Anda di halaman 1dari 12

ANALISA FENOMENA SOSIAL

Kasus suap Gayus


Untuk memenuhi tugas kuliah Psikologi Sosial II

Oleh:
Erysa Choirunnisa
M2A 007 027

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2011
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia termasuk dalam negara yang sedang berkembang dalam segala aspek
kehidupan. Proses berkembang yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia juga
memerlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber dana pemerintah dalam
melakukan perbaikan kehidupan masyarakat Indonesia ialah melalui pajak. Setiap
warga Indonesia yang sudah memiliki penghasilan sendiri berkewajiban untuk
membayar pajak tiap tahunnya. Dari pembayaran pajak tersebut, pemerintah Indonesia
mendapatkan pemasukan untuk melakukan pembangunan baik sarana maupun
prasarana.

Namun beberapa oknum kurang menyadari betapa pentingnya pajak tersebut


bagi bangsa dan justru malah menyalahgunakan demi kepentingan pribadi. Kasus suap
dan korupsi merupakan hal yang lumrah terjadi dalam perekonomian Indonesia. Salah
satu kasus terkait pajak di Indonesia yang sedang marak di beritakan media massa ialah
kasus korupsi dan suap yang dilakukan oleh Gayus Halomoan P. Tambunan. Gayus
memanfaatkan jabatannya sebagai pegawai Dirjen Pajak untuk membantu perusahaan-
perusahaan besar untuk mengurangi tagihan pajak mereka.

Banyaknya angka korupsi dan suap di Indonesia membutuhkan penanganan


yang lebih lanjut dan serius. Angka tersebut dapat ditekan dengan memahami terlebih
dahulu mengapa orang melakukan korupsi dan suap. Dengan pemahaman tersebut maka
dapat dilakukan usaha preventif untuk mencegah korupsi dan suap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kasus suap yang dilakukan oleh Gayus dapat dijelaskan dengan beberapa teori
sosial, yaitu

1. Teori psikoanalisa
Freud membagi sistem kepribadian menjadi 3 bagian yaitu id, ego, dan superego
(Alwisol, 2002, h.16-19). Id berisi semua aspek psikologik yang diturunkan, seperti
insting, impuls dan drives. Id beroperasi berdasarkan prinsip kenikmatan (pleasure
principle) yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dan menghindari rasa sakit.
Pleasure principle diproses dengan dua cara, yaitu tindak refleks (reflex action) dan
proses primer (primary process). Tindak reflex adalah reaksi otomatis yang dibawa
sejak lahir yang dipakai untuk menangani pemuasan rangsang sederhana dan
biasanya segera dapat dilakukan. Proses primer adalah reaksi
membayangkan/mengkhayal sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan
tegangan. Id hanya mampu membayangkan sesuatu, tanpa mampu membedakan
khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar memuaskan kebutuhan. jadi harus
dikembangkan jalan memperoleh khayalan itu secara nyata, yaitu melalui ego.
Ego beroperasi mengikuti prinsip realita (reality principle) yaitu usaha
memperoleh kepuasan yang dituntut id dengan mencegah terjadinya tegangan baru
atau menunda kenikmatan sampai ditemukan obyek yang nyata-nyata dapat
memuaskan kebutuhan. Prinsip realita itu dikerjakan melalui proses sekunder
(secondary process) yakni berfikir realistik menyusun rencana dan menguji apakah
rencana itu menghasilkan obyek yang dimaksud. Ego berperan sebagai pelaksana
dari kepribadian, yang memiliki dua tugas utama. Pertama, memilih stimuli mana
yang hendak direspon dan atau insting mana yang akan dipuaskan sesuai dengan
prioritas kebutuhan. kedua, menentukan kapan dan bagaimana kebutuhan itu
dipuaskan sesuai dengan tersedianya peluang yang resikonya minimal. Dengan kata
lain, ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus
juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-
kesempurnaan dari superego.
Komponen kepribadian terakhir ialah superego. Superego adalah kekuatan moral
dan etik dari kepribadian, yang beroperasi memakai prinsip idealistik (idealistic
principle) sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego.
Superego pada hakekatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai orangtua
atau interpretasi orangtua mengenai standar sosial, yang diajarkan kepada anak
melalui berbagai larangan dan perintah. Superego bersifat nonrasional dalam
menuntut kesempurnaan, menghukum dengan keras kesalahan ego, baik yang telah
dilakukan maupun baru dalam pikiran.

2. Teori behaviorisme
Kaum behavioris berpendirian bahwa organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat
sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengamatan; dan perilaku digerakkan
atau dimotivasi oleh kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi
penderitaan. Skinner menyebutkan bahwa tingkah laku dapat dikontrol. Ia
memandang tingkah laku sebagai produk kondisi anteseden tertentu. Cara yang
efektif untuk mengubah dan mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan
melakukan penguatan (reinforcement), suatu strategi kegiatan yang membuat
tingkahlaku tertentu berpeluang untuk menjadi atau sebaliknya (berpeluang untuk
tidak terjadi). Konsep dasarnya sangat sederhana yakni bahwa semua tingkahlaku
dapat dikontrol oleh konsekuensi (dampak yang mengikuti) tingkahlaku itu. Strategi
untuk mengontrol tingkahlaku manusia bentuk dasarnya ada dua yaitu kondisioning
klasik dan kondisioning operan.
Kondisioning klasik, disebut juga kondisioning responden karena tingkahlaku
dipelajari dengan memanfaatkan hubungan respon-stimulus yang bersifat reflex
bawaan. Suatu stimulus yang memunculkan respon tertentu dioperasikan
berpasangan dengan stimulus lain pada saat yang sama untuk memunculkan respon
refleks.
Pada kondisioning operan, reinforser tidak diasosiasikan dengan respon karena
respon itu sendiri beroperasi member reinforsemen. Skinner menyebut respon itu
sebagai tingkahlaku operan. Tingkahlaku operan adalah respon yang dimunculkan
organisme tanpa adanya stimulus spesifik yang langsung memaksa terjadinya respon
itu. Terjadi proses pengikatan stimulus baru dengan respon baru. Organisme
dihadapkan kepada pilihan-pilihan respon mana yang akan dipakainya untuk
menanggapi suatu stimulus. Keputusan respon mana yang dipilih tergantung kepada
efeknya terhadap lingkungan (yang tertuju kepadanya) atau konsekuensi yang
mengikuti respon itu.

3. Teori Belajar sosial


Berbeda dengan teori Skinner yang terlalu bergantung pada reinforcement,
Bandura menganggap reinforcement bukanlah satu-satunya pembentuk tingkah laku.
Bandura melakukan penelitian dan hasilnya ialah ternyata orang dapat mempelajari
respon baru dengan melihat respon orang lain. Orang dapat belajar melakukan
sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
Belajar melalui observasi jauh lebih efisien dibanding belajar melalui pengalaman
langsung.
Inti dari belajar melalui observasi ialah modeling. Modeling tidak hanya sekedar
menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang lain tetapi juga melibatkan
penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku yang teramati, menggeneralisir
berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif. Disamping dampak
mempelajari tingkahlaku baru, modeling mempunyai dua macam dampak terhadap
tingkahlaku lama. Pertama, tingkahlaku model yang diterima secara sosial dapat
memperkuat respon yang dimiliki pengamat. Kedua, tingkahlaku model yang tidak
diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk
melakukan tingkahlaku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah
tingkahlaku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkahlaku yang tidak
dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkahlaku itu,
sebaliknya kalau tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat
menjadi semakin lemah.

4. Teori Patologi Sosial


Patologi sosial ialah semua tingkah laku yang bertentangan dengan norma
kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, hidup rukun, bertetangga, disiplin,
kebaikan dan hukum formal. Patologi sosial dibagi menjadi beberapa fase yaitu
masalah sosial, disorganisasi sosial dan sistematik.
Patologi sosial pada fase masalah sosial merupakan situasi sosial yang dianggap
oleh sebagian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki,
berbahaya dan merugikan orang banyak. Motivasi manusia terbagi menjadi dua
yaitu motivasi untuk kesejahteraan fisik dan motivasi untuk kesejahteraan sosial.
Fase kedua adalah fase disorganisasi sosial dimana sebagian masyarakat
menyetujui perilaku tersebut dan sebagiannya lagi menolak. Cirri disorganisasi
sosial adalah adanya perubahan serba cepat, tidak stabil, tidak ada kesinambungan
pengalaman dari satu kelompok dengan kelompok lain, tidak ada intimitas organik
dalam relasi sosial, tidak ada/kurang persesuaian antara satu anggota dengan
anggota masyarakat lainnya. Disorganisasi sosial dapat disebabkan oleh faktor
politik, sosial budaya dan religius yang saling berkaitan satu sama lain.
Fase terakhir ialah fase sistematik dimana patologi sosial terjadi dalam suatu
komunitas atau dilakukan oleh sebagian besar masyarakat. Cara menentukan indeks
dari kondisi-kondisi yang patologis ialah melalui ukuran sederhana, ukuran yang
kompleks, komposisi penduduk, jarak sosial dan partisipasi sosial.
BAB III

KASUS DAN PEMBAHASAN

A. KASUS
Setelah beberapa lama melakukan penyelidikan mengenai kasus mafia hukum
yang melibatkan Gayus Halomoan P. Tambunan, akhirnya pada Rabu, 8 Desember
2010 KPK memutuskan kasus Gayus memenuhi unsur suap dan gratifikasi. Berikut
artikel mengenai berita tersebut:

KPK Simpulkan Kasus Gayus Tergolong Suap


Oleh: Laela Zahra
Nasional - Rabu, 8 Desember 2010 | 19:24 WIB

INILAH.COM, Jakarta - Usai mengikuti gelar perkara selama 3,5 jam di


Bareskrim Mabes Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyimpulkan kasus
Gayus Halomoan P Tambunan memenuhi unsur pidana suap.
Kesimpulan KPK itu dikhususnya dikaitkan dengan dana milik Gayus sebesar
Rp28 miliar yang sebagian besar di antaranya berasal dari pemberian pihak lain. "Nah
penerimaan itu bisa kategori suap bisa kategori pasal 11 (undang-undang pemberantasan
korupsi), nah nanti unsur pasal mana yang terbukti dari fakta yang terungkap masih
proses penyidikan," jelas Deputi Penindakan KPK Irjen Pol Ade Raharja, di Mabes
Polri, Jakarta, Rabu (8/12/2010).
Dia mengatakan, hasil gelar perkara yang tanpa dihadiri Gayus itu
menyimpulkan sementara, fakta hukum dalam kasus ini mengarah pada pasal
penyuapan dan gratifikasi. Sebelumnya, Kejaksaan Agung juga menyimpulkan kasus
tersebut tergolong suap. Sedangkan kepolisian sebelumnya menyatakan kasus itu hanya
gratifikasi. Pasal ini berbeda dengan pasal suap, dimana pasal gratifikasi hanya
menyeret penerima uang saja dalam kasus ini. Sedangkan pasal penyuapan menjerat
pemberi dan penerima suap.
Sampai saat ini, pemberi uang Gayus dalam kasus penanganan wajib pajak
perusahaan, belum juga diperiksa. Bahkan Alif Kuncoro yang dalam rekonstruksi
perkara Gayus memberikan sejumlah uang kepada Gayus, belum juga diperiksa.
Menurut Ade, semua jenis pemberian uang bukanlah sekadar gratifikasi. "Seluruh
pemberian penerimaan itu kan suap, pasal-pasalnya ada yang diatur dalam pasal 5a, 5b,
pasal 1 ayat 2, penerimanya pasal 12a ,b kecil, termasuk pasal 11 ya," papar Ade. [TJ]

B. PEMBAHASAN
Kasus suap yang dilakukan oleh Gayus menurut teori psikoanalisa merupakan
usaha ego untuk memuaskan tuntutan id. Id sendiri memiliki prinsip kenikmatan
(pleasure principle) yaitu berusaha memperoleh kenikmatan dengan segera dan
menghindari rasa sakit. Gaji yang didapatkannya sebagai PNS Golongan IIIA sebesar
Rp. 1,7 juta tidak cukup memenuhi segala keinginan dan kebutuhannya sehingga ia
mencari jalan lain untuk mendapatkan uang tambahan. Salah satunya ialah dengan
menyalahgunakan jabatannya di bagian penelaah keberatan perorangan dan badan
hukum di Kantor Pusat Direktorat Pajak. Ia membantu perusahaan memenangkan
keringanan tagihan pajak dalam persidangan dengan cara menyuap jaksa, hakim dan
petugas hukum lain.
Kasus suap yang Gayus lakukan menunjukkan adanya ketidakseimbangan ego.
Ego sebagai eksekutif kepribadian berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga
memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang-mencapai-kesempurnaan dari
superego. Namun dalam kenyataannya, kuatnya dorongan id membuat Gayus
melakukan segala cara untuk dapat memuaskannya sehingga melupakan kebutuhan
superegonya. Superego pada hakekatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai
orangtua atau interpretasi orangtua mengenai standar sosial, yang diajarkan kepada anak
melalui berbagai larangan dan perintah. Dengan melakukan suap demi mendapatkan
uang tambahan maka menunjukkan nilai moral yang rendah. Ia tahu bahwa tindakan
yang ia lakukan adalah salah tetapi tetap ia lakukan.
Pegawai pajak memang rawan terlibat kasus suap karena banyaknya peluang
untuk melakukan hal tersebut. Kasus suap dapat dicegah dengan memberikan
perlakuan-perlakuan khusus bagi pegawai-pegawai di daerah “basah”, misal
memberikan bonus yang lebih besar dibanding dengan pegawai di Dinas lainnya.
Dengan adanya bonus yang lebih besar maka ia tidak perlu mencari “tambahan” diluar
pekerjaannya karena segala kepenuhannya sudah terpenuhi. Apabila kebutuhannya
sudah terpenuhi maka motivasinya untuk menyalahgunakan jabatannya akan berkurang.
Meskipun berada dalam penjara, kebiasaan suap Gayus tidak menghilang. Hal
ini terkuak setelah foto seorang pria mirip Gayus pada turnamen Tenis di Bali. Pria
tersebut menyamar dengan menggunakan wig dan kacamata. Gayus kemudian
mengakui bahwa pria di Bali itu adalah dia. Ia mengaku mengalami stres semenjak
ditahan dan membutuhkan liburan sebentar karena ia melihat tahanan tingkat tinggi
lainnya diperbolehkan keluar. Untuk membayar kebebasannya itu, ia menyuap kepala
Rutan Mako Brimob Kelapa Dua, Komisaris Iwan Siswanto sebesar Rp 368 juta.
Tindakan Gayus yang keluar dari Rutan dengan cara menyuap merupakan hasil
modeling. Selama di Rutan, ia mengobservasi bahwa tahanan lain diperbolehkan keluar.
Tidak adanya hukuman bagi tahanan yang keluar membuat Gayus akhirnya melakukan
hal serupa. Menurut teori belajar sosial, ketika tingkahlaku yang tidak dikehendaki
justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkahlaku itu. Sebaliknya kalau
tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi semakin
lemah.
Teori behaviorisme menyatakan bahwa cara yang efektif untuk mengubah dan
mengontrol tingkah laku adalah dengan melakukan melakukan penguatan
(reinforcement). Reinforcement merupakan suatu strategi kegiatan yang membuat
tingkahlaku tertentu berpeluang untuk menjadi atau sebaliknya (berpeluang untuk tidak
terjadi). Perilaku Gayus keluar masuk Rutan secara bebas merupakan hasil dari
penguatan (reinforcement). Gayus berani mengulangi perbuatannya keluar dari Rutan
karena adanya peluang untuk melakukan perilaku tersebut. Kepala Rutan dan sipir
Rutan yang bersedia menerima uang suap merupakan bentuk reinforcement yang
mendorongnya mengulangi kembali perilaku keluar dari Rutan. Selain itu, ia meraa
aman karena tidak adanya hukuman (punishment) akibat perilakunya itu. Teori ini juga
dapat digunakan dalam mengatasi kasus suap di Indonesia yaitu dengan memberikan
hukuman (punishment) yang seberat-beratnya pada pelaku dan penerima suap serta
korupsi sehingga dapat menjadi contoh untuk pelaku lainnya dan menimbulkan efek
jera. Selain memberikan hukuman (punishment), masyarakat juga dapat mencegah
timbulnya suap dengan tidak memberikan peluang terjadinya perilaku suap, misal
dengan menolak pemberian uang suap.
Perilaku suap yang dilakukan Gayus dapat digolongkan dalam patologi sosial
fase masalah sosial. Patologi sosial ialah semua tingkah laku yang bertentangan dengan
norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, hidup rukun, bertetangga, disiplin,
kebaikan dan hukum formal. Perilaku suap yang dilakukan Gayus secara jelas
bertentangan dengan hukum yang ada di Indonesia. Selain itu, ia juga bertentangan
dengan norma kebaikan karena perilaku Gayus yang secara tidak langsung mengambil
uang pajak telah merugikan orang banyak.
Reaksi masyarakat yang menentang keras tindakan suap Gayus membuat kasus
suap tersebut termasuk dalam fase masalah sosial yaitu situasi sosial yang dianggap oleh
sebagian besar dari warga masyarakat sebagai mengganggu, tidak dikehendaki,
berbahaya dan merugikan orang banyak.
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Penjelasan mengenai kasus suap yang dilakukan Gayus dapat memberikan


masukan cara menekan atau mengurangi angka suap di Indonesia. Perilaku suap dapat
ditekan antara lain dengan
1. Memberikan perlakuan khusus seperti memberikan bonus yang dapat memenuhi
kebutuhan pegawai. Ketika tuntutan id dapat terpuaskan tanpa ia harus mencari
“tambahan” di luar maka tidak akan ada motivasi untuk menyalahgunakan jabatan
demi memuaskan id.
2. Menekan peluang untuk terjadinya perilaku suap dengan memberikan hukuman
(punishment) dan atau menghilangkan penguat (reinforcement).
3. Mengusut habis dan menghukum keras segala bentuk suap dan korupsi.
Meningkatnya angka suap di Indonesia dapat disebabkan adanya proses modeling
oleh para pelaku suap. Para calon pelaku berani melakukan suap karena mereka
melihat (observasi) bahwa tidak ada hukuman yang berat bagi para pelaku suap
sehingga mereka merasa aman melakukan suap.
4. Masyarakat memberikan hukuman sosial kepada para pelaku sosial, misal dengan
mengucilkan pelaku suap. Hal ini dikarenakan perilaku suap mereka termasuk
masalah sosial dimana ia telah mengganggu dan merugikan orang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.bbc.co.uk/indonesia/forum/2010/03/100327_suappejabat.shtml

http://m.kompas.com/news/read/data/2010.11.16.2211490

http://nasional.kompas.com/read/2010/11/12/12552293/Gayus.Suap.Karutan.Rp.368.Juta

http://nasional.inilah.com/read/detail/1041622/kpk-simpulkan-kasus-gayus-tergolong-
suap

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian: Edisi Revisi. Malang: UMM Press

Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Sosial: Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial.
Jakarta: Balai Pustaka

Anda mungkin juga menyukai