Anda di halaman 1dari 12

KORELASI ANTARA JUMLAH KOLONI Staphylococcus aureus & IgE

SPESIFIK TERHADAP ENTEROTOKSIN Staphylococcus aureus PADA


DERMATITIS ATOPIK

Nurul Fauzi, Sawitri, Saut Sahat Pohan


Departemen / SMF Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNAIR / RSU Dr Soetomo
Surabaya

Abstrak
Latar belakang : Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang
kronik, sering mengalami kekambuhan, keadaan ini juga berhubungan dengan kondisi atopi lain
seperti rhinitis alergi dan asma. Sering didapatkan penurunan fungsi sawar kulit, sehingga
mikroorganisme lebih mudah masuk pada epidermis. Salah satu mikroorganismenya adalah
Staphylococcus aureus. Pada kulit orang DA paling banyak ditemukan kolonisasi
Staphylococcus aureus. Pada DA Staphylococcus aureus juga memproduksi enterotoksin yang
bersifat sebagai superantigen, yang juga berperan pada timbulnya keradangan dan kekambuhan
DA. Tujuan : Menghitung jumlah koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA, mengukur kadar
IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus dan mengetahui adanya korelasi antara
keduanya. Metode : Dilakukan swab kulit pada lesi DA untuk mengetahui jumlah kolonisasi
Staphylococcus aureus dan dilakukan pengambilan darah untuk pemeriksaan IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Kemudian data diolah dan dilakukan analisa
statistik. Hasil : Dari 24 sampel pada penelitian ini, didapatkan pertumbuhan koloni
Staphylococcus aureus pada 18 sampel, dan tidak didapatkan pertumbuhan koloni
Staphylococcus aureus pada 6 sampel. Didapatkan kadar antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus terendah 7.696 IU/ml, dan tertinggi sebesar 26.514 IU/ml.
Pada uji statistik tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan
kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penelitian ini.
Kesimpulan: Tidak didapatkan korelasi antara jumlah kolonisasi Staphylococcus aureus dan
kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penelitian ini.
Kata kunci: Dermatitis atopik, Staphylococcus aureus, kolonisasi, IgE spesifik enterotoksin

ABTRACT
Background : Atopic dermatitis s a common skin disease that is often associated with other
atopic disorders such as allergic rhinitis and asthma. Atopic dermatitis is a chronic, relapsing
form skin inflammation, and disturbance of epidermal-barier function. The skin of atopic
dermatitis patient is susceptible to colonization with Staphylococcus aureus and Staphylococcus
aureus secrete toxins, which maybe an important trigger factors in the inflammation reaction of

1
the skin and caused exacerbation of the atopic dermatitis. Objective : To account the colonizing
features of Staphylococcus aureus in the atopic dermatitis skin lesions and to measure the IgE
specific antibodies to Staphylococcus aureus enterotoksin, and to determine the correlation
between both of them. Methods : Skin scrapping for bacterial colonization were taken from
lesional skin, and IgE specific antibodies to enterotoksin Staphylococcus aureus taken from
blood examination. Result : From 24 patient enrolled in this examination, Staphylococcus
aureus colonization found in 18 patient, and not found Staphylococcus aureus colonization in 6
patient. The lowest level of IgE specific antibodies to Staphylococcus aureus enterotoksin is
7.696 IU/ml and the highest level is 26.514 IU/ml. In the statistical analysis there was no
correlation between Staphylococcus aureus colonization and IgE specific antibodies to
enterotoksin Staphylococcus aureus level.

Conclusion : There was no correlation between Staphylococcus aureus colonization and IgE
specific antibodies to enterotoksin Staphylococcus aureus level.

Keywords : Atopic dermatitis, Staphylococcus aureus, colonization, IgE specific antibodies

PENDAHULUAN
Dermatitis atopik (DA) merupakan suatu penyakit keradangan kulit yang kronik, ditandai
dengan rasa gatal, eritema, edema, vesikel, dan luka pada stadium akut, pada stadium kronik
ditandai dengan penebalan kulit (likenifikasi) dan distribusi lesi spesifik sesuai fase DA, keadaan
ini juga berhubungan dengan kondisi atopik lain pada penderita ataupun keluarganya. 1,2,3,4.
Penyebab dermatitis atopik tidak diketahui dengan pasti, diduga disebabkan oleh berbagai faktor
yang saling berkaitan (multifaktorial). Faktor intrinsik berupa predisposisi genetik, kelainan
fisiologi dan biokimia kulit, disfungsi imunologis, interaksi psikosomatik dan
disregulasi/ketidakseimbangan sistem saraf otonom, sedangkan faktor ekstrinsik meliputi bahan
yang bersifat iritan dan kontaktan, alergen hirup, makanan, mikroorganisme, perubahan
temperatur, dan trauma.1,2 Mikroorganisme telah diketahui sebagai salah satu faktor ekstrinsik
yang berperan memberi kontribusi sebagai pencetus kambuhnya dermatitis atopik.
Mikroorganisme utamanya adalah Staphylococcus aureus (SA) . Pada penderita DA didapatkan
perbedaan yang nyata pada jumlah koloni Staphylococcus aureus dibandingkan orang tanpa
atopik. Adanya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit dengan lesi ataupun non lesi pada
penderita dermatitis atopik, merupakan salah satu faktor pencetus yang penting pada terjadinya
eksaserbasi, dan merupakan faktor yang dikatakan mempengaruhi beratnya penyakit. Faktor lain
dari mikroorganisme yang dapat menimbulkan kekambuhan dari DA adalah adanya toksin yang

2
dihasilkan oleh Staphylococcus aureus . Enterotoksin yang dihasilkan Staphylococcus aureus ini
dapat menembus fungsi sawar kulit, sehingga dapat mencetuskan terjadinya inflamasi.
Enterotoksin tersebut bersifat sebagai superantigen, yang secara kuat dapat menstimulasi aktifasi
sel T dan makrofag. Enterotoxin Staphylococcus aureus menginduksi inflamasi pada dermatitis
atopik dan memprovokasi pengeluaran antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus . Mekanisme kedua faktor yakni peningkatan koloni Staphylococcus
aureus pada DA dan antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada
patogenesis DA masih belum jelas. Salah satu faktor saja, ataukah kedua faktor tersebut harus
bersama-sama dalam mempengaruhi kekambuhan pada DA masih belum diketahui secara pasti.
Masih belum jelas juga, bahwa selalu ada korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus
dan tingginya level antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada
DA, sebab ada kemungkinan walaupun jumlah koloni Staphylococcus aureus banyak, tetapi
toksin yang dihasilkan kecil, ataupun sebaliknya. Maka untuk mengetahui korelasi antara jumlah
koloni Staphylococcus aureus pada lesi kulit penderita DA dengan level antibodi IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita DA perlu dilakukan penelitian ini,
sehingga dapat diketahui apakah jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang lebih berperan terhadap kekambuhan DA,
ataukah kedua-duanya berperan pada kekambuhan pada DA sehingga dengan informasi tersebut,
pengobatan terhadap DA lebih ditingkatkan.

Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah koloni Staphylococcus aureus
dan kadar antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, dengan cara
menghitung jumlah koloni Stafilokokus aureus pada lesi dermatitis atopik dan mengukur kadar
antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, serta menganalisis adanya
korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dan kadar antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis atopik.

Dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam memberikan informasi
apakah jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah kadar antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus yang lebih berperan terhadap terjadinya keradangan dan
kekambuhan pada DA, ataukah kedua-duanya berperan pada terjadinya keradangan dan

3
kekambuhan pada DA sehingga dengan informasi tersebut, pengobatan terhadap DA lebih
ditingkatkan.

METODE
Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah analitik observasional
dengan bentuk cross sectional yang bertujuan mengetahui jumlah koloni Staphylococcus
aureus pada kulit yang terdapat lesi pada penderita dermatitis atopik, dan mengetahui kadar
antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis
atopik, dan mengetahui adanya korelasi antara jumlah koloni Staphylococcus aureus dengan
antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita dermatitis
atopik.

Populasi penelitian adalah semua penderita dermatitis atopik baru atau lama yang datang
di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr Soetomo Surabaya.
Sampel penelitian adalah semua penderita dermatitis atopik yang terdapat lesi kulit yang
memenuhi kriteria penerimaan sampel penelitian.
Kriteria penerimaan sampel adalah penderita dermatitis atopik baru atau lama yang
memenuhi kriteria Williams, penderita dermatitis atopik dengan lesi kulit, bersedia ikut dalam
penelitian dengan menandatangani informed consent.
Kriteria penolakan sampel adalah penderita yang menggunakan kortikosteroid, antibiotik
dan antihistamin baik sistemik maupun topikal dalam 2 minggu terakhir, tidak sedang menderita
tonsilitis, pharyngitis, piodermi dan infeksi telinga.
Besar sampel adalah semua penderita yang memenuhi kriteria penerimaan sampel yang
datang ke Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr Soetomo Surabaya.
Berdasarkan penghitungan didapatkan besar sampel sebanyak 24 pasien dan dilakukan
pengambilan pengambilan sampel dengan cara consecutive sampling.
Variabel Penelitian pada penelitian ini, variabel bebasnya adalah jumlah koloni Staphylococcus
aureus dan variabel tergantungnya adalah kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Stafilokokus
aureus.
Penelitian ini dilaksanakan di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Ilmu Kesehatan Kulit dan
Kelamin RSUD Dr. Soetomo, Surabaya mulai bulan April 2009 sampai jumlah sampel
terpenuhi. Pemeriksaan ELISA dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran

4
Universitas Brawijaya, Malang. Pemeriksaan jumlah koloni Staphylococcus aureus dilakukan di
Instalasi Mikrobiologi Klinis RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Alur penelitian dimulai dengan pemilihan penderita berdasarkan kriteria penerimaan
sampel, kemudian dilakukan anamnesis dan pemeriksaan klinis, ditentukan apakah menderita
DA sesuai dengan kriteria William atau tidak, jika bersedia ikut dalam penelitian dan memenuhi
kriteria penerimaan sampel, dilakukan pemeriksaan kolonisasi Staphylococcus aureus diambil
dari lesi kulit dan pemeriksaan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus
dari pemeriksaan darah. Data dan hasil yang didapat dimasukkan dalam lembar pengumpul data
dan dilakukan analisa statistik data.

HASIL

DATA DESKRIPTIF

Jenis kelamin

Tabel 1 Distribusi jenis kelamin penderita dermatitis atopik (n=24)


di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin
RS Dr Soetomo.

Jenis Kelamin Jumlah (%)

Laki-laki 4 (16.6%)

Wanita 20 (83.4%)

TOTAL 24 (100%)

Pada penelitian ini didapatkan jumlah penderita dermatitis atopik laki-laki sebanyak 4

pasien dan wanita sebanyak 20 pasien.

5
Umur

Tabel 2 Distribusi umur penderita dermatitis atopik (n=24)


di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin
RS Dr Soetomo

Umur (tahun) Jumlah (%)

<1 0

1–4 4 (16.6%)

5 – 14 9 (37.6%)

15 – 24 4 (16.6%)

25 – 44 3 (12.6%)

45 – 64 4 (16.6%)

>65 0

Total 24 (100%)

Kelompok umur terbanyak pada penelitian ini adalah 5-14 tahun, sebanyak 9 orang

(37.6%).

6
HASIL PEMERIKSAAN

Pemeriksaan Jumlah Koloni Staphylococcus aureus

Tabel 3 Jumlah Koloni Staphylococcus aureus pada lesi penderita DA (n =24)


di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr Soetomo

Jumlah Koloni Staphylococcus aureus


(CFU/cm2)
Total
Positif
Negatif
< 103 103 - < 105 >105

Jumlah sampel 6 (25%) 1 (4.2%) 12 (50%) 5 (20.8%) 24 (100%)

Kadar IgE Spesifik Terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus dengan Jumlah Koloni

Staphylococcus aureus pada penderita DA.

Tabel 4 Nilai Mean Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus
penderita dermatitis atopik (n=24) di Divisi Alergi Unit Rawat Jalan Penyakit Kulit
dan Kelamin RS Dr Soetomo.

Jumlah Koloni Staphylococcus aureus


(CFU/cm2)

Positif
Negatif
< 103 103 - < 105 >105

Nilai mean Kadar IgE


spesifik terhadap
enterotoksin 14.0022 10.5470 19.0746 15.0702
Staphylococcus aureus
(IU/ml)

7
Korelasi jumlah koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA dengan kadar IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada penderita DA

Tabel 5 Hubungan jumlah koloni Staphylococcus aureus dengan kadar IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus

Jumlah Jumlah Nilai Mean Kadar IgE spesifik


Koloni Sampel terhadap enterotoksin Staphylococcus
aureus (IU/ml)

Negatif 6 14.0022

Positif 18 17.4885

PEMBAHASAN

Kulit dari pasien yang menderita dermatitis atopik memiliki kemungkinan yang
besar untuk terinfeksi dan terkolonisasi oleh Staphylococcus aureus. Mekanisme yang
mendukung meningkatnya kolonisasi Staphylococcus aureus pada kulit penderita DA adalah
interaksi yang kompleks diantara beberapa faktor. Faktor-faktor yang berkontribusi ini termasuk
disfungsi barier kulit, menurunnya kandungan lemak pada kulit, meningkatnya sistesis dari
adhesion matriks ekstraseluler utuk SA, perubahan pada kadar pH permukaan kulit menjadi lebih
basa, dan respon imun yang defek karena menurunnya produksi dari beberapa peptida
antimikrobial endogen.5,6,7

Pada penelitian ini dari 24 sampel yang diperiksa, tidak didapatkan pertumbuhan koloni
Staphylococcus aureus sebanyak 6 sampel (25%), 1 sampel dengan jumlah koloni kurang dari
1000 CFU/cm2, ada 12 sampel dengan jumlah koloni antara 1000-100000 CFU/cm2, ada 5
sampel dengan jumlah koloni lebih dari 100000 CFU/cm2.(table 3). Dari penelitian ini
pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus lebih banyak tumbuh pada lesi yang masih akut,
sedangkan dari lesi yang kronis, koloni Staphylococcus aureus didapatkan dalam jumlah kecil
bahkan tidak didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus. Hal ini kemungkinan pada
lesi yang akut belum pernah mendapatkan pengobatan sama sekali sehingga masih didapatkan

8
pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus, sedangkan pada lesi yang kronis sudah pernah
mendapat pengobatan, sehingga pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus hanya sedikit
bahkan tidak ada pertumbuhan koloni sama sekali. Menurut Lin YT et all terdapat hubungan
antara keberhasilan pengobatan dihubungkan dengan berkurangnya jumlah koloni
5,7,8,9
Staphylococcus aureus dikulit.

Staphylococcus aureus pada kulit dari pasien DA dapat memproduksi beberapa protein
sebagai antigen, disamping itu juga mensekresikan berbagai enterotoksin. Enterotoksin
Staphylococcus aureus ini merupakan superantigen. Superantigen Staphylococcus aureus
berpenetrasi melalui barier kulit. Superantigen Staphylococcus aureus menginduksi eksaserbasi
inflamasi kulit dan persisten pada kulit DA melalui beberapa mekanisme. Lebih dari 70%
Staphylococcus aureus yang diisolasi adalah strain yang memproduksi enterotoksin, yang dapat
mensekresikan berbagai eksotoksin termasuk enterotoksin staphylococcal A, B, C (SEA, SEB,
SEC) dan toxic shock syndrome toxin-1 (TSST-1). Enterotoksin staphylococcal ini adalah
superantigen. Beberapa penelitian mengindikasikan suatu korelasi positif antara tingkat
keparahan klinis dari DA dan kolonisasi dari strain Staphylococcus aureus yang memproduksi
superantigen.8,9

Pada penelitian ini, dari 24 sampel yang diperiksa IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus, diperoleh hasil kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus
aureus yang terendah adalah 7.769 IU/ml, dan hasil kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus dengan kadar tertinggi adalah 26.514 IU/ml.

Dari uji statistik tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara jumlah koloni
Staphylococcus aureus dengan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.
Pada penelitian ini, didapatkan bahwa pada lesi dengan jumlah koloni yang tinggi, tidak selalu
didapatkan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus juga tinggi. Dan
pada lesi dengan jumlah koloni yang rendah bahkan pada jumlah koloni yang negatif, masih
didapatkan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus yang positif. Hal ini
kemungkinan pada koloni yang negatif sudah mendapatkan pengobatan, tetapi IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus masih positif karena IgE masih bisa bertahan
setelah beberapa minggu.10,11,12 Kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin tergantung dari toksin
yang dihasilkan Staphylococcus aureus sebagai antigen yang bersifat sebagai superantigen,

9
dimana toksin yang dihasilkan akan menginduksi produksi dari antibodi IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus yang sesuai.5,10,11 Dari penelitian Peck Y Ong et all
menyebutkan bahwa sensitisasi terhadap SEA dan TSST-1 merupakan sensitisasi terhadap
superantigen Staphylococcus aureus yang paling umum pada populasi pasien dengan DA derajat
keparahan ringan dan sedang. Leung et all menemukan bahwa pada pasien anak-anak dengan
DA 88% memiliki serum antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus.
Dan pasien DA anak memiliki kadar serum antibodi IgE spesifik terhadap enterotoksin
Staphylococcus aureus yang secara signifikan lebih tinggi daripada anak-anak atopik dengan
alergi respiratorik tanpa DA dan pada anak yang sehat.8,9,13

Disebutkan juga bahwa sebanyak 58% pasien DA dengan IgE total yang tinggi
mengalami sensitisasi alergi terhadap minimal 1 superantigen Staphylococcus aureus, sedangkan
pada pasien dengan IgE total yang rendah hanya sebanyak 23% yang mengalami sensitisasi.
Sedangkan sensitisasi alergi terhadap superantigen Staphylococcus aureus, khususnya SEA dan
SED, ditemukan lebih banyak berhubungan dengan penderita DA dengan derajat keparahan
sedang.8,9

Pada penelitian ini, derajat keparahan keradangan pada DA tidak diteliti. Setiap
keradangan yang terdapat pada DA sering diinduksi oleh kolonisasi Staphylococcus aureus dan
IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus diteliti pada penelitian ini.

KESIMPULAN

Pada penelitian ini pada pemeriksaan jumlah koloni dari 24 pasien, didapatkan 6 sampel
tidak didapatkan pertumbuhan koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA, dan pada 18 sampel
tumbuh koloni Staphylococcus aureus pada lesi DA. Pada pemeriksaan kadar IgE spesifik
terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus pada 24 pasien, didapatkan nilai kadar terendah
7.696 IU/ml, dan kadar tertinggi 26.514 IU/ml. Pada sampel dengan pertumbuhan koloni yang
negatif, masih didapatkan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus. Pada
uji statistik tidak didapatkan korelasi yang bermakna antara jumlah koloni Staphylococcus
aureus dan kadar IgE spesifik terhadap enterotoksin Staphylococcus aureus, tetapi terdapat
kecenderungan kelompok dengan jumlah koloni positif memiliki kadar IgE spesifik terhadap

10
enterotoksin Staphylococcus aureus yang lebih tinggi, dibandingkan dengan kelompok dengan
jumlah koloni negatif. Dari penelitian ini masih belum bisa dijelaskan faktor yang lebih berperan
terhadap kekambuhan DA, jumlah koloni Staphylococcus aureus ataukah IgE spesifik terhadap
enterotoksin Staphylococcus aureus .

SARAN
Hasil penelitian ini masih sangat terbatas,sehingga disarankan dapat dikembangkan
penelitian lebih lanjut, antara lain : penelitian yang mengevaluasi jumlah koloni Staphylococcus
aureus dengan derajat keparahan dari dermatitis atopiknya, penelitian yang mengevaluasi
hubungan kadar IgE spesifik terhadap Staphylococcus aureus dengan derajat keparahan
dermatitis atopiknya dan penelitian yang menganalisa kadar IgE spesifik terhadap toksin dari
Staphylococcus aureus yang meliputi SEA, SEB, SEC, SED dan TSST-1 pada penderita
dermatitis atopik, sehingga dapat diketahui strain Staphylococcus aureus mana yang banyak
didapatkan pada penderita dermatitis atopik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DYM, Eichenfield FL, Bogunie wicz M. Atopic Dermatitis. In : Wolf K, Goldsmith
LA, Katz SI, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New
York : Mc Graw Hill; 2008.p.146-158

2. Leung DYM, Boguniewicz M, Howell MD. New Insight into Atopic Dermatitis. J. Clin.
Invest 2004; 113:651-657

3. Holden CA, Parish WE. Atopic Dermatitis. In : Champion RH, Bourton JL, Burns DA,
Breatnach SM, editors. Rook/Wilkinson/Ebling Textbook of Dermatology. 6th ed. London :
Blackwell Science; 1998.p.681-708.

4. Boediardja SA. Dermatitis Atopik Pada Anak. Dalam : Makalah Lengkap Temu Ilmiah
Manifestasi Atopik Pada Kulit. Bandung : SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RS Dr
Hasan Sadikin; 1996.p. 65-86.

5. Lin YT, Wang CT, Chiang BL. Role of Bacterial Pathogens in Atopic Dermatitis. Journal
Clinic Rev Allerg Immunol 2007; 33:167-77

6. Goh Chee L, Wong JS et al. Skin Colonization of Staphylococcus aureus in atopic


dermatitis patients seen at the National Skin Centre, Singapore. Blackwell Science.1997

11
Antibodies to Staphylococcal Exotoxins on the Skin Of Patients with Atopic Dermatitis. J
Clin Invest 1997;92:1374-80

7. Huang JT, Abrams M et al. Treatment of Staphylococcus aureus Colonization in Atopic


Dermatitis Decreases Disease Severity. Pediatrics 2009;123;e808-e814

8. Ong PY, Patel M et al. Association of Staphylococcal Superantigen-Specific


Immunogobulin E with Mild and Moderate Atopic Dermatitis. The Journal of Pediatrics
2008;153:803-6

9. Buikowski R, Mielke M et al.Atopic Dermatitis and Antibodies to Staph. American


Academy of Pediatrics Grand Rounds 1999;1:30-31

10. Ruzicka T. Atopic Eczema between Rationality and Irrationality. Arch Dermatol
1998;134:1462-69

11. Novak N, Bieber T. Extrinsic and Intrinsic Atopic Eczema. In : Ring J, Przybilla B,
Ruzicka C, editors. Handbook of Atopic Eczema. 2th ed. Berlin ; Springer-Verlag; 2006;
296-302

12. Kresno SB. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. 4th ed. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI; 2001.p.56-57.

13. Novak N, Bieber T et al. Immune Mechanism Leading to Atopic Dermatitis.Journal


Allergy Clin Immunol 2003;112:S128-39

12

Anda mungkin juga menyukai