Anda di halaman 1dari 3

Mengelola APBN Sakit http://els.bappenas.go.id/upload/other/Mengelola APBN Sakit.

htm

Mengelola APBN Sakit


Sri Mulyani Indrawati

PRESIDEN Megawati Soekarnoputri telah


menyampaikan pidato pengantar Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanda Negara
(RAPBN) 2002. Inilah produk kebijakan ekonomi
pertama yang paling penting di bawah Presiden
baru kita. Di banyak negara maju, APBN
merupakan produk kebijakan politik yang sangat
penting, yang bahkan bisa menjatuhkan suatu
pemerintahan atau juga bisa untuk mendapatkan
dukungan politik.

Di Amerika, presiden berkuasa saat ini, George W


Bush dari Partai Republik, tengah mendapatkan
Kompas/agus susanto sorotan kritis, bahkan kecaman dari kubu Demokrat
atas kebijakan fiskalnya yang dianggap
memboroskan surplus negara, menurunkan
penerimaan negara melalui pemotongan pajak, dan
dianggap tidak efektif menolong ekonominya yang tengah meluncur loyo.

APBN Indonesia tidaklah mencerminkan politik partai mana pun. Presiden kita berasal dari PDI-Perjuangan,
sedang wakil presiden berasal dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dengan kabinet pelangi dari
segala macam unsur partai politik dan golongan. Jadi, APBN jelas bukan alat untuk kampanye politik salah
satu partai politik (termasuk yang berkuasa sekalipun).

Hal ini sungguh menguntungkan bagi Indonesia yang tengah dirundung persoalan ekonomi yang kronis.
Menguntungkan, karena APBN dapat lebih realistis dan hati-hati serta terhindar dari penggunaan sebagai
alat populis partai yang akan makin memerosotkan ekonomi. APBN kita merupakan cerminan warisan
masalah krisis ekonomi yang panjang dan berat.

Tugas pemerintah hingga 10 tahun ke depan adalah menyembuhkan APBN tersebut, agar kembali sehat dan
berfungsi efektif sebagai instrumen ekonomi pemerintah yang paling penting, termasuk sebagai alat untuk
melakukan distribusi (ekualisasi) dan alokasi (stimulasi ataupun peredaman) ekonomi.

***

MELAKUKAN analisa APBN Indonesia bisa dilakukan dalam tiga aspek, yaitu aspek total dan asumsi
makronya; aspek komposisi APBN; dan terakhir aspek institusional. Aspek pertama yang sangat mudah
disorot dan dikomentari mencakup besaran-besaran makro, termasuk total volume APBN, besaran defisit
2,5 persen dari produk domestik bruto (PDB), dan asumsi makronya.
Secara umum, gambaran dari aspek ini memang cukup menjanjikan. Perkiraan pertumbuhan ekonomi lima
persen dengan inflasi delapan persen dan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) 14 persen, merupakan
target makro yang cukup ambisius, melihat kondisi ekonomi yang dihadapi sepanjang 12 bulan terakhir dan
kemungkinannya ke depan.
Defisit yang mengecil memang sesuai dengan tujuan mengelola APBN yang sustainable
(berkesinambungan), akibat keberatan utang. Namun, kombinasi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih
tinggi yaitu lima persen (tahun ini hanya 3,5 persen), mensyaratkan sumber pertumbuhan ekonomi bukan dari
APBN.
Logikanya adalah dari swasta, yang akan tergantung pada dua faktor, yaitu kondisi perbankan yang
membaik dalam penyaluran kreditnya, dan kepercayaan investor terutama asing yang meningkat yang akan
tercermin pada mengalirnya modal masuk ke Indonesia.
Bank akan mulai berani mengucurkan kredit bila situasi makro membaik (stabil dan masuk akal, tercermin
dengan suku bunga 14 persen dan inflasi delapan persen) dan restrukturisasi utang swasta dipercepat
dengan tetap menjaga kualitas restrukturisasinya yang tidak sekadar restrukturisasi kosmetik.
Pemodal asing akan masuk bila pancingan berhasil baik melalui penjualan aset Badan Penyehatan
Perbankan Nasional (BPPN) dan privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara mantap dan

1 of 3 19/04/2011 18:12
Mengelola APBN Sakit http://els.bappenas.go.id/upload/other/Mengelola APBN Sakit.htm

mendapat dukungan politis secara bulat.


Asumsi ini sungguh sejalan dengan target BPPN yang ditingkatkan cukup besar, yaitu penjualan aset Rp 35,5
trilyun dan penukaran obligasi dengan aset yang sudah direstrukturisasi sebesar Rp 7,5 trilyun. Sementara
itu, privatisasi akan tetap memakai target lama yang sudah dua tahun tidak pernah tercapai, yaitu Rp 6,5
trilyun. Tugas berat ini ada di pundak Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi.
Namun, ancaman inflasi sungguh sangat serius melalui tiga faktor. Pertama, skenario kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) 30 persen. Kedua, faktor nilai tukar yang masih sangat fluktuatif akibat tingkat risiko
utang pemerintah yang sangat berat. Serta ketiga, faktor kebijakan moneter yang tidak pasti, baik dalam
disiplin moneternya maupun karena faktor kepemimpinan Bank Indonesia yang masih mengalami krisis
berkepanjangan.
Inflasi barangkali akan meleset mendekati 10 persen dan suku bunga akan tetap berkisar di atas 15 persen.
Dengan kondisi itu, rasanya pertumbuhan ekonomi lima persen dapat dianggap terlalu ambisius, yang
kemungkinan akan meleset ke bawah menjadi sekitar empat persen. Kalau asumsi makro "hanya" akan
meleset seperti di atas, barangkali masih bisa dimaklumi dan tidak akan mengancam keseluruhan skenario
APBN.

***

ANALISA kedua mengenai APBN adalah pada aspek komposisi. APBN kita yang sakit keras terlihat pada
alokasi pengeluaran yang sangat besar untuk pembayaran utang pemerintah dan bunga yang mencapai Rp
128,5 trilyun (7,6 persen dari PDB) atau hampir 60 persen dari keseluruhan penerimaan pajak kita, dan 126
persen dari total pajak penghasilan yang akan dihimpun pemerintah.
Penyakit APBN lain terlihat pada beban subsidi yang akan diupayakan menurun 40 persen menjadi Rp 32,3
trilyun. Penurunan yang terutama diakibatkan perbaikan nilai tukar ini tetap akan mengharuskan kenaikan
harga BBM sebesar 30 persen, yang akan menjadi beban tak terhindarkan bagi masyarakat.
Beban ini pun sangat menyakitkan bila dibandingkan dengan pengeluaran pembangunan yang bertujuan untuk
stimulasi perekonomian yang sangat terbatas, dan dana kompensasi masyarakat miskin yang hanya mampu
disisihkan sebesar
Rp 2,2 trilyun.
Komposisi yang dirasakan tidak adil inilah yang sering disuarakan oleh banyak kalangan, baik yang secara
tulus maupun yang hanya ingin sekadar populer secara politis saja. Biasanya, yang menyuarakan secara
populis menggunakan logika dan analisa yang membingungkan atau bahkan tidak masuk akal.
Meskipun demikian, toh banyak media dan pihak yang senang memuat dan mendengar, karena masyarakat
yang kecewa memang tidak bisa berharap banyak dari APBN yang sakit ini.

***
UPAYA pemerintah untuk memperbaiki komposisi APBN agar makin adil dan sehat membutuhkan waktu.
Langkah yang ditempuh saat ini, yaitu mempercepat pengurangan beban utang dalam negeri memang cukup
baik dan masuk akal. Halangan paling serius adalah pada kemampuan pemerintah merealisasi target itu
(tergantung BPPN), maupun kesiapan infrastruktur (pasar sekunder obligasi maupun perangkat hukum,
peraturan, dan pengawasannya).
Upaya lain, yaitu penjadwalan utang luar negeri, akan ditempuh melalui mekanisme pertemuan Paris Club
untuk tahap ketiga. Hal ini akan mengandalkan modal politik Presiden Megawati yang didukung jajaran tim
ekonomi yang kredibel dan diterima oleh dunia internasional, sebagai jaminan pelaksanaan program ekonomi
yang baik. Sampai saat ini pintu untuk mencari pemotongan utang (debt relief) bagi Indonesia dapat
dikatakan tidak ada, seperti yang diisyaratkan oleh Jepang dan kalangan lembaga keuangan internasional
terutama Bank Dunia.
Kalau Indonesia dapat mengelola perekonomian secara baik yang didukung oleh harga migas yang
menggembirakan, ekspor terpelihara, dan pajak meningkat, serta kondisi politik yang juga baik, memang
dianggap akan mampu membayar kembali utang dan debt relief tidak diperlukan.
Anggapan ini memang masih bisa diperdebatkan, mengingat kondisi Indonesia saat ini makin mirip dengan
kondisi negara Amerika Latin yang kronis terlilit utang pada akhir 1980-an, yang sebagian akhirnya
mendapat debt relief seperti Meksiko dan Argentina terutama untuk menolong kondisi likuiditas dan
solvabilitas keuangan negaranya.
Aspek terakhir dalam analisa APBN adalah aspek insitusional. Hal ini mencakup baik hubungan pemerintah
dan DPR yang makin dinamis dan sering tidak mudah diprediksi hasilnya, yang menyebabkan persetujuan
dan pelaksanaan APBN sering tidak pasti.
Apakah DPR, setelah menyetujui RAPBN 2002, di tengah jalan punya hak veto terhadap keputusan

2 of 3 19/04/2011 18:12
Mengelola APBN Sakit http://els.bappenas.go.id/upload/other/Mengelola APBN Sakit.htm

pemerintah yang bertujuan menjalankan RAPBN tersebut?


Selama ini, kesepakatan itu tidak pernah dijabarkan dan dipegang bersama, sehingga DPR cenderung makin
terlibat pada proses pelaksanaan kebijakan (eksekutif). Hal ini sangat perlu dibicarakan bersama antara
pemerintah dan DPR untuk mendapatkan format interaksi yang paling optimal, sehat, dan efektif di antara
keduanya.
Aspek institusi lain meliputi jajaran birokrasi yang masih sangat kronis dililit korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), yang akan mengancam baik pada sisi penerimaan negara (kebocoran) maupun pada sisi
pengeluaran (misalokasi). Dan aspek institusi terakhir adalah pada koordinasi lintas departemen.
Jangan sampai koordinasi, baik pada formulasi kebijakan maupun pada saat eksekusi yang selama ini
sangat amburadul terulang kembali. Sudah mulai ada gejala beberapa menteri bicara tak terkoordinasi dan
tidak menggunakan kerangka kebijakan bersama, yang bisa dimaklumi dalam masa belajar tiga bulan ini.
Pada akhirnya anggota kabinet bukanlah pekerjaan individual, namun pekerjaan tim yang membutuhkan
kebersamaan dan saling percaya dan saling menghormati. Sudahkan mereka memiliki hal itu?
* Sri Mulyani Indrawati, ekonom, saat ini tinggal di Atlanta, AS .

3 of 3 19/04/2011 18:12

Anda mungkin juga menyukai