat popular di Taiwan. Hal ini


memberikan keuntungan tersendiri bagi para politisi di Taiwan dalam pemilihan umum.
Pengakuan ini sangat krusial bagi keamanan nasional Taiwan, bukan hanya untuk mencegah
terjadinya isolasi lebih lanjut tetapi juga untuk membantah kemampuan PRC menghegemoni
daratan Cina secara keseluruhan, di saat yang bersamaan hal ini prosen unifikasi sepertinya
semakin jauh dari kenyataan. Mungkin banyak negara yang merasa simpatik terhadap Taiwan
tapi kenyataannya negara yang tidak mengakui masih lebih banyak dan terus menentang
keberadaan Taiwan.
B. PEMBAHASAN

Pengakuan diplomatik sebenarnya jarang menjadi kontroversi, namun ketika


kontroversi sudah timbul mereka biasanya bertindak berdasarkan dengan mempertentangkan
ideologi atau hasrat untuk merubah kebijakan negara lain. Dalam hal ini, bagaimanapun juga,
dapat ditegaskan bahwa rasionalitas ideologi secara luar biasa memperuncing persaingan
diplomatik sementara di lain sisi faktor ekonomi secara serta-merta menyokong pertentangan
ideologi tersebut, meksipunn secara sedikit terselubung. Artikel ini mengekseminasi teori-
teori tradisional dan rasional dibalik pengakuan diplomatik. Ada banyak analisa studi baik
dari progress historis maupun keadaan saat ini dari sengketa ROC dan PRC. Untuk
memperkokoh klaim kedaulatan, banyak faktor yang bisa digunakan untuk menstimulasi
pengakuan dari negara lain. Contohnya, banyak negara yang bermasalah (termasuk Taiwan)
yang menunjukkan keperdulian mereka melalui berkomitmen di perjanjian internasional
dengan menandatangani perjanjian tersebut. Pengakuan diplomatic sangat krusial untuk
mendefinisikan kedaulatan negara selanjutnya, kedaulatan bisa diukur dari seberapa banyak
negara yang mengakui kedaulatan suatu negara tersebut.

Pengakuan universal melalui pemerintahan negara lain bisa dipandang sebagai norma
internasional, dengan kesetaraan kedaulatan berdiri sebuah prinsip dasar hubungan
internasional. Kesetaraan kedaulatan dianggap sebagai konsep normatif yang bisa memiliki
status ontologi di dalam legalitas struktur dan sistem internasional. Sewaktu kedaulatan
sebuah negara secara informal telah diakui oleh sebagian besar pemerintahan maka
pemerintahan lainnya juga pasti akan ikut memberikan pengakuan.

Memang saat tensi perang dingin cukup memperkuat hubungan dengan ROC, namun
setelah perang dingin berakhir, hal ini juga mulai menghapusnkan motivasi ideology untuk
terus mendukung ROC. Misalnya saja, Indonesia pada tahun 1991 kembali menjalin
hubungan diplomatic dengan Beijing setelah 25 tahun tidak memiliki tensi hubungan
diplomatik, Arab Saudi juga memulai hubungan pada tahun 1992. Singapura juga secara
cultural mengakui PRC dikarenakan populasinya yang mayoritas merupakan etnis Cina.
Sementara ROC terus menerus mengupayakan persaingan demi mempertahankan
kedaulatannya, PRC juga selalu memandang setiap pergerakan sebagai ancaman. PRC akan
selalu menganggap setiap gerak-gerik Taiwan sebagai upaya untuk membangkang dan
membebaskan diri dari kedaulatan PRC di mana PRC tidak akan pernah memberikan
legitimasi kepada ROC yang secara terang-terangan menentang program one China policy.
C. KESIMPULAN

Persaingan diplomatic antara ROC dan PRC menggarisbawahi beberapa aspek


pengakuan yang mungkin belum terstruktur rapi di literature-literatus. Sebagai akibat dari
banyaknya negara yang tidak konsisten dan cenderung pragmatis dalam memberikan
pengakuan antara PRC dan ROC akhirnya sulit untuk menemukan elemen normatif ataupun
sebuah komitmen yang dalam mengenai masalah ini.

Paket bantuan juga mempunyai nilai diplomatik yang terbatas dalam situasi ini di
mana negara-negara penerima bantuan dai ROC dan PRC dapat selalu membuat permintaan
yang lebih dan lebih tinggi lagi. Negara-negara powerless ini seperti memanfaatkan
kerenggangan hubungan antara ROC dan PRC untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya.
Mereka akan memberikan pengakuan ke pihak yang memberikan supply lebih banyak dan
lebih signifikan bagi kepentingan nasional negara mereka sendiri.

Dapat disimpulkan dari analisa yang dilakukan terhadap kasus ROC dan PRC ini
bahwa “in diplomacy, you can’t buy friends, you can only rent them”. Meskipun
mendapatkan pengakuan melalui cara ini kurang memberikan pengaruh jangka panjang,
namun ternyata cara ini masih menjadi jalan utama yang ditempuh untuk memperoleh
pengakuan. PRC sendiri masih menggunakan checkbook diplomacy ini sebagai jalan yang
bisa ditempuh untuk semakin mengisolasi posisi ROC. Sama halnya dengan ROC yang
menggunakan teknik diplomasi seperti ini untuk melindungi eksistensinya. Disaat ROC telah
membuat kemajuan yang substansial dalam memajukan hubungan tidak resminya, yang mana
akan jauh lebih krusial bagi keamanan jangka panjang ROC, kelajutan fokus terhadap
hubungan resmi dengan ekonomi yang memakan biaya tinggi di beberapa kasus justru kontra
produktif bagi ROC.

Anda mungkin juga menyukai