Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sehat merupakan sesuatu yang diinginkan oleh semua orang, tak ada

seseorang yang menginginkan sakit, berbagai cara pun dilakukan bahkan tak

sedikit uang yang di keluarkan untukn bias hidup sehat dan terhindar dari

penyakit. Tetapi budaya prilaku yang kotor dan lingkungan yang tidak

mendukung akan sangat mempengaruhi kesehatan seseorang dan uang yang telah

di keluarkan untuk pengobatan agar bias sembuh akan sia-sia jika budaya prilaku

hidup bersih dan sehat juga lingkungan yang higienis tidak di terapkan.

Penerapan mengenai budaya prilaku hidup bersih, sehat dan lingkungan

yang higienis di masyarakat memang susah sekali di terapkan karena factor

kebiasaan , kesadaran yang rendah dari masyarakat dan factor ekonomi yang

memaksa masyarakat tidak mementingkan prilaku hidup bersih dan sehat juga

lingkungan yang higienis. Apalagi di desa yang tempat lahanya masih luas,

suasanaya masih alami, masih banyak di jumpai sungai-sungai , hutan baik jati,

bambu dan lainya yang mendukung kebiasan jelek di masyarakat desa. Misalnya

prilaku buang air besar sembarangan, hal ini tercatat masih banyak masyarakat

Indonesia terutama di pedesaan yang masih buang air besar sembarangan. Sesuai

hasil riset kesehatan dasar Departemen Kesehatan RI tahun 2007 tercatat kurang

lebih 70 juta masyarakat Indonesia masih buang air besar sembarangan dan yang

lebih ironis lagi diaantaara 70 juta oaring yang masih buang air besar tersebut,
provinsi Jawa Timur menyumbang paling banyak atau tertinggi secara nasional

yaitu 14 juta orang. Kemudian prilaku hidup bersih dan sehat lainya yaitu

mencuci tangan pakai sabun setelah buang air besar dan ketika makan, hal ini juga

masih banyak masyarakat Indonesia yang tidak melakukan dan tercatat hanya

12% penduduk Indonesia yang cuci tangan pakai sabun setelah buang air besar

(Hasil survey healt service program tahun 2006 Depkes RI).

Melihat permasalahan diatas kesadaran masyarakat akan prilaku hidup

bersih dan sehat juga lingkungan yang higienis akan tumbuh jika musibah besar

baru turun atau penyakit menyerang mereka secara bertubi- tubi dan memakan

korban, kesadaran yang terlambat ini sangat disayangkan sekali. Hal ini bias di

lihat dari dampak tidak menerapkanya budaya prilaku hidup bersih dan sehat juga

lingkungan yang higienis yaitu pada tahun 2006 sebesar 423 per seribu penduduk

pada semua umur di 16 provinsi di Indonesia mengalami kejadian luar biasa

(KLB) penyakit diare dan juga menyebabkan kematian bayi dan balita terbesar di

Indonesia ( 31,4 % dari total kematian bayi dan 25,2 % kematian balita di tanah

air). ( hasil riset kesehatan dasar/ riskesdas 2007 Depkes RI)

Fenomena- fenomena semacam itu harus segera mungkin dilakukan

tindakan untuk mengatasinya dan ini menjadi tugas pemerintah dan seluruh

masyarakat, tidak hanya mengenai kebijakan pelayanan kesehatan saja ( gratis

pengobatan) tetapi kebijakan untuk bagaimana membuat masyarakat terhindar

dari penyakit sangat penting, kalau kita bisa mencegah penyakit mengapa harus

menunggu untuk di obati karena mencegah lebih baik dari pada mengobati. Untuk

melaksanakan Konsep Tersebut, dan mengatasi fenomena diatas pada tahun 2008
Pemerintah melalui menteri kesehatan mengeluarkan kebijakan sanitasi total

berbasis masyarakat (STBM) sebagai strategi nasional, dan pada tahun 2009

STBM ini di tetapakan sebagai program nasional juga merupakan salah satu

sasaran utama dalam RPJM (rancangan pembangunan jangka menengah) 2010-

2014 (pedoman umum program STBM draft 03 april 2010 oleh Kementrian RI).

Program sanitasi total berbasis masyarakat (STBM) ini merupakan

pendekatan untuk menciptakan budaya prilaku hidup bersih dan sehat nan

lingkungan hygiene melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan.

Dan juga menekankan pada perubahan perilaku masyarakat untuk membangun

sarana sanitasi dasar melalui upaya atau lima pilar diantaranya tidak BAB

sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan makanan

yang aman, mengelola sampah dengan benar mengelola limbah air rumah tangga

dengan aman. Ciri utama dari pendekatan ini adalah tidak adanya Ciri utama dari

pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban

keluarga), dan tidak menetapkan jamban yang nantinya akan dibangun oleh

masyarakat. Pada dasarnya program STBM ini adalah “pemberdayaan” dan “tidak

membicarakan masalah subsidi”. Artinya, masyarakat yang dijadikan “guru”

dengan tidak memberikan subsidi sama sekali (http://stbm-indonesia.org diakses

07 maret 2010 pukul 08.00 wib) sehingga target Indonesia bebas BABS (buang

air besar sembarangan) bias tercapai di tahun 2014 sesuai RPJM 2010-2014.

Demikian juga yang di lakukan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro,

Provinsi Jawa Timur, pada tahun 2010 Pemerintah Kabupaten mulai

mensosialisasikan program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) , namun


Pemerintah Kabupaten Bojonegoro hanya menetapkan daerah kecamatan Sugih

waras dan Kalitidu sebagai pilot project program ini dengan alasan daerah ini

tertinggal dan dekat dengan hutan, yang masyarakatnya sulit sekali untuk di ajak

berubah prilaku kebersihanya. Dan diantara lima pilar program STBM , Pemkab

mengambil pilar tidak BAB sembarangan dengan menggalakan gerakan

jambanisasi atau desa bebas BAB / ODF (open defacation free )

(www.bojonegorokab.go.id diakses 07 maret 2011 pukul 2042 wib)

Semangat dan kegigihan Pemerintah Kabupaten Bojonegoro beserta

masyarakat ini, mulai membuahkan hasil. Pada tanggal 09 desember 20010 salah

satu desa di kecamatan Kalitidu yaitu desa Mojo di deklarasikan jadi Desa ODF

atu bebas BAB sembarangan terbaik kemudian disusul satu persatu Sembilan

desa lain di kecamatan kalitidu. Bahkan berkat keberhasilan program ini Camat

Kalitidu Ibu Nurul Azizah di tetapkan sebagai Camat teladan Se-Jawa Timur

( suara Surabaya, edisi 4 januari 2011, www.stbm-indonesia.org diakses 07 maret

2011 pukul 08.15 wib). Atas keberhasilan ini tim Sanitasi Pemerintah Pusat dan

Badan kesehatan Dunia PBB ,WHO (World Healt Organitation) mengunjungi

Kecamatan Kalitidu dan Ibu Camat Nurul Azizah Mengantarkanya ke Desa Mojo

Karena Desa ODF terbaik (www.depkominfo.go.id, www.jatimprov.go.id diakses

07 maret 2011 pukul 08.30 wib)

Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk mengangkat

pelaksanaan program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) di desa Mojo

Kecamatan kalitidu Kabupaten Bojonegoro, dengan asumsi desa yang

lingkunganya masih banyak hutannya dan tertinggal bias berhasil menjadi Desa
ODF atau bebas BAB sembarangan dan bias menarik pemerintah Pusat dan

badan kesehatan dunia WHO sehingga diangkatlah judul:

Analisis Implementasi Program Nasional STBM (Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat) di Desa Mojo Kecamatan Kalitidu Kabupaten

Bojonegoro)

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Implementasi Program Nasional STBM (Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat) di Desa Mojo Kecanatan Kalitidu Kabupaten

Bojonegoro?

2. Mengapa Pemerintah Pusat dan Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO

tertarik untuk mengunjung Desa ODF di Kecamatan Kalitidu Kabupaten

Bojonegoro?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi atau pelaksanaan secara keseluruhan

Program Nasional STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat) di Desa

Mojo Kecanatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro

2. Untuk mengetahui Hal yang menjadi daya tarik Pemerintah Pusat dan

Badan Kesehatan Dunia PBB, WHO sehingga berkenan mengunjung

Desa ODF di Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro


A. Manfaat penelitian

Berdasarkan tujuan di atas, maka dapat diketahui beberapa manfaat

yaitu:

1. Manfaat Teoritis

Pemelitian ini diharapkan mampu dapat membantu dalam

memahami tentang konsep implementasi suatu kebijakan pemerintah

untuk menyehatkan masyarakat dari asal mula penyakit sehingga bisa di

harapkan menghasilkan model atau teori baru mengenai cara menciptakan

kesadaran masyarakat desa akan perilaku hidup bersih dan sehat.

2. Manfaat Praktis

Penelitian diharapkan bisa menjadi masukan masyarakat secara

umum dan khususnya bagi Desa Mojo (feed back/umpan balik) untuk

lebih memperkuat lagi budaya perilaku hidup bersih dan sehat juga

lingkungan yang higienis sehingga penyakit-penyakit yang berbahaya bisa

dicegah karena mencegah lebih baik dari pada mengobati dan juga

menciptakan masyarakat sejahtera baik jasmani dan rohani. Karena

kesehatan merupakan dambaan setiap umat manusia.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Pengertian Implementasi kebijakan

Pengertian implementasi itu sendiri mempunyai banyak penafsiran

misalnya Dalam kamus Webster (Solichin Abdul Wahab, 1997:64)

pengertian implementasi dirumuskan secara pendek, dimana “to

implementasi" (mengimplementasikan) berarti “to provide means for

carrying out; to give practical effec to” (menyajikan alat bantu untuk

melaksanakan; menimbulkan dampak/berakibat sesuatu). Kalau pandangan

ini kita ikuti, maka implementasi kebijaksanaan dapat di pandang sebagai

suatu proses melaksanakan keputusan kebijaksanaan( biasanya dalam bentuk

undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan, perintah

eksekutif, atau dekrit presiden).

Kemudian Van Meter dan Horn (1978:70) mendefinisikan

implementasi kebijakan sebagai berikut: “Policy implementation

encompasses those actions by public and private individuals (and groups)

that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior

policy decisions. “Definisi tersebut memberikan makna bahwa implementasi

kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu

dan kelompok pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan

dan sasaran yang telah ditetapkan. Tindakan-tindakan ini, pada suatu saat

berusaha untuk mentransformasikan keputusan-keputusan menjadi pola-pola


operasional, serta melanjutkan usaha-usaha tersebut untuk mencapai

perubahan, baik yang besar maupun yang kecil, yang diamanatkan oleh

keputusan kebijakan.

Selanjutnya Mazmanian dan Sabatier (dalam Solichin Abdul

Wahab, 1997:65) menjelaskan lebih lanjut tentang konsep implementasi

kebijakan sebagaimana berikut:

“Memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah

program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus

perhatian implementasi kebijakan, yaitu kejadian-kejadian atau

kegiatan yang timbul setelah disahkannya pedoman-pedoman

kebijakan negara, yaitu mencakup baik usaha-usaha untuk

mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan

akibat/dampak nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian."

Berdasarkan pada pendapat tersebut di atas, nampak bahwa

implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau

perilaku badan alternatif atau unit birokrasi yang bertanggung jawab untuk

melaksanakan program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun

lebih dari itu juga berlanjut dengan jaringan kekuatan politik sosial ekonomi

yang berpengaruh pada perilaku semua pihak yang terlibat dan pada

akhirnya terdapat dampak yang diharapkan (intended) maupun yang tidak

diharapkan (negative effect)


2.3 faktor–faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan

Untuk mengetahuai faktor–faktor apa saja yang mempengaruhi

implementasi kebijakan teknik penilaian ”People Review” ini penulis

menggunakan Pendekatan teori yang dikemukakan oleh George C. Edwards

III. Dimana implementasi dapat dimulai dari kondisi abstrak dan sebuah

pertanyaan tentang apakah syarat agar implementasi kebijakan dapat berhasil,

menurut George C. Edwards III ada empat variabel dalam kebijakan publik

yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), disposisi

atau sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic

structure).

Keempat faktor di atas harus dilaksanakan secara simultan karena

antara satu dengan yang lainnya memiliki hubungan yang erat. Tujuannya

adalah meningkatkan pemahaman tentang implementasi kebijakan.

Penyederhanaan pengertian dengan cara membreakdown (diturunkan) melalui

eksplanasi implementasi kedalam komponen prinsip. Implementasi kebijakan

adalah suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub

kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui

pengaruhnya terhadap implementasi.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George

C. Edwards III sebagai berikut : (George III Edward :implemeting public

policy, 1980)
1) Komunikasi (Communications)

Komunikasi merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan,

komunikasi adalah kunci untuk membina hubungan dengan orang lain,

menyatakan identitas diri, mengajukan pertanyaan, mendengarkan orang

lain, mencari pemecahan masalah, dan sebagainya. Komunikasi tidak

hanya antar individu, melainkan juga antar kelompok.(Mulyana, 2001)

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan

tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang

bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran

dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat

dengan para pelaksana. Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar

dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementor mengetahui

secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komuninikasi dalam

organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit.

Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau

menyebarluaskannya. Di samping itu sumber informasi yang berbeda juga

akan melahirkan interpretasi yang berbeda pula. Agar implementasi

berjalan efektif, siapa yang bertanggungjawab melaksanakan sebuah

keputusan harus mengetahui apakah mereka dapat melakukannya.

Sesungguhnya implementasi kebijakan harus diterima oleh semua personel

dan harus mengerti secara jelas dan akurat mengenai maksud dan tujuan

kebijakan. Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan

spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya


yang akan diarahkan. Para implementor kebijakan bingung dengan apa

yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan

mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para

implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

2) Sumberdaya (resources)

Resources merupakan perpaduan sumber daya yang mendukung

harus benar- benar tersedia, yang meliputi staf, informasi, kewenagan, dan

fasilitas. Sumber daya terbagi menjadi dua, yaitu faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal meliputi 5M + 1T yaitu manusia (man), uang

(money), metode (methode),mesin (machine), modal dan time (waktu).

Sedangkan faktor eksternal meliputi lingkungan, perubahan kekuasaan,

dukungan politik, serta kebijakan yang memang sifatnya buruk.

Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan

program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya.

Komponen sumber daya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para

pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk

mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait

dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa

program dapat diarahkan kepada sebagaimana yang diharapkan, serta

adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan

kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumber daya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan

kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara


sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik.

Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus

dilakukan meningkatkan skill atau kemampuan para pelaksana untuk

melakukan program. Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik

agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana

program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan

hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini

membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus

menguasai teknik-teknik kelistrikan.

Informasi merupakan sumberdaya penting bagi pelaksanaan

kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi

bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana

harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi

tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan

undang-undang. Kenyataan di lapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu

kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan. Kekurangan

informasi/pengetahuan bagaimana melaksanakan kebijakan memiliki

konsekuensi langsung seperti pelaksana tidak bertanggungjawab, atau

pelaksana tidak ada di tempat kerja sehingga menimbulkan inefisien.

Implementasi kebijakan membutuhkan kepatuhan organisasi dan

individu terhadap peraturan pemerintah yang ada. Sumberdaya lain yang

juga penting adalah kewenangan untuk menentukan bagaimana program

dilakukan, kewenangan untuk membelanjakan/mengatur keuangan, baik


penyediaan uang, pengadaan staf, maupun pengadaan supervisor.

Fasilitas yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan/program harus

terpenuhi seperti kantor, peralatan, serta dana yang mencukupi. Tanpa

fasilitas ini mustahil program dapat berjalan.

3) Disposisi atau Sikap (dispositions atau attitudes)

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi

kebijakan adalah sikap implementor. Jika implementor setuju dengan

bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan

senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat

kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah.

Ada tiga bentuk sikap atau respon implementor terhadap kebijakan, yaitu

kesadaran pelaksana, petunjuk atau arahan pelaksana untuk merespon

program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon

tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program

namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program

secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga

secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program

atau kebijakan. Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat

dibutuhkan dalam mencapai sasaran program.

Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan

program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien. Wujud dari

dukungan pimpinan ini adalah menempatkan kebijakan menjadi prioritas


program, penempatan pelaksana dengan orang-orang yang mendukung

program, memperhatikan keseimbangan daerah, agama, suku, jenis

kelamin dan karakteristik demografi yang lain. Disamping itu penyediaan

dana yang cukup guna memberikan insentif bagi para pelaksana program

agar mereka mendukung dan bekerja secara total dalam melaksanakan

kebijakan atau program.

4) Struktur Birokrasi (bureucratic structure)

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat

dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik,

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam

badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun

nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van

Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin

berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan,

yaitu:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

b. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusan sub unit

dan proses-proses dalam badan pelaksana.

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan di antara

anggota legislatif dan eksekutif).

d. Vitalitas suatu organisasi.

e. Tingkat komunikasi “terbuka”, yaitu jaringan kerja komunikasi

horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang


secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu di luar

organisasi.

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat

keputusan atau pelaksana keputusan.

Bila sumberdaya cukup untuk melaksanakan suatu kebijakan dan

para implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, implementasi

masih gagal apabila struktur birokrasi yang ada menghalangi koordinasi

yang diperlukan dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang

kompleks membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan

sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang

dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan

mempengaruhi sistem dalam birokrasi.


BAB III

METODELOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Tipe Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan kualitatif. Pendekatan ini digunakan karena peneliti ingin

memperoleh gambaran yang mendalam tentang pelaksanaan program

STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) di desa Mojo yang menjadi

desa ODF terbaik, tersukses se- Jawa Timur juga menjadi daya tarik

pemerintah pusat dan badan kesehatan Dunia WHO untuk mengunjungi

Penelitian kualitatif adalah penelitian yang berusaha mencari dan

memperoleh informasi mendalam dari pada luas atau banyaknya

informasi (Ambert et al., 1995). Penelitian kualitatif berusaha untuk

mendapatkan aquiri secara mendalam dengan mencari informasi pada

seorang yang dipilih dalam kelompok kecil.

Berdasarkan hal di atas ditunjang dengan perumusan masalah

yang telah diungkapkan, maka penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif pula. Metode Kualitatif, menurut Bogdan dan taylor (dalam

Moleong, 1989:12) adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati”. Lebih lanjut menurut mereka, pendekatan

ini diarahkan pada situasi dan individu tersebut secara holistik (utuh),

dalam hal ini peneliti tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi
ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai

bagian dari suatu keutuhan.

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengidentifikasikan dan

mendeskripsikan proses pelaksanaa program STBM sebagai wujud

menciptakan budaya prilaku bersih dan sehat dengan menggugah kesadaran

masyarakat melalui metode pemicu dalam rangka mencegah timbulnya

penyakit di masyarakat terutama masyarakat Desa

B. Fokus Penelitian

Meskipun penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, di dalam

penelitian ini tetap diperlukan fokus penelitian untuk membahas bidang studi

atau bidang penelitian yang berkenaan dengan pelaksanaan program STBM.

Adapun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah implementasi

program STBM (sanitasi total berbasis masyarakat) pada pilar bebas BAB

sembarangan atau Desa ODF melalui gerakan jambanisasi yang di gagas oleh

Pemerintah Kabupaten Bojonegoro tepatnya di desa Mojo Kecamatan

Kalitidu

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini adalah di Desa Mojo Kecamatan Kalitidu

Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur


C. Sumber Data

Data penelitian dapat digolongkan menjadi dua, yaitu data primer dan

data sekunder

a) Data Primer

Data primer di peroleh dari aparat dan masyarakat Desa

Mojo . Dapat dikatakan bahwa data primer adalah data yang di

peroleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat

pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi

yang di cari. Dimana data primer ini didapat atau dilakukan melalui

wawancara & observasi. Wawancara dilakukan pada aparat desa

kemamang dan sebagaian masyarakat desa tersebut.sedangkan

observasi dilakukan peneliti dengan terlibat langsung di dalam

kegiatan yang dilakukan Desa.

b) Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber data

lain atau data yang di peroleh secara langsung dari obyek penelitian

yaitu berupa dokumentasi dari kantor pemerintah desa. Atau data

yang di peroleh lewat pihak lain, tidak langsung di peroleh dari

subyek penelitian. Data sekunder biasanya teerwujud data

dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia seperti halnya

arsip kantor bisa meliputi proses pelaksanaan penilaian sampai

pada laporan hasil penilaian. Pada penilitian ini merujuk pada arsip
kantor, surat kabar, Perda, peraturan desa, website pemerintah

kabupaten, maupun website pemerintah Desa.

D. Teknik Pengambilan Data

Dalam penelitian ini teknik yang digunakandalam memperoleh

data dilakuka melalui:

a) Wawancara

Wawancara menurut miles dan Huberman (dalam Suetopo,

1988:24) adalah wawancara (interview) informal yang dilakukan

pada saat konteks yang dianggap tepatguna mendapatkan data yang

mempunyai kedalaman dan dapat dilakukan berkali-kali

frekuentatif sesuai dengan keperluan peneliti tentang kejelasan

masalah penelitian yang di fokusnya. Tekhnik ini di maksudkan

agar peneliti mampu mengesplorasi data dari informan yang

bersifat nilai, makna, dan pemahamanya yang tidak mungkin

dilakukan melalui tekhnik survey. Dalam wawancara ini peneliti

berusaha menggali dan menanyakan mengenai Dalam wawancara

ini peneliti berusaha menggali dan menanyakan mengenai apa saja

yang terkait dalam Implementasi program nasional STBM (sanitasi

total berbasis masyarakat seperti mulai kapan implementasi

dilakukan, bagaimana prosesnya, ada hambtan atau tidak dan lain-

lain

b) Studi Kepustakaan
Metode studi kepustakaan ini menghimpun bahan-bahan

yang di perlukan dalam penelitian melalui literature-literatur yang

tersedia seperti dari buku, ,serta artikel dari internet.

c) Dokumentasi

Metode dokumentasi untuk memperoleh data melalui

dokumen seperti catatan-catatan, trankrip arsip, dokumen

perusahaan. Teknik ini digunakan untuk melengkapi data yang di

peroleh dari teknik pengumpulan data yang lain.

E. Teknik Analisis Data

Penelitian ini metode yang digunakan adalah analisa data

interaktif (interactive model of analysis) dari Miles dan Huberman

yang meliputi pengumpulan data, reduksi data, sajian data, dan

penarikan kesimpulan. Berikut Analisa Data Interaktif

Pengumpul
an Data
Reduksi Sajian
Data Data

Penarikan
Kesimpulan

Sumber: Miles dan Huberman (dalam Sutopo, 1988:34-37)

Keterangan:

1. Pengumpulan data merupakan kegiatan untuk memperoleh data

yang akurat dan relevan terhadap masalah penelitian. Data


diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi dan

dokumentasi.

2. Reduksi data merupakan proses seleksi, pemusatan perhatian

pada penyederhanaan dan transformasi data “kasar” yang muncul dilapangan.

Proses ini berlangsung terus menerus selama penelitian. Reduksi data merupakan

suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan,

membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara yang

sedemikian rupa, hingga kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

3. Sajian data merupakan sekumpulan informasi yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan

tindakan dengan melihat sajian data, peneliti akan dapat

memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan,

yang memungkinkan untuk menganalisis dan mengambil tindakan

lain berdasarkan pemahaman.

4. Penarikan kesimpulan hal ini dilakukan sejak mulai pengumpulan

data, dengan penanganan secara longgar, tetap terbuka dan

skeptis. Kesimpulan diverifikasi adalah yang berupa suatu

penggolongan sebagai pikiran kedua yang timbul melintas

peneliti pada waktu menulis, verifikasi yang dapat dilakukan

dengan jalan yang lebih teliti seperti berdiskusi atau saling

memeriksa dengan teman.

Daftar Pustaka

Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis Kebijaksanaan. Jakarta : Bumi Aksara.


Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.

Dunn, William N. 2003. Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Hanindita.

http://stbm-indonesia.org/?r=kliping&cat=39&id=645

http://www.jatimprov.go.id/index.php?
option=com_content&task=blogsection&id=1&Itemid=80&limit=9&limitstart=2
16

http://www.jatimprov.go.id/index.php?
option=com_content&task=view&id=8384&Itemid=80

http://www.bojonegorokab.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=1035:berita-
bojonegoro&catid=37:content-berita

http://www.bojonegorokab.go.id/index.php?
option=com_content&view=article&id=883:berita-bojonegoro&catid=3:sekilas-
info

http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/tim-sanitasi-pusat-dan-who-
akan-kunjungi-bojonegoro/

http://stbm-indonesia.org/file/pdf/panduan/Petunjuk-Pelaksanaan-Program-
STBM-(draft-02-260410).pdf

Analisis Implementasi Program Nasional


STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
di Desa Mojo Kecamatan Kalitidu Kabupaten Bojonegoro

Proposal Skripsi

OLEH:
Najibudin Asefsyah
(074674211)

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA


FAKULTAS ILMU SOSIAL
PRODI S1 ILMU ADMINISTRASI NEGARA
2011

Anda mungkin juga menyukai