Anda di halaman 1dari 4

Ada Apa di Balik Film “?


By
webmaster
Published: 17/04/2011Posted in: Buletin Al-Balagh, IbadahTags:

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” QS.
ash-Shaff (61) : 8

Sudah menjadi Sunnatullah, musuh-musuh Islam akan senantiasa melakukan berbagai upaya
untuk merusak Islam. Hal ini telah disinggung oleh Allah dalam ayat-ayat Al-Qur’an (QS Ash
Shaf :9,QS At Taubah:32). Ayat di atas mengabarkan bahwa mereka hendak memadamkan
cahaya Islam dengan bermacam cara dan sarana. Akhir-akhir ini makar dan tipudaya untuk
merusak Islam semakin halus dan terselubung. Kalau dahulu mereka menodai Islam melalui
ceramah, buku-buku, jurnal ilmiyah, maka saat ini mereka menodai kesucian Islam melalui dunia
hiburan dan perfilman. Mereka juga memanfaatkan orang-orang Islam yang miskin iman dan
ilmu untuk merusak Islam dari dalam.

Salah satu contoh dan bukti yang dapat dikemukakan untuk pernyataan di atas adalah  Sebuah
film berjudul “?” (baca: Tanda Tanya) garapan Hanung Bramantyo.

Setelah berhasil mencitraburukkan pesantren melalui film “Perempuan Berkalung Surban” (PBS)
sutradara muda  yang katanya produktif (produktif merusak Islam) ini kembali berulah.Dia
kembali melakukan pembusukkan terhadap Islam melalui film “?”. Ada apa sebenarnya dibalik
film “?” ini?

Murtad Perkara Biasa


Film ini berusaha menggiring penonton kepada pemahaman bahwa murtad adalah sesuatu yang
biasa. Hal ini nampak jelas dalam salah satu adegan ‘murtad’ yang diperankan oleh tokoh Rika.
Rika  yang semula beragama Islam pindah agama (murtad) menjadi penganut kristen Katolik
karena kecewa terhadap suaminya. Kisah dan sosok Rika cukup mendominasi alur cerita dalam
film “?” ini.  Rika tidak dipersoalkan kemurtadannya.  Padahal, dalam pandangan Islam, murtad
adalah kesalahan besar.

Masalah kemurtadan ini senantiasa mendapatkan perhatian serius dari setiap Muslim, sebab ini
sudah menyangkut aspek yang sangat mendasar dalam pandangan Islam, yaitu masalah iman.
Dalam pandangan Islam, murtad (batalnya keimanan) seseorang, bukanlah hal yang kecil. Jika
iman batal, maka hilanglah pondasi keislamannya. Banyak ayat al-Quran yang menyebutkan
bahaya dan resiko pemurtadan bagi seorang Muslim.

“Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka
mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni
neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah : 217).

Jadi, riddah/kemurtadan adalah masalah besar dalam pandangan Islam. Tindakan murtad bukan
untuk dipertontonkan dan dibangga-banggakan! Dalam perspektif Islam, patutkah seorang
bangga dengan kekafirannya?

Menyebar Kebencian
Hanung tampak sekali gagal membaca kegundahan mayoritas pemeluk agama di Indonesia,
dimana umat Islam sesungguhnya menjadi korban terorisme. Kacamata Hanung dalam
memandang konflik teroris, tampaknya sangat dangkal dan menjijikkan–mungkin kurang bahan
bacaan atau hanya mengamini bisikan pihak tak bertanggungjawab. Terlihat di awal film,
Hanung sengaja membuka adegan ngawur dengan olok-olokan antara warga etnis China dengan
Jamaah Masjid. Mana mungkin etnis China dengan teriakan sedemikian keras di depan ratusan
warga, menuduh Jamaah Masjid sebagai teroris! Kalau film ini hanya ditonton oleh Hanung dan
kru-nya saja, saya kira tidak ada masalah. Namun ketika film ini ditonton oleh segala umur,
segala agama, segala etnis, bukankah ini Hanung bisa dituduh sebagai penyebar kebencian
melalui produk seni?

Yang sangat menyakitkan, olok-olok “Dasar Chino” yang diumpatkan Jamaah Masjid melalui
logat Semarang yang kental kepada warga China di film itu juga sangat dipaksakan, karena olok-
olokan semacam itu hanya pantas dilakukan oleh para tukang mabuk dan  kumpulan orang yang
mungkin sudah sangat akrab, bukan dalam kondisi serius seperti dalam film “?”. Kata-kata
umpatan ‘Asu (baca: Anjing)’ pada beberapa kali adegan,  tampak ngawur dan dilakukan secara
sarkastis. Kalaupun itu pernah terjadi di sebuah sudut kecil di Semarang, tak elok rasanya
diangkat ke layar lebar karena tidak sebanding dengan manfaatnya. Kalau boleh saya sebut,
untuk membuat film seburuk ini, tak perlu menggunakan sutradara besar lulusan IKJ. Sampai di
sini, Hanung saya kira sudah tidak sepantasnya melanjutkan film ini.

Sayangnya, adegan-adegan tolol, terus diblow-up, dimana umpatan-umpatan-umpatan itu justru


digambarkan berasal dari mulut jamaah yang sedang menuju masjid lengkap dengan baju
muslimnya. Sungguh ini hinaan paling dramatis dari sebuah film yang diproduksi perusahaan
dalam negeri sendiri. Kita pantas curiga, ada apa dengan  dengan LSF (Lembaga Sensor Film)
kok bisa meloloskan film sarkas dan rasialis seperti itu? Jangan-jangan Hanung menyuap LSF.
Menyebarkan Pluralisme
Sangat mudah sebenarnya menyimpulkan misi utama film ini. film ini membawa satu pesan
utama: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak
menuju Tuhan yang sama.  Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama
boleh ditukar dan — kalau perlu — dibuang kapan saja!  Katanya, demi kerukunan, demi
toleransi, dan demi perdamaian. Hal ini  nampak pada salah satu  segmen film ini, secara
verbatim  seorang tokoh Rika yang murtad  mengatakan,  Bahwa  agama-agama ibarat jalan
setapak yang berbeda-beda tetapi menuju tujuan yang sama, yaitu Tuhan.  Kata Rika mengutip
ungkapan sebuah buku,  “… semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke  arah yang
sama; mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”

Jadi tidak sulit untuk menyimpulkan, Film  ini secara vulgar sedang   mengkampanyekan
pluralisme agama, salah satu paham syirik modern yang bertentangan dengan Islam. Bahkan
Majelis Ulama Indonesia telah memfatwakan haramnya paham yang diusung oleh para aktivs
JIL tersebut . Pluralisme by defenition ; suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama
adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relative; oleh sebab itu, setiap
pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan
agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk
dan hidup dan berdampingan di surga. Nah, Film “?” ini membawa pesan besar yang terlalu
jelas: agama apa saja, sebenarnya sama saja! Agama-agama dipandang sebagai jalan setapak
menuju Tuhan yang sama.  Juga, agama-agama dianggap barang remeh; laksana baju, agama
boleh ditukar dan –kalau perlu– dibuang kapan saja!  Katanya, demi kerukunan, demi toleransi,
dan demi perdamaian.

Pluralisme Agama didasarkan pada satu asumsi bahwa semua agama adalah jalan yang sama-
sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah
jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau, mereka menyatakan, bahwa agama
adalah persepsi manusia yang relatif terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga –karena
kerelativannya– maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim atau meyakini, bahwa
agamanya lebih benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya
sendiri yang benar. (DR. Adian Husaini: artikel “Pluralisme agama: Parasit bagi agama-agama”)

DR. Syamsuddin Arif menyebutkan bahwa bagi kaum pluralis, pluralisme agama tidak sekadar
mengakui keberadaan berbagai agama, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran
yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan
kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan. (DR.
Syamsudin Arif: “Orientalis & Diabolisme Pemikiran”). Nah, sekali lagi inilah sesungguhnya
pesan yang terselip dalam sepanjang adegan dan dialog film ini.

Paham pluralisme agama sebenarnya secara tidak langsung  memaksa manusia untuk tidak yakin
dengan agamanya, dan melarang meyakini bahwa agamanya sebagai ajaran  yang paling benar.
Lalu  apa gunanya beragama? Oleh sebab itu, Jika direnungkan secara serius, Pluralisme
sejatinya bisa begitu dekat dengan Atheisme. Ketika orang menyatakan, “semua agama benar”,
sejatinya bersemayam juga satu ide  dalam dirinya, bahwa “semua agama salah”.  Sebab,
“Tuhan” (God), yang dipersepsikan kaum Pluralis adalah Tuhan yang abstrak. Tuhan kaum
Pluralis adalah Tuhan dalam angan-angan, yang boleh diberi nama siapa saja, diberi sifat apa
saja, dan cara menyembahnya pun boleh suka-suka. Kapan suka disembah, kapan-kapan tidak
suka, bisa diganti dengan Tuhan lain. Cara menyembah Tuhan, menurut mereka, juga sesuka
selera manusia. Bosan dengan cara satu, bisa diganti dengan cara lain. Sebab, dalam konsep
mereka, tidak ada satu cara yang pasti benar dalam ibadah, sesuai petunjuk seorang Nabi.

Wahai Ummat Islam


Di era globalisasi dan kebebasan informasi, saat kemusyrikan dan kemurtadan ditampilkan
dalam wujud  yang menawan dan menghibur,  ada baiknya kita merenungkan satu ayat al-Quran:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis)
manusia dan setan (dari jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian lainnya
perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu.” (QS 6:112)

Juga, Nabi Muhammad shallallaahu a’laihi wa sallam pernah bersabda:

“Bersegaralah mengerjakan amal shalih, (sebab) akan datang banyak fitnah laksana malam yang
gelap gulita. Pada pagi hari, seseorang berada dalam keadaan mukmin, tetapi sore harinya
menjadi kafir. (Atau) sore harinya dia mukmin, pagi harinya menjadi kafir. Dia menjual
agamanya dengan harta-benda dunia.” (HR Muslim).

Wallaahu waliyyuttaufiq.

(dari berbagai sumber).

Anda mungkin juga menyukai