Anda di halaman 1dari 47

oleh: 

Hidayatullah Muttaqin

Pemahaman tentang politik ekonomi negara Islam sangat diperlukan untuk memahmai politik

ekonomi kebijakan fiskal Islam. Sebab politik ekonomi merupakan garis kebijakan ekonomi yang

melandasi kebijakan-kebijakan ekonomi negara seperti halnya kebijakan fiskal. Menurut an-

Nabhani, politik ekonomi merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh hukum-hukum yang

dipergunakan untuk memecahkan mekanisme mengatur urusan manusia.*1) Jadi politik ekonomi

dalam kebijakan fiskal meliputi dua hal, yaitu (a) hukum-hukum yang dipergunakan, dan (b)

tujuan yang ingin dicapai dengan hukum-hukum tersebut.

Dari sisi tujuan hukum, tujuan kebijakan fiskal Islam tidak dapat dilepaskan dari tujuan syariat

Islam. Muhammad Husain Abdullah menyebutkan ada delapan tujuan luhur syariat Islam,

yaitu; memelihara keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama, ketentraman/keamanan, dan

memelihara negara.*2) Sementara itu dalam konteks kebijakan keuangan negara, Zallumsangat

menekankan bahwa kebijakan keuangan negara Islam bertujuan untuk mencapai

kemaslahatan*3) kaum Muslimin, memelihara urusan mereka, menjaga agar kebutuhan hidup

mereka terpenuhi, tersebarnya risalah Islam dengan dakwah dan jihad fi sabililillah.*4)

Menurut an-Nahbani dan al-Maliki, politik ekonomi Islam adalah jaminan atas pemenuhan

seluruh kebutuhan pokok (al-hajat al-asasiyah/basic needs) bagi setiap individu dan juga

pemenuhan berbagai kebutuhan sekunder dan luks (al-hajat al-kamaliyah) sesuai kadar

kemampuan individu bersangkutan yang hidup dalam masyarakat tertentu dengan kekhasan di

dalamnya.*5) Dengan demikian titik berat sasaran pemecahan permasalahan dalam ekonomi

Islam terletak pada permasalahan individu manusia bukan pada tingkat kolektif (negara dan

masyarakat).*6) Menurut al-Maliki, ada empat perkara yang menjadi asas politik ekonomi

Islam. Pertama, setiap orang adalah individu yang memerlukan pemenuhan kebutuhan. Kedua,

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dilakukan secara menyeluruh

(lengkap). Ketiga, mubah(boleh) hukumnya bagi individu mencari rezki (bekerja) dengan tujuan

untuk memperoleh kekayaan dan meningkatkan kemakmuran hidupnya. Keempat, nilai-nilai

luhur (syariat Islam) harus mendominasi (menjadi aturan yang diterapkan) seluruh interaksi yang

melibatkan individu-individu di dalam masyarakat.*7)

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa politik ekonomi kebijakan fiskal Islam

adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara (Muslim dan non

Muslim/kafir dzimmi) dan mendorong mereka agar dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan

sekunder dan tersiernya sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Politik ekonomi inilah

yang menjadi garis dasar kebijakan fiskal Islam dan akan sangat terlihat dalam fungsi alokasi dan

distribusi.

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Konvensional


Berbeda dengan politik ekonomi kebijakan fiskal Islam, politik ekonomi kebijakan fiskal

konvensional seperti yang diterapkan di Indonesia menempatkan pertumbuhan ekonomi sebagai

asas atau sasaran yang harus dicapai perekonomian nasional.*8) Dalam pembahasan RAPBN

hingga menjadi APBN antara pemerintah dan DPR, termasuk pandangan para pengamat ekonomi,

salah satu isu sentralnya adalah pertumbuhan ekonomi. Misalnya, mantan Menteri Keuangan

Boediono dalam Raker Komisi IX DPR-RI tanggal 4 Mei 2004 menyatakan keyakinannya sasaran

pertumbuhan ekonomi 4,8% untuk periode tahun 2004. Boediono memprediksikan pada tahun

2005 pertumbuhan ekonomi mencapai 5,0%–5,5%. Ia optimis angka pertumbuhan tersebut

dapat dicapai dalam tahun mendatang.*9) Sementara itu dalam pidato kenegaraan Presiden RI di

hadapan DPR pada tanggal 18 Agustus, mantan Presiden Megawati menyatakan bahwa asumsi

pertumbuhan ekonomi yang mendasari RAPBN 2005 adalah 5,4%.*10)

Adapun argumentasi pemerintah, DPR, dan pengamat ekonomi yang menempatkan pertumbuhan

ekonomi sebagai sasaran utama kebijakan fiskal (dalam kerangka lebih luas kebijakan makro

ekonomi), yaitu untuk menuntaskan berbagai permasalahan krusial ekonomi seperti kemiskinan

dan pengangguran. Misalnya, Boediono menekankan seandainya angka pertumbuhan ekonomi

5,0% – 5,5% dapat dicapai, tingkat pertumbuhan sebesar itu masih belum memadai untuk

mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.*11) Maksudnya, agar kemiskinan dan

pengangguran dapat dikikis secara berarti diperlukan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Pendapat serupa juga dikemukakan mantan Menko Perekonomian Dorodjatun, bahwa untuk

mengurangi kemiskinan dan pengangguran diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Dorodjatun mencontohkan untuk menampung tenaga kerja baru sebanyak 2,5 juta orang

dibutuhkan pertumbuhan ekonomi sebesar 7%.*12) Hanya saja untuk mencapai pertumbuhan

ekonomi yang tinggi pemerintah harus realistis. Ketua Panitia Anggaran DPR, Abdullah Zainie

berpendapat angka pertumbuhan yang realistis untuk tahun 2005 adalah 5,4%. Menurutnya angka

pertumbuhan lebih dari itu, seperti 6% adalah tidak realistis mengingat keterbatasan dana

pemerintah sementara partisipasi dana swasta belum terlalu dapat diharapkan karena masih

rendahnya tingkat investasi.*13) Jadi logika kebijakan makro ekonomi yang diterapkan di

Indonesia adalah “kemiskinan dan pengangguran akan terpecahkan dengan sendirinya jika

pertumbuhan ekonomi tinggi”.*14

Betapa urgennya masalah pertumbuhan ekonomi dalam paradigma ekonomi konvensional

diungkapkan oleh Thurow. Sebagaimana dikutip Umar Capra, Thurow menyatakan “Jika negara

memiliki pertumbuhan yang lebih cepat, maka ia akan memiliki lapangan kerja yang lebih banyak

dan pendapatan yang lebih tinggi bagi siapa saja, dan ia tidak perlu risau mengenai distribusi

lapangan kerja atau pendapatan. … Dalam keadaan apa pun, distribusi sumber-sumber daya
ekonomi secara otomatis akan menjadi lebih merata seiring dengan proses pertumbuhan

ekonomi.”*15)

Agar pertumbuhan ekonomi yang tinggi tercapai maka kebijakan-kebijakan makro ekonomi dan

fiskal diarahkan untuk menggenjot tingkat produksi nasional*16) melalui peningkatan investasi,

konsumsi masyarakat, dan ekspor.*17) Lantas bagaimanakah caranya agar hal tersebut dapat

dicapai? Logikanya, untuk meningkatkan ekspor, kapasitas terpasang industri dalam negeri harus

ditingkatkan, tapi hal ini sangat tergantung pada daya saing dan permintaan pasar dunia terhadap

komoditas-komoditas yang diproduksi di Indonesia. Begitu pula untuk meningkatkan konsumsi

masyarakat, tingkat pendapatan masyarakat harus didorong, antara lain melalui penyerapan

tenaga kerja baru dan pengangguran. Artinya untuk menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin,

investasi dan kapasitas terpasang industri di Indonesia harus ditingkatkan. Sebaliknya agar

investasi meningkat, pasar dalam negeri harus memilki daya tarik bagi para investor, antara lain

berupa tingginya pemintaan (konsumsi) masyarakat. Jadi dalam logika ini, kunci peningkatan

output Indonesia (baik PDB dan PNB) adalah peningkatan investasi, dengan kata lain tingkat

investasi yang tinggi merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.*18)

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah menarik investasi dari dalam (PMDN)*19) dan luar

negeri (PMA)*20) ke Indonesia? Menjawab permasalahan rendahnya investasi di Indonesia paska

tahun 1997 Kepala Perwakilan Bank Dunia di Indonesia Andre Steer, sebagaimana dikutip

Republika mengatakan “Indonesia harus menciptakan lingkungan atau situasi kondusif (iklim

investasi – tambahan penulis) di mana orang-orang mau berinvestasi di sini.”*21) Untuk

menciptakan iklim investasi yang kondusif setidaknya pemerintah harus melakukan kebijakan-

kebijakan ekonomi dan deregulasi yang pro pasar, menciptakan stabilitas keamanan dan sosial,

kepastian hukum dan menghilangkan ekonomi biaya tinggi (seperti pungli dan korupsi). Intinya

adalah bagaimana membentuk persepsi positif tentang Indonesia di mata para investor dengan

meminimalisir country risk.

Dari sisi peranan pemerintah, tidak mengherankan jika pemerintah berusaha mengarahkan

kebijakan fiskal pro pasar (market oriented) meskipun untuk itu pemerintah harus melakukan

kebijakan yang mengesampingkan hak-hak masyarakat. Terlebih dalam situasi krisis seperti

sekarang, dengan beban utang yang sangat besar, memaksa pemerintah mengandalkan peranan

modal swasta dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi.*22)

Besarnya harapan pemerintah terhadap modal swasta dapat dilihat dari jumlah investasi yang

diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 5,4%. Menurut Abdullah Zainie, dana yang

dibutuhkan agar target pertumbuhan terpenuhi adalah Rp 440 trilyun. Sementara peranan

langsung fiskal pemerintah (APBN) yang dapat disalurkan adalah Rp 56 trilyun, sedangkan sisanya

ditutupi oleh APBD sebesar Rp 40 trilyun, BUMN dan BUMD sebesar Rp 135 trilyun, dan investasi
swasta (PMDN dan PMA) Rp 205 trilyun.*23) Atas dasar kebutuhan investasi swasta inilah,

pemerintah mengambil kebijakan apapun yang dipandang dapat memulihkan kepercayaan para

investor baik lokal maupun asing. Bahkan menurut pandangan mantan Menteri Keuangan

Boediono, pulihnya kerpecayaan para investor terhadap Indonesia merupakan syarat mutlak bagi

negeri ini keluar dari krisis ekonomi.*24)

Jadi politik ekonomi kebijakan fiskal konvensional (baca: Kapitalisme) yang diterapkan di

Indonesia berdiri di atas prinsip pertumbuhan ekonomi, di mana pertumbuhan ekonomi yang

tinggi merupakan tujuan sekaligus solusi berbagai macam permasalahan perekonomian nasional,

seperti kemiskinan dan pengangguran. Kebijakan fiskal (dalam konteks lebih luas pembangunan)

dikatakan berhasil bila pemerintah dapat membawa perekonomian Indonesia pada tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang pernah dicapai Indonesia sebelum krisis

ekonomi terjadi sejak tahun 1997. Sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang rendah atau stagnan,

dianggap sebagai kegagalan kebijakan ekonomi pemerintah.

Di atas prinsip mengejar pertumbuhan ekonomi yang tinggi, ditegakkan pula prinsip kebijakan

fiskal yang bersahabat dengan pasar (market friendly) atau bersahabat dengan para investor

(investors friendly). Dengan prinsip ini, jika terjadi benturan kepentingan antara public interest

dengan investor interestdalam kebijakan fiskal, maka pemerintah akan memenangkan kalangan

investor.*25) Seperti yang tersirat dari pemikiran Boediono, bahwa kebijakan fiskal harus

dilakukan secara berhati-hati dan dengan pertimbangan yang matang akan dampaknya terhadap

kepercayaan para investor. Jangan sampai kebijakan fiskal yang dipilih berakibat pada

melemahnya kepercayaan pasar walaupun baru sekedar “mengagetkan” mereka saja.*26)

Dalam pandangan an-Nabhani, politik ekonomi pertumbuhan adalah keliru dan tidak sesuai

dengan realitas, serta tidak akan menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan kemakmuran bagi

setiap individu secara menyeluruh. Politik ekonomi konvesional ini menitikberatkan pada

pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan

ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan

jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada

individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada

masalah peningkatan produksi.*27)

Agar hal tersebut tercapai, aturan main (hukum) dan kebijakan yang diterapkan negara harus

akomodir terhadap para pelaku ekonomi yang menjadi lokomotif pertumbuhan, yakni para pemilik

modal (investor). Konsekuensinya, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi distribusi pendapatan

menjadi sangat timpang sebab sebagian kekayaan nasional memusat di tangan segelintir orang

saja (para pemilik modal). Menurut Capra, pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendorong

peningkatan pendapatan golongan kaya dan menyebabkan kesenjangan semakin lebar.[28] Inilah
yang dikatakan an-Nahbani bahwa distribusi pendapatan di negara yang menerapkan ekonomi

Kapitalis didasarkan pada kebebasan kepemilikan, sehingga yang menang adalah yang kuat, yakni

para investor.929)

Politik Ekonomi Kebijakan Fiskal Islam

Menurut an-Nabhani, realitas menunjukkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang harus dipenuhi

adalah kebutuhan setiap individunya (misalnya si Ahmad dan Feri), bukan kebutuhan manusia

secara kolektif (seperti kebutuhan bangsa Indonesia).*30) Logikanya, untuk siapakah hasil-hasil

pertanian seperti beras, juga kebutuhan atas rumah, pelayanan pendidikan dan kesehatan, selain

untuk memenuhi kebutuhan Ahmad, Feri, dan setiap warga negara Indonesia lainnya. Jadi

pertanyaan mendasar atas permasalahan ekonomi manusia adalah apakah kebutuhan setiap

individu manusia terpenuhi atau tidak? Berdasarkan realitas tersebut, an-Nabhani menyatakan

kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan kepada setiap warga negara.*31)

Berpijak pada pemikiran ini, sasaran pemecahan permasalahan ekonomi seperti kemiskinan adalah

kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara atau bangsa. Dengan

terpecahkannya permasalahan kemiskinan yang menimpa indvidu dan terdistribusikannya

kekayaan nasional secara adil dan merata, maka hal itu akan mendorong mobilitas kerja warga

negara sehingga dengan sendirinya akan meningkatkan kekayaan nasional. Sebaliknya,

terpecahkannya kemiskinan negara yang ditandai dengan besarnya kekayaan nasional (GNP/GDP)

dan tingginya pendapatan perkapita tidak akan memecahkan kemiskinan yang menimpa individu

warga negara.*32) Misalnya, Amerika Serikat dikenal sebagai negara dengan kekuatan ekonomi

terbesar di dunia memiliki PDB sebesar US$ 10,506 trilyun pada kuartal III 2002.*33) Akan tetapi

kekuatan ekonomi sebesar itu tidak mampu menuntaskan kemiskinan di AS sendiri. Data statistik

Badan Sensus AS yang dikutip Kate Randall memaparkan tingkat kemiskinan di AS pada tahun

2001 mencapai 11,7% atau sekitar 32,9 juta jiwa. Sementara itu estimasi Randall menyatakan

30% atau sekitar 84,4 juta penduduk AS miskin.*34) Menurut Capra, adalah sebuah paradoks di

negara-negara paling kaya dan paling kuat ekonominya di dunia tetapi jutaan penduduknya

berkutat dalam kemiskinan dan terjebak di pemukiman-pemukiman yang buruk dan semakin

buruk.*35)

Ketika kunci permasalahan ekonomi terletak pada distribusi kekayaan yang adil, maka yang harus

dijelaskan adalah bagaimanakah metode untuk menciptakan distribusi kekayaan yang adil melalui

kebijakan fiskal, sebagaimana yang dikatakan Allah dalam Qs. al-Hasyr [59]: 7 yang artinya

“… Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu

…”.

Dalam Islam, kebijakan fiskal hanyalah salah satu mekanisme untuk menciptakan distribusi

ekonomi yang adil. Karenanya kebijakan fiskal tidak akan berfungsi dengan baik bila tidak
didukung oleh mekanisme-mekanisme lainnya yang diatur melalui syariat Islam, seperti

mekanisme kepemilikan, mekanisme pemanfaatan dan pengembangan kepemilikan, dan

mekanisme kebijakan ekonomi negara.*36) Dengan kata lain, syariat Islam harus diterapkan

secara menyeluruh (kaffah) tanpa dipilah-pilah (parsial) agar syari’ah mechanism dapat

dengan sempurna mengatur distribusi ekonomi yang adil. Adapun peranan kebijakan fiskal sebagai

salah satu bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian merupakan konsekuensi logis dari

kewajiban syariat sebagai jawaban atas salah satu realitas yang menunjukkan bahwa tidak semua

warga negara memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang dalam ekonomi

konvensional dikenal sebagai masalah “eksternalitas” dan kegagalan pasar (market failure).

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, politik ekonomi yang mendasari kebijakan fiskal Islam

adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu secara menyeluruh dan mendorong

mereka memenuhi berbagai kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai dengan kadar

kemampuannya. Menurut al-Maliki kebutuhan pokok yang disyariatkan oleh Islam terbagi

dua.Pertama, kebutuhan-kebutuhan primer bagi setiap individu secara menyeluruh. Kebutuhan

ini meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).*37) Kedua,

kebutuhan-kebutuhan pokok bagi rakyat secara keseluruhan. Kebutuhan-kebutuhan katagori ini

adalah keamanan, kesehatan dan pendidikan.*38)

Dari politik ekonomi ini dapat dijabarkan arah kebijakan fiskal Islam sebagai berikut:

Pertama, negara Islam melihat permasalahan kemiskinan yang harus dipecahkan adalah

kemiskinan yang menimpa individu bukan kemiskinan yang menimpa negara.*39)

Kedua, negara Islam menempatkan masalah kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang krusial

dan mendesak untuk dipecahkan.

Ketiga, kebijakan untuk memecahkan masalah kemiskinan secara langsung diarahkan kepada

individu, yakni setiap warga negara yang masuk katagori miskin.*40)

Keempat, kebijakan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok ditujukan kepada seluruh warga

negara tanpa memandang agama, warna kulit, suku bangsa, dan status sosial. Hanya saja

intervensi negara melalui kebijakan fiskal berupa jaminan pemenuhan akan pangan, sandang dan

papan khusus ditujukan kepada warga negara miskin yang kepala keluarga dan ahli warisnya tidak

mampu lagi memberikan nafkah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarganya.

Sedangkan warga negara yang berasal dari keluarga mampu tidak mendapatkan subsidi negara.

Selanjutnya intervensi negara dalam pengadaan jaminan dan pelayanan keamanan, kesehatan

dan pendidikan (public utilities) secara cuma-cuma ditujukan kepada seluruh warga negara tanpa

memandang apakah warga tersebut dari golongan kaya atau tidak. Artinya dalam katagori ini

subsidi diberikan kepada seluruh rakyat.


Kelima, negara memahami bahwa setiap warga masyarakat berhak untuk mendapatkan kekayaan

dan meningkatkan kekayaan yang dimilikinya asalkan diperoleh dengan jalan yang

dibenarkan syara’. Karena itu, negara Islam melakukan intervensi dengan tujuan mendorong

warga masyarakat memperoleh kekayaan yang dapat mereka gunakan untuk memenuhi

kebutuhan sekunder dan tersiernya secara ma’ruf*41) sesuai dengan kemampuan warga itu

sendiri. Bentuk-bentuk intervensi ini disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, sumber daya

manusia, sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi warga masyarakat setempat. Maksudnya

pola kebijakan yang diterapkan tidak pukul rata dan tidak sentralistik, tetapi bersifat bottom

up sesuai kondisi dan harapan warga masyarakat setempat. Intinya pola kebijakan yang

diterapkan ditujukan untuk mencapai kemaslahatan warga masyarakat.

Keenam, intervensi pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi.

Kebijakan pada level makro ini harus diturunkan (dijabarkan) ke dalam level mikro yang

bersentuhan langsung dengan aktivitas riil ekonomi masyarakat. Karena itu agar efek fiskal

berdampak positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas dan menyeluruh,

pemerintah harus mengembangkan pola-pola kebijakan (skema) mikro yang bottom updengan

menyesuaikannya dengan potensi, kondisi, dan aspirasi warga masyarakat. Dari sisi permodalan

negara dapat mengembangkan pola pinjaman tanpa bunga, subsidi, atau

pola patnership seperti mudharabah danmusyarakah. Di sisi lain negara juga harus menyediakan

infrastruktur, sarana dan pra sarana yang menunjang kegiatan produksi, jasa dan perdagangan

masyarakat, seperti listrik, sarana komunikasi, jalan umum dan sarana transportasi, serta

bangunan pasar. Juga negara harus memberikan kemudahan akses bahan baku, menyediakan

informasi dan membantu pemasaran, termasuk memperkerjakan tenaga ahli dan konsultan untuk

melatih dan membentuk jiwa wira usaha (interprenurship) ataupun keahlian teknis bagi para

pekerja.

Ketujuh, negara harus mampu menjalankan politik pertanian dan politik industri yang sesuai

tuntutan syara’ untuk mencapai kemandirian ekonomi. Sebab penguasaan dua pilar

perekonomian ini sangat menentukan kekuatan ekonomi nasional dari segi kemampuannya untuk

memenuhi kebutuhan pangan nasional, dan pasokan alat-alat pertanian untuk meningkatkan

produktivitas pertanian, dan pasokan mesin-mesin pabrik dan industri.

Kedelapan, negara Islam wajib mengadakan fasilitas umum dan pelayanan publik yang sangat

dibutuhkan oleh warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga berbagai kepentingan

dan urusan masyarakat terpenuhi dengan lancar.

Kesembilan, agar pejabat dan aparatur negara (termasuk tenaga ahli yang dikontrak

pemerintah) dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, dan juga supaya

kewenangan yang mereka miliki tidak disimpangkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok,

maka negara wajib memberikan santunan dan gaji yang layak kepada mereka.
Kesepuluh, sebagaimana yang dipaparkan Zallum bahwa kebijakan fiskal tidak hanya berfungsi

dalam tataran ekonomi, tetapi juga untuk pertahanan dan keamanan, serta penyebaran agama

Islam ke seluruh penjuru dunia. Karena itu kebijakan fiskal Islam juga difokuskan untuk

mendukung dan menjaga kesinambungan (sustainability) jihad fi sabilillah dan dakwah

Islamiyah.Wallahu a’lam bishawab.

——————————————————————————–

[1] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, (An-Nidlam

al-Iqtishadi fil Islam), alih bahasa Moh. Maghfur Wachid, cet. v, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000),

hal. 52. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Abdurrahman al-Maliki dalam bukunya

“Politik Ekonomi Islam (terjemahan)”. Menurut al-Maliki, politik ekonomi merupakan target

yang menjadi sasaran hukum-hukum yang menangani pengaturan perkara-perkara manusia.

(Lihat Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, (As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), alih

bahasa Ibnu Sholah, cet. i, (Bangil: Al-Izzah, 2001), hal. 37.

[2] Muhammad Husain Abdullah, Studi Dasar-Dasar Pemikiran Islam, (Dirasat fi al-Fikri al-Islami),

alih bahasa Zamroni, cet. i, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 80.

[3] Dengan adanya tujuan mencapai kemaslahatan atau kebaikan bagi kaum Muslimin, bukan

berarti kemaslahatan menjadi tolak ukur kebijakan fiskal. Tetapi yang dimaksud dengan

kemaslahatan bagi kaum Muslimin adalah segala hal yang menurut syara’ baik bagi umat, dan

untuk mencapai kemaslahatan tersebut kebijakan fiskal yang ditempuh harus didasarkan kepada

syara’ itu sendiri bukan didasarkan kepada kemaslahatan.

[4] Lihat Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, (Al Amwal fi Daulah Al

Khilafah), cet. i, alih bahasa Ahmad S. dkk, (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2002), hal. 4, 5, 13,

14, 28, 30, 34, 36, 50, 67, 138, ,139.

[5] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif…, hal. 52. Abdurrahman al-

Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[6] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi…, hal. 53. Abdurrahman al-Maliki,

Politik Ekonomi Islam, hal 37.

[7] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 37.

[8] Revrisond Baswir dkk, Pembangunan tanpa Perasaan: Evaluasi Pemenuhan Hak Ekonomi

Sosial dan Budaya, cet. ii, (Jakarta: ELSAM, 2003), hal. 2-3.
[9] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan tentang Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka

Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2005, http://www.fiskal.depkeu.go.id

[10] Central for Banking Crisis Indonesia, Defisit Anggaran RAPBN 2005 Rp 16,9 Trilyun, 16

Agustus 2004, http://www.cbcindonesia.com

[11] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[12] Gatra Online, Djatun: Empat Langkah Kurangi Kemiskinan, 17 Oktober

2003, http://www.gatra.com Menurut perhitungan FE UI yang dikemukakan oleh Khatib Basri,

dalam beberapa tahun terakhir setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyerap

200 – 250 ribu tenaga kerja. Berdasarkan perhitungan ini, pertumbuhan ekonomi sebesar

5,45% hanya akan menyerap 1.090.000 – 1.350.000 tenaga kerja. (Lihat M. Khatib Basri,

Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi, 5 Juli 2004, http://www.kompas.com) Menurut Mubyarto,

hubungan pertumbuhan ekonomi dengan kemiskinan tidak lurus dan tidak konsisten. (Lihat

Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran, dan Ekonomi Indonesia, 4 Agustus

2003, http://www.ekonomipancasila.org)

[13] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani Menargetkan Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen

2005, 17 Mei 2004, http://www.kompas.com

[14] Lihat Mubyarto, Kemiskinan, Pengangguran…, Republika Online, Mubyarto: Ekonomi

Indonesia Keliru, 10 Desember 2003,http://www.republika.co.id, Gatra Online, Djatun: Empat

Langkah, Kurangi Kemiskinan, M. Khatib Basri, Kembali ke Dasar Prinsip Ekonomi.

[15] Leter Thurow, The Illusion of Economy Necessity, dalam Solo and Anderson (1981), hal. 250,

dalam M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Islam and Economic Challenge), alih

bahasa Ikhwan Abidin Basri, cet i, (Jakata: Gema Insani Press, 2000), hal. 52.

[16] Pertumbuhan ekonomi merupakan pertumbuhan tingkat output suatu negara secara

keseluruhan. (Lihat Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, Makroekonomi: Edisi

keempatbelas, (Macroeconomics), alih bahasa Haris Munandar dkk, cet. iv, (Jakarta: Penerbit

Erlangga, 1997), hal. 55.)

[17] Boediono, Keterangan Menteri Keuangan.

[18] Di masa Orde Baru kepercayaan akan kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam

menuntaskan kemiskinan (trickle down effect) – meskipun kemudian dibungkus trilogi

pembangunan – telah menyeret Indonesia pada jebakan utang (debt trap). Pemerintah saat itu

meyakini utang luar negeri merupakan sumber investasi pembangunan yang sangat penting untuk

menggerakkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

[19] Penanaman modal dalam negeri.


[20] Penanaman modal asing.

[21] Republika Online, CGI Prihatinkan Iklim Investasi di Indonesia, 4 Juni

2004, http://www.republika.co.id

[22] Dari sisi tren ekonomi global memang terjadi penurunan (pergeseran) peranan pemerintah

dalam menggerakkan pertumbuhan ekonomi dibandingkan peranan swasta. Hal ditandai dengan

berkurangnya peranan pinjaman luar negeri dibandingkan peranan penanaman modal swasta

dalam investasi. Menurut laporan Bank Dunia dalam Global Development Finance, selama periode

1990-1996 peranan pinjaman luar negeri menurun dan cenderung stagnan, sedangkan arus modal

swasta meningkat tanpa fluktuasi. Pada tahun 1996, jumlah pinjaman luar negeri yang diserap

negara-negara berkembang sebesar US$ 60 miliar, sementara arus modal swasta yang masuk ke

negara-negara berkembang mencapai US$ 244 miliar. (Republika, Ketika Arus Dana Swasta ke

Negara Berkembang Melonjak, 26 Maret 1997.)

[23] Kompas edisi online, Pemerintah tidak Berani.

[24] Dalam hal ini Boediono juga menyalahkan ketiadaan kepercayaan pasar sebagai penyebab

utama krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia (Lihat Boediono, Kebijakan Fiskal:

Sekarang dan Selanjutnya, dalam Heru Subyantoro (ed.), Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep,

dan Implementasi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003), hal. 48.). Sewaktu kampanye

pemilihan umum presiden tahap I dan II 2004, para calon presiden dan wakil presiden sama-sama

menekankan pentingnya kepercayaan pasar untuk membangkitkan perekonomian Indonesia.

[25] Contohnya pemerintah lebih memilih memberikan subsidi kepada perbankan nasional dengan

mengurangi dan menghapus berbagai subsidi untuk masyarakat. Mahalnya biaya pendidikan,

khususnya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri merupakan salah satu dampak

penghapusan subsidi pendidikan.

[26] Boediono, Kebijakan Fiskal, hal. 49.

[27] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19-20.

[28] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 52.

[29] Taqiyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi, hal. 19.

[30] Ibid, hal. 20.

[31] Ibid.

[32] Ibid.
[33] Council of Economic Advisers USA, Economic Report of the Presiden February

2003, http://w3.access.gpo.gov/usbudget/fy2004/sheets/b1.xls

[34] Kate Randall, US Poverty Rose Sharply in 2001, 27 September 2002,http://www.wsws.org

[35] M. Umar Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi, hal. 132.

[36] Detail pembahasan tentang hal ini silahkan dibaca buku Taqiyuddin an-Nabhani

“Membangun Sistem Ekonomi Alternatif”.

[37] Dalil syara’nya antara lain QS. al-Baqarah: 184 dan 233, an-Nisa: 5, al-Hajj: 28, ath-

Thalaq: 6, at-Taubah: 24.

[38] Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Islam, hal. 168 dan 186.

[39] Pandangan ini bukan pandangan yang mengedepankan individu (individualistik), tapi

realitanya memang yang ditimpa kemiskinan itu adalah si individunya, yakni si A, si B, si C, dan

lain-lainnya.

[40] Negara Islam langsung mengarahkan kebijakan fiskalnya kepada warga masyarakat yang

ditimpa kemiskinan. Arah ini berbeda 180 derajat sengan kebijakan fiskal konvensional yang untuk

memecahkan kemiskinan harus menggemukkan golongan kaya dulu baru kemudian kekayaan

yang dipupuk secara nasional dialirkan dari golongan kaya tersebut ke golongan miskin (trickle

down effect) melalui mekanisme pasar.

[41] Secara baik di mana perkembangan kebutuhan sekunder dan tersier mengikuti

perkembangan sarana kehidupan dan teknologi, serta kebiasaan masyarakat setempat (lokal).
1. INDONESIA, sejak ambruk krisis Mei 1998 kehidupan ekonomi masyarakat terasa tetap buruk

saja. Lalu, mengapa demikian sulit memahami dan mengatasi krisis ini?

Sebab suatu masalah selalu kompleks, namun selalu ada beberapa akar masalah utamanya.

Dan, saya merumuskan (2000) bahwa kemampuan usaha seseorang dan organisasi (juga

perusahaan, departemen, dan sebuah negara) memahami dan mengatasi krisis apa pun adalah

paduan kualitas nilai relatif dari motivasi, alat (teknologi) dan (sistem) ilmu pengetahuan yang

dimilikinya. Di sini, hanya menyoroti salah satunya, yaitu ilmu pengetahuan, system ilmu

pengetahuan. Pokok bahasan itu demikian penting, yang dapat diketahui dalam pembicaraan

apa pun, selalu dikatakan dan ditekankan dalam berbagai forum atau kesempatan membahas

apa pun bahwa untuk mengelola apa pun agar baik dan obyektif harus berdasar pada sebuah

sistem, sistem ilmu pengetahuan. Baik untuk usaha khusus bidang pertanian, manufaktur,

teknik, keuangan, pemasaran, pelayanan, komputerisasi, penelitian, sumber daya manusia dan

kreativitas, atau lebih luas bidang hukum, ekonomi, politik, budaya, pertahanan, keamanan

dan pendidikan. Kemudian, apa definisi sesungguhnya sebuah sistem, sistem ilmu

pengetahuan itu? Menjawabnya mau tidak mau menelusur arti ilmu pengetahuan itu sendiri.

Ilmu pengetahuan atau science berasal dari kata Latin scientia berarti pengetahuan, berasal

dari kata kerja scire artinya mempelajari atau mengetahui (to learn, to know). Sampai abad

XVII, kata science diartikan sebagai apa saja yang harus dipelajari oleh seseorang misalnya

menjahit atau menunggang kuda. Kemudian, setelah abad XVII, pengertian diperhalus

mengacu pada segenap pengetahuan yang teratur (systematic knowledge). Kemudian dari

pengertian science sebagai segenap pengetahuan yang teratur lahir cakupan sebagai ilmu

eksakta atau alami (natural science) (The Liang Gie, 2001), sedang (ilmu) pengetahuan sosial

paradigma lama krisis karena belum memenuhi syarat ilmiah sebuah ilmu pengetahuan. Dan,

bukti nyata masalah, ini kutipan beberapa buku pegangan belajar dan mengajar universitas

besar (yang malah dicetak berulang-ulang):

Contoh, “umumnya dan terutama dalam ilmu-ilmu eksakta dianggap bahwa ilmu pengetahuan

disusun dan diatur sekitar hukum-hukum umum yang telah dibuktikan kebenarannya secara

empiris (berdasarkan pengalaman). Menemukan hukum-hukum ilmiah inilah yang merupakan

tujuan dari penelitian ilmiah. Kalau definisi yang tersebut di atas dipakai sebagai patokan,

maka ilmu politik serta ilmu-ilmu sosial lainnya tidak atau belum memenuhi syarat, oleh

karena sampai sekarang belum menemukan hukum-hukum ilmiah itu” (Miriam Budiarjo,

Dasar-Dasar Ilmu Politik, 1982:4, PT Gramedia, cetakan VII, Jakarta). Juga, “diskusi secara

tertulis dalam bidang manajemen, baru dimulai tahun 1900. Sebelumnya, hampir dapat

dikatakan belum ada kupasan-kupasan secara tertulis dibidang manajemen. Oleh karena itu

dapat dikatakan bahwa manajemen sebagai bidang ilmu pengetahuan, merupakan suatu ilmu

pengetahuan yang masih muda. Keadaan demikian ini menyebabkan masih ada orang yang
segan mengakuinya sebagai ilmu pengetahuan” (M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen,

2005:19, Gajah Mada University Press, cetakan kedelapan belas, Yogyakarta).

Kemudian, “ilmu pengetahuan memiliki beberapa tahap perkembangannya yaitu tahap

klasifikasi, lalu tahap komparasi dan kemudian tahap kuantifikasi. Tahap Kuantifikasi, yaitu

tahap di mana ilmu pengetahuan tersebut dalam tahap memperhitungkan kematangannya.

Dalam tahap ini sudah dapat diukur keberadaannya baik secara kuantitas maupun secara

kualitas. Hanya saja ilmu-ilmu sosial umumnya terbelakang relatif dan sulit diukur dibanding

dengan ilmu-ilmu eksakta, karena sampai saat ini baru sosiologi yang mengukuhkan

keberadaannya ada tahap ini” (Inu Kencana Syafiie, Pengantar Ilmu Pemerintahan, 2005:18-

19, PT Refika Aditama, cetakan ketiga, Bandung).

Lebih jauh, Sondang P. Siagian dalam Filsafat Administrasi (1990:23-25, cetakan ke-21,

Jakarta), sangat jelas menggambarkan fenomena ini dalam tahap perkembangan (pertama

sampai empat) ilmu administrasi dan manajemen, yang disempurnakan dengan (r)evolusi

paradigma TOTAL QINIMAIN ZAINn (TQZ): The Strategic-Tactic-Technique Millennium III

Conceptual Framework for Sustainable Superiority, TQZ Administration and Management

Scientific System of Science (2000): Pertama, TQO Tahap Survival (1886-1930). Lahirnya ilmu

administrasi dan manajemen karena tahun itu lahir gerakan manajemen ilmiah. Para ahli

menspesialisasikan diri bidang ini berjuang diakui sebagai cabang ilmu pengetahuan. Kedua,

TQC Tahap Consolidation (1930-1945). Tahap ini dilakukan penyempurnaan prinsip sehingga

kebenarannya tidak terbantah. Gelar sarjana bidang ini diberikan lembaga pendidikan tinggi.

Ketiga, TQS Tahap Human Relation (1945-1959). Tahap ini dirumuskan prinsip yang teruji

kebenarannya, perhatian beralih pada faktor manusia serta hubungan formal dan informal di

tingkat organisasi. Keempat, TQI Tahap Behavioral (1959-2000). Tahap ini peran tingkah-laku

manusia mencapai tujuan menentukan dan penelitian dipusatkan dalam hal kerja. Kemudian,

Sondang P. Siagian menduga, tahap ini berakhir dan ilmu administrasi dan manajemen akan

memasuki tahap matematika, didasarkan gejala penemuan alat modern komputer dalam

pengolahan data. (Yang ternyata benar dan saya penuhi, meski penekanan pada sistem ilmiah

ilmu pengetahuan, bukan komputer). Kelima, TQT Tahap Scientific System (2000-Sekarang).

Tahap setelah tercapai ilmu sosial (tercakup pula administrasi dan manajemen) secara sistem

ilmiah dengan ditetapkan kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukumnya, (sehingga ilmu

pengetahuan sosial sejajar dengan ilmu pengetahuan eksakta). (Contoh, dalam ilmu

pengetahuan sosial paradigma baru milenium III, saya tetapkan satuan besaran pokok Z(ain)

atau Sempurna, Q(uality) atau Kualitas dan D(ay) atau Hari Kerja – sistem ZQD, padanan

m(eter), k(ilogram) dan s(econd/detik) ilmu pengetahuan eksakta – sistem mks. Paradigma

(ilmu) pengetahuan sosial lama hanya ada skala Rensis A Likert, itu pun tanpa satuan).

(Definisi klasik ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara teratur.

Paradigma baru, TQZ ilmu pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang tersusun secara
teratur membentuk kaitan terpadu dari kode, satuan ukuran, struktur, teori dan hukum yang

rasional untuk tujuan tertentu).

Bandingkan, fenomena serupa juga terjadi saat (ilmu) pengetahuan eksakta krisis paradigma.

Lihat keluhan Nicolas Copernicus dalam The Copernican Revolution (1957:138), Albert Einstein

dalam Albert Einstein: Philosopher-Scientist (1949:45), atau Wolfgang Pauli dalam A Memorial

Volume to Wolfgang Pauli (1960:22, 25-26).

Inilah salah satu akar masalah krisis Indonesia (juga seluruh manusia untuk memahami

kehidupan dan semesta). Paradigma lama (ilmu) pengetahuan sosial mengalami krisis

(matinya ilmu administrasi dan manajemen). Artiya, adalah tidak mungkin seseorang dan

organisasi (termasuk perusahaan, departemen, dan sebuah negara) pun mampu memahami,

mengatasi, dan menjelaskan sebuah fenomena krisis usaha apa pun tanpa kode, satuan

ukuran, struktur, teori dan hukum, mendukung sistem-(ilmu pengetahuan)nya.

PEKERJAAN dengan tangan telanjang maupun dengan nalar, jika dibiarkan tanpa alat bantu,

membuat manusia tidak bisa berbuat banyak (Francis Bacon).

BAGAIMANA strategi Anda?

*) Ahli strategi, tinggal di Banjarbaru, email: tqz_strategist@yahoo.co.id(www.scientist-

strategist.blogspot.com).

THANK you very much for Dr Heidi Prozesky – SASA (South African Sociological Association)

secretary about Total Qinimain Zain: The New Paradigm – The (R)Evolution of Social Science

for the Higher Education and Science Studies sessions of the SASA Conference 2008.

Balas

2. Countryman mengatakan:

April 10, 2008 pukul 2:41 am

Kalau mau diselesaikan secara legal formal ya sueh dong. Kelemahannya ada diundang2..akan

menjadi PIDANA kalau SENGAJA merusak/mencemarkan Lingkungn. Tetapi, kalau ditetapkan

UU baru dimana PIDANA ditonjolkan dengan “telah mengakibatkan kerusakan lingkungan”,

Semua Industri tanpa keculai akan bubar, semua kendaraan bermotor harus berhenti,

termasuk kapal udara , kereta api dan kapal laut. Depeinisi pencemeran lingkungan telah

dikaburkan oleh beberapa LSM yang tujuannya KLAIM, sehingga pembangunan menjadi

“Mission Impossible”. KLH di Indonesia hanya berkuta melindungi LINGKUNGN tetapi tidak

melindungi ISI LINGKUNGAN yaitu MANUSIA….Lumpur Lapindo dizaman Geologi Purba adalah

Marine environtment..alis dibentuk didasar laut..artinya akan sangat kompatibel dengan

habitat laut……………

Balas
3. DN Antasena mengatakan:

Februari 19, 2008 pukul 5:06 am

Sebagai peristiwa pidana yang berdampak luas dan luar biasa, dalam UU no 23 tahun 1997

diatur beberapa penyelesaian termasuk sebuah mekanisme tentang Paksaan Pemerintah,

Penyelesaian Perdata, dan Penyelesaian Pidana. Satu sama lain tidak saling berhubungan,

meskipun itu tergantung dari dampak lingkungan yang terjadi dalam sebuah kasus lingkungan

hidup. Dalam kasus Lapindo ini, sangat layak jika ketiga mekanisme tersebut dijalankan secara

bersama-sama dengan tujuan membentuk deterrence effect sebagaimana pendapat Beccaria

dalam konsep pembentukan perilaku masyarakat.

Pemerintah Daerah dan Menteri LH dapat melaksanakan mekanisme Paksaan Pemerintah

(Bestuurdwang) dengan mewajibkan shareholders untuk mengganti kerugian fisik yang terjadi

dan yang jelas pasti akan terjadi. Jenis tindakan atau kebijakan lain juga dapat dikenakan. Lalu

gugatan perdata sudah dilaksanakan baik oleh WALHI maupun korban langsung, meskipun

belum korban dan lingkungan hidup masih dikalahkan oleh pengadilan. Sedangkan proses

pidana saat ini menunjukkan bahwa lingkungan hidup dan negara sudah kalah dengan SP3 dari

Polda Jatim.

Yang perlu diingat adalah UU adalah buatan manusia. Dia bisa tajam dan berfungsi optimal,

atau tumpul tanpa guna, atau bahkan bisa menjadi alat hiperbola sebuah peristiwa perusakan

lingkungan hidup, sangat bergantung dari manusia yang menggunakannya. Dan perlu disadari

bahwa sebuah pembentukan perilaku melalui penegakan hukum harus memperhatikan asas

Kesepadanan, Kesegeraan, Kepastian, dan Kesegaran (Severity, Swift, Certainity, and Celerity)

dari kasus yang terjadi.

Balas

4. Tonas mengatakan:

Februari 13, 2008 pukul 6:52 am

Hari kasih sayang atau Valentine’s Day sebenarnya bukan bagian tradisi Indonesia karenanya

para siswa Muhammadiyah se-Surabaya dilarang menggadakan, mengikuti dan merayakan

Valentine’s Day yang diperingati 14 Februari besok.

Sungguh ironis Cuplikan Berita yang kami dapatkan di salah satu Media ini. Disini kami

mempertanyakan, kenapa ini bisa di konotasikan dan di artikan AMAT SEMPIT oleh Para

PENDIDIK ini…????? Kalau memang Valentine’s Day bukan bagian dari Tradisi Indonesia,

BAGAIMANA YANG DI MAKSUD DENGAN TRADISI INDONESIA…????? IMLEK kemarin itu apa

juga merupakan TRADISI INDONESIA …???? Kalau Lebih EKSTRIM LAGI APAKAH ISLAM &
KRISTEN ITU JUGA MERUPAKAN TRADISI INDONESIA…???? Wah sungguh amat disesalkan dan

dipertanyakan kalau masih ada PENDIDIK yang model Begini ini BISA mendidik ANAK-2

GENERASI PENERUS BANGSA….!!!!!

Balas

5. AUGI, ST mengatakan:

Januari 25, 2008 pukul 3:05 am

Ass.Wr.Wb.

Pihak Lapindo Brantas Inc, dan Grup Bakrie yang melakukan eksplorasi tanpa Amdal sudah

selayaknya memberikan ganti rugi perumahan pada korban Lapindo.

Eksplorasi di lahan perumahan dan sentra industri mempunyai konsekuensi pembebasan lahan.

Sekarang lumpur mulai mengeluarkan gas yang dikhawatirkan menyebabkan kebakaran.

Semoga mempunyai nilai ekonomis.

Sebagai Menko Kesejahteraan Rakyat RI dan Pemegang Saham PT. Bakrie, Businessman

terkaya di Indonesia versi majalah Forbes Asia berkomitmen mengenai masalah ini.

Seluruh zakat, infak dan sodaqoh penghasilan dari seluruh Grup Bakrie, dapat dikumpulkan

dan dibuatkan pemukiman perumahan relokasi korban porong. Investasi selain Bakrie

Epicentrum.

Sehingga tidak ada aduan pengungsi yang teraniaya, biasa hidup dirumah dengan sekat, kini

hidup bersama tampa sekat bertahun-tahun.

Wallahu Alam B.

Wass.Wr.Wb.

AUGI

Balas

6. Tonas mengatakan:

Januari 15, 2008 pukul 4:18 am

Bangun 5.000 rumah berkelas regency

Minarak utamakan korban lumpur

Cetak

SURABAYA: PT Minarak Lapindo Jaya segera menyiapkan 5.000 unit rumah yang

peruntukannya diutamakan bagi warga korban lumpur Porong berlokasi di Kecamatan


Sukodono, Kabupaten Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur. Kompleks perumahan berkelas regency

tersebut dibangun PT wahana Arta Raya dengan nama Kahuripan Nirwana Village (KNV).

PT Minarak Lapindo Jaya memesan rumah Tipe 36/90 sebanyak 4.000 unit, Tipe 54/150

sejumlah 800 unit, dan Tipe 70/150 berjumlah 200 unit.

Selain itu, di lokasi KNV juga akan dibangun fasilitas umum seperti 1 masjid, 12 unit mushala,

12 balai RW, 1 unit puskesmas, 12 jenis sarana olahraga, 12 pos jaga, club house, sekolah dan

pesantren.

“Kami menargetkan pada Mei 2008, warga korban lumpur yang membeli unit rumah di KNV

sudah bisa menerima kunci,” kata Andi Darussalam Tabussala, Wakil Direktur Utama PT

Minarak kepada wartawan, Sabtu, 24 November sebagaimana dilaporkan beritajatim.com.

Menurut dia, penawaran 5.000 unit rumah itu akan diprioritaskan bagi warga korban lumpur

dan bukan sebagai relokasi.

Bagi korban lumpur yang berminat membeli, bisa melihat lokasi KNV mulai 2 Desember 2007.

“Ini bukan sebagai relokasi, tapi murni bisnis. Kami menawari korban lumpur untuk membeli

unit rumah di lokasi yang sama,” ujarnya.

Penawaran tersebut, kata Andi, terkait dengan hak warga korban lumpur atas sisa pembayaran

ganti-rugi yang masih 80%.

“Karena mereka masih punya sisa 80%, jadi tidak perlu lagi pusing berurusan dengan bank.

Jika sepakat, mereka tinggal datang dan pada Mei 2008 sudah menerima kunci rumah baru

lengkap dengan sertifikatnya,” tutur Andi.

Dia menjelaskan, bagi warga, terutama korban lumpur yang punya rumah tipe 37 dengan luas

tanah 72 m2 di kompleks Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) I yang kini

terendam lumpur, maka akan mendapat rumah tipe 36 dengan luas tanah 90m2 jika membeli

di KNV.

Bagi warga yang tadinya menempati rumah Tipe 45, tetapi tidak ingin membeli rumah Tipe 45,

Andi menegaskan Lapindo akan membayarkan secara tunai kelebihan tipe rumah dimaksud.

“Bagi korban lumpur yang tadinya memiliki tipe rumah lebih besar tapi ingin membeli rumah

tipe kecil, kami akan mengembalikan selisihnya dalam bentuk tunai. Jadi saat serah terima

kunci, mereka akan terima sertifikat sekaligus sisa uang silisih dimaksud,” tambah Andi.

INILAH ENDING YANG DI HARAPKAN OLEH LAPINDO DAN PEMERINTAH, DENGAN GAMBARAN

STATEMENT DIATAS, MAKA “SEOLAH-OLAH” SECARA “MORAL TANGGUNG JAWAB DAN

KEWAJIBAN TERHADAP SISA PEMBAYARAN 80%” TERHADAP KORBAN LUAPAN LUMPUR SUDAH

TERSELESAIKAN OLEH LAPINDO.


Balas

7. Tonas mengatakan:

Desember 14, 2007 pukul 8:24 am

Hukum yang mana Bung Surya..???? Kalau Hukum Rimba sudah berdiri tegak mulai bangsa ini

belum MERDEKA, akan tetapi sampai dengan Bangsa ini sudah REFORMASI, Hukum Rimba itu

masih tetap berdiri TEGAK tidak tergoyahkan…!!! Kami tidak butuh Embel-embel TANGGUNG

JAWAB SOSIAL PERUSAHAAN, kalau memang NEGARA yang mau mengambil alih

permasalahan ini BERIKAN KEBIJAKAN yang jelas. Itu saja YANG DI PERLUKAN OLEH KAMI

PARA KORBAN LUMPUR INI, Jangan digantung TIDAK ADA UJUNG PANGKALNYA, semua-nya

sudah jelas dan transparan tentang APA dan SIAPA yang MENGAKIBATKAN INI SEMUA

TERJADI..!!!

Balas

8. ari surya mengatakan:

Desember 14, 2007 pukul 6:47 am

Lumpur panas Porong dan permasalahannya mungkin tidak akan selesai dalam waktu dekat

meski segala upaya telah dilakukan oleh Lapindo untuk menutup semburan tersebut mulai dari

snubbing unit, relief well sampai pengeboran miring. Pemerintah juga tidak mau terlihat diam

saja guna mengatasi masalah tersebut terbukti dengan membentuk Timnas lalu kemudian

diteruskan oleh BPLS. Sayang, penanganan masalah ini terkesan setengah hati dan tidak

berpihak pada masyarakat.

Kalau saya boleh membuat sedikit mengingat kebelakang (totong ingatkan kalau ingatan saya

kurang tepat), sebenarnya ketidak seriusan penanganan ini dikarenakan oleh tidak adanya

kepastian hukum tentang kasus ini. sampai saat ini belum ditetapkan pihak mana yang paling

bertanggung jawab mengenai masalah ini. Pemerintah mengatakan bahwa semburan lumpur

panas adalah akibat dari kesalahan pengeboran sedangkan Lapindo membeladiri dengan

menyebutkan bahwa semburan lumpur panas ini merupakan akibat dari gempa di Jogja

beberapa waktu lalu. Dengan terlambatnya kepastian hukum ini maka Lapindo mengatakan

bahwa apa yang telah dilakukan saat ini hanyalah sebatas tanggung jawab sosial perusahaan

saja sehingga Lapindo tidak bisa berbuat lebih jauh.

Memang yang dibutuhkan bangsa ini adalah kepastian hukum, masalah apapun akan cepat

terselesaikan apabila hukum ditegakkan dan dijalankan dengan baik

Balas
9. mang Ipin mengatakan:

November 20, 2007 pukul 9:25 am

Pak Tonas apa lupa ya dgn Prof.LANG LING LUNG dalam serial

Donald Bebek?????????seperti yang sering didengungkan : Pem-

brantasan “KEMISKINAN”…tapi pada prakteknya menjadi : Pem-

brantasan wong ‘MISKIN’…iya apa iya????……mbuh!

Balas

10. Tonas mengatakan:

November 15, 2007 pukul 4:55 am

“Sebagai pengemban amanah, saya akui, angka kemiskinan masih relatif tinggi. Dan, itu harus

kita kurangi,” ujar presiden pada awal pidato sambutan di hadapan ribuan peserta peringatan

HKN (Hari Kesehatan Nasional) di Istora Senayan, Jakarta, kemarin.

SBY berjanji akan terus berusaha meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. ( Liputan JawaPos

Edisi Tgl 15 November 2007 )

MASIH PERCAYAKAH DENGAN JANJI MANIS “PEMAIN SINETRON” INI…???????

Dan Perpres No 14 tahun 2007 merupakan salah satu MESIN untuk Memproduksi KEMISKINAN

DI WILAYAH SIDOARJO KHUSUSNYA KORBAN LUMPUR LAPINDO, Apa kah itu yang di maksud

dengan “pengemban amanah”…??????

YANG PASTI, YANG BICARA INI BUKAN ORANG LING-LUNG lho….?????

Balas

11. re mengatakan:

September 9, 2007 pukul 11:10 am

setelah sekian lama dan korban masih dalam kondisi terkatung-katung, apakah Perpres

14/2007 itu masih bisa dibilang berpihak ke rakyat? bagaimana mungkin ganti rugi yang

mestinya mutlak harus dibayarkan oleh pihak perusahaan menjadi jual beli dimana sebuah

perusahaan (lapindo) dimungkinkan memiliki aset yang sangat luas (lebih dari 400 ha).

analoginya begini. kalau sebuah kendaraan menabrak sebuah rumah, apakah sang korban

(rumah yang ditabrak) harus menjual rumahnya kepada si penabrak supaya bisa diganti??

apakah presiden tidak sedang dalam kondisi linglung ketika menyusun perpres ini??

Balas
12. Natalie mengatakan:

September 6, 2007 pukul 7:41 am

Saya sebagai masyarakat awam, sebagai mahasiswa, sebagai rakyat Indonesia hanya bisa

mengatakan, SEHARUSNYA bencana ini tidak terjadi bila manusia di bumi ini khususnya di

Indonesia tidak MARUK alias UGAL-UGALAN dalam eksploitasi SDA yang dipunyai Inbdonesia

ini. Banyak orang pintar di negeri ini mengapa kepintaran itu disalahgunakan untuk hal-hak

yang membahayakan orang banyak. Kalau yang terkena dampaknya diri sendiri ndak apa-apa,

tetapi kalau orang lain yang kena seperti itu bagaimana????Tuhan memberi kekayaan lengkap

untuk kehidupan manusia di bumi ini, untuk dipelihara, di jaga, dilestarikan, dikembangkan,

tetapi mengapa justru kebanyakan di eksploitasi, bahkan ada yang sudah sampai di negeri

orang dan di HAK PATEN kan….?Di sini sebenarnya ilmu, kepandaian yang ada di buat apa…

Akibat dari bencana ini banyak sekali, baik dari segi politik, ekonomi, gender (perempuan dan

anak-anak), menurut informasi juga banyak ‘orang-orang’ yang mengaku berkepentingan

berjubel di sana, baik yang garis kiri maupun kanan. Di sini yang saya bicarakan adalah, mari

kita fikirkan bersama-sama, bagaimana menanggulangi bencana tersebut, khususnya

masyarakat kecil yang terkena dampaknya langsung. Pengusaha kecil di sana yang masih

kesulitan untuk mengakses kredit, tolong,diberi keringanan, entah bagaimana caranya, tanpa

adanya beban yang menyulitkan, tanpa adanya jaminan yang memberatkan, persyaratan dan

sejenisnya, karena keadaan mereka sudah seperti itu. Anak2 sulit unruk mengenyam

pendidikan, para perempuan kurang diperhatikan kesejahteraannya. Namanya orang terkena

musibah, seharusnya dimaklumi, dibantu dengan segera, tanpa memikirkan adanya

kepentingan2 yang ingin mengambil keuntungan dsb. Siapapun tidak ada yang tahu kapan

bencana tersebut dapat berhenti. Hendaknya jangan saling menyalahkan, lempar

tanggungjawab, tetapi bahu membahu memikirkan jalan keuarnya secara FOKUS demi

kesejahteraan masyarakat di sana selanjutnya. Dampak yang terjadi tidak hanya dirasakan

oleh warga sekitar bencana tetapi seluruh Jawa Timur perekonomian terganggu. Perubahan

yang diinginkan berasal dari dalam diri sendiri, kesungguhan untuk menyelesaikan

permasalahan yang terjadi niscaya akan membuahkan hasil yang baik dan bermanfaat. Mari

bersama-sama kita bantu meringankan penderitaan mereka, khususnya ‘orang-orang’ yang

terlibat dalam ‘penyelesaian’ kasus bencana tersebut. Terima Kasih..

Balas

13. rico mengatakan:

September 6, 2007 pukul 1:10 am

hai
Balas

14. rico mengatakan:

September 6, 2007 pukul 1:07 am

aku mau nulis ini, kemarin reporter di salah satu perusaan tv swasta meliput tentang harga

cabe di jkt yang dari tani cuma 5 ribu, trus di jual di pengecer ada yang sampe 10rb, itu

karena harga bensin naik, harga di kota naik 500 perak aja dah pada demo. trus nulisnya

jangan kaya anak tk kasih tau klo cabe yang di tanam di jkt itu kualitasnya jelek yang bagus

dari magelang ampe singapure. trus di loiput juga kenapa harga cabe yang dulu sampe 25 ribu

sekarang cuma 5ribu. ya karena home industri saos pada bangkrut. jadi peliputan berita juga

jangan asal n harus di pikirkan jangan cuma meliput aja tanpa ada solusinya or malah

mentah2. jadi mohon di fikirkan.

Balas

15. Zoquie Hammar mengatakan:

Juli 31, 2007 pukul 7:20 am

Saya kira permasalahan nya sekarang adalah bagaimana menarik Hikmah dan berkah,bila ad,

dari kondisi ini. Setidaknya ada element dan atau unsur yang dapat di manfaatkan bagi

kehidupan manusia pada umumnya, baik dari kondisi lumpur yang disemburkan, ataupun

kondisi sosial dan ekonomis dari lingkungan disana, maksudku kalau orang di Sidoarjo itu

mesti mengungsi, tentu juga orang disekitar kota itu,bukan.

Maslah pengangkutan mungkin bukan masalah yang diutamakan, tapi setelah itu apa ?

Teknologi tok ternyata tidak mungkin dapat berdiri seorang diri, demikian juga ilmi-ilmi yang

lainnya, sekurangmya ada dua fihak yang dapat bekerjasama, baik exacta+exacta, atau

exacta-non-execta, vice-versa.

Science melulu juga hanya mungkin menghantarkan hingga analogi algoritma yang

memerlukan waktu,tempat dan biaya untuk menguji-cobakannya.

Tidak mungkin tidak semua disaster yang sedang dialami bangsa kita, dari sejak Aceh hingga

ke Manokwari dan seterusnya akan dapat kita minimalkan, dengancara dan jalan mencari dan

menemukan Hikmah dan Berkah dari masing-masing kejadian.

Sebagai sesama manusia, kita tidak pernah luput dari ujian dan cobaan, baik theory maupun

praktisnya, tok ilmu dan pengetahuan Allah adalah selalu Maha Lengkap lagi Sempurna,

referensi mengenai hal ini ada terdapat di buku-buku agama, yang adalah kitab Agama Langit.

Kapan dan dimana itu adalh Jadwal pembagian rizkinya yang berputar bagaikan ‘Wheel of
Fortune’, barangkali.

Semoga anda tabah menghadapinya, Amien.

Balas

16. Dedy A mengatakan:

Juni 30, 2007 pukul 6:20 am

ngak terasa dah setaun lebih ya, aku punya ide dan ngak tau mestinya pake forum yang mana,

jadi aku masuk forum yang ini, gimana kalo dilakukan gempa buatan.

seingatku kan di bawah tanah terdiri dari berrbagai macan aliran serta jalur tanah, yang perlu

kita lakukan itu mencari dimana jalur tanah yang menuju ke pusat mud vulcano, lalu dihitung

kemungkinan apa dampak terjadinya gempa itu, jika memang patahan itu bisa diguncang

dengan gempa ringan, maka guncangan itu menimbulkan tumbukan antar patahan dan lubang

lumpur dapat tertutup. seingatku dari langkah2 yang dilakukan skarang justru memperparah

keadaan. peninggian tembok tanah juga , malam membuat mudnya semakin banyak, dan jika

musim hujan yang bakal muncul beberapa minggu kedepan bener2 datang….. wasalam deh

sidoarjo dan surabaya sertya kota sekitarnya

mengenai dampak gempa buatan itu, worst case scenarionnya jawa khususnya jawa timur

bakal terbelah 2 atau at least sidoarjo tenggelam.

Dedy Aryono

Lagi belajar Fokus dan expert ke akuntansi lingkungan

Balas

17. InginTahu mengatakan:

Juni 23, 2007 pukul 4:16 am

Assalamualaikum wr. wb.

Halo rekan2 semua, kalau sekiranya boleh bertanya berhubung saya tidak pernah terjun

langsung ke sidoarjo. Saya ingin tahu apa saja masalah2 sosial yang timbul di masyarakat dan

kira2 apa yang bisa menjadi solusinya. Terkadang saya berpikir bahwa rakyat harus di pikirkan

dahulu selagi masalah lumpur di selesaikan.

terima kasih.

Wassalam.

Balas
18. dian mengatakan:

Juni 22, 2007 pukul 8:56 am

lho pak aburizal bakrie kan orang teknik, tapi jadi politikus. yah salah jurusan dia. makanya dia

berusaha bagaimana ilmu teknik itu dijadikan ilmu politik. dan ternyata sukses, meskipun

secara profesi keteknikan menjadi tidak jelas lagi. kata pemerintah ” bencana lapindo jangan

dipolitisasi.” jadi teknik dan politik bergabung menjadi “politics engineering”

Balas

19. keciL mengatakan:

Juni 10, 2007 pukul 12:58 pm

entah sampai kapan kejadian ini akan berakhir

mungkin usaha telah banyak dilakukan baik Pemda Sidoarjo, Jatim hingga BPLS

namun, yang terpenting disini adalah kita sebagai manusia hendaknya saling tolong menolong

dan selalu memberikan yang terbaik serta bersikaplah HUMANIS

Balas

20. ompapang mengatakan:

Juni 9, 2007 pukul 11:35 am

Pak Hendy, pakai pengalamannya pak Bambang Bahriro (penemu Blokath Dothon) saja,

langsung ke Sekretaris BPLS, Bapak Ir.Adi Sarwoko, Dipl HE di Surabaya, kuncinya disana.

Balas

21. Hendy mengatakan:

Juni 9, 2007 pukul 7:33 am

Kepada Yth. teman2 yang mempunyai link langsung dengan SBY mohon bantu kami untuk

beraudiensi dengan SBY mengenai penanganan luapan lumpur LAPINDO daripada negara

tercinta ini menghabiskan dana triliyunan rupiah lebih baik berikan kesempatan kepada kami

untuk memberikan solusi dalam penanganan bencana ini…

waktu sudah begitu mendesak mudah2an SBY membaca Email kami

Terima Kasih.. Merdeka………….!!!

Balas
22. t mengatakan:

Juni 6, 2007 pukul 3:29 pm

Wah, itu Bupati Jawen tapi nggak ngerti Tumpang Sari dan Mina Paddi!!

Balas

23. usil mengatakan:

Juni 4, 2007 pukul 1:53 am

omPapang! Kalau bertani/pemancingan namanya usaha NYATA

lain dengan ORI, obligasi dll, namanya usaha VIRTUAL

WONG Teknik pasti pilih usaha yang NYATA/PASTI, ya om?

Balas

24. ompapang mengatakan:

Juni 3, 2007 pukul 3:05 am

Kalau jadi petani, ompapang pernah ngalami, pertama nanam padi – rugi, nanam bawang

putih dataran rendah, tidak rugi tetapi hama dan penyakitnya banyak sehingga butuh fungisida

dan insectisida (misal furadan untu basmi ulat tanah) banyak, terakhir sawahnya tak jadikan

kolam pemancingan, untungnya besar, ikan disetori dari keramba apung rawa pening, hasil

budi daya ikan keramba sungai-sungai lokal, peternak ikan kolam serta hasil percobaan

penggemukan dari jurusan perikanan Fakultas Perikanan.

Saat GKG(Gabah Kering Giling) Rp500,/kg, omset pemancingan Rp400.000,– perhari, sedang

omset hari Minggu rata-rata Rp1,juta. setara dengan harga 2 ton GKG.

Sayang karena izin usaha terlambat mengurus, saat ada orang berpangkat perwira tinggi yang

juga mempunyai kepentingan pada lokasi itu mengajukan protes kepada pak Bupati, kolam

pemancingan seluas 3000 m2 yang baru beroperasi sekitar 2 bulan terpaksa ditutup atas

perintah Bupati dijaman orde baru itu. Ada cerita yang tidak lucu tentang penutupan

pemancingan itu. Waktu itu ada perintah penutupan usaha pemancingan dari Bupati yang saya

terima, kemudian saya telpon ke Pak Bupati untuk klarifikasi, kenapa pemancingan ditutup,

jawab pak Bupati : sawah disitu kan untuk PERTANIAN, jadi dilarang untuk PERIKANAN.

Jawabku membela diri : Lho, PERIKANAN kan masuk sektor PERTANIAN , lagi pula airnya juga

dialirkan kesaluran irigasi lagi,tidak dibuang. Kontan Pak Bupati marah-marah dan hubungan

telpon DITUTUP sepihak. Dasar Bupati KEMPLU (grundelku).

btw, ompapang tidak tertarik dengan pasar keuangan, sebab keuntungannya tidak nyata,

dalam arti dikatakan UNTUNG kalau kita SUDAH MENJUAL valuta/saham / ORI atau surat
berharga lainnya dengan harga lebih tinggi dibanding saat membelinya,sebaliknya kalau kita

tidak menjualnya kembali berarti kita BELUM (mendapat ) UNTUNG.

Balas

25. t mengatakan:

Juni 2, 2007 pukul 9:45 pm

Kata “Mereka” yang Harus bebas Pajak itu Pasar Keuangan (Bursa dan Obligasi / Reksadana).

“Pemainnya” sedikit tetapi sekali gerak minimal Rp 500 M – Rp 2T.

Atau Yang “pemainnya jutaan orang” dengan nilai GKG +/- 40 Juta ton X Rp 3000 sekitar Rp

120 T setahun.

Jadi sebaiknya anak muda pilih mana Ompapang, jadi petani atau ikut-ikutan beli ORI   .

Balas

26. ompapang mengatakan:

Juni 1, 2007 pukul 3:53 pm

Setuju pak Marto, namun sudah banyak bukti kalau ada DANA untuk memberdayakan petani

dan nelayan selalu berakhir di Pengadilan sebagai perkara KORUPSI.

Contoh DKP, BULOG,DANA REBOISASI, TABUNGAN PETANI CENGKEH,DANA PENGADAAN

KAPAL NELAYAN (Bupatinya sudah dihukum), dll.

Kasus umumnya adalah untuk BANCAKAN para tokoh politik, birokrat dan pengusaha.

Bagaimana bisa sektor pertanian,kehutanan dan kelautan dapat dipakai sebagai penopang

ekonomi wong dianak tirikan dan dananya malah untuk bancakan. Para calon pemimpin seolah

tidak mau tahu akan pentingnya negara Indonesia menggantungkan ekonominya dari hasil

sektor pertanian, kehutanan dan kelautan.

Buktinya PBB sebagai pajak tanah/sawah tanpa bangunan tidak berdasar hasil bumi dari tanah

tetapi dari nilai jual tanahnya.

Bila NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)melebihi Rp 1Milyar, faktor pengali NJKP (Nilai Jual Kena

Pajak) menjadi 40 %. Jadi kalau ada petani mempunyai sawah seluas 1 HA dengan NJOP (Nilai

Jual Obyek Pajak) Rp100.000,–/m2 , maka NJKP = 40% X Rp 100.000/m2 X 10.000 m2 =

Rp400.000.000,– dan Pajak Tanah(PBB tanpa bangunan) = 0,5 % X Rp400.000.000,–=

Rp2.000.000,– (Dua juta rupiah)

Hasil padi sawah 1HA misal = 8 ton padi kering giling dengan harga Rp3000/kg,maka

penghasilan kotor petani = 8.000 kg X Rp3000,-/kg = Rp 24 juta

Bila total biaya produksi = 40% X Rp24 juta =Rp 9,6 juta, maka penghasilan bersih petani
pemilik tanah = Rp14,4 juta. Untuk setahun 2 kali panen ,penghasilan menjadi =2 X Rp14,4

juta = Rp 28,8 juta. Setelah dipotong pajak PBB , penghasilan petani menjadi Rp 28,8 juta –

Rp2,-juta = Rp 26,8 juta. Sedang pajak tanahnya sendiri mencapai hampir 7 % dari

pendapatan kotor, belum nanti “kalau” dikenakan pajak penambahan nilai pada berasnya.

Penghasilan tersebut adalah perkiraan bila tidak terjadi kegagalan panen karena bencana alam

atau tidak ada serangan hama dan penyakit serta tidak ada impor beras luar negeri. Belum

nanti dari perkiraan NJOP nya.Banyak lho tanah sawah yang NJOPnya melebihi Rp200.000,-

/m2. Jelas pajaknya akan menjadi lebih mencekik leher petani.

Dari perkiraan tersebut kelihatan bahwa kesejahteraan petani masih jauh dibawah

kesejahteraan PNS gol II a (lulusan SLTA) masa kerja 2 tahun, apalagi dibanding

kesejahteraan anggota DPRD kabupaten/kota yang sama-sama ijazah SLTA. Jauuuuh sekali

bedanya.

Itulah cermin buram sektor pertanian kita. Bagaimana petani dapat menopang perekonomian

Indonesia, wong kerjanya seharian hanya menopang dagu merenungi nasibnya. Gitu pak Marto

idin !

Balas

27. marto idin mengatakan:

Juni 1, 2007 pukul 7:51 am

ompapang…menurut saya sektor pertanian dan sektor apapun harus bisa semaksimal mungkin

menjadi penopang yang kuat ekonomi bangsa ini, dulu kita pernah menjadi negara agraris

yang mengekspor beras dan hasil pertanian lainya, namun sekarang ….banyak saudara kita

makan beras busuk,karena tidak ada pilihan lain….belum haknya dengan ikan yang dicuri oleh

nelayan asing mungkin sampai trilyu-nan rupiah/tahun nilainya..

Balas

28. marto idin mengatakan:

Juni 1, 2007 pukul 7:45 am

aku merindukan hidup dinegara yang GEMAH RIPAH LOH JINAWI TOTO TENTREN KERTO

RAHARJO ….bagaimana dengan bangsa kita ini..?

Balas

29. t mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 4:46 pm


Merujuk pada catatan Ompapang:

http://hotmudflow.wordpress.com/2007/05/22/indonesia-considers-new-method-to-halt-mud-

volcano/#comment-13194

+++

http://hotmudflow.wordpress.com/2007/05/12/bola-beton-gagal-muncul-cerobong-

baja/#comment-13046

dan menggabungkan Penjelasan Tulus dari Bp. RIrawan:

http://hotmudflow.wordpress.com/2007/05/27/pemerintah-ragu-ragu-pilih-metode-sumbat-

lumpur/#comment-13270

Maka secara politik-ekonomi saya pikir biarkanlah Katahira bikin damnya   , kalaupun ambles

nggak apa-apa, yang penting ada “investasi baru” masuk Indonesia, paling kurang Rp 600

milyar   . Bagusnya lagi diperlebar saja bangunannya. Haree gene cari investor ndablekz 

susyah lho:). Itung-itung ngurangin pengangguran akibar Lapindo. Ayo Katahira, tunjukkan

Nyalimu…!

Balas

30. ompapang mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 2:57 am

Itu BARU NAMANYA OLEH-OLEH DARI INDIA, Pak RIrawan!! Episode yang akan datang apa

Pak?

Sakjane kita punya ahli nuklir Pak Baiquni, tetapi entah kenapa sampai setengah abad berlalu

kita tidak ditinggali karya monumental beliau. Juga ilmuwan Pak B.J.Habibie malah jadi

politikus (karbitan ?) yang prestasinya melepas Timor Timur dengan opsi jajag pendapat, boleh

dikata bukan prestasi seorang negarawan. Belum lagi terpuruknya sektor pertanian di era

beliau jadi politikus yang mengagung-agungkan teknologi industri dan menganak tirikan sektor

pertanian karena dianggap punya nilai tambah lebih kecil dibanding sektor industri.

Balas

31. usil mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 2:41 am

Makasih infonya Pak Rovicky. Eh!! ternyata setelah saya longok

fotonya Mas Rovicky…..gak taunya …ngganteng euy!

Tadinya aku kira botak he…he..

Balas
32. Rovicky mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 2:36 am

Kalau mau detil tulisan Pak RIrawan silahkan baca disini juga

http://rovicky.wordpress.com/2007/05/28/india-pltn/

Diskusi soal energi ini akan lebih pas disana.

Biar yg disini konsentrasi si genit LuSi yg mulai nakal 

Balas

33. usil mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 2:27 am

Weh!!! ini baru namanya pencerahan.

Pak RIrawan menambah wawasan kita tentang PLTN

Semoga pemerintah kita dapat ambil keputusan tentang PLTN

dengan bijak, setelah mengkaji semua info seperti ini.

Balas

34. RIrawan mengatakan:

Mei 28, 2007 pukul 1:52 am

Maaf, alinea pertama diatas ada yang terbolak-balik kata-katanya, seharusnya dibaca sbb:

India pesat sekali membangun sumber-sumber energinya, sehingga data-data cepat sekali

usang. Total daya terpasang terakhir dilaporkan 130 Gwe lebih, 75% dari batubara. Setiap 2

minggu 1 blok pembangkit listrik baru didirikan, terbanyak masih PLTU-batubara sehingga

India tidak lama lagi bakal menjadi negara ke 3, setelah AS dan RRC, yang paling merusak

atmosfir bumi dengan gas buang PLTU nya.

Balas

35. RIrawan mengatakan:

Mei 27, 2007 pukul 4:54 pm

Energi di India.

India pesat pembangkit sekali membangun sumber-sumber energinya, sehingga data-data

cepat sekali usang. Total daya terpasang terakhir dilaporkan 130 Gwe lebih, 75% dari
batubara. Setiap 2 minggu 1 blok listrik baru didirikan, terbanyak masih PLTU-batubara

sehingga India tidak lama lagi bakal menjadi negara ke 3, setelah AS dan RRC, yang paling

merusak atmosfir bumi dengan gas buang PLTU nya.

Topik energi di India ini pelik. India sama seperti RRC, pengembangan sumber energi dikedua

negara itu ambisius. Mereka punya SDM, industri manufaktur dan konstruksi yang sangat

banyak untuk melaksanakan pembangunan pembangkit listrik secara besar-besaran. Tetapi

tokh order dari ke 2 negara itu bahkan memenuhi kapasitas pabrik-pabrik ternama di negara-

negara maju. Uang mereka kini melimpah, sehingga nafsu belanja meningkat drastis, tetapi

tokh rasionil, mengejar pencapaian target-target, terutama mengentaskan kemiskinan atau

memakmurkan rakyatnya. (Ini memprihatinkan, di sana sibuk membangun dan tiap hari makin

baik dan makin kaya, sedangkan kita di Indonesia masih berputar-putar mengurusi bencana-

bencana yang tidak kunjung beres. Oh …).

Bhabha dibalik PLTN dan Bom Atom India.

PLTN dan isu nuklir di India selalu hot sejak dulu, dipacu kekuatiran dan persaingan lawan RRC

dan musuh bebuyutannya Pakistan (belakangan jauh tertinggal karena kekacauan ekonomi,

fanatisme dan terorisme). Maka India diam-diam melakukan riset tentang senjata atom di

Bhabha Atomic Research Centre, meskipun resminya diumumkan sebagai riset teknologi Atom

Untuk Perdamaian. Tanpa mencolok dan tanpa tanda-tanda minat pada tujuan militer, India

berhasil membeli sebuah reaktor riset Cirus 40MWt dari Kanada, lalu mengekstrak plutonium

sisa pembakaran dari reaktor riset Cirus itu. Hampir 20 tahun berkutat dengan riset siang

malam, akhirnya plutonium itu dipakai untuk percobaan bom atom India pertama pada 18 Mei

1974 yang berkekuatan ledak 4-6 KT. Pemerintah India mengumumkannya sebagai sebuah

“Ledakan Nuklir yang Penuh Damai”. Sesudah itu, 24 tahun India sepi dari berita tes bom

atom. Tiba-tiba perdana menteri Vajpayee memerintahkan serangkaian percobaan peledakan

atom yang dinamakan “Operasi Shakti”, yakni Shakti 1 (11 Mei 1998) hingga Shakti 5 (13 Mei

1998), gara-gara diprovokasi oleh peluncuran rudal-percobaan Ghauri oleh Pakistan tgl 6 April

1998.

Keberhasilan India memposisikan diri ke dalam jajaran negara bersenjata nuklir, menjadi

negara pertama dari dunia ketiga yang membangun PLTN dan sekaligus sebagai negara dunia

ketiga yang memiliki program nuklir terbesar, adalah berkat seorang ilmuwan fenomenal India,

Dr H J Bhabha, yang memimpin dan merintis dunia ilmu dan program nuklir negara. Ia

membangkitkan ambisi India atas nuklir, membawanya ke realitas di tanah India dan

memperoleh segala prioritas utama dan dana besar dari negaranya. Semasa ia studi hingga

meraih gelar doktor fisika di universitas Cambridge 1935 dan sebelum pulang ke India 1939,

Bhabha sempat akrab dengan para fisikawan seperti Niels Bohr, James Franck, Enrico Fermi

dll, yang di kemudian hari berperan besar dalam program persenjataan nuklir AS dan Inggris.
Ia juga ikut aktif dalam penemuan dan pendalaman tentang fisi nuklir. Sohib kentalnya seregu

dari uni Cambridge, W B Lewis, belakangan menjadi ketua Program Energi Nasional Kanada.

Hubungan pribadi dengan Lewis inilah yang memungkinkan Bhabha memperoleh reaktor Cirus

(heavy water) di tahun 1955 dari Kanada dengan panji tujuan riset damai untuk peningkatan

kualitas hidup, namun kemudian selama puluhan tahun ditekuni oleh ahli-ahli India dan dipakai

membuat plutonium untuk bom atom.

Di Bombay, Bhabha mendirikan institut riset ilmu-ilmu inti 19 Desember 1945. Ia

mencanangkan visi nuklir India dan menekuninya selama 20 tahun hingga akhir hayatnya. Ia

adalah perintis sejati dibalik keberhasilan nuklir India, baik pada pembangunan PLTN India

maupun penciptaan bom atom India kelak. Ini sekilas mirip dengan mantan politisi hi-tech kita.

Tetapi Bhabha tidak one-man-show, ia rajin merekrut dan mendorong ilmuwan-ilmuwan cerdas

India, seperti Homi Sethna, P.K. Iyengar, Vasudev Iya, Raja Ramanna dll, yang kemudian

menjadi tokoh-tokoh besar kemajuan energi di India. Meskipun Bhabha juga sangat dekat dan

punya pengaruh besar pada kebijakan perdana menteri Nehru dan Shastri, yang menetapkan

prioritas dan program negara untuk pengembangan nuklir di India, namun ia tidak larut dalam

politik praktis. Konsentrasinya tetap pada urusan riset dan pengembangan energi. Bhabha

tegar di dunia ilmu, mengutamakan meritokrasi demi kemuliaan dan kejayaan segenap warga

bangsanya, tidak terjebak oleh silau kekuasaan, tidak pernah tampil sebagai politikus karbitan

yang menunggangi sentimen dan fanatisme sempit. Sebagai ilmuwan, ia rajin menghimbau

rasionalitas bangsanya agar mampu membebaskan diri dari belitan primordialisme dan bangkit

sejajar di antara bangsa-bangsa maju di dunia. Meskipun ambisi nuklir Bhabha juga

menggerogoti ekonomi India, tetapi ia berhasil menaikkan pamor India sejajar dengan negara-

negara pemilik nuklir. Ia menggairahkan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekarang

terbukti menjadi motor kekuatan dan kemakmuran India. Lagi pula, saat itu resiko dan

kerumitan PLTN belum sepenuhnya disadari dan belum nyata terbukti. Perdana menteri Indira

Gandhi mengabadikan nama Bhabha pada nama institut yang didirikannya, setelah ia

meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat 24 Januari 1966. Bhabha dikenang sebagai

ilmuwan yang sangat memimpikan kemandirian bangsanya, tidak suka rendah diri atau

menjilat, tetapi ia bukan demagog dan tidak pernah mengajak rakyatnya petentang-petenteng

membenci bangsa-bangsa lain yang sudah lebih makmur. Kebanyakan orang India sangat

mendukung pengembangan sumber energi di negaranya secara besar-besaran dan sampai

sekarang masih dengan yakin mengutip kata-kata Bhabha ½ abad lalu: “No power is costlier

than no power”, artinya kekurangan energi berakibat mandeknya ekonomi karena produktivitas

rendah.

Perjalanan Ambisi PLTN India.

India memenuhi kebutuhan energinya 82% dari fosil dan 14% dari tenaga air. Konsumsi

minyak saat ini 2,5 juta barel/hari, 70% impor, sehingga tiap tahun harus membelanjakan 25
milyar USD untuk impor minyak mentah. Batu bara adalah sumber energi utama untuk 75%

pembangkit listrik India, sehingga India saat ini merupakan produsen batu bara nomor 3

terbesar dunia dengan cadangan yang cukup untuk 100 tahun lebih, karena India memiliki

cadangan batu bara nomor 4 terbesar di dunia. Tetapi batu bara India kualitasnya buruk,

kandungan abunya 15-45% dan nilai kalorinya rendah.

Situasi dan alasan-alasan di atas dari dulu mendorong orang India sangat mendambakan

energi nuklir. Tetapi meskipun sudah ½ abad lebih India berjuang dan membelanjakan dana

yang luar biasa besar (25% dari total dana riset dan pembangunan nasional) untuk

pengembangan dan percobaan nuklir, tokh sampai saat ini tidak lebih 3% pasokan energi yang

diperolehnya dari PLTN. Di ballik reputasi dan pamor penguasaan teknologi oleh India yang

mengharumkan negara itu, program PLTN nyaris membenamkan ekonomi India, yang

menimbulkan ancaman anarki dan kemelut politik akibat ketidak-puasan rakyat atas

kemiskinan yang berketerusan.

Banyak kisah tragis dan gawat dalam kinerja PLTN India. Pada reaktor Rajasthan air berat

yang mahal bocor terus yang berarti mengalirkan uang percuma ke selokan. Pencemaran

radioaktif pada ribuan pekerja dan penduduk sekitar reaktor Tarapur diperkirakan dampaknya

masih mengancam hingga 20 tahun. Hingga 1995 ada 9 reaktor PLTN dengan kapasitas total

1800 Mwe yang beroperasi di India, 2 di Tarapur, 2 di Rawatbhata, 2 di Kalpakkam, 2 di Narora

dan 1 di Krakapur. Semuanya pernah bermasalah dengan keamanan dan kebocoran radiasi,

sehingga seringkali harus di non-aktifkan selama berbulan-bulan bahkan tahunan. Kecilnya

output PLTN-PLTN India, sebab rata-rata kinerjanya cuma 45%, padahal nilai ekonomisnya

harus beroperasi di atas 70%.

India hampir sepenuhnya tergantung pada pasokan bahan bakar dan teknologi dari AS. Ibarat

sudah kepalang basah, India mungkin akhirnya bisa berhasil dengan program energi dari

nuklirnya, sebab pengetahuan dan kemampuan sudah dikuasainya, tetapi pasti masih dengan

skala yang sangat tidak ekonomis. Kisah PLTN India membuktikan, betapa uang yang

ditanamkan ke sana, sesungguhnya bisa dipakai untuk membangun dan mengoperasikan

sumber energi lainnya dengan hasil yang jauh lebih menguntungkan. Sekaligus membuktikan,

betapa sulitnya menghasilkan prestasi hanya dengan idealisme semata, tetapi sambil

kelaparan. Akibat fakta-fakta negatif tentang energi nuklir ini, resiko dan rawannya keamanan,

serta merebaknya tentangan para evironmentalis, dipastikan bahwa nuklir belum akan punya

peran berarti sebagai sumber energi di India untuk setidaknya 20 tahun kedepan.

Masa Depan PLTN India.

Saat ini India dan AS hampir merampungkan pakta nuklir bersama, yang memungkinkan India

untuk pertama kalinya dalam 33 tahun, bisa memperolah bahan bakar dan reaktor modern dari

AS, setelah melalui perjuangan serta perundingan panjang dan mahal. Sebelumnya India
diembargo AS atas segala barang yang berkaitan dengan nuklir akibat percobaan bom atom

India 1974. Tetapi AS masih keberatan mengijinkan India membeli mesin-mesin AS untuk

mengolah sendiri sisa bahan bakar PLTN, yang rawan disalahgunakan untuk membuat bom

atom dan kuatir ancaman teroris. Namun tampaknya AS bakal makin merangkul India, yang

menginformasikan bahwa belanja militer RRC sudah melebihi 120 milyar dollar (wouuu … 2x

APBN RI hanya buat mesin perang), meskipun RRC bilang cuma 40 milyar dollar, sehingga AS

blingsatan dan minta RRC lebih transparan.

Terakhir jumlah kapasitas PLTN terpasang dilaporkan 3,31 Gwe atau kurang 3% dari seluruh

sumber energi India. Ketua komisi energi atom India, Anil Kalkodhar, mencanangkan

peningkatannya menjadi 20 Gwe hingga tahun 2030 dan ditambah dengan proyek yang masih

ditahap pembangunan mencapai skala 40 Gwe, yang akan dilaksanakan dalam skema kerja

sama internasional dengan biaya $ 40 milyar. AS sendiri malah memperkirakan bakal adanya

potensi bisnis bernilai lebih dari $ 100 milyar yang muncul dari sedikitnya 30 reaktor baru di

India, jika kesepakatan AS – India mengenai pengembangan energi nuklir India bisa

dituntaskan. Bisnis “nyam-nyam” itu bakal dijaring melalui United States GE, Westinghouse

Electric Co, ASE, Framatome ANP, Electricite de France, Atomic Energy of Canada Ltd dll.

Perusahaan-perusahaan ini sedang bergerilya untuk meyakinkan pemerintah dan parlemennya,

agar cepat mencapai kesepakatan guna mengijinkan export untuk barang-barang sensitif

tersebut. Namun andaipun ambisi ini tercapai, dan India sanggup konsisten mengeluarkan

dana spektakuler itu, PLTN pada saat itu baru akan memenuhi 12,5% kebutuhan energi di

India.

Bahan Perbandingan bagi Negara-negara Dunia Ketiga.

Realitas PLTN di India memberikan contoh bagi negara-negara di dunia ketiga untuk dapat

membuat keputusan dengan arif. Banyak institusi internasional yang sepintas kelihatan

berbobot ilmiah dan pakar-pakar yang seolah-olah memaparkan hasil kajian scientific, tetapi

sesungguhnya bekerja sesuai arahan pemesannya, yakni para CEO multi-korporasi pembuat

mesin-mesin PLTN dari negara-negara industri maju, demi sales dan order yang menghasilkan

profit cemerlang, Di negaranya, PLTN diputuskan tidak akan dibangun lagi dan yang terlanjur

ada satu-persatu akan ditutup. Maka kini para CEO itu giat melobi pemerintahnya dan

meyakinkan bahwa meskipun mesin-mesin PLTN itu disupplai ke negara-negara dunia ketiga,

tetapi ketergantungan dan kontrol penuh atas mesin-mesin itu tetap mutlak di tangan mereka.

Paralel mereka juga mensponsori banyak lembaga dan pakar untuk membuat makalah-

makalah tentang kecanggihan, keamanan dan kelayakan PLTN modern. Dukungan luas juga

diperoleh akibat kekuatiran atas emisi gas CO2 dan pemanasan global, sehingga masyarakat di

negara maju menginginkan negara-negara berkembang melakukan expansi sumber energi

yang tidak merusak atmosfir bumi, termasuk PLTN. Padahal mereka sangat anti dengan

pembangunan PLTN di negaranya dan lebih menyukai saat ini reaktor-reaktor yang
dipropagandakan canggih dan aman itu diuji-cobakan dulu di negara-negara lain yang belum

maju. Kalau perlu dengan slogan bantuan atau sumbangan kerja sama untuk kemakmuran.

Maka kearifan sungguh diperlukan bagi para pemimpin negara-negara berkembang, apakah

arogansi, ambisi dan pamor politik akan merelakan negaranya dijadikan kelinci percobaan,

mempersembahkan untung besar dan menambah kemakmuran bagi bangsa-bangsa kaya

pemasok mesin-mesin PLTN, sekaligus memaksa seluruh rakyat anak negeri sendiri memikul

biayanya terus-menerus selama puluhan tahun.

Program energi nuklir India memang kontroversial, tetapi India selamat berkat sukses

pertumbuhan ekonomi yang berhasil secara konsisiten diwujudkannya sejak 16 tahun lalu,

yang menurunkan angka buta-huruf, kebodohan, pengangguran, kemelaratan dan serentak

menjadikan India sebagai calon pemain ekonomi terkuat dunia dalam beberapa dasawarsa

berikut.

Kini di India sebagai negara demokratis terbesar dunia dengan meluasnya peran kaum

intelektuelnya, juga muncul gerakan “wisdom” yang sangat kuat, yang mengkoreksi strategi

pengembangan energi di India. Gaung untuk memprioritaskan tumbuhnya sumber-sumber

energi non-konvensional atau sumber energi terbarukan, seperti: panas-bumi, angin,

matahari, biomass dan air makin gencar dan bergema kuat di India. Meskipun investasinya

sangat mahal (dulu tidak dilirik akibat terdesak oleh batu bara yang cadangannya berlimpah di

India), kini pemerintah India memberikan insentif yang besar. Secara persentual, saat ini

peran sumber energi terbarukan ini masih sangat kecil. Namun kita bisa menengok lagi 10-20

tahun ke depan. Apakah India tidak cuma bisa menghapus kemiskinan dan menjadi negara

kuat, tetapi juga bisa menyelenggarakan pemenuhan kebutuhan energinya secara bijak, tanpa

pemborosan biaya serta mandah dieksplotir oleh negara-negara barat yang lebih dulu maju.

Apakah India bisa menghindari hujatan dunia yang menuduhnya sebagai penyebab utama

perusakan global atmosfir bumi. Dan akhirnya, apakah India yang kaya dan maju kelak juga

sekaligus menjadi penunjang perdamaian abadi dunia.

Balas

36. RIrawan mengatakan:

Mei 22, 2007 pukul 12:31 pm

Ini oleh-oleh boneka (cerita B-om pes-ON-a EK-onomi A-kbar) India, satu dari 2 negara

dengan pertumbuhan paling spektakuler di dunia di awal abad 21 ini, yakni 8-10% PDB. India

sekaligus juga negara demokrasi terbesar di dunia dengan 1,1 milyar jiwa; dengan keruwetan

masalah yang tidak kalah daripada Indonesia, sehingga sangat relevan diperhatikan dan

diperbandingkan.
Mendarat di kota Mumbai, saat ini 18 juta penghuninya, saya teringat 14 tahun lalu, ketika itu

kota ini sangat kotor. Slam (gubuk kumuh) yang menimbulkan perasaan seram menyambut

tak putus-putusnya di sepanjang tepi jalan-jalan Bombai (nama lama Mumbai). Namun saya

tercengang, kota ini sekarang berubah. Jalan-jalan menjadi lebar dan kualitasnya bagus kokoh,

kelihatannya semua jalan dialasi beton tebal 30-40 cm. Di mana-mana tampak kesibukan

pelebaran jalan. Di kiri kanan jalan ada ribuan apartemen sekelas atau sedikit lebih bagus

daripada rumah susun perumnas. Ketika saya tanya mana slam-slam nya, apa digusur habis?

Teman India saya tertawa: “… masih ada, tapi di bagian sana kota. Akibat urbanisasi, harga

rumah di Mumbai sangat tinggi, sehingga dulu orang miskin terpaksa tinggal di slam. Tetapi

pemerintah tidak bisa main gusur, bisa langsung dijatuhkan. Ini negara demokrasi. Soalnya

kenapa dulu dibiarkan sehingga terlanjur menjadi tempat hidup ribuan orang? Maka

pemerintah barulah bisa membuldoser slam dan ketat melarang munculnya slam baru, setelah

membangun rusun-rusun, lalu membagikan gratis kepada para penghuni slam itu.”

Ha … gratis?

Ya … 100% gratis, asalkan mereka terdata sah orang miskin, tinggal di slam dan punya

kerjaan!

WAH, INI BARU NAMANYA PEMERINTAH.

Melihat-lihat pabrik di India, saya harus berpikir keras untuk memahami, sama seperti upaya

menikmati masakan India yang exotis dengan bumbu-bumbu tajam bersaos kental, tetapi

diramu dengan bahan dan gaya dari unsur tradisionil hingga modern, seperti makan di atas

daun pisang dan sendok-biologis bersama serviet dan gelas anggur. Industri India

mempertontonkan paduan unsur manual berteknologi paling sederhana yang banyak

mengandalkan otot para buruh, hingga yang paling modern dan dikendalikan oleh piranti lunak

yang canggih. Namun mereka bekerja dengan kapasitas penuh 3 shifts. Pabrik-pabrik itu sibuk

expansi, memperluas bangunan pabrik, menambah mesin dan menambah karyawan. Lalu,

apakah India kekurangan tenaga terdidik dan ahli? Ternyata tidak. Sejak lebih 2 dekade lalu

India mewajibkan anak-anak sekolah dan pemerintah tak cuma bikin peraturan, melainkan

semua anak bebas biaya sekolah dan buku, ditambah tunjangan gizi dan pakaian hingga

setingkat SMU.

WAH, INI BARU NAMANYA PEMERINTAH.

Maka sekarang, India kecukupan tenaga terdidik dan trampil. Universitas-universitas

menghasilkan 2 juta sarjana per tahun, 50% nya jurusan teknik. Situasi ini sangat mendorong

kemajuan di segala sektor. Lembaga-lembaga riset dan pengembangan sangat banyak

bermunculan dan tumbuh. Tidak hanya industri-industri di India saja yang menikmati

banyaknya tenaga unggulan India, tetapi banyak perusahaan Eropa dan Amerika yang

merekrut karyawan-karyawan India. Bahkan banyak pula yang membuka kantor di India dan

mempekerjakan sarjana-sarjana India, tetapi dengan operasi seolah-olah mereka berada di


Amerika atau Eropa. Ini dimungkinkan berkat kecanggihan perangkat IT, sehingga perintah

dan penyajian hasil kerja bisa diselenggarakan melalui jaringan IT lintas benua dengan tidak

kalah cepatnya dibandingkan dengan mereka yang berada di satu gedung. Maka banyak

perusahaan dunia dapat ikut memanfaatkan SDM India yang berpendidikan dan berkualitas

tinggi, namun dengan gaji hanya 10-30% orang bule. Hampir seluruh perusahaan IT dunia

sudah membuka usahanya di India, terutama di Bangalore. Pendapatan India dari IT

diperkirakan 40 milyar dollar US per tahun, yang memberikan peran penting India sebagai

rantai inovasi dan rekayasa teknologi global.

Ada 2 hal utama yang menentukan awal kemajuan India.

Pertama: adalah penyingkiran hantu-perijinan (License Raj), semacam pola ekonomi terpimpin

semu yang 4½ dekade lebih mencengkeram India, yang mengharuskan seluruh aktivitas usaha

terlebih dahulu memiliki ijin dari pejabat pemerintah. Tetapi birokrasi korup dengan slogan

nasionalis pro proletar justru berkolusi dengan pengusaha besar yang menguasai hampir

seluruh kegiatan usaha secara monopoli, anti persaingan dan jeli membunuh setiap potensi

anak negeri dan semangat inovasi. Saat itu India sungguh-sungguh terjerembab ke situasi

ultra feodal dengan lapisan elite yang yang mengontrol semua kegiatan ekonomi, mengambil

sangat banyak dan menyisakan sangat sedikit bagi ratusan juta rakyat. Pola ini lama dikritik

oleh negarawan India Chakravarthi Rajagopalachari. Tetapi baru di tahun 1990 pada

pemerintahan perdana menteri

PV Narasimha Rao, License Raj dihapus total berkat kerja keras menteri keuangan Mammohan

Singh, yang menerapkan liberalisasi atas ekonomi India dan menghapus monopoli elit, yang

menghasilkan pertumbuhan luar biasa pesat sampai sekarang.

Kedua: adalah penghayatan hidup sekuler meritokratis. Didera sejak lama sekali oleh

keyakinan primordial yang menonjolkan perbedaan kelas, gemar mengeksploitasi kebencian,

monopoli kebenaran dan cenderung anarkis, kini masyarakat terdidik India sudah tidak lagi

peduli dengan segala paham primitif, yang hanya menghasilkan keterpurukan. Mereka tidak

sudi lagi menghambur-hamburkan waktu dan energi untuk kegiatan nihilis dan fatalis. Mereka

kini hanya menghargai kualitas intelektuel dan berlomba menggairahkan kinerja. Mereka

makin tegar menghormati meritokrasi, menghargai prestasi dan kerja keras, berdasarkan

kesetaraan, persamaan kesempatan dan demokrasi sebagai moral manusia modern. Maka di

India kini, orang dapat berjuang meraih sukses, menghasilkan yang terbaik, tanpa kuatir

didiskriminasi, apapun asal-usulnya, etnisnya, rasnya, kelasnya, agamanya dsb.

Ekonomi India diramalkan menjadi terkuat nomor 3 dunia sebelum tahun 2050, setelah China

dan Amerika Serikat, mengalahkan Uni Eropa dan Jepang. Dan GNP India bakal menyamai

Amerika Serikat tidak lama setelah itu.

Balas
37. yasin yusuf mengatakan:

Mei 14, 2007 pukul 2:12 am

Mas Tony, kita harus iri dengan masyarakat Amerika Latin yang saat ini memiliki pemimpin-

pemimpin yang memiliki nyali, seperti Hugo Chavez dan Eva Morales yang berani

menasionalisasi (melakukan kontrak ulang) terhadap perusahaan asing yang mengeksploitasi

sumberdaya (minyak) di negera-negara tersebut dengan bagi hasil yang menguntungkan pihak

negara, karena selama ini dominan mempertebal kantong perusahaan2 asing. Padahal mereka

semua terinspirai Bung Karno yang sudah terlebih dahulu melakukan hal yang serupa.

Pemimpin kita mulai dari Soeharto sampai SBY semuanya memiliki mental inlander, yang

merasa minder dengan orang asing, sehingga mudah dibodohi dan membiarkan begitu saja

kepada orang asing untuk menghabiskan sumberdaya yang kita miliki (kasus terakhir Blok

Cepu). Hasilnya sumberdaya yang melimpah bukannya menjadi berkah malah menjadi

kutukan. Kita menjadi bangsa kere yang semestinya tidak perlu terjadi. Teman-teman yang

terlibat dalam eksplorasi dan eksploitasi SDA mestinya lebih kritis dan berani menyuarakan

kepentingan nasional. Kita tidak bisa terus berpura-pura tidak tahu dengan masalah ini. Jadi

bukan sekedar analsis dampak lingkungan terhadap ijin usaha pertambangan yang perlu

diperketat, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana usaha pertambangan yang ada betul-

betul ada manfaatnya yang signifikan untuk masyarakat dan negara bukan hanya memperkaya

perusahaan (baik asing maupun dalam negeri). Nyatanya ketika terjadi kecelakaan pengeboran

(seperti dalam kasus Lapindo ini) pihak perusahaan pun berusaha berkelit, ya kita tahu berapa

keuntungan yang selama ini dinikmati oleh mereka. Sekagi lagi marilah kita menjadi orang

yang kritis dan berhenti berpura-pura tidak tahu dengan kekayaan kita yang sudah digadaikan

kepada perusahaan asing maupun dalam negeri. Kalau pemimpin kita belum punya nyali, kita

yang harus terus menyuarakannya, agar sumberdaya alam yang kita miliki menjadi berkah,

bukannya kutukan…

Balas

38. yasin yusuf mengatakan:

Mei 14, 2007 pukul 2:05 am

Terima kasih ompapang, penjelasannya mengenai kecelakaan pengeborannya sangat mudah

dipahami, dan penyidik mestinya menghadirkan orang spt ompapang sebagai saksi ahli.. yang

disayangkan proses penyidikan berhenti di tempat, terjadi pimpong antara pihak kepolisian dan

kejaksaan, sehingga masalahnya menjadi mengambang.. Pemerintah pusat pun terjebak pada

logika kalau ditetapkan menjadi bencana nasional, maka pemerintahlah yang bertanggung

jawab sepenuhnya untuk mengatasi dampak bencana, sehingga langkah maksimal yang
diambil adalah menunjuk sebuah badan seperti Timnas dan kemudian dilanjutkan BPPLS

dengan dukungan pendanaan dari pihak Lapindo yang kelancaran aliran dananya

“dipertanyakan”, sementara peran dari pemda Sidoarjo, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah

Pusat sendiri dari sisi pendanaan belum terlihat, di APBN dan APBD belum ada. Memang

pemerintah sudah berkomitmen membiayai relokasi infrastruktur penting, sementara Lapindo

membiayai penanganan semburan dan dampak sosialnya, tetapi realisasi di lapangan sangat

lambat sampai memancing emosi warga. Padahal semakin lamban pemerintah bergerak

semakin besar dampaknya. Sekali lagi bila pihak Lapindo terbukti bersalah dan sudah

ditetapkan oleh pihak yang berwenang maka alokasi dana yang sudah dikeluarkan pemerintah

bisa dimintakan gantinya kepada pihak Lapindo. Yang penting sekarang pemerintah harus

turun tangan secara total tidak setengah-setengah lagi seperti saat ini, dengan dukungan dana

secara penuh, sehinggga upaya penanganan bencana maenjadi maksimal dan korban pun tidak

perlu terombang-ambing ketidakpastian oleh sikap Lapindo. Dengan ditetapkan sebagai

bencana nasional, maka solidaritas masyarakat dari daerah lain bahkan luar negeri pun akan

masuk ke Sidoarjo untuk meringankan beban warga Tidak seperti sekarang, masyarakat tidak

bisa bergerak karena sikap pemerintah yang tidak terbuka dan membatasi pada komitmen

Lapindo saja untuk mengurusi dampak bencana. Ini sungguh sangat ironis, 1 tahun bencana

tidak ada kemajuan yang berarti malah akumulasi masalah semakin mengkhawatirkan dan

menempatkan masyarkat di sekitar semburan lumpur, infrastruktur penting dan kota Sidoarjo

pada kondisi kerentanan maksimum. Kalau tidak diambil langkah yang tepat, satu fase lagi

bisa terjadi malapetaka.

Balas

39. Tony mengatakan:

Mei 12, 2007 pukul 2:46 am

Sebetulnya selain dampak yang disebabkan oleh sumur Lapindo tersebut jangan hanya untuk

mengatasi masalah untuk saat ini saja. Yang perlu juga diperhatikan adalah untuk masa

mendatang juga. Dalam hal ini pemerintah harus memperketat ijin-ijin penambangan yang

berada diwilayah daratan, terutama dampak lingkungan, sosial dan ekonominya jangan asal

memberi ijin tapi kalau sudah kejadian tidak ada yang bertanggung jawab. Saat ini saya lihat

bahwa pemerintah lebih banyak membela pengusahanya saja seperti kasus Lapindo, Buyat,

Freeport dan lain-lainnya. Jadi masyarakat di sekitarnya hanya sebagai penonton saja dan

kalau demo dihadapkan pada kekuatan TNI atau POLRI dan yang aneh mereka itu tega untuk

menembak rakyatnya sendiri….opo tumon. Kasus Newmont misalnya begitu mereka menang

mereka langsung mengadakan pesta yang menurut saya sangat mewah. Padahal mereka pesta

diatas penderitaan rakyat.


Sebagai rakyat saya hanya bisa berharap bahwa mulailah pemerintah, DPR dan para aparat

PEMDA bekerjalah dengan moral yang baik. Buatlah UU yang memihak rakyat dan

lingkungannya dan jalankan dengan benar. Jangan nanti perusahaan tersebut sudah kasih fee

pada pemerintah atau pemda setempat tapi tidak sampai ketangan masyarakat disekitarnya

apalagi untuk rakyat Indonesia secara keseluruhan. Marilah kita bersama yaitu para ahli-ahli,

Pemerintah, TNI, POLRI, DPR dll bekerja dengan moral yang tinggi karena kalau tidak anak

cucu kita sudah tidak mendapatkan apa-apa lagi dari kekayaan alam Indonesia tercinta ini.

Balas

40. ompapang mengatakan:

Mei 12, 2007 pukul 1:49 am

Pak Yasin Yusuf, menurut saya penyidik perlu diberi informasi teknis sehingga dapat

memastikan kesalahan Lapindo dalam hal penyebab luapan lumpur, sehingga tidak dapat

berkelit di pengadilan,sehingga keadilan dapat ditegakkan. Untuk itu mohon baca komen saya

di topik Lapindo Sudah Habiskan Rp1,4 triliun Atasi Semburan Lumpur.

Balas

41. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 3:07 pm

Untuk t dan ompapang, “setuju”, memang pemerintah harus turun tangan, karena tugas

pemerintah adalah melindungi segenap warga termasuk dari bencana seperti diamanatkan

pembukaan UUD 1945. Kita selama ini terjebak dengan asumsi kalau semburan lumpur

Lapindo dinyatakan bencana berarti pemerintah yang harus bertanggung jawab, dengan

demikian Lapindo bisa cuci tangan. Logika seperti ini semestinya mulai kita tanggalkan,

mengingat di lapangan bencana betul-betul sudah terjadi dan menyengsarakan rakyat serta

membahayakan perekonomian Jawa Timur. Oleh karenanya, debat berkepanjangan mengenai

penyebab luapan lumpur apakah man made disaster (kesalahan prosedur pengeboran), gejala

alam (mud volcano), atau gabungan keduanya sudah saatnya dihentikan, biarlah itu menjadi

urusan pihak penyidik. Langkah yang harus secepatnya dilakukan pemerintah adalah

mengambil terobosan kebijakan dengan secepatnya menetapkan semburan lumpur Sidoarjo

sebagai bencana nasional dan menyiapkan dana talangan untuk menangani bencana tersebut.

Di lapangan BPPLS mestinya lebih memfokuskan penanganan kerentanan manusia dan

membagi kerugian secara adil dibandingkan penanganan kejadian (event) berupa semburan

lumpur (sub surface) dan luapan lumpur (surface) yang terbukti “gagal”. Pemerintah juga

harus menekan Lapindo dengan tegas untuk membayar ganti rugi 20% dan secepatnya
merelokasi penduduk dan infrastruktur penting pada jarak yang aman, sebelum terlambat dan

menjadi malapetaka besar, karena ancaman tanggul jebol dan bahaya sekunder berupa

amblesan sudah di depan mata. Lihat jebolnya kembali pipa PDAM kemarin yang diduga kuat

karena proses amblesan tanah..

Teman-teman yang lain tolong hargai forum ini, terima kasih..

Balas

42. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 3:05 pm

Mas Aditya, betul mas Lapindo hanya berkewajiban mengganti ganti rugi korban dan

penanganan dampak sosial, sementara untuk merelokasi infrastruktur menjadi tanggung jawab

pemerintah malah sudah jadi peraturan presiden (perpres) segala. Untuk data-data kerugian

lihat laporan dari Universitas Brawijaya yang menghitung kerugian langsung dan tidak

langsung dari bencana lapindo di kolom arsip beberapa waktu yang lalu (bulan april atau awal

mei).

Balas

43. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 3:01 pm

Mas Bima Sankerta, “Begitu hebatnya Bakrie sampai lolos dari reshuffle atau SBY yang tidak

punya nyali ??? saya pikir dua-duanya. Kalau di pilpres 2009 kita masih memilih pemimpin

macam gini, artinya kita sama saja dengan mereka. Sama-sama tidak punya nyali untuk

mengambil tindakan yang efektif dan signifikan, kayak di republik mimpi aja…

Balas

44. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 3:00 pm

Untuk TZC, masalah uang yang terkait dengan dampak bencana Lumpur Lapindo menurut saya

jauh di atas bencana besar lainnya seperti Tsunami, Gempa Jogja apalagi banjir Jakarta karena

bencana di Sidoarjo bersifat berkelanjutan (sustainable) sementara bencana lain seperti

gempa, tsunami, banjir lebih bersifat one shoot (sekali tembak, durasinya detik sampai

mingguan, bencana lumpur Lapindo semakin lama, bukannya semakin surut malah semakin

mengkhawatirkan. Apalagi semua infrastruktur penting mulai dari jalan tol, jalan arteri, rel
kereta api, pipa gas pertamina dan pipa PDAM terkena dampaknya, belum kota Porong sendiri.

Ditambah penanganan bencana sangat lambat padahal di Jogja dan Aceh sudah memasuki

tahap rekonstruksi, padahal dana dari Lapindo juga seret dari pemerintah (“dana talangan”)

apalagi, belum ada di APBN 2007. Dampak langsung yang terukur saja tidak ditangani serius,

apalagi dampak tidak langsung dan dampak tidak terukur lainnya!! Wajar kalau bencana

lumpur Sidoarjo masuk wilayah sosial politik dan berpotensi menjadi bola liar seperti sudah

ditulis di atas.

Balas

45. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 2:58 pm

Bener mas Dedi G., memang harus ada terobosan kebijakan untuk “dana talangan”, apalagi

ada kesan Lapindo “sudah bangkrut”, kalau sudah ada uang di kantong mestinya tidak perlu

bertele-tele dan mengulur-ngulur waktu pembayaran uang muka 20% (bagaimana sisanya

ya???) dengan alasan “legal formal” segala. Tanah yang berstatus letter C dan pethok D harus

ada jaminan dari Bupati setelah lolos verifikasi, baru dan cair! (kayak kondisi normal saja!!)

Balas

46. yasin yusuf mengatakan:

Mei 11, 2007 pukul 2:57 pm

Setuju mas Yudha, orientasi pejabat kita memang sudah bias, lupa pada rakyat yang

memilihnya. Lihat saja SBY, begitu mudah percaya dengan pengusaha sebaliknya sangat

lamban dalam mendengar aspirasi rakyat. Bagitu mudah Nirwan Bakrie keluar masuk Istana,

sebaliknya warga Perumtas I harus maraton demo di depan istana lebih dari seminggu untuk

bisa bertemu presidennya. Itu pun setelah beberapa pihak menemui warga dan ada kesan

tidak ada ketulusan, SBY hanya takut dicap kurang peka dibanding tokoh lainnya yang

mungkin menjadi saingannya di pilpres 2009 nanti. Gusti Allah mboten sare…

Balas

47. usil mengatakan:

Mei 8, 2007 pukul 7:27 am

Pak Herman, bisa spekolasi dong kita.

Pinjam Rupiah trus beliin USD


Kan spretnya (bunga) udah nggak jauh, sapa tahu

3 bulan lagi, kurs menjadi 10,000……kaya mendadak kita.

anggap aja lagi direpublik BBM.

Balas

48. usil mengatakan:

Mei 8, 2007 pukul 7:17 am

Mancing teruuuus…broerPapang, jangan dikira aku jauh dari

blog ini. Zonder minta, aku pasti komentar…

Hanya saja aku lagi asyik (tadinya aku nggak fareg) baca posting2

terdahulu (blog-rovicky), maklum aku baru tahu, tanpa sengaja lagi..

Eh! lagi2 disitu ketemu broerPapang…..jodoh!

Balas

49. Herman mengatakan:

Mei 8, 2007 pukul 7:06 am

BI Rate turun 25 Basis Poin

http://www.kompas.com/ver1/Ekonomi/0705/08/130746.htm

Teman-teman blog ini canggih sekali

Balas

50. ompapang mengatakan:

Mei 8, 2007 pukul 5:36 am

setuju pak Kunto, kalau pak dhe Rovicky bisa mendelete komen yang tidak jelas itu lebih baik,

dari pada bikin gusar yang lain. Kalau saya sih menganggapnya sebagai intermezo saja, saya

maklum bahwa pengunjung blog ini dari segala macam tipe manusia,berbagai macam disiplin

ilmu, umur dan karakter. Mereka yang tak tertarik mengikutinya akan mundur dengan

sendirinya,sebaliknya yang mendapat manfaat akan dengan setia berkunjung di blog ini.

Pinjam istilahnya pak Usil : gitu saja repot.

Balas

51. kunto mengatakan:

Mei 8, 2007 pukul 3:20 am


Ada baik moderator web ini mendelete / edit komen yang tidak jelas arahnya / melenceng dari

topik atau bila ingin menghormati kebebasan ekspresi (bablas nggak ya?) diarahkan saja ke

bagian baru (spam / junk).

Saya kira teman-teman yang komen harus menghargai web ini, mohon tidak memberi

komentar aneh-aneh.

Blog ini sudah sangat bagus, baik tulisan maupun diskusinya. Salam.

Balas

52. lontong mengatakan:

Mei 7, 2007 pukul 4:18 pm

Kalau BI gak ada hubungannya dengan hotmudflow, tapi kalau gedung BI hubungannya

terbalik kalau hotmudflow panasnya dibawah , sebaliknya gedung BI dulu diatas.

Balas

53. ??? mengatakan:

Mei 7, 2007 pukul 12:47 pm

Apa hub. BI dg. dampak ekonomi hotmudflow???

Balas

54. herman mengatakan:

Mei 7, 2007 pukul 9:50 am

kalau rupiah menguat ini bagaimana situasi BI-SSSS atau BI-RTGS , apa SBI-REPO waktunya

pas nggak ya ? .

Balas

55. ompapang mengatakan:

Mei 2, 2007 pukul 1:37 pm

betul t !!

Balas

56. t mengatakan:
Mei 2, 2007 pukul 2:32 am

Tujuan “penyelenggaraan NEGARA” salah duanya adalah memajukan kesejahteraan umum dan

melindungi kepentingan bangsa. Kalau Negara mengambil alih, saya kira dasarnya dua hal itu

dan sifatnya “menomboki” dulu, seperti BLBI dulu. Tentu harus ada parameternya yang

disepakati (oleh DPR/DPD ?) atas tindakan itu, yang ini mbohhh aku. Terima kasih.

Balas

57. adhitya82 mengatakan:

Mei 1, 2007 pukul 7:52 am

mohon.. saran.!!!

saya ingin tahu apakah ganti rugi untuk korban lapindo sudah menjadi tanggung jawab

pemerintah? bukan lagi menjadi tanggung jawab pihak perusahaan..!!

jika memang benar demikain, itu menandakan perusahaan lapindo telah me-lobby pemerintah,

dan ini juga merupakan salah satu bentuk kejahatan korporasi..

apakah dari anda, ada yang memiliki data baik dari media atau apapun mengenai indikasi

tersebut diatas, saya mohon diberikan data tersebut.. terima kasih..

Balas

58. Bima Sankerta mengatakan:

April 27, 2007 pukul 9:11 am

Kalau saya jadi korban lumpur…. saya demo bukan ke fasilitas publik… saya demo ke kantor PT

Lapindo Brantas. Saya duduki aset-asetnya. Saya blokir jalan masuk keluarnya…

pabrik/plantnya.

Atau demo kantornya yang di jakarta… gedung Bakrie… dst.

Saya santroni rumah pribadinya….

Saya ‘kawal’ keluarganya kemana-mana…. untuk memastikan mereka “membelanjakan” uang

dengan bijaksana.

Enak aja kayak orang buang angin… orang lain ribut dia cengar cengir malah sibuk berusaha

menghindari reshuflle.

Semprul.

Balas

59. tzc mengatakan:
April 22, 2007 pukul 6:27 pm

Perhatian utama saya terhadap semua penyelesaian masalah di Republik ini sebenarnya satu

saja: UANG.

Kita saban hari mengeluh ekonomi tidak jalan, pengangguran bertambah, dll. Tetapi “dengan

rela” (??) setiap saat kita menghamburkan uang untuk konflik, rusuh, perang PENANGANAN

bencana.

Saya hanya membayangkan uang Rp1T, dibelikan motor seharga Rp10Juta untuk ojek maka

terdapat 100.000 tukang ojek. Belum menghitung pabrik sepeda motor yang dapat menghidupi

karyawannya.

Banjir besar di Jakarta awal tahun ini merugikan sekitar Rp8-9T, padahal untuk penyelesaian

BKT “hanya” diperlukan biaya Rp4-5T (totalnya kalau tidak salah Rp15T dari tahun 2002).

Kerugian dari Gempa Yogya-Jateng sekitar Rp30T.

Kerugian Tsunami Aceh Rp43T.

Untuk membangun Sistem Deteksi Dini Tsunami katanya butuh Rp1,3T.

Tadi dari Republik Mimpi saya dengar BLBI Rp600T. Walaupun itu hanya secara pencatatan

saja, riel moneynya ada di bunga rekapnya dikurangi GWM dan kredit yang benar-benar

produktif.

Malang tak boleh ditolak, mujur tak boleh diraih.

Toh, itulah kehidupan, tidak lurus-lurus sesuai pengharapan kita.

note: CMIIW untuk data dan angka. Terima kasih.

Balas

60. Dedi Ganedi mengatakan:

April 20, 2007 pukul 8:30 am

Beberapa alternatif jenis pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo yang dapat

menenteramkan para korban dan memudahkan Lapindo mengatur pengeluaran:

1. Surat utang yang disahkan dan dijamin oleh Pemerintah

2. Lembaran Cek yang dapat dicairkan pada tanggal-tanggal tertentu

3. Sertfikat sebagai pemilik sejumlah saham di PT Lapindo

Balas

61. Yudha Prasetyawan mengatakan:


April 19, 2007 pukul 6:51 am

Saya hanyalah satu dari sekian ribu warga Perum TAS. Sejak awal masalah/kejadian ini

bergulir, para pejabat pemerintah seolah menjadi “lawan” dari rakyat. Ketidaktegasan

pemerintah merupakan sebuah wujud ketidakberdayaan ataukah sebuah “konsensus”. Hanya

dibutuhkan suatu bukti dan bukan suatu janji bahwa semua pihak berwenang bersungguh-

sungguh menuntaskan masalah ini. Bekerja cepat, taktis dan tidak menyengsarakan para

korban itulah yang harus diwujudkan. Tuntutan 100% dinyatakan tidak sesuai peraturan

sungguh menggelikan. Bukankah bunyinya uang muka 20% dan pelunasan selambat-

lambatnya 1 bulan sebelum masa kontrak habis, berarti jika dibayarkan lebih cepat tidak

melanggar “selambat-lambatnya”. Mungkinkah aset para shareholder berupa tower-tower di

Jakarta (misalnya di daerah Kuningan) dan yang tersebar di Indonesia (misalnya di sepanjang

pantai Kuta, Bali) dijaminkan pada bank untuk membayar ganti rugi? Perjuangan para korban

dengan cucuran darah dan air mata serta perasaan, apakah tidak ada artinya di mata mereka

yang berwenang? Tuhan pasti mendengar doa orang-orang teraniaya, dan apakah mereka

yang berwenang tidak memikirkan nasib anak cucunya kelak bila Tuhan murka. Ketika tahu

berbagai produk ternyata keluaran dari shareholder, jelas saya tidak akan membelinya. Jika

benar bahwa sertifikat asli sudah diserahkan ke pihak Minarak Lapindo Jaya saat 20%

pembayaran uang muka, satu lagi kejadian masyarakat “rakyat kecil” telah dizolimi. Jual-beli

belum lunas kok sertifikat sudah di tangan pembeli ?????

Balas

62. yasin yusuf mengatakan:

Maret 30, 2007 pukul 12:19 am

Diskusi sosial, ekonomi dan politik

Ini beberapa butir pemikiran penulis beberapa waktu lalu (akhir februari 2007) saat warga

perumtas 1 menuntut ganti rugi cash and carry dengan memblokir jalan arteri, rel dan tol.

Meskipun terlambat, semoga inti pesan masih relevan.

DAMPAK INTANGIBLE BENCANA LUMPUR SIDOARJO

Oleh : Yasin Yusuf, S.Si, M.Si.

Dampak Bencana lumpur Sidoarjo semakin luas dan mencakup hal-hal yang selama ini tidak

diperkirakan (intangible) sebelumnya. Pemblokiran jalan tol, jalan arteri, dan rel kereta api

oleh ribuan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas) 1 di kawasan

Porong Sidoarjo selama 2 hari, Kamis dan Jum’at beberapa waktu yang lalu, yang

mengakibatkan ekonomi jawa timur terguncang, merupakan salah satu contoh paling aktual.

Sebagian pengamat memperkirakan kerugian perokonomian Jatim akibat blokade korban


lumpur tersebut mencapai 2 trilyun (Produk Domestik Regional Bruto Jatim per hari sekitar 1

trilyun), atau setara dengan seperempat kerugian banjir Jakarta beberapa waktu yang lalu.

Bahkan Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi sampai perlu mengeluarkan pernyataan bahwa

fenomena pemblokiran jalan-jalan utama di Porong termasuk rel kereta api oleh warga korban

lumpur Lapindo merupakan luapan frustasi yang hampir puncak. Mereka terombang-ambing

tanpa keputusan yang jelas, Hasyim mengingatkan satu fase lagi bisa terjadi kekacauan

(chaos). Pemerintah pusat dalam hal ini tidak bisa hanya diam atau membiarkannya. Karena

hal itu pasti merusak image pemerintah pusat atau Presiden.

Dalam beberapa kesempatan Lapindo Berantas Inc bahkan bersikukuh tidak mau memberikan

ganti rugi. Alasannya, Perumtas 1 yangg terdiri dari 5.361 rumah dan dihuni 14.000 jiwa lebih

itu berada di luar wilayah yang direkomendasikan oleh Tim Nasional Penanggulangan

Semburan Lumpur di Sidoarjo. Pertanyaannya apa betul warga perumtas 1 berbeda kondisinya

dengan warga 4 desa lain yang juga menjadi korban lumpur yaitu Desa Siring, Jatirejo,

Renokenongo, dan Kedungbendo, sehingga perlakuan pihak Lapindo terhadap mereka

berbeda ? atau apakah ini hanya akal-akalan pihak Lapindo untuk mengalihkan tanggung

jawab kepada pemerintah ? atau Timnas Penanggulangaan Lumpur Sidoarjo yang kurang hati-

hati dalam memperkirakan dampak lumpur Sidoarjo terhadap permukiman sekitar, sehingga

wilayah yang direkomendasikannya terlalu sempit, tidak mencakup wilayah perumtas 1 ?

Dampak Tangible dan Intangible

Tulisan ini berusaha menelusur bencana lumpur Sidoarjo dari segi dampaknya baik yang

terukur (tangible) maupun tidak terukur (intangible) untuk menjawab beberapa pertanyaan di

atas. Dampak bencana tangible merupakaan dampak bencana yang bisa dihitung dan biasanya

dinyatakan dengan terminologi moneter. Dampak tangible dibedakan 2, yaitu langsung (direct)

dan tidak langsung (indirect). Dampak langsung yang terkait dengan lumpur Sidoarjo adalah

terendamnya rumah warga termasuk terendamnya jalan tol Porong Gempol di sekitar pusat

luberan lumpur. Dampak tidak langsung adalah dampak yang terkait dengan matinya atau

terganggunya perekonomian akibat luberan lumpur tersebut, seperti hilangnya mata

pencaharian penduduk karena sawahnya terendam lumpur, hilangnya pekerjaan penduduk

akibat pabriknya terendam, terganggunya aktivitas distribusi barang menuju kota Surabaya

akibat jalan tol ditutup dan sebagainya.

Dampak intangible lumpur Sidoarjo adalah dampak yang sulit diperkirakan dan dihitung dan

menyangkut aspek yang lebih luas (sosial dan politik, termasuk psikologi). Pemblokiran warga

terhadap beberapa ruas jalan seperti sudah dikemukakan diatas adalah salah satu contohnya.

Menurunnya image perusahaan, timnas, gubernur, bahkan presiden seperti diingatkan ketua

PBNU ditambah rasa frustasi masyarakat yang bisa berujung pada kekacauan sosial juga

contoh dampak intangible lainnya.

Di sini perlu dicermati apa benar Wilayah Perumtas I tidak masuk dalam wilayah yang

direkomenasikan Timnas, kalau memang demikian adanya berarti Timnas kurang hati-hati
dalam memperkirakan dampak langsung. Kelalaian Timnas tidak bisa dijadikan alasan

perusaahaan untuk berkelit dari tanggung jawab memberikan ganti rugi terhadap korban

karena bukti bahwa Wilayah Perumtas I terendam lumpur jelas kasat mata (empiris) dan tidak

bisa dibantah lagi. Tuntutan ganti rugi yang sama dengan 4 warga desa yanga lain seperti

disuarakan warga perumtas 1 adalah wajar dan harus dikabulkan pihak perusahaaan, karena

wilayah mereka masih dalam kategori zona dampak langsung luberan lumpur Sidoarjo.

Penanganan bencana yang profesional semestinya memperhitungkan dampak tangible baik

yang langsung maupun tidak langsung, bahkan harus mengantisipasi dampak intangible yang

mungkin terjadi. Melihat penanganan bencana lumpur Sidoarjo yang dilakukan pihak

perusahaan dan Timnas selama ini, apa pun kendalanya, masih jauh dari memadai. Jangankan

mengantisipasi dampak intangible, dampak tangible langsung saja tidak ditangani secara

serius. Indikasinya, Wilayah Perumtas 1 jelas masuk zona dampak langsung luberan lumpur,

tetapi pihak Lapindo berkeras tidak mau memberikan ganti rugi dengan alasan seperti sudah

disebutkan di atas.

Potensi menjadi Bola Liar

Kekerasan hati pihak perusahan, ditambah mandulnya ketegasan Timnas dan pemerintah

daerah serta legislatif (DPRD Sidoarjo dan Jatim) dalam membuat keputusan, jelas-jelas

mencederai rasa keadilan masyarakat. Ketidakpastian penyelesaian dan masa depan korban,

membuat warga frustasi dan berujung pada tindakan yang tidak diperkirakan sebelumnya

(intangible) berupa pemblokiran jalan-jalan utama seperti sudah diungkapkan di atas. Efek

dominonya semakin menambah besar dampak kerugian tidak langsung dan kalau dibiarkan

terus, seperti diingatkan ketua PBNU, satu fase lagi bisa terjadi kekacauan sosial (social

chaos). Di sini berlaku rumus semakin dampak langsung tidak ditangai dengan baik dan

profesional, maka dampak tidak langsung dan intangible akan semakin besar dan risiko

terjadinya kekacauan sosial dan politik semakin besar pula.

Oleh karenanya semua pihak yang berkepentingan (stake holder) terhadap masalah ini harus

sensitif dan secepatnya mengambil tindakan yang menjunjung rasa keadilan masyarakat,

khususnya korban. Penanganan dampak lumpur baik yang tangible maupun intangible

merupakan agenda paling utama. Karena ke depan masalah Lumpur Sidoarjo akan semakin

berisiko mengingat akumulasi permasalahan baik dari sisi lingkungan, ekonomi, sosial maupun

politik yang sudah memasuki tahap kritis dan indikasi menjadi bola liar mulai tampak dari aksi

pemblokiran jalan kemarin. Semoga semua pihak yang berkepentingan mulai dari PT Lapindo

Berantas, Timnas penanggulangan lumpur Sidoarjo, Pemkab Sidoarjo dan Pemprov Jatim, serta

legislatif di daerah tersebut termasuk pemerintah pusat, sensitif dengan perkembangan

terakhir ini dan secepatnnya mengambil tindakan, sebelum meledak menjadi kerusahan sosial

yang tidak diinginkan semua pihak.

Anda mungkin juga menyukai