Anda di halaman 1dari 17

ILLEGAL FISHING DAN ALTERNATIF SOLUSINYA *)

Oleh

Dr.Ir. Najamuddin, M.Sc1


*) Disampaikan pada Lokakarya Agenda Penelitian, Proyek COREMAP II
Kabupaten Selayar, 9-10 September 2006
1) Staf pengajar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas
Hasanuddin, Makassar

ABSTRAK
Kerusakan terumbu karang terutama disebabkan oleh aktivitas
penangkapan ikan, baik yang legal terlebih lagi yang illegal. Upaya-upaya
penelitian untuk mendapatkan alat penangkap ikan alternatif telah dikaji.
Beberapa alternatif peket teknologi penangkapan ikan yang ramah terhadap
terumbu karang, antara lain alat bantu SFS, lampu bawah air, rumpon dan
terumbu buatan. Penggunaan beberapa alternatif alat bantu tersebut diharapkan
mampu menurunkan tekanan pengrusakan terumbu karang terutama di wilayah
proyek COREMAP sehingga sasaran proyek dapat dicapai. Penelitian kaji tindak
perlu dilakukan dalam rangka penerapan paket teknologi yang sesuai dengan
kondisi masing-masing lokasi.

PENDAHULUAN
Terumbu karang merupakan ekosistem khas yang terdapat di daerah
tropis. Meskipun terumbu karang banyak ditemukan di berbagai perairan dunia,
tetapi hanya di daerah tropis terumbu karang dapat berkembang dengan baik.
Dibandingkan dengan negara tropis lain, Indonesia memiliki keunggulan alam
tersendiri berupa tempat “megabiodiversity” bahkan termasuk paling kaya
keanekaragamaan hayatinya, dalam arti tidak tertandingi oleh negara-negara di
kawasan sub tropis, dan negara-negara maju dibelahan bumi bagian utara
maupun selatan (Kusumaatmaja, 2001).
Pemanfaatan sumberdaya terumbu karang oleh sebagian besar
masyarakat nelayan di daerah pesisir dewasa ini menuju pada suatu pola
degradasi lingkungan berupa kerusakan habitat karena menggunakan alat
tangkap yang tidak ramah lingkungan, bahan peledak dan zat kimia beracun
untuk mengeksploitasi berbagai spesies ikan atau organisme lain yang memiliki
nilai ekonomis penting. Hal tersebut lebih diperparah lagi akibat permintaan
eksportir ikan hidup yang harganya sangat menggiurkan.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 1/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Menurut Sugandhy (2000) hanya sekitar 7 % kondisi terumbu karang yang
masih sangat baik dan 61 % telah rusak. Hal tersebut lebih diperkecil lagi
cakupannya untuk wilayah Indonesia bagian timur prosentase penutupannya
yang menunjukkan kondisi memuaskan 9,80 %, dalam kondisi baik 35,29 %,
dalam kondisi sedang 25,49 % dan 29,42 % dalam kondisi rusak.
Penggunaan alat tangkap yang efektif dan selektif seperti jaring insang
dasar telah lama digunakan oleh sebagian masyarakat nelayan di daerah pesisir,
tetapi untuk meningkatkan efektifitas kerja alat tersebut, yakni mempercepat
proses terjeratnya ikan, nelayan menggunakan berbagai alat bantu yang
berdampak negatif terhadap habitat atau ekosistem terumbu karang untuk
memaksa ikan-ikan keluar dari tempat persembunyiannya, sebab alat tangkap
jaring insang dasar ini bersifat pasif. Sebagai contoh, misalnya nelayan
menggunakan besi atau benda-benda keras lainnya untuk mengusir ikan-ikan
dari tempat persembunyiannya pada lubang-lubang karang.

Permasalahan Lapangan
Ikan-ikan karang selama ini dieksploitasi dengan cara-cara yang merusak
terumbu karang, seperti : bahan peledak, bahan kimia, dan jaring tetapi dengan
mengusir ikan sambil memukulkan bambu ke daerah karang. Akibat kegiatan
eksploitasi yanr merusak tersebut Sugandhy (2000) melaporkan sekitar 61%
areal terumbu karang di Indoensia sudah dalam kondisi rusak, dan hanya sisa
sekitar 7% dalam kondisi sangat baik. McManus et al (1997) melaporkan
kerusakan terumbu karang di Philipina akibat bahan peledak, cianida dan jangkar
kapal berturut-turut sebesar 19%, 8% dan 0,25% pertahun.
Penggunaan alat penangkap ikan yang merusak lingkungan seperti bahan
peledak dan cianida dilakukan oleh nelayan mengingat sampai saat ini belum
ada alat penangkap ikan yang efektif digunakan di daerah terumbu karang.
Penggunaan alat tangkap gill net di sekitar terumbu karang sangat beresiko
tinggi, karena kalau tersangkut sedikit saja di karang, jaring akan robek. Pada
kenyataannya memang sangat sulit menempatkan alat penangkap ikan di daerah
terumbu karang. Sebagai alternatifnya, maka alat penangkap ikan dipasang
diluar daerah terumbu karang dan tidak berhubungan langsung dengan terumbu.
Akan tetapi perlu dicari cara supaya ikan-ikan yang berada di daerah terumbu

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 2/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


karang terusik dari tempatnya dan lari ke arah jaring sehingga ikan-ikan
tertangkap. Prinsip inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Prinsip seperti ini
sudah pernah digunakan di Jepang (Akamatsu et al, 1996) untuk mengusir singa
laut dari memangsa ikan hasil tangkapan jaring.
Produksi alat tangkap sangat ditentukan oleh beberapa faktor, antara lain :
alat bantu, sumberdaya ikan yang ada, tingkat teknologi yang digunakan, dan
kondisi habitat (dalam hal ini terumbu karang) dimana ikan hidup. Hasil
penelitian Kamil dkk. (2003) menunjukkan bahwa hasil tangkapan rata-rata gill
net di daerah terumbu karang sekitar 3,5 kg per trip tanpa alat bantu, dengan alat
bantu sebesar 4,7 kg per trip.

Penangkapan dengan Alat Bantu Pengejutan Ikan (Fish Frightening)


Dalam prakteknya mengejuti ikan dengan jalan memukuli air, memukul-
mukul dinding perahu ataupun dengan terikan-teriakan telah tersebar luas dan
umum dilakukan orang. Taktik seperti ini terutama dimanfaatkan pada berbagai
usaha penangkapan yang sifatnya menghalau ikan ke arah alat penangkapan
yang dikenal sebagai “driving fisheries” (Gunarso, 1985). Lebih lanjut
dikemukakan bahwa pada usaha penangkapan berbagai jenis ikan karang
seperti misalnya jenis ikan ekor kuning (Caesio sp) di Indonesia, alat penangkap
yang umum dipakai adalah muroami dengan alat bantu yang dikenal sebagai
“elot”, yaitu penggiring yang berupa tali dengan di bawahnya diberi pemberat dari
gelang-gelang besi untuk mengejuti ikan agar mereka lari ke arah jaring ataupun
memaksa mereka untuk meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka
pada karang-karang. Ommanney (1982) mengatakan, memang ada beberapa
jenis ikan yang sangat peka getaran, yang timbul akibat gerakan air, jenis-jenis
ikan tersebut dapat menangkap getaran akibat gerakan baling-baling kapal dari
jarak jauh ; langkah kaki di tanggul sungai yang menggetarkan tanah secara
betapapun perlahannya dan mengakibatkan beriaknya air sudah cukup
mengganggu ikan trout.

Karakteristik dan Sifat Ekologi Ikan Karang


Menurut Iskandar dan Mawardi (1997) keberadaan ikan-ikan pada
terumbu karang ternyata mempunyai perbedaan spesies antara siang dan malam

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 3/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


hari, ikan-ikan karang yang aktif siang hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan
diurnal, sedangkan yang aktif malam hari dimasukkan ke dalam kelompok ikan
nocturnal. Pada malam hari ikan-ikan diurnal berlindung di dalam terumbu dan
digantikan oleh species nocturnal yang tidak terlihat di siang hari. Meskipun
secara ekologi sama dengan spesies diurnal tertentu. Sedangkan Hobson (1968)
dalam Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa semua spesies
nocturnal adalah predator.
Laevestu dan Hayes (- ) mengemukakan bahwa umumnya karakteristik
ikan karang pada waktu siang hari berada dekat dasar perairan, beruaya dan
menyebar di bawah termoklin, terkadang di atas termoklin pada waktu sore hari.
Kemudian turun ke dasar atau lapisan yang lebih dalam pada waktu matahari
terbit. Sedangkan menurut Iskandar dan Mawardi (1997) menyatakan bahwa
pada ikan-ikan nokturnal sama halnya dengan ikan-ikan diurnal, hanya saja
mereka memulai aktivitasnya saat hari mulai gelap. Ikan-ikan ini pada umumnya
dapat digolongkan sebagai ikan soliter atau lebih senang beraktivitas sendiri-
sendiri dibandingkan berkelompok. Dikatakan juga aktivitas ikan nokturnal tidak
seaktif ikan-ikan diurnal. Gerakannya lambat cenderung diam, dan arah
pergerakannya tidak melingkupi area yang luas dibandingkan dengan ikan
diurnal.
Dari segi ekologi jenis-jenis ikan karang diartikan sebagai jenis ikan yang
habitatnya terutama berada dilapisan dekat dasar laut. Ikan-ikan ini mempunyai
sifat ekologi antara lain: (1) Kemampuan beradaptasi dengan faktor-faktor
kedalaman perairan pada umumnya tinggi, hal ini terlihat dari penyebaran
berbagai jenis ikan tertentu yang hidup mulai dari kedalaman beberapa meter
sampai ratusan meter. (2) Gerombolannya lebih kecil dibandingkan ikan-ikan
pelagis bahkan sebagian besar bersifat soliter. (3) Habitat utamanya dilapisan
dekat dasar laut, meskipun beberapa jenis diantaranya dapat hidup dilapisan
atas perairan. 4) Kecepatan pertumbuhan relatif lebih rendah dibandingkan
ikan-ikan pelagis dan umurnya untuk mencapai tingkat dewasa juga sangat
lambat. (5) Aktivitas rendah dan daerah ruayanya sempit. (6) Komunitasnya
sangat kompleks (Nikolsky, 1985).

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 4/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Hasil Penelitian yang Telah Dilakukan
Alat bantu pengejut ikan sudah dilakukan oleh Kamil dkk. (2003) dengan
membandingkannya dengan cara tradisional yang digunakan nelayan. Hasilnya
secara kuantitas jauh lebih banyak tangkapan yang menggunakan alat bantu dari
pada tanpa alat bantu. Dari 16 trip penangkapan diperoleh rata-rata 4,7 kg
dibandingkan dengan tanpa alat bantu 3,5 kg pada malam hari. Sedangkan
pada siang hari diperoleh hasil yang lebih besar yaitu 10,1 kg pada alat bantu
dan 4,8 kg tanpa alat bantu. Pada malam hari, hasilnya kurang begitu
memuaskan. Ada beberapa kendala yang dihadapi pada malam hari, yaitu
pandangan terbatas sehingga jaring dipasang di daerah terumbu karang yang
mengakibatkan robeknya sebagian jaring sehingga hasil tangkapan berkurang.
Kemungkinan lain diduga bahwa pada malam hari ikan-ikan karang cenderung
aktif, sehingga kurang terpengaruh oleh frekunsi suara yang diterapkan (Kamil
dkk., 2003).
Penelitian yang telah dilakukan menggunakan frekunsi suara 17 kHz dan
volume suara yang dihasilkan 10 dB (pengukuran didarat). Sedangkan penelitian
di Jepang (Akamatsu et al, 1996) untuk mengusir singa laut menggunakan
kisaran kekuatan suara antara 145 – 210 dB, dan frekuensi berkisar antara 1
sampai 28 kHz. Karena ikan dan singa laut sangat berjauhan kekerabatannya,
maka dalam penelitian ini akan mengembangkan berdasarkan penelitian yang
telah dilakukan dengan menguji beberapa kisaran frekuensi dan kekuatan suara
untuk memdapatkan reaksi ikan yang optimal.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa prinsip dasar penelitian ini sudah
diinformasikan oleh beberapa peneliti terdahulu, akan tetapi aplikasi seperti
penelitian yang direncanakan belum ada. Ditinjau dari segi perikanan
bertanggungjawab, penelitian ini sangat mendukung terutama terhadap
lingkungan, namun terhadap sumberdaya ikan, tentunya sangat tergantung dari
alat penangkap ikan yang digunakan nelayan. Walaupun dalam penelitian ini
juga dirancang alat tangkap yang selektif, keberlanjutan sumberdaya tergantung
dari pengawasan di lapangan.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 5/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Alat Bantu Bunyi Pengejut Ikan untuk Daerah Karang

Alat bantu bunyi ini tergolong jenis alat yang baru sehingga untuk
memudahkan penyebutan atau pengenalannya secara luas diperlukan istilah
baku/permanen. Oleh karena itu kami memberikan istilah “Sound Frequency
Shock” yang bermakna bunyi pengejut ikan, bagi alat bantu bunyi ini dan untuk
selanjutnya disebut S.F.S.

C C
LS

C C
IC 1 IC 2
R

R
R

C
C C C

Gambar 1. Skema Alat S.F.S

Alat ini terdiri dari seperangkat peralatan elektronika sebagai input dan
loud speaker berukuran 8 Ohm sebagai output. Loud speaker tersebut telah
dimodifikasi sehingga menjadi kedap air. Sumber tegangan berasal dari accu
berkekuatan 12 Volt. Skema S.F.S dan sistim kerjanya secara skematik dapat
dilihat pada diagram converter berikut (Gambar 1). Alat ini mampu menghasilkan
bunyi sebesar 33.000 Hz, dengan kekuatan volume sebesar 10 dB

Prinsip kerja S.F.S ini adalah bunyi yang dikeluarkan dirambatkan melalui
medium cair dengan kecepatan perambatannya 5 kali lebih besar dibandingkan
dengan medium perambatan di udara, yaitu sebesar 1500 m/dt. Hal ini
disebabkan karena partikel-partikel pada medium cair lebih rapat atau saling
terkait, sehingga suatu getaran yang menyentuh satu partikel akan
mempengaruhi partikel yang lain. Berdasarkan sudut pandang teoritis maka
dapat dipahami bahwa semakin renggang kerapatan partikel sebuah medium

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 6/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


maka kecepatan perambatan suatu getaran/bunyi semakin lambat, sebagaimana
yang terajadi pada ruang hampa.
Hasil penelitian dengan perlakukan menggunakan alat bantu SFS dan
tanpa alat bantu menunjukkan bahwa hasil tangkapan gillnet nyata lebih banyak
pada alat bantu dibandingkan dengan tanpa lat bantu (Iqbal, 2003).

Perbandingan Jumlah Hasil Tangkapan antara SFS dengan tanpa SFS

Hasil penelitian Iqbal (2003) dengan alat bantu SFS diperoleh hasil tangkapan
sebanyak 12 jenis dengan total berat 75,9 kg, sementara yang tanpa alat bantu
hanya 8 jenis dengan berat 56,6 kg. Jenis-jenis ikan hasil tangkapan dapat
dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis dan jumlah ikan hasil tangkapan

No. Nama Tanpa Alat Bantu Dengan Alat Bantu


Jml (ekor) Berat (kg) Jml (ekor) Berat (kg)
1. Tanda-tanda batu 32 13,5 49 19,2
2. Kakatua 29 13,5 18 7,6
3. Biji Nangka 19 9,5 9 3,9
4. Kerapu Karang 11 4,6 10 4,4
5. Sikuda 11 5,6 11 8,2
6. Pisang-pisang 9 5,7 14 5,4
7. Jenaha 7 2,5 32 13
8. Kerapu lumpur 6 1,8 5 2,7
9. Betedace 10 4,6
10. Ikan merah 7 2,5
11. Lingkis 8 3,9
12. Kerapu balong 2 0,5
Total 124 56,6 175 75,9

Tabel 1 menunjukkan jumlah hasil tangkapan yang menggunakan alat bantu SFS
jauh lebih besar dari pada tanpa alat bantu, baik dari segi jenis ikan, jumlah ikan
maupun berat hasil tangkapan.

Lampu
Banyak faktor yang menentukan berhasil tidaknya suatu usaha perikanan
light fishing diantaranya adalah : peman-tulan, penyerapan, refraction, extinction,
peristiwa lainnya dari cahaya yang dihasilkan oleh lampu yang mengenai
permukaan perairan (Ayodhyoa, 1976). Tak kalah pentingnya adalah faktor
disain, tata letak lampu dan penentuan lokasi dan faktor kesesuaian alat dengan

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 7/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


kondisi lingkungan perairan (Hela dan Laevastu, 1970). Dalam hal ini harus
diusahakan agar warna lampu yang berbeda dan tata letaknya tidak
mengganggu peristiwa berkumpulnya ikan pada sumber cahaya, yang mana ikan
akan berkumpul karena peristiwa phototaxis atau adanya makanan yang terlihat
oleh ikan.
Takayama (1957) dalam Basuki (1976) mengemukakan bahwa
berkumpulnya atau tertariknya ikan terhadap cahaya bukan saja karena sifat
phototaxis positif, juga karena adanya faktor ekologi dari mahluk hidup lainnya.
Pada peristiwa phototaxis positif, ikan-ikan akan bergerak menuju sumber
cahaya, sedang pada phototaxis negatif ikan-ikan akan memberikan reaksi
sebaliknya. Selanjutnya dikatakan oleh (Gunarso, 1985) bahwa cahaya bagi ikan
digunakan sebagai indikator adanya makanan. Secara teoritis dikatakan pula
bahwa berkumpulnya ikan pada cahaya juga dipengaruhi oleh jumlah terang
yang terjadi di dalam air (light intensity, brightness, lux) akibat penyinaran oleh
warna lampu yang berbeda terhadap ikan, demikian pula yang menyangkut
persoalan fisika, kimia dan biologi, seperti peristiwa merambatnya cahaya
kedalam air, pengaturan warna cahaya kedalam perairan, gelombang, kekeruhan
dan kecepatan arus.
Mekanisme berkumpulnya ikan pada cahaya (lampu) belum diketahui
dengan jelas, namun diduga bahwa ikan-ikan akan terangsang oleh cahaya
karena adanya faktor kesesuaian intensitas cahaya yang dibutuhkan oleh ikan
(Verheyen, 1959). Sementara itu von Brandt (1964) menyatakan bahwa
penyebab lain tertariknya ikan terhadap cahaya didasari oleh disorientasi
penglihatan ikan. Ikan-ikan mempunyai kemampuan untuk melihat pada
intensitas cahaya sampai ra-tusan ribu lux pada siang hari sampai pada keadaan
yang hampir gelap sama sekali (Gunarso, 1985). Selanjutnya dikatakan bahwa
besarnya intensitas cahaya yang dapat diadaptasi oleh ikan sangat bervariasi
tergantung pada jenis ikannya, sedang intensitas cahaya yang sudah dapat
dideteksi ikan sekitar 0,01 - 0,001 lux. Scharfe (1955) mengatakan bahwa suatu
lampu yang dapat diindera oleh mata manusia hanya sampai pada kedalaman 15
meter, sedangkan ikan dapat mendeteksi sampai pada kedalaman 28 meter.
Selanjutnya Zusser (1958) mengatakan bahwa ikan-ikan mem-punyai intensitas
cahaya optimum untuk aktifitasnya. Di-tambahkan pula bahwa ikan yang dalam

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 8/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


keadaan lapar lebih mudah tertarik pada cahaya dibadingkan dengan ikan-ikan
yang dalam keadaan kenyang.
Kegunaan cahaya terhadap tingkah laku ikan dan ke-tersediaan makanan
telah banyak dilakukan pada berbagai metode penangkapan ikan di negara maju.
Mengingat per-airan Indonesia adalah perairan tropis, dimana nilai
transparansinya tinggi (sekitar 20 - 35 m) (Ayodhyoa, 1976), sebagai akibatnya
adalah bahwa cahaya yang diguna-kan akan menembus jauh pada suatu
kedalaman tertentu. Hal ini pula yang mengakibatkan ikan-ikan yang berada
pada lapisan tersebut akan terangsang oleh cahaya dan diharapkan akan dapat
tertarik ke catchable area. Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Metusalach
dan Najamuddin (1989) menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan
menggunakan lampu neon dalam air nyata jauh lebih baik dari pada lampu
petromaks. Hal ini sejalan dengan pernyataan Subani (1972) bahwa sumber
cahaya (lampu) yang ditempatkan dalam air akan memberikan hasil tangkapan
yang lebih baik dibandingkan jika ditempatkan di atas permukaan air.
Keunggulan lampu neon dalam air yang didapatkan dalam penelitian tersebut,
tidak hanya meliputi aspek teknis saja, tetapi juga aspek finansialnya. Dari segi
teknis, ternyata penggunaan lampu neon dalam air membutuhkan waktu yang
jauh lebih singkat untuk mengumpulkan dan memadatkan ikan di sekitar lampu,
serta jumlah hasil tangkapannya jauh lebih tinggi dibadingkan dengan
penggunaan lampu petromaks. Demikian pula dengan efisiensi waktu kerja,
terdapat perbedaan waktu yang cukup besar karena dengan menggunakan
lampu neon, dapat dilakukan operasi penangkapan ikan sampai tiga kali dalam
satu malam, sedangkan dengan lampu petromaks rata-rata dapat dilakukan
sekali saja. Dari segi finansialnya ditemukan bahwa penggunaan lampu neon
dalam air membutuhkan biaya operasional alat bantu hampir 1/20
(seperduapuluh) dari penggunaan lampu petromaks. Sementara pendapatan
pada lampu neon ternyata juga hampir dua kali lipat dari hasil yang diperoleh
pada penggunaan lampu petromaks.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Metusalach dan Najamuddin
(1989) menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dengan menggunakan lampu
neon dalam air nyata jauh lebih baik dari pada lampu petromaks

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 9/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Hasil penelitian Najamuddin dkk. (1993) menunjukkan bahwa kekuatan
lampu neon dalam air berpengaruh sangat nyata terhadap hasil tangkapan purse
seine. Hasil tangkapan yang menggunakan lampu 40 W dan 50 W nyata lebih
banyak dari pada lampu 30 W. Selain itu faktor oceanografi yang diamati (arus
dan suhu) mempunyai korelasi yang nyata dengan hasil tangkapan, sedangkan
salinitas tidak nyata korelasinya.
Hasil penelitian Najamuddin dkk. (1994) menunjukkan bahwa warna
lampu neon dalam air berpengaruh sangat nyata ter-hadap hasil tangkapan
purse seine. Hasil tangkapan yang menggunakan warna lampu kuning dan
merah nyata lebih banyak dari pada lampu warna biru.

1800
Fish number (kg)

1600
1400
1200
1000
800
600
400
200
0
Red
ta
.

p.
s
sp

.
sp

sp

sp

ep

ia
rs
o

er

br
us

ic
s
lig

la
ru

ng

fim
llig
on

Se
Lo

te

Yellow
lo
tre
uw

ap

la
la

el
as

ec
ts

el

in
Ka

in

Blue
rd
rd

Sa
Sa

Fish species

Gambar 2. Perbandingan jumlah hasil & jenis ikan hasil tangkapan pada warna
lampu berbeda.

Powe ace merupakan batterei kering, mempunyai ukuran yang relatif lebih
kecil dan lebih ringan dibandingkan dengan accu. Selain itu power ace juga
sudah dilengkapi dengan rangkaian khusus yang memungkinkan alat tersebut di
charge langsung pada sumber arus AC 220 volt. Berdasarkan data teknis, alat
tersebut dapat dipakai selama 10 hari terus menerus dalam sekali ckarge

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 10/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


(sumber : Data tehnis power ace). Hasil tangkapan purse seine dengan alat
bantu power ace lebih banyak dibandingkan dengan accu (Najamuddin, 2000).

3500
Fish number (kg)

3000
2500
2000 Dry battery
1500 Wet battery
1000
500
0

us
sp

ta
s
sp

.
sp

p
m

ia
m
ce
a

so

br
s

al
en

lig

gi
ru
hy

fim
th
Lo

n
ra

te

op
lo
ac

ap
hy

la
lla

en
br

el
Sp

ec

ne

in
m
er

rd
u
di
llig

cr

Sa
r
Sa
tr e

ar
as

l
Se
R

Fish species

Gambar 3. Perbandingan jumlah dan jenis ikan hasil tangkapan pada jenis
baterei yang berbeda.

Irwan (2000) menggunakan lampu halogen warna kuning 2 buah, masing-


masing berkekuatan 100 W, ditempatkan di atas air. Jumlah ikan yang diperoleh
cukup memuaskan. Namun demikian, karena tidak ada pembanding, sehingga
sulit untuk disimpulkan. Akan tetapi pada prinsipnya, lampu halogen yang
ditempatkan di atas permukaan air dapat digunakan sebagai alat bantu
pengumpul ikan.
Hasil tangkapan purse seine lampu 400-500 kg di Bulukumba
(Najamuddin, 1995; 1997), 425 kg (Erniyanti, 1997), di Jeneponto 412 kg
(Saranga, 1998).

Rumpon
Rumpon adalah suatu bangunan yang menyerupai popohonan yang
dipasang pada suatu tempat di tengah laut. Rumpon terdiri dari empat
komponen utama yaitu pelampung, tali jangkar, tali pengikat, atraktor dan

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 11/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


pemberat (jangkar). Pada pelampung diikatkan daun kelapa atau daun lontar
yang dimaksudkan agar ikan-ikan berlindung di sekitar daun-daunan tersebut.
Makin banyak daun akan semakin baik, namun perlu diperhitungkan beban yang
akan diterima oleh pelampung dan jangkar (Monintja, 1993).
Rumpon mempunyai fungsi biologis dan ekologis. Fungsi biologisnya
adalah sebagai tempat berlindung ikan terhadap pemangsa, tempat mencari
makan, tempat pemusatan ikan umpan, tempat yang aman terhadap arus kuat,
titik acuan untuk metamorfosis dan tempat gelap dimana plankton lebih mudah
terlihat. Sedangkan fungsi ekonomi antara lain menghemat waktu dan biaya
operasional penangkapan, meningkatkan hasil tangkapan perunit usaha dan
komoditas sasaran mudah untuk ditangkap, meningkatkan nilai hasil tangkapan
ditinjau dari komposisi jenis dan ukuran, dan dapat meningkatkan faktor
keselamatan bagi perikanan pantai skala kecil (Puslitbang Perikanan, 1992;
Monintja, 1993).
Rumpon dapat menarik perhatian ikan-ikan pelagis karena pada rumpon
tercipta kondisi yang sesuai untuk aktivitas hidupnya baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara langsung yaitu memanfaatkan tingkah laku ikan
itu sendiri, dimana ikan-ikan pelagis kecil umumnya tertarik pada benda-benda
terapung dan hidup bergorombol, baik diantara jenisnya sendiri maupun diantara
jenis ikan lainnya (Puslitbang Perikanan, 1992).
Rumpon telah berhasil meningkatkan hasil tangkapan pole and line di
perarian Maluku dan Irian. Kontruksi rumpon untuk purse seine agak berbeda
dengan pole ang line, dimana harus dilengkapi dengan pelampung untuk
mengikat rumpon dapat dilepas pada saat operasi penangkapan ikan (Monintja,
1993).
Rumpon terbuat dari bambu sebagai pelampung, daun kelapa atau daun
lontar sebagai pemikat ikan, dan batu sebagai pemberat digunakan di daerah
Tarowang, Kabupaten Jeneponto. Jumlah bambu yang digunakan 15 batang,
panjang masing-masing sekitar 15 m dengan diameter rata-rata sekitar 15 cm.
Bahan pemikat terdiri dari daun kelapa atau daun lontar dengan jumlah 90
pelepah (Arsyad, 1999). Hasil tangkapan dengan bahan pemikat daun lontar
lebih banyak dari pada daun kelapa.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 12/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Di daerah Tanru Sampe, Kabupaten Jeneponto, konstruksi rumpon yang
mereka gunakan lebih sederhana dengan hanya menggunakan bambu 2 buah
sebagai pelampung. Sebagai pemikat digunakan daun kelapa sebanyak 180
pelepah, yang diikatkan merata pada 3 untaian tali (Saranga, 1998).
Hasil tangkapan purse seine rumpon di Tanru Sampe rata-rata 315,5 kg
(Arsyad, 1999); di Batam 375,2 kg (Saranga, 1998), di Bulukumba 641 kg
(Erniyanti, 1997).

Terumbu Buatan
Terumbu karang sebagai suatu ekosistem alami, memiliki mfungsi dan
peranan yang penting bagi kehidupan hayati laut dan bagi kehidupan masyarakat
komunitas pantai. Selama ini terumbu karang dimanfaatkan secara semena-
mena menggunakan teknik pemanfaatan yang merusak dengan bahan-bahan
kimia, peledak dan ditambang untuk berbegai keperluan. Luas keseluruhan
terumbu karang Indenesia sekitar 7500 km2, pada saat ini diperkirakan sekitar
60% mengalami kerusakan, 33% masih bagus dan sisanya 7% sangat bagus
(Puslitbang Perikanan, 1994). Dengan demikian maka kondisi sekarang ini
dapat di prediksi luasan terumbu karang yang masih bagus tentunya akan
semakin menurun, mengingat penggunaan alat-alat illegal masih terus
digunakan.
Batasan terumbu buatan, adalah struktur atau kerangka yang sengaja
dipasangkan ke dalam laut yang ditujukan sebagai tempat berlindung dan habitat
bagi organisme laut, atau sebagai pelindung pantai. Fungsi utama dari terumbu
buatan adalah :
1. Menarik dan mengumpulkan organisme (ikan dan non-ikan) sehingga
lebih mudah dan efisien upaya penangkapannya; dan berguna juga
sebagai wisata bahari;
2. Melindungi organisme kecil, anakan ikan dan ikan muda terhadap
pemanenan dan penangkapan yang lebih dini;
3. Melindungi kawasan asuhan terhadap cara-cara pemanfaatan dan
penangkapan yang bersifat merusak;

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 13/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


4. Dalam jangka panjang, meningkatkan produktivitas alami melalui cara
suplai habitat baru bagi ikan dan organisme yang menempel permanen
atau organisme sesil, dan juga menyediakan substrat bagi pertumbuhan
berbagai jenis biota yang akan merupakan sumber makanan bagi ikan.
Salah satu alternatif dalam upaya meningkatkan eksploitasi sumberdaya
ekosistem terumbu karang tanpa menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya
tersebut adalah pembuatan habitat terumbu buatan. Terumbu buatan ((Artificial
reefs) merupakan tempat pemijahan, tempat mencari makan dan tempat
berlindung yang baik bagi semua jenis biota laut.
Pengembangan terumbu buatan memiliki dampak positif, yakni untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat, sebagai akibat terciptanya habitat baru
dan sebagai pelindung fisik lingkungan pantai serta sarana wisata bawah laut
(Kerr, 1992). Keberhasilan pengembangan terumbu buatan pada masyarakat
pesisr dapat memberikan mata pencarian bagi masyarakat yang berdampak
pada peningkatan pendapatan masyarakat.
Terumbu buatan yang terbuat dari ban mobil bekas dapat digunakan
sebagai daerah penangkapan yang cukup potensil setelah dipasang sekitar 1
bulan (Yusran, 1997). Saat ini penggunaan ban mobil bekas tidak dianjurkan
lagi, mengingat ban tersebut mengandung senyawa kimia yang dapat merusak
karang di sekitarnya. Sebagai penggantinya dapat digunakan dari bahan beton.
Hasil penelitian Yulianto (1998), dimana membandingkan hasil tangkapan
trammel net di sekitar terumbu buatan beton dan ban bekas di perairan Teluk
Bone, Kabupaten Wajo, dimana di sekitar lebih banyak dari pada ban. Terumbu
buatan beton, berbentuk kubus, lobang dari samping, dan disusun beberapa
lapis di dalam air.

PENGEMBANGAN

Nelayan yang menggunakan lampu petromaks sebagai alat bantu, masih


banyak, terutama nelayan purse seine dan sebagian bagan. Mereka adalah
sasaran aplikasi teknologi lampu bawah air ini. Namun demikian, paket teknologi
lampu bawah air ini, masih perlu disempurnakan konstruksinya, sehingga dapat
dipakai langsung oleh nelayan kecil di lapangan.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 14/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Untuk nelayan yang beroperasi pada siang hari, penggunaan rumpon
merupakan alternatif yang terbaik. Dari pada memburu gerombolan ikan yang
tidak jelas arahnya, menghabiskan bahan bakar yang banyak, setelah ditemukan
ikan belum tentu dapat ditangkap, karena cenderung menghindar dari alat
tangkap. Ikan yang berada di sekitar rumpon, cenderung lebih tenang, sehingga
lebih mudah ditangkap, dan biaya operasi untuk mencari ikan tidak terlalu besar.
Terumbu karang merupakan daerah penangkapan yang cukup potensil.
Tidak ada satupun alat tangkap yang dioperasikan di daerah terumbu karang
yang tidak merusaknya. Akan tetapi tingkat kerusakan karang pada masing-
masing alat berbeda-beda. Untuk menjaga kerusakan terumbu karang, salah
satu alternatif solusi yang ditawarkan adalah dengan memasang terumbu buatan
di sekitar terumbu karang, dengan harapan ikan-ikan dari terumbu karang
sebagian berpindah ke terumbu buatan. Selanjutnya alat tangkap dioperasikan
di sekitar terumbu buatan.
Dalam pelaksanaan di lapangan, dapat dilakukan modifikasi dengan
kombinasi antara satu alat bantu dengan alat bantu lainnya, seperti antara
rumpon dan lampu, antara rumpon dan terumbu buatan. Kombinasi tersebut
akan menambah daya pikat, dan memungkinkan hasil yang diperoleh lebih
banyak.

Penutup
SFS, lampu, rumpon dan terumbu buatan hanyalah sebagai alat bantu
dalam mengarahkan (mengusir/menarik) ikan ke arah jaring, sehingga ikan-ikan
terperangkap pada jaring. Keramahan alat terhadap terumbu karang tergantung
dari bagaimana nelayan menempatkan jaring di sekitar terumbu karang atau di
atas terumbu karang. Ukuran mata jaring juga sangat menentukan tingkat
selektivitas alat tangkap. Kaji tindak paket teknologi tersebut perlu dilakukan di
lapangan untuk dapat diaplikasikan sesuai dengan kondisi masing-masing lokasi.

DAFTAR PUSTAKA

Akamatsu, T., Nakamura, K., Miroi, H., and Watanabe, M. 1996. Effects of
Underwater Sounds on Escape Behaviour of Steller Sea Lions. Fisheries
Science, 62(4) : 503-510.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 15/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


Andriani, 1995. Penguat Audio Sistem Ketetapan Tinggi (HI–FI), Penerbit Carya
Remadja, Bandung.

Arimoto, T., Choi, SJ., and Choi, Y.G. 1999. Trends and Perspectives for
Fishing Technology Research Towards the Sustainable Development. In
Proceeding of 5th International Symposium on Efficient Application and
Preservation of Marine Biological Resources. OSU National University,
Japan. Pp 135-144.

Charles, A.T. 1994. Towards Sustainability: The Fishery Experience. Ecological


economics, 11: 201-211.

----------------. 2001. Sustainable Fishery Systems. Blackwell Science. London.


370 p.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan


Rakyat. LISPI. Jakarta. 145 hal.

FAO. 1995a. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries


Department. 24 p. (Online) (http://fao/fisheries/code, diakses 9 Juli 2002).

Haliapina, 1995. Struktur Komunitas, Komposisi Jenis dan Ukuran Ikan Karang
Yang Tertangkap Dengan Alat Mini Muro – Ami (Salibu) Berdasarkan
Daerah Penangkapan di Daerah Barru. Makassar.

Ikawati, dkk., 2001. Terumbu Karang di Indonesia, Penerbit Masyarakat Penulis


Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Iskandar, B. H. dan Mawardi W., 1997. Studi Perbandingan Keberadaan Ikan-


Ikan Karang Nokturnal dan Diurnal Tujuan Penagkapan di Terumbu Karang
Pulau Pari Jakarta Utara. Buletin PSP. Fakultas Perikanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor.

Jennings, S., E.M. Grandcourt, N.V.C. Polunin. 1995. The effects of fishing on
the diversity, biomass and trophic structure of Seychelles’ reef fish
communities. Coral reef 14: 225-235.

Jennings, S. and N.V.C. Polunin. 1996. Impacts of fishing on tropical reef


ecosystems. Ambio Vol 25 No. 1: 44-49.

Jennings, S., S. S. Marshall & N.V.C. Polunin. 1996. Seychelles’ marine


protected areas: Comparative structure and status of reef fish communities.
Biological Conservation 75: 201-209.

Kaparang, F.E., Y. Matsuno, Y. Yamanaka, and S. Fujieda. 1998. Studies on


Underwater Sounds Produced by Yellowtail Seriola quinqueradiata and
Amberjack Seriola dumerili in Net Pens at Culture Grounds in Middle
Kagoshima Bay. Fisheries Science, 64(3) : 353-358.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 16/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com


MCMANUS, J.W., & R.B. REYES, JR. 1997. Effects of some destructive fishing
methods on coral cover and potential rates of recovery. Environmental
management Vol. 21 No. 1: 69-78.

Monintja, D. 1992. Study on the development of rumpon as fish aggregation


device in Indonesia. Buletin MARITEK, Vol. 3 No. 2. Oktober 1993. Special
issue.

Najamuddin dan A. Assir, 1993. Studi Penggunaan Lampu Neon dalam Air
dengan Daya yang Berbeda pada Perikanan Purse Seine di Laut Flores,
Sulawesi Selatan. Buletin Torani 3 (3): 74-88.

Najamuddin, Natsir Nessa, Mahfud Palo, Muh. Yusran, Metusalach dan Andi Assir.
1994. Studi Penggunaan Lampu Neon dalam Air dengan Warna yang
Berbeda pada Perikanan Purse Seine di Laut Flores, Sulawesi Selatan.
Buletin Ilmu Peternakan dan Perikanan II(7) : 68 - 84.

Sugandhy, A. 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Kata Pengantar


Asisten Menteri Negara Lingkungan Hidup Bidang Pengelolaan Lingkungan
Alam/Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup BAPEDAL.
Penerbit Djambatan. Jakarta. 118 hal.

Supriharyono, 2000. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang, Penerbit


Djambatan.

Wagiyo, K. 1996. Ekosistem terumbu karang buatan untuk meningkatkan


sumberdaya hayati dan diversifikasi usaha masyarakat. Kumpulan Makalah
Seminar Maritim Indonesia 1996. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi bekerja sama dengan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional.
Jakarta. Hal 103-117.

Lokakarya Agenda Penelitian, COREMAP II Kab Selayar, 9-10 Sept 2006 17/17

PDF created with FinePrint pdfFactory Pro trial version http://www.fineprint.com

Anda mungkin juga menyukai