Anda di halaman 1dari 15

A.

 Pendahuluan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah bagian dari sejarah bangsa Indonesia.
Sebuah sejarah yang dapat ditulis dengan tinta darah, karena telah banyak menumbalkan sesama
anak bangsa. Sebuah konflik yang ironisnya untuk memperjuangkan hal yang sama, namun
dipersepsi dan diinterpretasikan secara berbeda oleh kedua belah pihak yang bertikai. Sebuah
perbedaan dalam memaknai nasionalisme. Sebuah perlawanan untuk memperjuangkan
nasionalisme vis-à-vis sebuah perjuangan untuk mempertahankan nasionalisme. Sebuah
pertikaian yang memang harus dipetik dari buah simalakama yang bernama, nasionalisme!

Tulisan ini bermaksud menguraikan sejarah konflik antara GAM berhadapan dengan pemerintah Republik Indonesia.

Uraian ini tidak bermaksud menyudutkan yang satu dan mengunggulkan yang lain, penulis hanya berminat untuk

memaparkan yang terjadi secara apa adanya, disertai analisis mengenai hal yang penulis hipotesiskan sebagai

faktor utama—meski bukan determinan tunggal—penyebab pertikaian yang berlarut-larut. Penegasan ini sangat

diperlukan mengingat derajat kekontemporeran peristiwa yang masih hangat, bisa meningkatkan suhu dendam

yang secara normatif telah diredam melalui nota kesepahaman.

Dalam uraian sederhana ini, penulis pertama-tama bermaksud memaparkan Aceh sebagai panggung sejarah. Hal ini

penting karena secara tidak langsung banyak peristiwa besar yang terjadi di Aceh, dipengaruhi oleh faktor

geografi. Kedua, penulis akan mencoba memaparkan unsur agen sejarah, yakni masyarakat Aceh yang secara

langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pertikaian ini. Maka karya etnografi mengenai bangsa Aceh akan

dapat dipergunakan untuk mendeskripsikan Aceh sebagai entitas kebudayaan. Bagian ketiga dan bagian seterusnya

—yang merupakan bagian utama tulisan ini—akan menjelaskan secara historis keberadaan GAM semenjak

proklamasi kemerdekaan Aceh 4 Desember 1976 hingga ditandatanganinya nota kesepahaman antara pihak GAM-RI

untuk menyelesaikan konflik secara damai pada 15 Agustus 2005. Meski periode kajian utama adalah 1976-2005,

bukan tidak mungkin kajian akan keluar dan melebar dari periode waktu tersebut, selama masih bisa ditarik

kontinuitas dan keterkaitan.

B. Panggung Sejarah: Negeri Seribu Ambivalensi

Peristiwa sejarah tidak akan lepas dari tiga unsur utama yakni manusia, tempat dan waktu.
Bagian ini akan mendeskripsikan unsur yang disebut kedua. Meski demikian penulis tidak
bermaksud untuk terjerumus ke dalam kubang determinisme geografis,[1] ketika menyatakan
bahwa banyak peristiwa sejarah di Aceh dipengaruhi oleh unsur alam. Diakui atau tidak, alam
Aceh memang banyak mempengaruhi wajah sejarahnya, sehingga konsepposibilisme
geografis dianut dalam tulisan ini. Ambillah bukti sederhana, peristiwa tsunami 26 Desember
2004 berpengaruh besar terhadap proses perdamaian GAM-RI. Besar kemungkinan—meski
sejarah tidak mengenal kata mungkin—tanpa terjadinya tsunami, perdamaian tidak akan pernah
terjadi.

Bila ditarik jauh mundur ke belakang pada masa Sultan Iskandar Muda, Lombard[2]telah
menunjukkan bahwa faktor alam banyak mempengaruhi—meski dengan tegas Lombard tidak
mendukung determinisme geografis—sejarah Aceh kala itu, semisal bencana banjir, kebakaran,
dan tidak ketinggalan gempa. Rupanya gempa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Aceh,
bahkan “setiap tahun biasa ada tiga empat gempa” saat itu.[3] Melompat ke masa Perang Aceh
1873-1912, tergambar jelas bahwa gejala alam yang kita namakan hujan juga turut
mempengaruhi jalannya pertempuran antara pemerintah Hindia Belanda dengan gerilyawan
Aceh.[4]

Alam Aceh memang dikaruniai dengan berbagai macam keistimewaan dan kekayaan alam
—yang tragisnya juga mengundang pertikaian. Teristimewa adalah posisi geografisnya yang
strategis, terletak di persimpangan jalan laut yang ramai, yang menghubungkan Lautan Hindia
dan Laut Cina Selatan. Tepat di persimpangan dua budaya besar dunia, India dan China.
Potensial sebagai tempat rendezvous bagi para pelayar, sekaligus strategis sebagai sarang
perompak untuk menghadang kapal-kapal kaya. Mengingat posisi Aceh yang berada di ujung
barat nusantara, negeri ini juga menjadi gerbang pertama yang harus dilalui jamaah haji ketika
berangkat ke tanah suci melalui jalur laut. Maka negeri ini pun sempat memiliki julukan yang
terkenal sebagai Serambi Mekah.[5]

Secara geografis negeri ini melintang dari barat laut ke tenggara, dan dibelah menjadi dua
oleh rangkaian bukit barisan. Sebelah barat pegunungan itu terletak daerah sempit dengan hutan
yang lebat, dipenuhi bukit yang sukar dilalui dan daerah yang curam ditepi laut. Daerah yang
subur dan terhampar luas adalah daerah sebelah timur yang menjadi daerah pertanian yang kaya
hasil padi.[6] Luas daerah yang secara administratif RI dinamakan Provinsi Nangroeh Aceh
Darussalam ini memiliki luas wilayah 57.365,57 km. Termasuk ke dalam wilayah Aceh adalah
119 pulau-pulau kecil sepanjang pantai barat; 35 gunung mulai dari Leuser, Anu, Abong-Abong,
Tangga, Ulumasem, dan Peut Sagu; dua danau yaitu Laut Realoih dan Laut Tawar; serta 73
sungai yang diantaranya adalah Krueng Acehm Krueng Tripa, Krueng Peusangan, dan Krueng
Jamboaye.[7] Meski secara geografis pada umumnya Aceh terdiri dari daerah yang ditumbuhi
banyak bukit yang sukar untuk dilalui, namun kenyataannya justru menjadi berkah sebagai basis
pertahanan dan daerah operasi gerilyawan. Kenyataan ini telah terbukti jelas ketika masa Perang
Aceh ataupun masa-masa pertikaian GAM-RI.

Isi perut tanah Aceh juga sangat kaya akan sumber daya alam. Misalnya, negeri ini kaya
akan Liquefied Natural Gas (LNG). Produk LNG di Aceh pada awal tahun 1990-an mencapai
40% dari seluruh produksi dunia. Tambahan pula, pada 1991 hampir 90% hasil produk pupuk
Aceh diekspor.[8] Celakanya kekayaan alam Aceh tidak berbanding lurus dengan kekayaan
rakyat Aceh. Kondisi yang demikian memunculkan deprivasi relatif yang mendorong gerakan
untuk melawan ketidakadilan yang mengejawantah dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka.

Keadaan yang demikian ini, membuat julukan Aceh sebagai Serambi Mekah patut
dipertanyakan. Selain karena memang perjalanan Ibadah Haji tidak perlu lagi melewati Aceh
akibat tidak lagi menggunakan kapal laut, tetapi juga makna persatuan dan perdamaian yang
terkandung dalam julukan itu dipertanyakan. Adalah Anthony Reid[9]yang pertama mematahkan
julukan itu, diganti menjadi Veranda of Violance (Serambi Kekerasan), yang agaknya ingin
menunjukkan adanya konflik dan kekerasan di negeri ini. Meski saat ini, julukan yang
diintrodusir oleh Reid itu dilawan dengan julukan baru sebagai Serambi Perdamaian[10] pasca
MoU Helsinki.

Apapun julukannya, nyata bahwa negeri Aceh ini dipenuhi dengan berbagai macam
ambivalensi. Negeri yang dilimpahi berkah namun mendatangkan petaka, walau terkadang
dilimpahi petaka yang membawa berkah.

C. Lakon dalam Panggung Sejarah

Bagian ini khusus membicarakan faktor manusia sebagai pelaku dalam menggerakan jalan
sejarah. Bangsa Aceh adalah bangsa yang terkenal—secara stereotipe tentunya—sebagai bangsa
pejuang, pantang menyerah, ahli strategi, ahli siasat, dan memegang teguh ajaran agama Islam
yang dipeluk mayoritas penduduknya.

Secara demografis, berdasarkan sensus penduduk tahun 1961, penduduk Aceh seluruhnya
berjumlah 1.628.983 jiwa dengan persebaran kepadatan penduduk yang tidak merata di masing-
masing daerah. Dengan kenaikan penduduk yang diperkirakan 2,4% setiap tahun, maka
penduduk Aceh pada tahun 1968 telah mencapai 1.934.022 jiwa. Dalam tahun 1971, penduduk
Aceh sudah menjadi 2.009.000 jiwa.[11] Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2000,
menunjukkan bahwa jumlah penduduk Aceh telah menyentuh angka 3.930.905 jiwa.[12]
Komposisi penduduk Aceh sendiri tidak disusun dari suku bangsa yang tunggal.
Masyarakat Aceh berasal dari campuran berbagai suku bangsa yang banyak diantaranya berasal
dari suku bangsa India dan Arab. Di Lamno yang terletak di pesisir barat, penduduknya berciri
fisik mirip orang Eropa karena adanya keturunan darah Portugal. Di wilayah pedalaman,
penduduk keturunan Batak dan Nias, Sumatra Utara menambah keragaman etnis di Aceh.
Populasi penduduk Aceh yang berjumlah 3.930.905 tadi terdiri dari etnis Aceh (70%), Gayo Lut
(7%), Gayo Luwes (5%), Alas (4%), Singkil (3%), Jawa (3%), dan Simeuleu (2%).[13] Tentunya
bisa diingat pula legenda Machudun Sati yang terkenal sebagai leluhur Cut Nyak Din, juga
merupakan imigran dari tanah Minangkabau.[14]

Jelaslah bahwa Aceh sebagai bangsa, dapat dikategorikan pula sebagai—meminjam istilah
Benedict Anderson—imagined community, yakni bangsa sebagai suatu abstraksi atau konstruk
dari imajinasi. Pembentukan Identitas orang Aceh diperkirakan oleh Anthony Reid[15] telah
berlangsung sejak terjadinya persentuhan antara peradaban di Aceh dengan jaringan
internasional melalui perdagangan dan persebaran agama Islam, kurang lebih sejak abad ke-13.
Kondisi yang demikian bisa dimaklumi, karena Aceh pernah menjadi metropolitan pada masa
jayanya serta kenyataan bahwa posisi geografis Aceh yang strategis.

Keragaman latar belakang bangsa Aceh agaknya telah disatukan oleh persamaan nasib dan
sejarah, atau dengan lebih tepat lagi disatukan oleh keberadaan musuh bersama. Peristiwa Perang
Aceh 1873-1912, menunjukkan adanya persatuan melawankaphe diantara segenap bangsa Aceh,
yang padahal sebelumnya terjadi rivalitas antar sesama kaum uluebalang dan terdapatnya
permusuhan laten antara golongan ulama dengan bangsawan. Pada masa selanjutnya bangsa
Aceh juga memiliki common enemyyang bernama Indonesia, telah mengakibatkan bangkitnya
nasionalisme Aceh yang sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta yang
dianggap melakukan ketidakadilan, ekploitasi, dan kekerasan terhadap Aceh.[16]

D. Awal dari Sebuah Awal: Kelahiran GAM

Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM
sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri
memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan
proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera.[17] Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan,
pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu
tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah
tanah yang dilakukan secara diam-diam.[18]
Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur
pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga
pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih
berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara
Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan
upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di
camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada waktu itu, hanyalah terdiri
dari beberapa orang saja, yaitu: Presiden (Hasan Muhammad Tiro), Perdana Menteri
(Dr.Muchtar Hasbi), Wakil Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan
(Muhammad Usman), Menteri Pekerjaan Umum (Ir.Asnawi Ali), Menteri Perhubungan (Amir
Ishak BA), Menteri Sosial (Dr.Zubir Mahmud) dan Menteri Penerangan (M. Tahir Husin).[19]

Tulisan ini tidak mengkhususkan deskripsi pada peristiwa detail secara kronologis yang
berkaitan pada kejadian disekitar proklamasi ini. Penulis lebih tertarik untuk memaparkan latar
belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan peristiwa ini. Tidak sama dengan kelahiran
manusia yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal, yakni proses prokreasi, maka kelahiran
GAM sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan faktor yang tunggal namun multifaktor.
Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa
ini.

Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul


Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa
Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan
secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada
yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan
pemberontakan DI/TII Daud Beureueh.[20] Namun, penulis menilai tesis ini lemah karena meski
memiliki beberapa keterkaitan, tapi bukti bahwa GAM ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam
sebagai dasar perjuangan dan lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu
polpulisnya[21] merupakan antitesis yang jelas menggugurkan pendapat ini.

Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara
pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat
terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran
pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak
pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar
hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi
minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar
tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.[22]

Penulis menganalisis bahwa faktor ekonomi memang berpengaruh terhadap lahirnya GAM.
Tapi ia hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kromosom yang dikandung sel sperma
yang akan membuahi sel telur, hingga akhirnya melahirkan GAM. Kalau permasalahannya
hanya faktor ekonomi, maka tuntutannya tidak akan kemerdekaan. Faktor ekonomi pasti akan
diselesaikan dengan tuntutan yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pihak Aceh. Sel
sperma yang sesungguhnya dalam kelahiran GAM adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh
pihak Aceh. Sel ketidakadilan ini berisi kromosom yang berupa ketidakadilan di bidang
ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya. Faktor ketidakadilan inilah yang
merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM.

Sel telur yang siap dibuahi dalam kelahiran GAM adalah identitas ke-Aceh-an yang
dimiliki secara kuat dan mendalam oleh bangsa Aceh. Hasan Tiro meyakni bahwa Aceh
merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya,
kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu harus dikembalikan.[23] Telah
nyata bahwa bangsa Aceh memiliki kebanggaan atas dirinya sebagai bangsa yang tidak mudah
tunduk, atau mempunyai harga diri yang tinggi. Memiliki keyakinan bahwa bangsanya adalah
bangsa pejuang, yang tidak boleh direndahkan oleh pihak luar. Bangsa yang memiliki pahlawan-
pahlawan yang pantang menyerah dan siap berkorban untuk kepentingan negerinya. Bangsa yang
memiliki cita-cita mati mulia dalam keadaan syahid. Semua gambaran atas dirinya yang bisa
terrefleksikan dalam hikayat prang sabil.[24] Identitas ini semakin diperkuat dengan berbagai
ketidakadilan yang ada dan sikap meng-kaphe-kan orang non Aceh, terutama orang Jawa,
sebagai kolaborator penguasa Indonesia atas tanah Aceh.

Bertemunya sel sperma dan sel telur ini, menghasilkan janin nasionalisme dalam rahim
sejarah. Nasionalisme Aceh akhirnya mencuat ke permukaan, baik dalam bentuk paling moderat
ke arah referendum penentuan nasib sendiri (yang kemungkinan besar memilih opsi
kemerdekaan) hingga jalan radikal berupa separatisme. Nasionalisme Aceh sangat terhubung
dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta. Nasionalisme ini sendiri sebenarnya dimunculkan
oleh kegagalan Indonesia dalam menguraikan konsepsi kebangsaannya. Ditambah dengan
penguasaan atas sumber daya politik dan ekonomi Aceh, terlebih kelak ketika diberlakukannya
Daerah Operasi Militer (DOM) yang represif. Nasionalisme Aceh menguat menjadi satu pikiran
sederhana: Indonesia adalah common enemy bagi rakyat Aceh.[25]
Analisis tentang faktor kelahiran GAM yang disebabkan oleh munculnya Nasionalisme
Aceh ini bisa dilihat dari kesaksian Hasan Saleh. Ia merupakan mantan Menteri
Pertahanan/Panglima Tentara Islam Indonesia era perlawanan DI/TII, namun menolak untuk
berjuang dan mendukung GAM. Setelah terdengar desas-desus pemberontakan kembali
terdengar, ia dibujuk oleh Jalil Amin untuk turut serta dalam gerakan ini. Hasan Salah bertanya
kepada Jalil Amin mengenai tujuan gerakan ini. Yang disebut belakangan menjawab “untuk
membebaskan diri dari penjajahan Jawa.”[26]

Demikianlah, maka lahir bayi GAM yang muncul dari nasionalisme bangsa Aceh.

E. Perjuangan: Nasionalisme vis-à-vis Nasionalisme

Nasionalisme akhirnya bermuka dua, satu membebaskan dan dan satu lagi menindas.
Nasionalisme bangsa Aceh yang diwujudkan dalam bentuk kemerdekaan sendiri ternyata harus
berhadapan dengan nasionalisme Indonesia—khususnya nasionalisme yang diresapi oleh
personil militer yang menganggap NKRI harga mati—yang diwujudkan dalam bentuk
perjuangan mempertahankan keutuhan negara.

TNI menjadikan nasionalisme Aceh sebagai kartu terakhir untuk memenangkan upaya
peningkatan citra dan kepercayaannya di mata masyarakat Indonesia, sekaligus menumbuhkan
kepercayaan diri. Hal ini diperlukan pasca kegagalan mempertahankan Timor Timur dari
pangkuan ibu pertiwi. Kedua kekuatan ini, nasionalisme Aceh pada satu titik dan kebanggaan
korps TNI di titik lain, bertemu dalam suasana saling membunuh. Pertikaian pun memakan
banyak korban, baik kalangan intelektual Aceh yang semestinya menjadi tulang punggung
pembangunan Aceh,[27] maupun rakyat kebanyakan yang tidak tahu menahu akar persoalan,
termasuk pula personil TNI yang harus gugur di medan laga.

Sejak era Orde Baru hingga masa reformasi, berbagai cara dilakukan untuk menghentikan
pertikaian di Bumi Serambi Kekerasan ini. Pada masa Orde Baru, penyelesaian konflik Aceh
rupanya lebih mengedepankan penggunaan pendekatan keamanan (security approach)
ketimbang pendekatan dialog. Tercatat tidak kurang dari tiga jenis operasi militer yang
digunakan oleh pemerintahan Soeharto untuk melakukan penghentian kekerasan di Aceh.
Diawali dengan Operasi Sadar dan Siwah (1977-1982), Operasi Jaring Merah (Mei 1989-
Agustus 1998), dan Operasi Wibawa (Januari-April 1999). Oleh media massa, ketiga operasi
militer tersebut—meski yang ketiga secara periodisasi masuk era reformasi, tapi penulis
menganggap masih dalam periode transisi yang lebih memiliki wajah Orde Baru—lebih dikenal
dengan sebutan “masa DOM” (Daerah Operasi Militer).[28]
Respon pemerintah Orde Baru dengan melakukan operasi militer yang represif ini, harus
diakui membuat GAM kurang bisa berkembang. Bahkan membuat pucuk pimpinan GAM
terpaksa harus menyelamatkan diri ke luar negeri setelah serangan pihak TNI yang bertubi-tubi.
Kejadian yang memicu keputusan untuk lari ke Luar Negeri itu berlangsung 30 Desember 1978,
ketika Hasan Tiro bersama anak buahnya bersembunyi di rimba Puntjeuek, Pidie, diserang habis-
habisan oleh pihak TNI. Dalam kondisi yang kehabisan bahan makanan, “tanda jika makanan
susah naik kepada kami itu berarti musuh kami TNI berada didalam hutan.” Serangan TNI
membuat Hasan Tiro dan anak buahnya harus melarikan diri dari hujan peluru TNI. Setelah lolos
dari penyergapan, Dr.Husaini Hasan membujuk Hasan Tiro untuk pergi ke luar negeri. Husaini
Hasan[29] menceritakan peristiwa yang terjadi pada 30 Desember 1978 itu sebagai berikut:

Aku yang berada disamping Tengku WN (baca: Wali Negara—penulis) mengusulkan


kepada beliau supaya beliau mengambil kesempatan ini untuk keluar negeri. Sebetulnya
beliau telah mempersiapkan aku untuk keluar negeri mencari bantuan dan membuat
kembali hubungan dengan rekan-rekan beliau semasa beliau di LN. Beliau telah membuat
beberapa pucuk surat kepada rekan-rekan beliau di Malaysia, di Thailand, di USA dll. Dan
telah diserahkannya kepadaku. Sebelum terjadi penyerbuan ini memang aku sedang
menunggu utusan yang kami kirim untuk mengatur keberangkatanku ke LN. Mengingat
akan kejadian pengepungan hari ini dan banyak anggota kami yang kocar-kacir membuat
lebih muda untuk menyembunyikan kehilangan Tengku WN beberapa waktu. Aku sendiri
yang mengusulkan kepada Tengku WN lebih baik beliau sendiri keluar dan menggunakan
persiapan yang telah dibuat untuk keberangkatanku. Usulanku ini disambut baik oleh
Tengku WN dan beliau menyadari urgency kami waktu itu untuk mencari bantuan senjata
dan support dunia Internasional. Aku tidak menyadari akan akibat usulanku ini terjadi
perubahan besar dalam sejarah perjuangan GAM dikemudian hari.

Dengan demikian, meski GAM kurang bisa berkembang akibat respon represif, ternyata GAM
juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat pada tingkat internasional
sehingga GAM bisa terus bertahan.[30]

Sementara pada era reformasi, ada upaya dari pemerintah RI untuk mengkombinasikan
penggunaan operasi militer dengan pendekatan hukum dan sosial. Pada masa ini muncullah apa
yang disebut sebagai Operasi Sadar Rencong I (Mei 1999-Januari 2000), Operasi Sadar Rencong
II (Februari-Mei 2000), Operasi Cinta Meunasah I (Juni-September 2000), Operasi Cinta
Meunasah II (September 2000-Februari 2001), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum I
(Februari-Agustus 2001), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum II (September 2001-
Februari 2002), Operasi Pemulihan Ketertiban dan Hukum III (Februari-November 2002).
Namun berbagai operasi itu dianggap tidak efektif karena ekskalasi kekerasan yang tidak juga
mereda hingga diputuskan Operasi Darurat Militer I (19 Mei-19 November 2003)[31]
Sebenarnya sejak masa reformasi, digunakan pula metode penyelesaian non militer, namun
semuanya gagal karena kekerasan tidak kunjung reda. Penulis sama sekali tidak berminat
maupun berniat untuk mendeskripsikan secara mendetail jalannya penyelesaian militer. Hal ini
karena hanya akan membuat terciumnya bau anyir darah. Satu hal yang penulis yakini, bahwa
segala pendekatan militer yang telah ditempuh justru semakin memperkuat kebencian bangsa
Aceh terhadap Indonesia, dan akhirnya semakin memperkuat nasionalisme Aceh.

F. Awal dari Sebuah Akhir: Angin Damai dari Helsinki

Terdapat ungkapan umum bahwa untuk menyelesaikan konflik, jalur diplomasi dan militer
harus ditempuh sekaligus. Militer diibaratkan sebagai instrumen, sedang diplomasi adalah musik
yang dihasilkan oleh instrumen, sehingga dikatakan tidak akan ada musik tanpa instrumen.
Dalam tulisan ini, penulis mempunyai pendapat yang berseberangan, dengan keyakinan bahwa
musik juga bisa dihasilkan tanpa instrumen atau alat musik apapun, simaklah musik acapela.
Keyakinan penulis ini disertai harapan agar setiap konflik bisa diselesaikan secara damai atas
nama kemanusiaan, tanpa menumpahkan setetes darah pun dari masing-masing pihak yang
bertikai.

Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru cenderung
menggunakan cara militer saja tanpa disertai diplomasi. Memasuki era Reformasi, kedua
pendekatan itu sama-sama digunakan, meski masih menekankan pada cara-cara pertama. Pada
masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan
menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena
meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun ia tidak memiliki kontrol
penuh atas polisi dan militer, yang kala itu—secara personal—berada di tangan Jenderal
Wiranto. Kondisi Timor Timur pasca referendum juga meningkatkan gejolak di Aceh, yang
menuntut referendum pula sekaligus menciptakan sikap militer yang semakin keras karena tidak
mau “kecolongan” lagi.[32]

Angin segar baru berhembus pada awal 2000, ketika Presiden Abdurahman Wahid
mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan
mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada 12 Mei 2000, kedua pihak yang bertikai
melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani “Jeda Kemanusiaan” (Joint
Understanding on Humanitarian Pause for Aceh)  yang berlaku 2 Juni 2000-15 Januari 2001.
Sayangnya, kekerasan masih terjadi di lapangan. Jeda tersebut digantikan melalui Kesepakatan
Dialog Jalan Damai pada Maret 2001, namun juga tidak menghasilkan kemajuan yang berarti.
Akibatnya pada 11 April 2001, Presiden mengumumkan Instruksi Presiden No.4/2001 tentang
Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak mencakup deklarasi
keadaan darurat di Aceh.Tapi instruksi tersebut tetap saja membuka jalan bagi peningkatan
operasi militer.Impeachment terhadap Gus Dur sebenarnya juga dipengaruhi ketidakmesraan
hubungan Gus Dur dengan militer.

Pada Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur, berlaku
Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA) yang
ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Lagi-lagi jalan buntu menghadang kedua belah
pihak. Keluarlah Keputusan Presiden No.18/2003 yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk
menerapkan status darurat militer di Aceh.[33] Sebuah harga yang harus dibayar Megawati atas
kemesraannya dengan militer pasca jatuhnya Gus Dur. Akibatnya bisa ditebak, sejarah berulang,
kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Serambi Kekerasan.

Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopolsoskam) dan Jusuf Kalla (Menko Kesra) pada
Kabinet Gotong Royong Megawati, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk
menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar
(second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan
komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Peran yang menentukan
ini dijalankan oleh orang-orang kepercayaan Jusuf Kalla, terutama Farid Husein yang mampu
membangun trust building dengan keseluruhan lini GAM sampai ke pucuk pimpinannya.
[34] Duet SBY-JK yang memenangi pemilu 2004, menyebabkan second track diplomasi yang
telah dijalani bisa dilanjutkan pada masa pemerintahan mereka.

Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 Desember 2004 telah
turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut
pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan
pemberontakan bersenjata di Aceh. Antara Januari hingga Juli 2005, pemerintahan SBY-JK
melakukan lima kali “pertemuan informal” dengan GAM di Helsinki. Pertemuan informal itu
difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan Presiden
Finlandia Martti Ahtisaari.[35]

Pertemuan yang tentunya disertai dengan tarik ulur kepentingan tanpa pertumpahan darah
tentunya, akhirnya menghasilkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM yang
ditandatangani 15 Agustus 2005, yang dikenal dengan MoU Helsinki. Sebuah kompromi politik
untuk menyelesaikan masalah separatisme yang telah terjadi begitu lama, sehingga tidak
menghasilkan formula win-win solution namun lebih kelose-lose solution. Di satu sisi GAM
kalah selangkah karena mengubah tuntutannya dariself-determination menjadi self-government,
dan menerima konstitusi RI. Di sisi lain, Pemerintah RI juga kalah selangkah karena tidak
berhasil membubarkan GAM, dan hanya membubarkan Tentara Negara Aceh (TNA—yang
sekarang berubah menjadi Komite Peralihan Aceh, KPA). Namun dengan munculnya formula
kompromi di mana demokrasi lokal menjadi instrumen bagi kedua belah pihak, cara inilah yang
dapat menyelamatkan nyawa ribuan orang di Aceh yang senantiasa terhimpit oleh kekerasan
demi kekerasan yang terjadi akibat konflik.[36]

Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam
semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan
peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal
ikhwal moneter dan fiskal, kekuaaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan
tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi. Disepakati pula untuk
membentuk partai-partai lokal yang berbasis di Aceh.[37]

G. Penutup

Konflik yang berlangsung di Aceh selama lebih dari tiga puluh tahun antara GAM-
Pemerintah RI telah begitu banyak membuat negeri ini dikabuti oleh kekerasan. Telah banyak
nyawa yang dikorbankan untuk memperjuangkan hal yang sama, nasionalisme. Bangsa Aceh
berjuang untuk memperjuangkan nasionalisme Aceh, mereka yang bertarung dipihak RI
berjuang untuk mempertahankan nasionalisme Indonesia. Kedua belah pihak telah
memperjuangkan apa yang menurut mereka sebagai kebenaran.

Dari sejarah konflik ini, dapat diambil hikmah bahwa kekerasan tidak menyelesaikan
masalah justru menambah masalah baru. Kekerasan telah menambah kebencian bangsa Aceh
terhadap bangsa Indonesia. Kebencian yang dipicu oleh ketidakadilan ini, akhirnya meluap ke
permukaan, mengejawantah menjadi nasionalisme Aceh. Kekerasan yang dilawan dengan
kekerasan telah menggiring bangsa ini menuju kehancuran.

Penyelesaian damai adalah cara yang terbaik untuk mengatasi konflik. Kedua belah pihak
yang bertikai harus bisa saling memahami bahwa kekerasan bukanlah solusi. Duduk di meja
runding dengan mulut yang emosi untuk menyelesaikan masalah adalah lebih baik, daripada
menyelesaikan konflik tanpa emosi melalui mulut senjata yang berbicara.
Semoga kedamaian bisa terus berlangsung Aceh, sehingga julukan satire negeri Serambi
Kekerasan bisa hilang dari memori kolektif bangsa ini, berganti menjadi Serambi Perdamaian.

Daftar Pustaka

Adam, Asvi Warman. “Konflik dan Penyelesaian Aceh: Dari Masa ke Masa,” Aceh Baru:
Tantangan Perdamaian dan Reintegrasi. ed.M. Hamdan Basyar. Jakarta: P2P-LIPI
dan Pustaka Pelajar, 2008

Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912.Jakarta: Pustaka Sinar


Harapan, 1987

ASNLF. Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh


Merdeka, 2008 (http://www.asnlf.net/topmy.htm)

Bhakti, Ikrar Nusa. Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. Jakarta:
P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008

Daldjoeni, N. Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia). Bandung: Penerbit Alumni,


1987.

Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008

(http://www.acehinstitute.org/resume_150607_edward_aspinal.htm)

Gayatri, Irine Hiraswari. “Rekonstruksi Aceh Baru,” Beranda Perdamaian Aceh Tiga


Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka
Pelajar, 2008

Hasan, Husaini. “Sejarah GAM (bagian ke-II)” Sejarah yang dibuat Dr.Husaini Hasan,
2008 (http://my.opera.com/bassayef/blog/perjuangan-bangsa-belomlah-selesai)

Kawilarang, Harry. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki.Banda Aceh: Bandar


Publishing, 2008

Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636). Jakarta:


KPG, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2006

Lulofs, M.H.Skelely. Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh. Depok: Komunitas Bambu,
2007.

Nurhasim, Moch. Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang
Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki. Jakarta: P2P-
LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008
Piliang, Indra J. “Nasionalisme Aceh dan Negara Federal: Mengapa Tidak?” Analisis
CSIS. th XXX No.3, 2001, pp.308-316

Saleh, Hasan. Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan


Bersabung untuk Kepentingan Daerah.Jakarta: Grafiti, 1992

Siregar, Sarah Nuraini. “POLRI dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU


Helsinki,” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar
Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008

Syamsuddin, Nazaruddin. Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan


Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949.Jakarta: UI-Press, 1999

Teuku Syamsuddin, Syamsuddin. “Kebudayaan Aceh,” Manusia dan Kebudayaan di


Indonesia. ed.Koentjaraningrat. Jakarta: Djambatan, 2002

Yanuarti, Sri. “Pergeseran Peran TNI Pasca MoU Helsinki,” Beranda Perdamaian Aceh
Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki. ed.Ikrar Nusa Bhakti. Jakarta: P2P-LIPI dan
Pustaka Pelajar, 2008

[1] N. Daldjoeni, Geografi Kesejarahan I (Peradaban Dunia) (Bandung: Penerbit Alumni, 1987), p.5

[2] Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris,
dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2006), p.69-78

[3] Beaulieu dalam Lombard, Ibid, p.78

[4] M.H. Skelely Lulofs, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu, 2007)

[5] Sebagai contoh tulisan Nazaruddin Syamsuddin juga menggunakan istilah ini untuk menunjuk Aceh. Nazaruddin
Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-

1949 (Jakarta: UI-Press, 1999)

[6] Teuku Syamsuddin, “Kebudayaan Aceh” Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ed.Koentjaraningrat (Jakarta:


Djambatan, 2002) pp.229-247

[7] Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka
Pelajar, 2008), p.7
[8] Sarah Nuraini Siregar, “POLRI dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki”Beranda Perdamaian Aceh Tiga
Tahun Pasca MoU Helsinki, ed.Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008) pp. 261-291

[9] Dalam Asvi Warman Adam, “Konflik dan Penyelesaian Aceh: Dari Masa ke Masa” Aceh Baru: Tantangan
Perdamaian dan Reintegrasi, ed.M. Hamdan Basyar (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008) pp.1-23

[10] Ikrar Nusa Bhakt, op.cit. p.viii

[11] Teuku Syamsuddin, op.cit. p.232-233

[12] Ikrar Nusa Bhakti, op.cit. p.7

[13] Ibid. loc.cit

[14] Lihat M.H. Skelely Lulofs, loc.cit

[15] Dalam Irine Hiraswari Gayatri, “Rekonstruksi Aceh Baru” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU
Helsinki, ed.Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008) pp.39-85

[16] Indra J. Piliang, “Nasionalisme Aceh dan Negara Federal: Mengapa Tidak?” Analisis CSIS, tahun XXX No.3,
2001, pp.308-316

[17] Ikrar Nusa Bhakti, op.cit. p.13

[18] Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif
antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008) p.64-66

[19] Ibid. Op.cit. p.66

[20] Ibid. op.cit.p.63

[21] Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, p.1, 2008

(http://www.acehinstitute.org/resume_150607_edward_aspinal.htm)

[22] Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008) p.156

[23] Edward Aspinal, loc.cit
[24] Ibramih Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang Aceh 1873-1912 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987)

[25] Edward Aspinal, op.cit. p. 311-312

[26] Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak: Bertarung untuk Kepentingan Bangsa dan Bersabung untuk Kepentingan
Daerah (Jakarta: Grafiti, 1992)

[27] Indra J. Piliang, op.cit. p. 312

[28] Sri Yanuarti, “Pergeseran Peran TNI Pasca MoU Helsinki” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU
Helsinki, ed.Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008) pp.219-260

[29] Husaini Hasan, “Sejarah GAM (bagian ke-II)” Sejarah yang dibuat Dr.Husaini Hasan, p.1, 2008
(http://my.opera.com/bassayef/blog/perjuangan-bangsa-belomlah-selesai)

[30] Edward Aspinal, loc.cit

[31] Sri Yanuarti, op.cit, p.220

[32] Ikrar Nusa Bhakti, op.cit. p.17-21

[33] Ibid

[34] Moch. Nurhasim, op.cit. p.94-100

[35] Ikrar Nusa Bhakti, op.cit. p.20

[36] Moch. Nurhasim, op.cit. p.216

[37] Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, p.1, 2008
(http://www.asnlf.net/topmy.htm)

Anda mungkin juga menyukai