c
Dewasa ini bank sebagai lembaga penyimpan dan penyalur dana bukan lagi sesuatu yg
aneh di lingkungan kita ,dan perkembangan bank mengalami kemajuan yang pesat mulai dari
tabungan dan kebutuhan sehari-hari kita seperti kredit kepemilikan rumah (KPR) sampai
kendaran bermotor pun dapat kita peroleh dengan bantuan dari bank
Dan semenjak banyaknya bank konvensional yang sudah banyak sekali, munculah
sebuah jenis bank syariah yang sebenarnya bukan hal baru di dunia perbankkan karena sudah ada
sejak adanya perkembangan islam di dunia, dan sekarang masyarakatpun sudah tidak ³kaku´ lagi
dengan bank syariah
Disini identifikasi masalah yang ingin saya jelaskan sesuai dengan judul makalah ini
´prospek dan tantangan perbankan syariah di indonesia´ yang mungkin banyak dari kita belum
mengetahui tentang perkembangan perbankan syariah beserta tantangan yang harus dihadapi
kedepannya , Dikarenakan itu diperlukan penjelasan lebih lanjut tentang seluk-beluk
perkembangan perbankan syariah dan tantangannya agar kita bisa lebih dekat dan mengenal
kembali tentang perbankan syariah
Tujuan dibuatnya makalah ini selain untuk menyelesaikan tugas yang telah diberikan
oleh Dosen perbankan syariah ialah untuk mengajak kita agar bias memahami lebih lagi tentang
perkembangan perbankan syariah.
Selain itu saya pribadi inginkan makalah yang saya susun ini bisa menambah ilmi bagi
yang sudah membacanya dan bisa bermanfaat sebagai referensi juga
Metode yang saya pakai ini memakai data yang saya ambil dari berbagai sumber yaitu
dengan :
i Pustaka : dengan mengambil berbagai data yang diperoleh dari buku-buku yang saya
miliki dan juga membaca dari perpustakaan yang akan ada di daftar pustaka
i nternet : disini saya banyak menemukan data yang akurat dan spesifik sesuai dengan judul
makalah saya yang mengharuskan intens terhadap internet
c c
!
"#$#%
"#$#%
Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam,
karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan
fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank
simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963.
Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep
serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar
berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk
partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.
Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan
mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya
tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
slamic Development Bank (DB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-
negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi slam, walaupun utamanya bank tersebut
adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek
pembangunan di negara-negara anggotanya. DB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan
profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada
syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian
muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai slamic Bank (1975), Faisal slamic Bank of
Sudan (1977), Faisal slamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain slamic Bank (1979). Dia Asia-
Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di
Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu
mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
"#$#%
Di ndonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat ndonesia. Berdiri tahun
1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama ndonesia (MU) dan pemerintah serta dukungan
dari katan Cendekiawan Muslim ndonesia (CM) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini
sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. DB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada
periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. .Saat ini keberadaan bank syariah di
ndonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Bank umum pertama yang menggunakan sistem syariah di ndonesia yaitu PT Bank
Muamalat ndonesia (BM) yang mulai beroperasi pada 1992. Perkembangan bisnis bank syariah
berlangsung lambat, sampai dengan lima tahun kedepan belum ada pertambahan bank baru. BM
masih menjadi satu-satunya bank syariah.
Baru pada 1998 pasar bank syariah mulai diramaikan dengan hadirnya PT. Bank Syariah
Mandiri (BSM) anak perusahaan Bank Mandiri, bank BUMN terbesar di ndonesia. Selanjutnya
menyusul kemunculan PT. Bank Mega Syariah pada 2001. Memasuki tahun 2009 ini ada dua
bank baru memasuki pasar perbankan syariah yaitu PT. Bank Bukopin Syariah dan PT. BR
Syariah.
Saat ini, jumlah BUS yang beroperasi menjadi 5 bank yaitu Bank Muamalat ndonesia,
Bank Syariah Mandiri, Bank Mega Syariah, Bank Bukopin Syariah dan Bank BR Syariah. Bank
umum syariah (BUS) menerapkan sistem independent pada sistem perbankan syariahnya.
Sementara itu jumlah kantor bank syariah saat ini tercatat sebanyak 908 kantor ditambah
channeling sebanyak 1.452 kantor. Bank Syariah diperbolehkan untuk mendirikan unit pelayanan
dalam satu wilayah kantor Bank ndonesia atau satu provinsi. Dengan ini diharapkan terjadi
proses efisiensi dan penyederhanaan skala jaringan kantor bank syariah. Misalnya BPD Jabar
yang telah memiliki kantor cabang di Jakarta, maka akan dapat mendirikan kantor cabang
pembantu syariah di wilayah seluruh Jakarta yang melayani penyaluran pembiayaan dan
tabungan.
c c
c &
$
#%
Perkembangan bank syariah mulai terasa sejak dilakukan amandemen terhadap UU No. 7/1992
menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan landasan operasi yang lebih jelas bagi bank syariah. Sebagai
tindak lanjut UU tersebut, Bank ndonesia (B) mulai memberikan perhatian lebih serius terhadap
pengembangan perbankan syariah, yaitu membentuk satuan kerja khusus pada April 1999. Satuan kerja
khusus ini menangani penelitian dan pengembangan bank syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan
Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal bakal bagi
Biro Perbankan Syariah yang dibentuk pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi menjadi Direktorat
Perbankan Syariah Bank ndonesia sejak Agustus 2003. Dengan semakin banyakya jumlah bank syariah,
struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli menjadi oligopoly, yang menyebabkan semakin
tingginya tingkat persaingan diantara bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing dengan bank
konvensional, bank inipun merubah strateginya. Sampai dengan Desember 2003 pemain dalam industri
perbankan syariah terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8 unit usaha syariah (UUS) dari bank
umum konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor
Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah pemain dalam
industri perbankan syariah terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan akhir tahun 1998 yang hanya
berjumlah 1 BUS dengan 8 KCS dan 78 BPRS. Sampai dengan bulan Maret 2004, pemain dalam industri
perbankan syariah terdiri dari 2 BUS dan 11 UUS dari BUK. BUS dan UUS yang sudah ada saat ini
adalah Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Rakyat ndonesia Syariah, BN Syariah, Bank
Danamon Syariah, Bank F Syariah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syariah, Bank
nternational ndonesia Syariah, HSBC, Ltd dan Bank DK (Maret 2004).
Pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah di tahun depan tidak bisa dilepaskan dari
kondisi makroekonomi ndonesia. Kondisi makroekonomi ndonesia tersebut tentu berdampak
kepada industri perbankan syariah. Karena itu, di awal tulisan ini perlu dipaparkan prospek
kondisi makroekonomi ndonesioa pada 2008.
Pertumbuhan ekonomi ndonesia pada tahun 2008 diperkirakan akan tumbuh sebesar 6,5 %
sejalan dengan membaiknya investasi swasta, pulihnya daya beli masyarakat seiring dengan
menurunnya tingkat suku bunga di semester kedua tahun 2007 dan tetap terjaganya inflasi
pada kisaran 6 ± 7 %. Sedangkan prospek pencapaian inflasi untuk tahun 2008 diperkirakan
lebih rendah dari tahun 2007, yaitu berada di kisaran 5,1 % yang didukung oleh tetap
terkendalinya permintaan dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah.
Pertumbuhan ekonomi secara umum akan mempengaruhi pendapatan masyarakat dan
kemampuannya dalam melakukan konsumsi dan saving (tabungan). Pada saat yang sama
kapasitas perbankan untuk melakukan pembiayaan sector riil banyak dipengaruhi oleh
besarnya dana masyakat dalam bentuk tabungan tadi. Dengan demikian, pertumbuhan
ekonomi nasional memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan perbankan syariah.
Menurunnya tekanan inflasi dan menguatnya nilai tukar rupiah sepanjang tahun 2007, memberi
ruang bagi Bank ndonesia untuk secara gradual menurunkan B rate dalam rangka mendorong
aktivitas sector riil. Bagi sector perbankan, hal itu mengisyaratkan prospek yang positif untuk
menggairahkan sector riil. Kondisi ini merupakan peluang untuk mendorong ekspansi
pembiayaan ke sector riil dan meningkatklan FDR lembaga perbankan.
Prospek Perbankan Syariah 2008
Berdasarkan prospek kondisi makroekonomi ndonesia tahun 2008, maka dapat diprediksikan
pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun depan masih akan menikmati high-growth
(pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara
nasional.
ndustri perbankan syariah ndonesia sebagai bagian dari system perbankan nasional,
diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat.
Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga), jumlah pembiayaan,
pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah sector perekonomian yang dibiayai.
Selain dukungan kondisif makro ekonomi yang masih kondusif, faktor mikro dalam industri
perbankan dan keuangan syariah juga akan mempengaruhi percepatan perkembangan industri
perbankan syariah meliputi ; pertama, rencana pembukaan bank-bank syariah baru, kedua,
optimalisasi kapasitas usaha dari bank syariah; dan ketiga, dukungan lingkungan keuangan
syariah nasional.
Pada tahun 2008 nanti beberapa rencana pembukaan bank syariah baru berupa BUS (Bank
Umum Syariah) atau UUS (Unit Usaha Syariah) akan segera terealisasi, baik melalui proses
spin-off maupun proses akuisisi. Selain itu, diharapkan UUS yang ada mampu memaksimalkan
#
"#' "
(
)#%
D
DD
D
D
D
D
DDD DD DD DD
(
#
HO : å
SBU :
BO :
SBO :
CO :
Minat investor untuk membuka kantor bank syariah tidak hanya terbatas di pulau
Jawa tetapi juga telah menyebar ke pulau lainnya, antara lain: Sumatera (Banda Aceh,
Medan, Padang, Palembang dan Pekanbaru); Kalimantan (Balikpapan dan
Banjarmasin); Sulawesi (Makasar); Madura (Pamekasan); dan rian Jaya (Jayapura).
Dengan perkembangan terakhir tersebut jaringan perbankan syariah telah meliputi 18
propinsi. Selain itu, pada saat ini terdapat sejumlah BUK yang sedang dalam proses
untuk membuka UUS, yakni Bank Syariah ndonesia (Bank Tugu), Bank Central Asia
(BCA), Bank Sumut, Bank Tabungan Negara, Bank Niaga, Bank Riau, Bank Permata,
Bank CC, Bank Bumiputera, dan Bank Kalsel.
Pada 2004, diperkirakan akan terdapat 10 bank lagi yang akan menawarkan jasa
perbankan syariah. ni artinya, pencapaian jumlah perbankan syariah selama 12 tahun
di masa sebelumnya (1992-2003) yang mencapai 10 bank, dapat dicapai hanya dengan
waktu 12 bulan di tahun 2004. Hal ini merupakan sebuah fenomena menarik bagi
industri perbankan khususnya pada perbankan syariah.
$#%
Persaingan antar bank syariah, dan antara bank syariah dengan bank konvensional
tidak lepas dari segmentasi yang ada di pasar perbankan di ndonesia. Segmentasi
pasar perbankan dapat dibagi menjadi 3 segmen, yaitu segmen l, segmen
dan semen
. Segmentasi ini berlaku baik untuk pasar
pembiayaan maupun pasar pendanaan.
"
"
#
( *
+ ,
- ! &
Dari segi pasar pembiayaan, perbedaan ketiga segmen ini terletak pada pandangannya terhadap biaya
yang harus dibayar oleh nasabah suatu bank (pasar pembiayaan) atau penghasilan yang diterima (pasar
pendanaan). Segmen konvensional akan memilih bunga karena bunga dianggap mencerminkan yang
menguntungkan dari segi pembiayaan atau
yang menguntungkan dari segi pendanaan.
Sedangkan segmen
akan memilih bank syariah, walaupun selisih
bank
syariah berada 1-2 % diatas bunga bank konvensional/Lembaga Keuangan Bukan Bank (NBF) dari segi
pembiayaan, dan 1-2% lebih rendah dari segi pendanaan. Sebaliknya, segmen akan
cenderung memilih biaya yang paling rendah atau return yang paling tinggi. Pemilihan bank syariah akan
terjadi apabila selisih
bank syariah lebih kecil atau lebih besar 2-3% dari bank konvensional atau
Lembaga Keuangan Bukan Bank. Dari segi
, segmen terbesar justru terdapat pada segmen
. Sebaliknya segmen terkecil terdapat pada segmen
. Menurut estimasi
KARM Business Consulting (2003), pangsa pasar segmen diperkirakan mencapai Rp 720
triliun. Sedangkan dan segmen
masing-masing mencapai Rp 240
triliun dan Rp 10 triliun. Disamping
yang sangat besar dari segmen , sesuai
namanya, segmen ini mencerminkan suatu segmen yang memiliki perilaku yang dapat bergerak ke posisi
memilih produk-produk bank konvensional atau memilih produkproduk bank syariah. Akibatnya, suatu
bank yang menyediakan jasa bank konvensional dapat kehilangan nasabah bila tidak mampu
menyediakan jasa bank syariah. Segmen
, disisi lain, mencerminkan suatu segmen yang
anti terhadap pelayanan bank konvensional. Sikap ini disebabkan pandangan bahwa bunga sama dengan
riba (haram atau terlarang). Akibatnya, bank konvensional akan sulit mempenetrasi segmen ini. Dalam
realitanya, bank-bank syariah yang merupakan bagian dari
(merupakan Unit Usaha
Syariah dalam suatu bank konvensional) juga akan mengalami kesulitan mempenetrasi segmen ini karena
pandangan segmen ini yang cenderung mencari
dari simpanannya yang ³benarbenar halal´.
Segmen ini tampaknya lebih mudah menjadi target pasar dari bank-bank syariah yang berdiri sendiri
seperti Bank Muamalat ndonesia dan Bank Syariah Mandiri.
. /
#%
barat mobil, bank syariah memulai debutnya di awal 2004 dengan kecepatan tinggi. Layaknya sebuah
mobil, gejala kepanasan mesin (
) juga dialami perekonomian termasuk perbankan syariah
Dalam konteks ekonomi makro,
ditandai dengan laju inflasi yang cepat melebihi laju
pertumbuhan ekonomi, sehingga secara riil pertumbuhan malah mengalami pertumbuhan negatif. Dalam
konteks bank syariah,
ditandai dengan pertumbuhan yang cepat, naiknya pembiayaan
bermasalah, dan turunnya bagi hasil kepada nasabah dana pihak ketiga (DPK). Pada tingkat yang parah
mempunyai dampak seperti terjangkiT penyakit demam berdarah yakni panas tinggi diikuti
dengan pendarahan ( ). 5 Dalam konteks perbankan konvensional, terjadi ketika
pendapatan bunga lebihkecil daripada biaya bunga. Sedangkan dalam konteks perbankan syariah,
terjadi ketika pendapatan pembiayaan lebih kecil daripada biaya
.
Ada dua cara mengatasi
, yakni memperlambat laju pertumbuhan atau mempersiapkan sistem
untuk tumbuh dengan cepat.. Pilihan pertama tentu tidak diinginkan oleh siapapun, mulai dari B, pelaku
ekonomi, masyarakat luas, maupun MU. Pilihan kedua yang harus sama-sama kita rumuskan. Sistem
prosedur yang handal,sumberdaya manusia berkualitas tinggi, dan sistem pengawasan khusus diperlukan
untuk terus berkembang secara fantastis.
Tingkat pembiayaan bermasalah perbankan syariah memang hanya separuh dibandingkan
perbankan konvensional. Namun bila dilihat pergerakannya rasanya ini saat yang tepat untuk mencegah
keadaan yang lebih buruk. Secara persentase nilainya relatif stabil, 4,12% (Des 2002), 3,96% (Mar 2003),
3,93% (Jun 2003), 3,96% (Sep 2003), 3,67% (Oct 2003), 3,39% (Nov 2003). Dalam keadaan pembiayaan
bertumbuh demikian cepat, stabilnya angka ini bukan merupakan suatu yang menggembirakan; bila
pembagi bertambah besar, dan hasilnya sama, itu berarti yang dibagi pun bertambah secepat pembaginya.
Secara nominal pembiayaan macet naik dari bulan ke bulan dari Rp 53 miliar (Desember 2002) menjadi
Rp 71 miliar (November 2003). Pada kurun waktu yang sama, pembiayaan kurang lancar naik dari Rp 51
miliar menjadi Rp 84 miliar, pembiayaan dalam perhatian khusus naik dari Rp119 miliar menjadi Rp 344
miliar.
Lonjakan DPK membuat bank-bank syariah kelebihan likuiditas, yang terlihat jelas dari naiknya
jumlah dana bank syariah yang ditempatkan pada Sertifikat Wadiah Bank ndonesia (SWB). Pada saat
yang bersamaan tugas Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selesai. Dengan selesainya tugas
BPPN, ratusan ribu asset yang semula di BPPN kembali ke pasar, sekarang dapat di restrukturisasi, di
biayai ulang, dan aktif kembali. Tersedianya kelebihan likuiditas dan tersedianya asset ex BPPN yang
siap dibiayai dapat jadi campuran kimia yang pas untuk menggenjot pertumbuhan pembiayaan. nilah
urgensi tulisan ini. Prinsip kehati-hatian dalam pemberian pembiayaan harus diutamakan daripada
memproduktifkan dana yang tersimpan di SWB. Bukankah kaidah fikih mengatakan
(mendahulukan mencegah mudarat lebih utama daripada mencari
manfaat).
Pilihan kedua adalah dengan membeli obligasi syariah maupun
(MTN)
syariah yang semakin marak. Dari aspek kesyariahan tentu maraknya instrument ini patut disyukuri.
Namun hal itu jangan sampai melupakan konsekuensi risiko dari suatu obligasi korporasi, dalam hal ini
rating yang didapatkannya dari Pefindo 6 (Pemeringkat Efek ndonesia). Saat ini, belum semua dari 6
obligasi syariah dan 1 MTN syariah yang diterbitkan, yang menyandang rating minimal A-. Meskipun
kita sama tahu untuk investment grade (layak investasi) tidak perlu A-. Walaupun risiko gagal bayar
memang baru akan muncul 5-7 tahun kemudian, namun setidaknya hal ini patut dicermati secara seksama.
Bagi hasil DPK bank-bank syariah memang lebih tinggi daripada suku bunga. Ketika suku bunga (saat
ini) sekitar 6%, bagi hasil dapat mencapai 9%. Di satu sisi tentu ini menggembirakan. Di sisi lain, hal ini
juga harus dicermati terutama penurunan bagi hasilnya. Dalam bank syariah, bagi hasil DPK merupakan
refleksi langsung pendapatan pembiayaan sehingga merupakan refleksi tidak langsung kualitas
pembiayaan. Pada perbankan konvensional, bunga ditentukan dalam rapat ALCO ( !
) yang tidak merefleksikan langsung kinerja di sisi asset. Sehingga bila sekarang bunga 6%,
bulan depan dapat saja meningkat menjadi 7%, 8%, atau bahkan 9% tanpa perlu adanya perbaikan kinerja
kredit. Tidak demikian halnya di bank syariah,apalagi kalau kita mengetahui bahwa 72% pembiayaan
yang disalurkan perbankan syariah adalah murabahah (pembiayaan jual beli dengan cicilan tetap) yang
secara teoritis akan memberikan tingkat
pendapatan yang tetap. Bila kemudian bagi hasil
DPK menurun, maka ada dua kemungkinan. Pertama, bank syariah menurunkan nisbah bagi hasil
nasabah. Kedua, kinerja pembiayaan memburuk. Untuk yang pertama, tentunya bank syariah harus
meminta kesepakatan nasabah akan nisbah baru tersebut. Penurunan nisbah tanpa kesepakatan nasabah,
tentu menyalahi syariah. Untuk yang kedua, patut dicermati dengan lebih hati-hati. Pada aspek
pengawasan syariah, sungguh tidak mudah untuk bertanggung jawab atas pengawasan syariah mengingat
demikian kompleksnya transaksi perbankan.
Menimpakan beban berat ini hanya kepada Dewan Pengawas Syariah (DPS) bukanlah
cara yang realistis. Pengawasan syariah sepatutnya merupakan tanggung jawab bersama semua
. Selain DPS yang bertanggung jawab pada aspek syariahnya, untuk aspek
operasional pengawasan syariah paling tidak harus dilakukan oleh audit internal bank, direktur
kepatuhan, bahkan komisaris harus ikut menjaga kepatuhan syariah. Audit ekstern yang
dilakukan oleh kantor akuntan publik juga tidak boleh melewatkan begitu saja adanya
pelanggaran atas kepatuhan syariah. Dan tentunya B bertanggung jawab sebagai otoritas
perbankan. Semua institusi ini sesuai kompetensi dan wewenangnya masing-masing harus bahu
membahu menjalankan fungsi pengawasan syariah.
Pertemuan puncak Sidang Umum "#
(FSB) yang baru
berakhir pada 3 April lalu di Bali yang dihadiri delegasi bank sentral yang di negaranya
memiliki perbankan syariah, juga dihadiri oleh MF, Bank Dunia, dan tentunya DB,
membahas harmonisasi regulasi perbankan syariah secara internasional. Hal ini untuk
mengantisipasi perkembangan perbankan syariah yang semakin fenomenal.
Menurut Gubernur Bank ndonesia yang ditunjuk sebagai Ketua FSB, ada tiga level
regulasi perbankan syariah.
, level nasional dimana peran dewan syariah di
masing-masing negara sangat penting dalam menetapkan aspek syariahnya. $ ,
level infrastruktur, dimana FSB dan
"
#"(AAOF) lah yang berperan. Ketiga, level international dimana
diharapkan adanya dewan syariah internasional yang dapat berperan mengharmonisasi berbagai
opini syariah di masing-masing negara. Dengan kata lain, peran Dewan Syariah dalam mengawal
perbankan syariah agar tetap bergerak dalam koridor syariah dirasakan sangat penting, baik di
level nasional maupun internasional. PP no.72/ 1992 menjelaskan bahwa ³Kedudukan Dewan
Pengawas Syariah dalam organisasi bank bersifat % dan
% dari kepengurusan
bank sehingga tidak mempunyai akses terhadap operasional bank. Dewan Pengawas Syariah
mempunyai tugas menentukan boleh tidaknya suatu produk / jasa dipasarkan atau suatu kegiatan
dilakukan, ditinjau dari sudut syari¶at. Oleh karena itu anggota-anggota Dewan Pengawas
Syariah harus memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai syari¶at´.
&Aturan inilah yang juga diadopsi olehAAOF lima tahun
kemudian tepatnya pada meeting ke 13 tanggal 15-16 Juni1997.
AAOF menegaskan ³
%
% %
´. Keterpisahan dewan ini dari kepengurusan bank juga diadopsi
oleh AAOF yang secara eksplisit menyebutkan ³
%
´.
Dibandingkan dengan bank sentral lain, kinerja B dalam mengeluarkan regulasi perbankan
syariah patut diacungi jempol. Dalam periode yang relatif singkat produktifitas B dapat
dikatakan yang tertinggi. Berbagai PB tentang bank syariah telaH diterbitkan, juga regulasi
lainnya seperti Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no.59 tentang Akuntansi
Perbankan Syariah yang dikeluarkan bersama katanAkuntansi ndonesia (A), dan di review
oleh DSN MU. Terbitnya PSAK 59 menunjukkan adanya kerjasama yang baik antara ketiga
lembaga tersebut.
c c*
(0
Dari pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perbankan syariah saat ini bukan
merupakan tandingan atau rival bagi bank konvensional tetapi sebagai patner yang saling
melengkapi satu sama lain
Meskipun dalam segi jumlah bank syariah tidak menyamai bank konvensional tetapi
dalam segi pertumbuhan bank syariah sangatlah pesat dan menguntungkan dalam segi
profit,nasabah,pelayanan,produk bank syariah,dan lain-lain