Anda di halaman 1dari 2

Denpasar – Ciuman di depan umum masih merupakan hal yang tabu bagi sebagian masyarakat

bangsa ini. Tidak terkecuali gadis Bali yang mengikuti tradisi omed omedan. Sebagian gadis itu
malu-malu saat harus berciuman. Namun lainnya santai saja.

Ketua Sekeha Teruna Teruni (Karang Taruna) Desa Sesetan, Luh Novi Larasanti yang menjadi
peserta omed omedan mengaku sudah tidak malu lagi berciuman saat omed omedan. Gadis itu
sudah 6 kali mengikuti omed omedan. “Ya nggak tahu lah ya. Habis sembahyang tadi malunya
sudah hilang,” kata Luh saat ditanya apakah tidak malu berciuman dilihat banyak orang. Luh
menyampaikan hal itu usai mengikuti omed omedan di Jalan Banjar Kaja, Desa Sesetan,
Denpasar, Jumat (31/3/2006).

Luh mengaku dalam omed omedan itu dia berciuman dengan pacarnya sendiri. Gadis itu
berjodoh dengan pacarnya itu lewat omed omedan yang dia ikuti 2 tahun lalu. Perempuan Bali
itu mengaku tidak keberatan ciuman di depan umum karena ciuman itu merupakan tradisi yang
perlu dilestarikan. “Kalau ciuman di sini sebagai perekat persaudaraan sesama warga Banjar,”
ceritanya.

Sementara Kadek Dedek Wirawan mengaku sengaja pulang kampung untuk ikut omed omedan.
Pria yang masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Semarang, Jawa Tengah itu sudah tiga kali
ikut ritual hot itu. “Tapi baru kali ini dapat cium bibir,” katanya pria yang belum punya pacar itu
bangga. Bagi Kadek, mengikuti omed omedan merupakan kebanggaan tersendiri sebagai warga
Banjar. Ada kenangan tersendiri dan ada keistimewaan,” katanya.

Sejumlah peserta lainnya mengaku omed omedan hanya permainan yang tak perlu dilebih
lebihkan. Di hari-hari biasanya, muda mudi Banjar biasanya tidak berani melakukan ciuman di
depan umum. “Nggak apa-apa ini kan tradisi,” kata Putu Hendra.

Cewek Malu, Cowok Nafsu

Setelah sembahyang, peserta omed omedan yang perempuan dikumpulkan di sebelah selatan
Jalan Banjar Kaja. Sementara yang laki-laki di sebelah utara. Setelah berkumpul di kelompoknya
masing-masing, para peserta memilih satu orang perwakilannya yang akan maju untuk
berciuman. Peserta yang terpilih kemudian dipegangi ramai-ramai oleh kelompoknya masing-
masing. Bila kebetulan yang jadi perwakilan adalah pasangan pacar atau sudah kenal, mereka
langsung didorong ke depan untuk mulai berciuman. Namun bila belum kenal, kandidat ciuman
diangkat ke udara untuk melihat lawan yang akan diciumnya. Kalau sudah siap, peserta
mengajukan jempolnya baru kemudian didorong ramai-ramai ke depan untuk berciuman. Setelah
diguyur air ganti satu pasangan lainnya dan bergantian terus sampai peserta habis.

Meski bersedia ikut omed omedan, tak berarti perempuan Banjar itu bisa dengan santai
melakukan ciuman di depan umum. Banyak perempuan yang malu malu dan menolak dicium
saat tiba gilirannya maju ke depan. Peserta perempuan yang ogah dicium itu akan menutup
mukanya sampai lari-lari menjauhi si cowok yang akan menciumnya. Kalau yang terjadi hal
demikian para orang tua yang bertugas mengakhiri ciuman dengan guyuran air terpaksa turun
tangan. Peserta yang menolak dipegang erat-erat dan mukanya disodorkan lawan jenisnya untuk
dicium. Mendapat paksaan itu, sejumlah peserta biasanya berteriak-teriak dan ada juga yang
meringis menahan tangis.

Namun setelah guyuran air sebagai tanda ciuman selesai mereka pun sudah melupakan peristiwa
itu. Seperti tak ada kejengkela ataupun dendam, mereka bergabung lagi mendorong teman-
temannya yang akan mendapat giliran melakukan aksi cium.
“Cowok-cowoknya nafsu sekali ciumnya, kasihan yang cewek” kata Putu Srihartati, gadis yang
baru menonton omed omedan untuk pertama kalinya itu. Meski begitu, ia tidak setuju tradisi itu
dihapuskan jika Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP)
disahkan. [detiknews-arsip]

berita lainnya:

Sehari pasca-Nyepi, ada sebuah tradisi unik yang selalu digelar pemuda-pemudi Banjar Kaja,
Sesetan, Denpasar, yakni omed-omedan atau ciuman massal antara pemuda dan pemudi desa
sebagai wujud kebahagiaan di hari ngembak geni. Peserta omed-omedan adalah sekaa teruna-
teruni atau pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah
menginjak dewasa tetapi belum menikah.

Dalam Kamus Bali-Indonesia, omed-omedan berarti tarik-menarik. “Omed-omedan adalah


budaya leluhur yang sampai saat ini terus kita lestarikan,” ujar I Putu Wiranata Jaya, ketua
panitia. Pernah suatu waktu omed-omedan tidak dilaksanakan dan muncul musibah yang
ditandai dengan perangnya 2 ekor babi di Banjar Kaja. Kemudian para sesepuh desa
memutuskan untuk langsung menggelar prosesi omed-omedan untuk menjauhkan desa dari
bencana yang lebih besar.

Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama antarpeserta omed-omedan


di pura banjar untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama berlangsungnya acara. Seusai
sembahyang, peserta dibagi 2 kelompok, pria dan wanita. Sekitar 50 pemuda berhadapan dengan
50 pemudi. Setelah ada aba-aba dari para sesepuh desa, kedua kelompok saling bertemu satu
sama lain dan peserta terdepan saling berciuman di depan ribuan penonton yang memadati
sekitar lokasi omed-omedan.

Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian dan setiap peserta pria ataupun wanita menunjuk
salah seorang rekan mereka untuk beradu ciuman di barisan terdepan. [kompas.com]

Anda mungkin juga menyukai