Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
UTILITARIANISME
Secara umum diterima bahwa kelahiran kembali filsafat politik normatif baru-
baru ini dimulai dengan terbitan karya John Rawls, A Theory of Justice, pada
tahun 1971, dan teorinya akan merupakan tempat yang alamiah untuk mulai
memeriksa teori-teori keadilan kontemporer. Teori Rawls mendominasi
perdebatan kontemporer, bukan karena semua orang menerimanya, tetapi
karena pandangan-pandangan alternatif seringkali disajikan sebagai tanggapan
atas teori ini. Namun, seperti halnya pandangan-pandangan alternatif paling
baik dipahami dalam kaitannya dengan Rawls, maka memahami Rawls
membutuhkan pemahaman atas teori yang ditanggapinya—yaitu,
utilitarianisme. Rawls percaya, dan saya kira benar, dalam masyarakat kita
utilitarianisme bekerja sebagai semacam latarbelakang yang tidak diucapkan,
yang dengan ini teori-teori lain harus menegaskan dan membela dirinya sendiri.
Jadi, dari utilitarianisme ini pula saya akan memulai.
Utilitarianisme, dalam rumusan yang paling sederhana, mengklaim bahwa
tindakan atau kebijaksanaan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. Meskipun utilitarianisme kadangkala
ditawarkan sebagai sebuah teori moral komprehensif, saya akan memusatkan
perhatian pada utilitarianisme khususnya sebagai sebuah moralitas politik. Menurut
pandangan ini, prinsip-prinsip utilitarianisme berlaku pada apa yang oleh Rawls
dinamakan ‘struktur dasar’ (basic structure) masyarakat, bukan pada perilaku
individu-individu secara pribadi. Akan tetapi, karena sebagian besar daya tarik
utilitarianisme sebagai moralitas politik berasal dari kepercayaan bahwa
utilitarianisme merupakan satu-satunya filsafat moral yang koheren dan sistematis,
saya secara ringkas akan mendiskusikan sejumlah ciri utilitarianisme yang
komprehensif pada bagian 3. Baik dalam versi yang sempit maupun yang
komprehensif, utilitarianisme memiliki baik para pendukung yang setia maupun para
penentang yang sengit. Mereka yang menolak utilitarianisme mengatakan bahwa
kelemahan-kelemahannya sangat banyak sehingga tidak dapat dihindari
utilitarianisme akan menghilang dari cakrawala (misalnya, Williams 1973). Tetapi,
ada yang lain, yang merasa sulit memahami kemungkinan adanya moralitas lain,
selain memaksimalkan kebahagiaan manusia (misalnya, Hare 1984).
Saya akan memulai dengan daya tarik utilitarianisme. Ada dua ciri
utilitarianisme yang menyebabkannya menjadi teori moralitas politik yang menarik.
Pertama, tujuan yang oleh kaum utilitarian dicoba dipromosikan tidak tergantung
pada keberadaan Tuhan, atau jiwa, atau pada semua entitas metafisik lain yang
meragukan. Sejumlah teori moral mengatakan bahwa apa yang penting adalah
9
keadaan jiwa seseorang, atau bahwa orang hendaknya hidup sesuai dengan
Kemauan Tuhan, atau bahwa kehidupan seseorang akan paling baik berjalan dengan
memiliki kehidupan abadi dalam wilayah pengada yang lain. Banyak orang mengira
bahwa moralitas tidak koheren tanpa pengertian-pengertian keagamaan ini. Tanpa
Tuhan, yang tertinggal pada kita hanyalah sekumpulan aturan-aturan---lakukan ini,
jangan lakukan itu, tanpa terkandung maksud dan tujuan apapun.
Tidak jelas mengapa setiap orang akan mengira ini khas utilitarianisme.
Kebaikan yang dicoba dipromosikan utilitarianisme--kebahagiaan, atau
kesejahteraan atau kehidupan yang baik—adalah sesuatu yang kita kejar dalam
kehidupan kita sendiri dan dalam kehidupan mereka yang kita cintai. Kaum
utilitarian hanya menuntut bahwa pengejaran pada kesejahteraan manusia (human
welfare) atau kemanfaatannya (utility) [saya akan mempergunakan dua istilah ini
secara bergantian] dilakukan tanpa pemihakkan, untuk semua orang dalam
masyarakat. Apakah kita anak-anak Tuhan, memiliki jiwa, kehendak bebas atau
tidak, kita dapat menderita dan bahagia, kita semua dapat lebih baik atau lebih
buruk. Tidak soal betapa sekulernya kita, kita tidak dapat menyangkal bahwa
kebahagiaan adalah bernilai, karena kebahagiaan merupakan sesuatu yang kita
hargai dalam kehidupan kita sendiri.
Daya tarik yang jelas, tetapi berhubungan adalah ‘konsekuensialisme’ pada
paham utilitarian. Saya akan membicarakan apa persisnya yang dimaksud dengan ini
kemudian, namun sementara ini arti pentingnya adalah konsekuensialisme
mengharuskan kita memeriksa untuk melihat apakah tindakan atau kebijaksanaan
yang sedang dipersoalkan sungguh-sungguh mengandung kebaikan yang dapat
dikenali atau tidak. Kita semua berhubungan dengan orang yang mengatakan bahwa
sesuatu—homoseksualitas, misalnya, (atau perjudian, tarian, minum minuman keras,
sumpah-serapah dan sebagainya) adalah salah secara moral, namun tidak mampu
menunjukkan konsekuensi-konsekuensi buruk yang timbul dari tindakan ini.
Konsekuensialisme mencegah membuat larangan-larangan moral yang nampak
seenaknya itu. Konsekuensialisme meminta setiap orang yang mengecam sesuatu
sebagai salah secara moral harus menunjukkan siapa yang salah, yaitu, mereka
harus menunjukkan bagaimana kehidupan seseorang menjadi buruk. Demikian juga,
konsekuensialism mengatakan bahwa sesuatu dapat disebut ‘secara moral baik’
hanya jika ini membuat kehidupan seseorang menjadi baik. Banyak teori-teori moral
yang lain, bahkan yang dimotivasi oleh keprihatinan demi kesejahteraan manusia
nampak mengandung sekumpulan aturan-aturan untuk diikuti, terlepas dari apapun
konsekuensinya. Namun, utilitarianisme bukan sekadar kumpulan aturan-aturan lain,
bukan sekadar kumpulan ‘larangan’ dan ‘perintah’. Utilitarianisme memberikan
ujian (test) untuk memastikan bahwa aturan-aturan semacam ini memberikan
sejumlah fungsi yang berfaedah.
Konsekuensialisme juga menarik karena ini sejalan dengan intuisi kita
mengenai perbedaan antara wilayah moralitas dan wilayah-wilayah lain. Jika
seseorang menganggap aktivitas seksual tertentu yang dilakukan suka sama suka
secara moral salah karena ini tidak patut (improper), namun tidak dapat
menunjukkan siapa yang menderita karena aktivitas ini, maka mungkin kita akan
menanggapi bahwa ide tentang perilaku ‘yang patut’ yang dipergunakan bukanlah
ide tentang moral. Klaim-klaim mengenai perilaku yang patut semacam ini lebih
10
menyerupai klaim tentang keindahan atau sebuah seruan pada etiket (etiquette) atau
kesepakatan (convention). Seseorang mungkin mengatakan bahwa punk-rock adalah
tidak patut, sama sekali bukan musik yang absah. Namun, ini akan merupakan kritik
estetis, bukan sebuah kritik moral. Mengatakan bahwa seks homoseksual adalah
tidak patut, tanpa dapat menunjukkan konsekuensi-konsekuensinya yang buruk
adalah sama dengan mengatakan bahwa Bob Dylan menyanyikan lagu secara tidak
patut. Perkataan ini mungkin benar, tapi ini bukan merupakan kritik moral. Terdapat
standar kepatutan yang tidak bersifat consequentialist (mengandung akibat), tetapi
kita berpendapat bahwa moralitas adalah lebih penting daripada sekadar etiket, dan
konsekuensialisme membantu memperjelas perbedaan itu.
Konsekuensialism nampaknya juga memberikan metode yang sederhana
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan moral. Menemukan jawaban yang secara
moral benar menjadi perkara mengukur perubahan-perubahan dalam kesejahteraan
manusia, bukan perkara berkonsultasi dengan pemimpin-pemimpin spiritual atau
menyandarkan diri pada tradisi-tradisi yang tidak jelas. Secara historis, karena itu,
utilitarianisme adalah pandangan yang sangat progresif. Ia menuntut bahwa berbagai
kebiasaan atau otoritas yang telah menindas manusia selama berabad-abad diuji
dihadapan standar kemajuan manusia (‘manusia merupakan standar segala sesuatu’).
Segi baiknya, utilitarianisme adalah senjata yang ampuh untuk menentang prasangka
dan takhayul, memberikan standar dan prosedur yang menantang mereka yang
mengklaim memiliki wewenang terhadap kita atas nama moralitas.
Dua daya tarik utilitarianisme dengan demikian sejalan dengan intuisi kita,
bahwa kesejahteraan manusia penting, dan dengan intuisi kita, bahwa aturan-aturan
moral harus diuji karena akibat-akibatnya bagi kesejahteraan hidup manusia. Dan
jika kita menerima kedua pendirian itu, maka utilitarianisme tampak hampir secara
tak terelakkan diikuti. Jika kesejahteraan manusia adalah kebaikan yang harus
menjadi keprihatinan moralitas, maka tentunya, tindakan yang terbaik secara moral
adalah tindakan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan manusia, memberikan
bobot yang sama pada kesejahteraan orang per-orang. Mereka yang percaya bahwa
utilitarianisme pasti benar meyakini bahwa setiap teori yang menyangkal salah satu
dari kedua intuisi ini pasti salah.
Saya setuju dengan dengan kedua inti intuisi tersebut. Jika ada sebuah cara
untuk menentang utilitarianisme, maka cara ini tidak akan mengambil bentuk berupa
penyangkalan pada kedua intuisi ini. Penolakan yang berhasil akan harus
memperlihatkan bahwa beberapa teori lain dapat menguraikannya dengan lebih baik.
Saya akan membuktikan kemudian bahwa ada teori-teori lain yang memang dapat
menguraikannya dengan lebih baik. Namun, pertama-tama, kita perlu melihat lebih
dekat apa yang terdapat dalam utilitarianisme. Utilitarianisme dapat dipecah
kedalam dua bagian:
1. sebuah penilaian mengenai kesejahteraan manusia, atau utiliti, dan
2. sebuah petunjuk untuk memaksimalkan kesejahteraan (utiliti), yang
didefinisikan sebagai, memberikan bobot yang sama pada kesejahteraan
orang per-orang.
Klaim kedua inilah yang merupakan ciri khusus utilitarianisme, dan klaim ini dapat
dikombinasikan dengan berbagai jawaban pada pertanyaan pertama. Dengan
demikian, keputusan akhir kita atas utilitarianisme akan tergantung pada evaluasi
11
kita mengenai klaim yang kedua. Namun, kiranya perlu memulai dengan
mempertimbangkan berbagai jawaban pada pertanyaan pertama.
2. MENDEFINISIKAN UTILITI
Penilaian utiliti yang hedonistik adalah keliru, karena berbagai hal yang
berharga dimiliki dan dilakukan dalam kehidupan tidak semuanya dapat direduksi
pada satu keadaan mental seperti kebahagiaan. Sebuah tanggapan mengatakan
bahwa banyak bentuk pengalaman yang berbeda tetap bernilai dan bahwa kita harus
mempromosikan seluruh susunan keadaan mental yang bernilai. Kaum utilitarian
yang mengadopsi penilaian ini menerima bahwa pengalaman menulis puisi, keadaan
mental yang mengiringinya, dapat menguntungkan meskipun tanpa ada rasa nikmat.
Utilitarianisme menaruh perhatian pada semua pengalaman yang bernilai, apapun
bentuknya.
Tetapi, penilaian ini tidak terhindar dari keberatan yang diajukan Nozick.
Dalam kenyataannya, penemuan Nozick disebut sebagai ‘mesin pengalaman’
(experience machine), dan obat terlarang dapat menghasilkan semua perasaan
mental yang diinginkan—luapan kegembiraan akan cinta, rasa kecakapan dari
menulis puisi, rasa damai dari kontemplasi keagamaan dan sebagainya. Semua
pengalaman ini dapat ditiru oleh mesin pengalaman ini. Maukah sekarang kita
menjadi sukarelawan untuk disangkutkan pada mesin itu? Jawabannya, tentu saja,
masih tetap tidak.
Apa yang kita inginkan dalam kehidupan adalah sesuatu yang lebih dari, atau
lain dari, perolehan atas semua bentuk keadaan mental, semua bentuk ‘suasana
dalam’ (inner glow), yang menyenangkan atau sebaliknya. Kita tidak hanya
menginginkan pengalaman menulis puisi, kita ingin menulis puisi; kita tidak hanya
menginginkan pengalaman jatuh cinta, kita ingin jatuh cinta; kita tidak hanya
menginginkan perasaan mengerjakan sesuatu, kita ingin mengerjakan sesuatu.
Tentunya benar bahwa ketika kita jatuh cinta atau mengerjakan sesuatu, kita juga
13
ingin mengalaminya. Dan kita berharap bahwa sebagian dari pengalaman-
pengalaman ini akan membahagiakan. Namun, kita tidak akan melewatkan
kesempatan untuk jatuh cinta atau mengerjakan sesuatu, bahkan demi jaminan
pengalaman dari berbagai hal yang terdapat dalam sebuah mesin pengalaman
(Lomasky, 1978: 231-3; Larmore, 1987: 48-9; Griffin, 1986: 12-23).
Benar bahwa kadang kita hanya menginginkan pengalaman-pengalaman
tertentu. Ini merupakan salah satu alasan orang menggunakan obat terlarang.
Namun, kegiatan-kegiatan hidup kita, tatkala terbebas dari obat terlarang, bukan
hanya pengganti yang kurang baik untuk mendapatkan apa yang oleh obat terlarang
diberikan pada kita secara langsung. Tidak seorangpun akan menerima bahwa
keadaan mental adalah yang paling penting, seperti halnya bahwa dengan
disangkutkan pada sebuah ‘mesin pengalaman’ akan menjadi pemenuhan semua
tujuan dalam kehidupan mereka.
3. MEMAKSIMALKAN KEMANFAATAN
Nah, kiranya penting dan benar bahwa saya harus menghormati komitmen
orang lain yang absah. Namun, cara melakukannya tidak dengan menganggap
mereka memiliki klaim yang sama atas waktu dan energi saya seperti yang saya
pergunakan untuk proyek-proyek saya sendiri. Pendirian semacam ini secara
psikologis tidak mungkin, dan, jikapun mungkin, tidak diharapkan. Kehidupan
manusia yang bernilai, sejauh menyangkut penilaian orang tentang hal ini, adalah
kehidupan yang diisi dengan keterlekatan yang menyusun kehidupan seseorang,
24
yang memberi sejumlah petunjuk pada kehidupan yang bernilai. Prospek dari
pencapain atau kemajuan selanjutnya dalam komitmen semacam itulah yang
menjadikan tindakan kita saat ini bermakna. Akan tetapi, sebagai seorang U-agent,
tindakan seseorang akan diputuskan hampir sama sekali terlepas dari komitmen
seseorang. Keputusan U-agent akan menjadi ‘fungsi dari semua kepuasan yang
dapat dipengaruhinya dari tempat dimana ia berasal; dan ini berarti bahwa proyek
orang lain, untuk sebagian besar yang tak dapat ditentukan, menentukan
keputusannya’ (Williams 1973: 115). U-agent akan memiliki sedikit pilihan tentang
bagaimana mengarahkan kehidupannya, sedikit kesempatan untuk bertindak
menurut pertimbangan tentang jenis orang seperti apa ia, atau keinginan untuk
menjadi. Maka, ia akan mempunyai sedikit kesempatan untuk berhubungan dengan
hal-hal yang kita asosiasikan dengan banyak gagasan tentang ‘menjalankan suatu
kehidupan’. Semua ini akan terbenam di bawah pertanyaan tentang mana
keuntungan sebab-akibat yang optimistik.
Jika saya menjalankan kehidupan saya sendiri, harus ada kesempatan yang
memberikan saya kebebasan membentuk komitmen saya sendiri, termasuk bentuk-
bentuk kontrak dan janji yang didiskusikan di atas. Masalah tidak memperbolehkan
orang menciptakan kewajiban khusus pada orang lain melalui janji hanyalah satu
aspek dari masalah yang lebih luas tidak memperbolehkan orang menentukan dan
mengejar tujuan-tujuannya sendiri. Masalah dalam semua kasus ini adalah asumsi
U-agent bahwa tiap-tiap orang mempunyai klaim yang sama untuk mendapatkan
keuntungan dari semua tindakannya.
Apakah intuisi kita yang mendukung komitmen yang penuh makna akan
melanggar gagasan bahwa moralitas menaruh perhatian pada konsekuensi? Tidak,
karena komitmen intuitif kita pada gagasan umum konsekuensialisme tidak pernah
mencakup komitmen pada penentuan tindakan terus menerus tanpa memihak
menurut preferensi orang lain, pada dinafikannya proyek-proyek dan pertalian-
pertalian khusus. Ini justru merupakan interpretasi yang terlalu kasar berkenaan
dengan kepercayaan kita pada konsekuensialisme.
7
Meskipun distingsi antara standar-standar kebenaran moral dan prosedur-prosedur keputusan dapat
dipercaya, tidaklah jelas bahwa kita dapat membuat semacam distingsi antara keduanya seperti yang
dipersyaratkan oleh utilitarianisme tidak langsung (indirect utilitarianism). Tidak seperti kaum
utilitarian yang mendasarkan pada aturan (rule-utilitarian), yang memandang janji sebagai
perlengkapan yang berdaya guna untuk memaksimalkan utiliti, kaum utilitarian tidak langsung
memandang kepercayaan kita mengenai janji-janji sebagai perlengkapan yang berdaya guna untuk
memaksimalkan utiliti. Tetapi orang tidak dapat, dan kemungkinan tidak bisa, memandang
kepercayaan-kepercayaan moralnya dengan cara ini (Smith 1988). Lagipula, jika kita terlalu melebih-
lebihkan arti penting distingsi ini, tidaklah jelas mengapa utilitarianisme, sebagai sebuah standar
kebenaran moral, tidak akan menghilang sama sekali dari kepercayaan-kepercayaan sadar kita
(Williams 1973: 135).
29
pembenaran yang secara moral dapat diterima. Kaum utilitarian mengatakan bahwa
alasan mengapa kita menggunakan prosedur non-utilitarian adalah karena prosedur
non-utilirarian itu berpengaruh dalam memaksimalkan utiliti. Tetapi tidakkah lebih
masuk akal untuk mengatakan bahwa alasan mengapa kita menggunakan prosedur
non-utilitarian adalah justru karena kita menerima standar kebenaran moral non-
utilitarian? Mengapa menganggap harus ada semacam penjelasan utilitarian tidak
langsung terhadap komitmen non-utilitarian kita?
Sebagian kaum utilitarian nampaknya menganggap bahwa jika sebuah
penjelasan utilitarian tersedia untuk keyakinan moral kita maka tidak ada gunanya
mempertimbangkan semua penjelasan non-utilitarian. Tetapi ini [merupakan
argumen yang] berputar dalam lingkaran (beg the question). Kita memerlukan
argumen untuk mendukung standar kebenaran moral utilitarian diatas standar-
standar moral yang lain. Apakah ada argumen semacam ini dalam tulisan-tulisan
kaum utilitarian? Dalam kenyataannya ada dua argumen yang jelas, namun saya
akan menunjukkan bahwa tidak ada yang berdiri sendiri, dan bahwa kemasukakalan
utilitarianisme bergantung pada gabungan keduanya. Jika kita mengamati argumen
ini, kita akan melihat bahwa masalah yang didiskusikan diatas secara langsung
muncul dari standar kebenaran moral utilitarian dan sebagian besar tidak
dipengaruhi oleh bagaimana standar itu diaplikasikan.
Dalam bagian ini, saya akan mempertimbangkan dua argumen utama untuk melihat
maksimalisasi utiliti sebagai standar kebenaran moral (terlepas apakah standar ini
dipergunakan sebagai sebuah prosedur keputusan atau tidak). Seperti yang akan kita
lihat, keduanya membangkitkan dua interpretasi yang sama sekali berbeda tentang
apa utilitarianisme itu.
Nozick 1974 : 32-3 ; Gordon 1980 : 40 ; Mackie 1984 : 86-7). Akan tetapi, kedua versi
utilitarianisme baik yang teleologis maupun yang egalitarian tidak satupun yang membuat
generalisasi ini, dan klaim Rawls terletak pada pencampuradukkan keduanya, lihat Kymlicka
(1988b : 182-5).
35
dipercaya. Namun, saya akan membuktikan bahwa utilitarianisme telah
menyalahtafsirkan cita-cita pertimbangan yang sama bagi kepentingan tiap-tiap
orang dan, sebagai hasilnya, sebagian orang mungkin akan diperlakukan jauh dari
sama, hanya sebagai sarana bagi tujuan orang lain.
Mengapa sebagai penilaian tentang pertimbangan yang sama utilitarianisme
tidak memadai? Kaum utilitarian menganggap bahwa semua sumber kebahagiaan,
atau setiap bentuk preferensi harus dihargai secara sama, jika menghasilkan utiliti
yang sama. Saya akan membuktikan bahwa penilaian tentang pertimbangan yang
sama yang bersifat memadai harus melihat dengan jelas perbedaan bentuk-bentuk
preferensi, hanya sebagian bentuk preferensi saja yang mengandung bobot moral
yang sah.
9
Ini hanya merupakan bagian dari apa yang diminta oleh persamaan, karena ada kewajiban-
kewajiban pada mereka yang tidak dapat menolong dirinya sendiri, dan kewajiban-kewajiban
Samaritan yang Baik pada mereka yang sangat membutuhkan. Dalam kasus-kasus ini, kita memiliki
kewajiban-kewajiban yang tidak berhubungan dengan menghormati klaim-klaim orang yang secara
moral dapat diterima. Saya akan kembali membahas isu ini dalam Bab 7.
41
menghormati ajaran persamaan, maka tidak ada yang salah dengan memberikan
prioritas kepada keluarga atau karir saya. Ini berarti bahwa aktivitas saya sehari-hari
akan membuktikan perhatian yang tidak sama—saya mungkin lebih peduli
membantu teman-teman saya atau sebab-musabab mengapa saya terikat didalamnya,
daripada dalam membantu tujuan orang lain. Ini adalah bagian dari apa yang
dimaksudkan dengan memiliki teman dan prinsip. Dan itu sepenuhnya dapat
diterima, sejauh saya menghargai klaim orang lain menyangkut pengejaran proyek-
proyeknya.
Jika kita membayangkan nilai-nilai yang mendorong utilitarianisme, nilai-
nilai yang menjadikannya masuk akal pada awalnya, kita akan melihat bahwa
utilitarianisme harus dimodifikasi. Utilitarinisme semula menarik karena manusia
penting dan harus diperlakukan sama-sama penting. Tetapi, tujuan dari
pertimbangan yang sama yang dicoba diterapkan oleh kaum utilitarian adalah paling
baik diterapkan dengan pendekatan yang memasukkan teori bagian yang fair (a
theory of fair shares). Teori semacam ini akan mengeluarkan preferensi yang
mementingkan diri sendiri dan yang merugikan yang mengabaikan klaim-klaim
yang secara moral dapat diterima orang lain, tetapi akan mengijinkan bentuk-bentuk
komitmen khusus yang merupakan bagian dari kebanyakan gagasan kita tentang
kehidupan yang paling penting. Modifikasi ini tidak bertentangan dengan prinsip
umum konsekuensialisme, tetapi justru berkembang sebagai akibat
konsekuensialisme. Perubahan ini merupakan perbaikan dari gagasan umum bahwa
moralitas seharusnya menyangkut kesejahteraan manusia. Utilitarianisme pada
pokoknya terlalu menyederhanakan cara yang secara intuitif kita percayai bahwa
kesejahteraan orang lain berhak mendapat perhatian moral.
Seperti yang sudah kita lihat, kaum utilitarian tidak langsung mengklaim
bahwa komitmen intuitif kita pada prosedur-prosedur keputusan non-utilitarian tidak
memperlemah utilitarianisme sebagai sebuah standar kebenaran moral, karena kita
bisa memberikan suatu pembenaran utilitarian guna mengadopsi prosedur-prosedur
non-utilitarian. Tetapi, tanggapan itu tidak akan berlaku disini, karena argumen saya
berhubungan dengan utilitarianisme sebagai standar kebenaran moral. Klaim saya
adalah kebanyakan alasan yang diberikan kaum utilitarian untuk mendasarkan
standar kebenaran moralnya pada kepuasan preferensi orang juga merupakan alasan
mengeluarkan preferensi eksternal dan yang mementingkan diri sendiri dari standar
itu. Ini merupakan keberatan pada prinsip-prinsip teori, bukan pada cara bagaimana
prinsip-prinsip itu diaplikasikan dalam prosedur keputusan.
Para komentator yang mendukung bentuk modifikasi utilitarianisme
seringkali mendeskripsikan teori yang dihasilkan sebagai keseimbangan atau
kompromi antara nilai-nilai utiliti dan persamaan (misalnya, Raphael 1981: 47-56;
Brandt 1959: bab 16; Hospers 1961: 426; Rescher 1966: 59). Itu bukan merupakan
argumen yang saya pegang. Sebaliknya, modifikasi diperlukan untuk memberikan
penjelasan yang lebih baik tentang cita-cita pertimbangan yang sama yang diserukan
oleh utilitarianisme sendiri.
Adalah berharga berhenti sejenak untuk mempertimbangkan jenis argumen
yang baru saja saya sajikan, karena ini mengungkapkan, saya percaya, salah satu
bentuk dasar dari argumen politik. Seperti yang sudah saya singgung dalam
pendahuluan, gagasan persamaan seringkali dikatakan sebagai dasar moralitas
42
politik. Baik utilitarianisme Hare maupun konsep Mackie tentang ‘hak bertindak
dengan cara yang dapat diterima’ (right to a fair go) menyerukan pada gagasan
bahwa tiap-tiap orang berhak mendapatkan pertimbangan yang sama. Namun
mereka tidak memberikan penilaian yang sama meyakinkan mengenai gagasan
tersebut. Intuisi kita mengatakan bahwa utilitarianisme gagal memastikan bahwa
orang diperlakukan secara sama, karena utilitarianisme tidak memiliki teori tentang
bagian yang fair.
Ini mungkin menyarankan bahwa pembentukan teori politik adalah perkara
mendeduksikan prinsip-prinsip spesifik dengan benar dari premis bersama tentang
persamaan moral ini. Argumen politik, kemudian, terutama akan menjadi perkara
mengidentifikasi penarikan kesimpulan yang keliru. Namun filsafat politik tidak
menyerupai logika, yang kesimpulan dimaksudkan sudah sepenuhnya diberikan
dalam premis-premisnya. Gagasan persamaan moral terlalu abstrak bagi kita untuk
dapat menarik kesimpulan apapun yang sangat khusus dari gagasan ini. Ada banyak
perbedaan dan bentuk-bentuk yang saling bertentangan tentang perlakuan yang sama
(equal treatment). Persamaan kesempatan, misalnya, mungkin menghasilkan
kepincangan pendapatan (karena sebagian orang memiliki bakat yang lebih besar),
dan persamaan pendapatan mungkin menghasilkan kepincangan kesejahteraan
(karena sebagian orang memiliki kebutuhan yang lebih besar). Semua bentuk khusus
perlakuan yang sama ini secara logis sesuai dengan gagasan tentang persamaan
moral. Pertanyaannya adalah mana bentuk perlakukan yang sama yang paling baik
menangkap cita-cita yang lebih dalam tentang memperlakukan orang secara sama.
Itu bukan merupakan pertanyaan logika, tetapi sebuah pertanyaan moral, yang
jawabannya tergantung pada isu-isu kompleks menyangkut hakikat manusia dan
kepentingan-kepentingannya. Dalam memutuskan mana bentuk khusus perlakukan
yang sama yang paling baik menangkap gagasan tentang memperlakukan orang
dengan cara yang sama, kita tidak memerlukan ahli logika, yang berpengalaman
dalam seni menarik kesimpulan logis. Kita memerlukan seseorang yang memiliki
pemahaman tentang manusia macam apa yang berhak memperoleh rasa hormat dan
perhatian, dan tentang bentuk-bentuk aktivitas macam apa yang paling baik
mewujudkan rasa hormat dan perhatian itu.
Gagasan persamaan moral, meskipun mendasar, terlalu abstrak untuk
membantu mencapai premis yang memungkinkan kita menurunkan teori keadilan.
Apa yang kita miliki dalam argumen politik bukan merupakan premis tunggal, dan
setelah itu penarikan kesimpulan yang saling bersaing, melainkan sebuah konsep
tunggal dan setelah itu konsepsi dan interpretasi yang saling bersaing mengenainya.
Tiap-tiap teori keadilan tidak disimpulkan dari prinsip persamaan, tetapi justru
sebaliknya mencita-citakan prinsip persamaan itu, dan masing-masing teori dapat
dinilai menurut keberhasilannya dalam mencapai cita-cita itu. Sebagaimana
Dworkin menyatakan, ketika mengajarkan pejabat publik untuk bertindak sesuai
dengan konsep persamaan, kita ‘memerintahkan mereka yang kita ajari dengan
tanggungjawab mengembangkan dan mengaplikasikan konsepsinya sendiri...Tentu
saja, ini tidak sama dengan memberi mereka keleluasaan bertindak menurut yang
mereka suka; konsep persamaan menetapkan standar yang harus mereka coba—dan
yang mungkin gagal—diwujudkan, karena konsep itu mengandaikan bahwa
43
konsepsi yang satu lebih unggul dari yang lain (Dworkin 1977: 135) 10. Betapapun
yakin kita pada konsepsi persamaan tertentu, ini harus diuji dengan latar belakang
konsepsi yang saling bersaing guna melihat mana yang paling baik mengungkapkan
dan menangkap konsep persamaan.
Ini merupakan bentuk argumen yang sudah saya coba berikan terhadap
utilitarianisme. Kita mungkin melihat kelemahan dalam utilitarianisme sebagai
konsepsi persamaan dengan membandingkannya pada konsepsi yang menjamin hak
tertentu dan bagian sumberdaya yang fair. Ketika kita membandingkan dua konsepsi
ini, utilitarianisme tampak tidak masuk akal sebagai penilaian tentang persamaan
moral, sangat bertentangan dengan intuisi kita berkenaan dengan konsep dasar itu.
Namun, ketidakmasukakalannya bukan perkara kesalahan logis, dan kekuatan dari
teori bagian yang fair bukan perkara pembuktian logis. Ini mungkin tidak
memuaskan bagi mereka yang terbiasa dengan bentuk-bentuk argumen yang lebih
ketat. Namun, jika saran kaum egalitarian benar—jika masing-masing teori ini
bercita-cita menjadi sebaik sebagaimana halnya prinsip memperlakukan orang
secara sama—maka ini adalah bentuk yang harus diambil oleh argumen politik.
Menuntut bahwa ini mencapai pembuktian logis hanya menyalahpahami hakikat
latihan. Setiap usaha menguraikan dan membela kepercayaan kita mengenai prinsip
yang seharusnya mengatur komunitas politik akan mengambil bentuk komparasi
atas konsepsi-konsepsi yang berbeda dari konsep persamaan ini.
6. POLITIK UTILITARIANISME
10
Ini menunjukkan mengapa keliru untuk menyatakan bahwa dataran egalitarian Dworkin adalah
‘murni formal’ atau ‘kosong’, karena ternyata sesuai dengan banyak bentuk-bentuk distribusi yang
berbeda (Hart 1979: 95-6; Goodin 1982: 89-90; Mapel 1989: 54; Larmore 1987: 62 ; Raz 1986: ch.
9). Sebagaimana Dworkin mencatat, keberatan ini ‘menyalahpahami peranan konsep-konsep abstrak
dalam teori dan perdebatan politik’ (Dworkin 1977 : 368). Gagasan memperlakukan orang secara
sama adalah abstrak, tetapi tidak formal---sebaliknya, ia merupakan prinsip yang substantif yang
mengeluarkan sebagian teori-teori (misalnya teori-teori rasis), dan yang menetapkan suatu standar
yang dicita-citakan oleh teori-teori lain. Fakta bahwa sebuah konsep abstrak perlu ditafsirkan, dan
bahwa teori yang berbeda menafsirkannya dengan cara yang berbeda, tidak membuktikan bahwa
konsep itu adalah kosong atau bahwa salah satu penafsiran mengenai konsep itu adalah sebaik
penafsiran yang lain.
44
progresif dan berorientasi pada pembaharuan—perluasan demokrasi, pembaharuan
hukum dan penyediaan kesejahteraan, dan sebagainya.
Kaum utilitarian kontemporer, dipihak lain, ‘konformis secara
mengejutkan’—kenyataannya mereka tampak sangat berhasrat memperlihatkan
bahwa utilitarianisme meninggalkan segala sesuatu sebagaimana adanya (Williams
1972 : 102). Sementara kaum utilitarian yang muncul pada awalnya bersedia menilai
aturan-aturan perilaku sosial (social codes) yang ada pada altar kebahagiaan
manusia, banyak kaum utilitarian kontemporer menyatakan bahwa ada alasan-alasan
utilitarian yang baik untuk mematuhi moralitas sehari-hari tanpa sikap kritis.
Nampaknya mungkin bahwa kita dapat meningkatkan utiliti dengan membuat
berbagai pengecualian terhadap aturan moralitas sehari-hari, tetapi ada alasan-alasan
utilitarian untuk tetap berpegang pada aturan-aturan yang baik dalam semua
keadaan. Bahkan, seandainya nampak bahwa aturan sehari-hari bukan merupakan
aturan yang baik dalam pengertian utilitarian, ada alasan utilitarian untuk tidak
mengevaluasi aturan-aturan dalam pengertian utiliti. Justru sulit meramalkan
konsekuensi tindakan kita atau mengukur konsekuensi ini jikapun diketahui. Maka,
pandangan kita tentang apa yang memaksimalkan utiliti adalah tidak sempurna, dan
usaha-usaha merasionalisasikan lembaga-lembaga sosial besar kemungkinan
menyebabkan kerusakan dan tidak membantu. Perolehan aturan baru tidak menentu,
sementara kebiasaan yang ada terbukti berharga (berhasil melampaui test evolusi
kultural) dan orang membentuk harapan-harapan disekitarnya. Lebih dari itu,
bertindak secara langsung atas dasar alasan utiliti adalah counter-productive, karena
tindakan semacam ini mendorong sikap yang tergantung dan berjarak pada
komitmen politik dan personal yang seharusnya tulus.
Sebagai hasilnya, kaum utilitarian modern menyepelekan jangkauan
utilitarianisme yang seharusnya dipergunakan sebagai prinsip kritis, atau juga
sebagai prinsip evaluasi politik. Sebagian kaum utilitarian mengatakan kita mungkin
hanya terpaksa menalar secara utilitarian ketika aturan-aturan moral kita sehari-hari
mengarah pada hasil-hasil yang saling bertentangan; yang lainnya mengatakan
bahwa dunia yang terbaik, menurut sudut pandang utilitarian, adalah dunia yang tak
seorangpun pernah bernalar secara eksplit menurut cara utilitarian. Williams
mengklaim bahwa utilitarianisme semacam ini ‘memperburuk masalahnya sendiri’
(self-defeating)—ia mendesakkan kelenyapannya sendiri. Memperburuk masalahnya
sendiri ini bukan dalam pengertian teknis, karena ini tidak membuktikan bahwa
tindakan yang benar secara moral adalah tindakan yang, bagaimanapun, tidak
memaksimalkan utiliti. Namun, ini jelas menunjukkan bahwa utilitarianisme tidak
lagi ditawarkan sebagai bahasa yang tepat untuk perdebatan politik. Politik harus
diperdebatkan dalam bahasa moralitas sehari-hari yang non-utilitarian—bahasa hak,
tanggungjawab pribadi, kepentingan publik, keadilan distributif, dan sebagainya.
Utilitarianisme, menurut pandangan modern, meninggalkan segala sesuatu
sebagaimana adanya—ia berdiri diatas, dan bukannya bersaing dengan pengambilan
keputusan politik sehari-hari.
Sebagian kaum utilitarian masih tetap mengklaim bahwa utilitarianisme
membutuhkan kritik radikal atas aspek-aspek moralitas sehari-hari yang irasional
dan arbitrer (misalnya, Singer 1979). Namun utilitarianisme kemungkinan tidak
akan pernah membentuk gerakan politik yang koheren, seperti yang menjadi ciri
45
masa kelahirannya. Masalahnya adalah ‘angin pembuktian utilitarian meniup ke
segala arah’ (Sher 1975: 159). Sebagai contoh, walaupun sebagian kaum utilitarian
menyatakan bahwa utiliti dimaksimalkan melalui redistribusi kekayaan secara besar-
besaran sebagai hasil penurunan utiliti marginal atas uang, yang lain
mempertahankan kapitalisme persaingan bebas (laissez-faire capitalism) karena
menciptakan kekayaan yang lebih besar. Ini bukan sekadar pertanyaan yang
meramalkan betapa berbeda pengelolaan kebijaksanaan ekonomi dalam arti skala
utiliti yang disepakati. Ini juga pertanyaan tentang bagaimana menentukan skala itu
—apa hubungan antara barang-barang ekonomi dan komponen-komponen kebaikan
manusia yang lain (waktu senggang, komunitas dan sebagainya)?. Ini juga
pertanyaan tentang peranan perhitungan utiliti sendiri--seberapa penting ketentutan-
ketentuan yang ditetapkan? Mengingat ketidaksepakatan tentang bagaimana dan
kapan mengukur utiliti ini, utilitarianisme terpaksa menghasilkan pertimbangan-
pertimbangan yang bertentangan secara fundamental.
Saya tidak bermaksud menyarankan bahwa semua posisi ini adalah sama-
sama masuk akal (atau bahwa masalah ini juga tidak ditemukan dalam teori-teori
non-utilitarian). Keyakinan dan kebulatan suara dalam pertimbangan-pertimbangan
politik yang dimiliki oleh kaum utilitarian yang muncul pada awalnya seringkali
merupakan hasil pandangan terhadap masalah secara terlalu menyederhanakan, dan
jumlah ketidakmenentuan tertentu adalah tak terhindarkan dalam sebagian teori
begitu kita mengenali kompleksitas isu-isu moral dan empiris yang terlibat. Kaum
utilitarian modern benar dengan mendesakkan bahwa utiliti tidak dapat direduksi
pada kenikmatan; dan bahwa tidak semua bentuk utiliti dapat diukur atau sepadan;
dan bahwa tidak selalu tepat bahkan untuk mencoba mengukur utiliti-utiliti ini.
Namun, harga kecanggihan yang ditambahkan ini adalah bahwa utilitarianisme tidak
serta merta mengidentifikasi setiap kumpulan kebijaksanaan sebagai jelas kelihatan
superior. Utilitarianisme modern, terlepas dari warisannya yang radikal, tidak lagi
menegaskan sebuah posisi politik tersendiri.