Hampir 3 juta wanita melahirkan per vaginam setiap tahunnya di Amerika Serikat,
dan kebanyakan dari mereka mengalami trauma pada traktus genital akibat episiotomi,
laserasi obstetrik spontan, atau keduanya. Data lebih dari 25 tahun menunjukkan angka
kejadian dilakukan episiotomi menurun, namun laserasi obstetrik secara gradual meningkat.
Menurunkan trauma traktus genital pada waktu melahirkan merupakan prioritas untuk
seorang ibu. Trauma seperti itu bisa menimbulkan masalah jangka pendek dan jangka
panjang untuk ibu baru. Masalah jangka pendek meliputi hilangnya darah, kebutuhan
penjahitan, dan nyeri perineum. Sedangkan, masalah jangka panjang meliputi nyeri
berkepanjangan dan gangguan fungsional seperti masalah intestinal, urinarius, dan seksual.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat pembukaan
serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi, robekan spontan
perineum, trauma forseps atau vakum ekstraksi, atau karena versi ekstraksi. Robekan yang
terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan perineum spontan derajat ringan
sampai ruptur perinei totalis, robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah
sekitar klitoris, uretra, dan bahkan yang terberat adalah ruptura uteri. Oleh karena itu, pada
setiap persalinan hendaknya dilakukan inspeksi yang teliti untuk mencari adanya
kemungkinan robekan ini. Perdarahan yang terjadisaat kontraksi uterus baik, biasanya, karena
ada robekan atau sisa plasenta. Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara melakukan inspeksi
pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai spekulum untuk mencari sumber
perdarahan dengan ciri warna merah segar.
Postrepair, stool softeners should be prescribed for a week, and enemas should be avoided.
Prophylactic antimicrobials should be considered, as described by Goldaber and colleagues
(1993). Unfortunately, normal function is not always assured even with correct and complete
surgical repair. Some women may experience continuing fecal incontinence caused by injury
to the innervation of the pelvic floor musculature (Roberts and co-workers, 1990).
A. ROBEKAN PERINEUM
Ada beberapa penyebab robekan pada perineum, antara lain :
1. Kepala janin terlalu cepat lahir
2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4. Pada persalinan dengan distosia bahu.
• Laserasi derajat II melibatkan fascia dan otot (muskulus perinei transversalis) dari
badan perineum tapi tidak mengenai sfinkter anus. Robekan ini biasanya melebar ke
atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga yang ireguler.
Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II atau III, jika
dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir yang bergerigi
tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan
masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan
rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot dijahit dengan catgut.
Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau kontinu.
Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum
dijahit dengan benang sutera secara interuptus.
• Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan perineum,
dan melibatkan sfinkter anus. Sama seperti teknik menjadi pada laserasi derajat 2,
namun otot-oto levator ani dijahit terlebih dahulu dengan jahitan interuptus.
• Laserasi derajat IV meluas sampai mukosa rektum sampai ke lumen rektum. Robekan
di daerah uretra dengan perdarahan hebat bisa menyertai laserasi tipe ini. Teknik
menjahit : Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia
perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga
bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan
dikelm dengan klem Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik
sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti
menjahit robekan perineum tingkat II.
Dari penelitian yang ada, insidensi robekan jalan lahir pada proses persalinan spontan per
vaginam yang pertama adalah sebagai berikut.
– Tidak ada robekan jalan lahir (50,2%)
– Robekan jalan lahir derajat I (18,8%)
– Robekan jalan lahir derajat II (29%)
– Robekan jalan lahir derajat III (1,3%)
– Robekan jalan lahir derajat IV (0,7%)
Sedangkan , insidensi robekan jalan lahir pada persalinan spontan per vaginam kedua atau
lebih, sebagai berikut :
– Tidak mengalami robekan jalan lahir (64%)
– Robekan jalan lahir derajat I (26,2%)
– Robekan jalan lahir derajat II (9,4%)
– Robekan jalan lahir derajat III (0,3%)
– Robekan jalan lahir derajat IV (0,1%)
A. ROBEKAN VULVA
Perlukaan vulva sering terjadi pada waktu persalinan. Jika diperiksa dengan
cermat, akan sering terlihat robekan-robekan kecil pada labium minus, vestibulum, atau
bagian belakang vulva. Jika robekan atau lecet hanya kecil dan tidak menimbulkan
perdarahan banyak, tidak perlu dilakukan tindakan apa-apa. Tetapi jika luka robek agak
besar dan banyak berdarah, lebih-lebih jika robekan terjadi pada pembuluh darah di
daerah klitoris, perlu dilakukan penghentian perdarahan dan penjahitan luka robekan.
Lukoa robekan dijahit dengan catgut secara interuptus ataupun kontinu. Jika luka robekan
terdapat di sekitar orifisium uretra atau diduga mengenai vesika urinaria, sebaiknya
sebelum dilakukan penjahitan, dipasang dulu kateter tetap.
Penanganan
Pada luka robek yang kecil dan superfisialis, tidak diperlukan penanganan khusus.
Pada luka robek yang lebar dan dalam, perlu dilakukan penjahitan secara interuptus atau
kontinu. Biasanya robekan pada vagina sering diiringi dengan robekan pada vulva
maupun perineum. Jika robekan mengenai puncak vagina, robekan ini dapat melebar ke
arah rongga panggul, sehingga kavum Douglas menjadi terbuka. Keadaan ini disebut
kolporeksis. Kolporeksis adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan pada vagina
bagian atas sehingga sebagian serviks uteri dan sebagian uterus terlepas dari vagina.
Robekan ini dapat memanjang atau melintang. Penyebabnya antara lain :
1. Pada partus dengan CPD (Cephalo-Pelvic Disproportion). Apabila segmen bawah
rahim tidak terfiksir antara kepala janin dan tulang panggul, maka tarikan regangan
ini sudah melewati kekuatan jaringan, akan terjadi robekan pada vagina bagian atas.
2. trauma sewaktu mengeluarkan plasenta secara manual. Dalam hal ini tangan tidak
masuk ke kavum uteri tetapi menembus forniks posterior, sehingga kavum Douglassi
menjadi terbuka.
3. Pada waktu melakukan koitus yang kasar disertai dengan kekerasan.
Selain itu, robekan pada vagina bisa menimbulkan fistula vesikovaginal. Fistulai ini
bisa terjadi karena :
1. Trauma, seperti sewatu menggunakan alat (cunam). Pada keadaan ini segera setelah
terjadi fistula, kelihatan air kencing yang menetes ke dalam vagina. Jika hal ini
ditemukan, harus segera dilakukan penjahitan luka yang terjadi. Sebelum penjahitan,
terlebih dahulu dipasang kateter tetap dalam vesika urinaria, kemudian baru luka
dijahit lapis demi lapis sesuai dengan bentuk anatomi vesika urinaria, yaitu mula-mula
dijahit selaput lendir, kemudian otot-otot dinding vesika urinaria lalu dinding depan
vagina. Jahitan dapat dilakukan secara interuptus atau angka 8. Kateter tetap
terpasang untuk beberapa waktu.
2. Persalinan yang terlalu lama. Dalam hal ini dinding vagina dan dasar vesika urinaria
tertekan dalam waktu yang lama antara kepala dan tulang panggul, sehingga
menyebabkan terjadinya nekrosis jaringan. Beberapa hari setelah melahirkan, jaringan
nekrosis ini terlepas sehingga terjadi fistula antara vesika urinaria dengan vagina.
Dalam hal ini gejala beser kencing tidak segera dapat dilihat. Gejala baru terlihat
setelah 3-10 hari paska persalinan. Kadang fistula yang kecil dapat menutup sendiri.
Pada fistula yang agak besar, penutupan fistula baruu dapat dilakukan setelah 3-6
bulan paska persalinan.
A. SERVIKS UTERI
Robekan kecil selalu terjadi dalam persalinan. Namun yang harus mendapat perhatian
adalah robekan yang dalam, yang kadang bisa sampai mencapai forniks. Robekan
biasanya terdapat di pinggir samping serviks bahkan bisa sampai ke segmen bawah rahim
dan mebuka parametrium. Robekan demikian bisa membuka pembuluh darah besar dan
menimbulkan perdarahan yang hebat. Robekan seperti ini biasanya terjadi pada ekstraksi
forsep dan letak sungsang. Bila robekan ini tidak dijahit, selain menimbulkan perdarahan
hebat juga bisa dapat menyebabkan servisitis, parametritis, dan mungkin juga terjadi
pembesaran karsinoma serviks.
Robekan serviks secara umum bisa disebabkan oleh:
1. Partus presipitatus
2. Trauma karena pemakaian alat (cunam, vakum)
3. Melahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa padahal pembukaan serviks
belum lengkap.
4. Partus lama, di mana telah terjadi edema serviks, sehingga jaringan serviks sudah
menjadi rapuh dan mudah robek.
Diagnosis :
Perdarahan postpartum pada uterus yang berkontraksi baik harus dicurigai berasal dari
serviks uteri dengan melakukan spekulum.
Terapi :
Robekan serviks harus dijahit jika berdarah atau > 1 cm. Teknik menjahit robekan
serviks :
1. Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan dijepit dengan klem, sehingga
perdarahan menjadi berkurang atau berhenti.
2. Kemudian serviks ditarik sedikit, sehingga lebih jelas kelihatan dari luar.
3. Jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum dijahit, pinggiran tersebut
diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang bergerigi tersebut.
4. Setelah itu robekan dijahit dengan catgut kromik dengan nomor 00 atau 000. Jahitan
dimulai dari ujung robekan dengan jahitan interuptus atau angka 8.
5. Pada robekan yang dalam, jahitan harus dilakukan lapis demi lapis. Ini dilakukan
untuk menghindarkan terjadinya hematoma dalam rongga di bawah jahitan.
Komplikasi
Komplikasi yang segera terjadi adalah perdarahan. Kadang-kadang perdarahan ini
sangat banyak sehingga dapat menimbulkan syok bahkan kematian.
A. ROBEKAN RAHIM
Ruptura uteri merupakan suatu komplikasi yang sangat berbahaya dalam persalinan,
Angka kejadiannya di Indonesia masih tinggi, yaitu berkisar antara 1:92 sampai 1:428
persalinan. Begitu juga angka kematian ibu masih tinggi yaitu berkisar antara 17,9-
62,6%. Angka kematian anak akibat ruptur uteri berkisar antara 89,1-100%.
Faktor predisposisi ruptur uteri :
1. Multipara/ grandemultipara
Ini disebabkan karena dinding perut yang lembek dengan kedudukan uterus dalam
posisi antefleksi, sehingga terjadi kelainan letak dan posisi janin, janin sering lebih
besar, sehingga dapat menimbulkan CPD, terjadinya infiltrasi jaringan fibrotik dalam
otot rahim penderita, sehingga mudah terjadi ruptur.
2. Pemakaian oksitosin untuk menginduksi persalinan yang tidak tepat
3. Kelainan letak dan implantasi plasenta umpamanya pada plasenta akreta, inkreta, atau
perkreta.
4. Kelainan bentuk uterus, umpamanya uterus bikornis
5. Hidramnion.
Secara teori, robekan rahim dapat dibagi sebagai berikut:
1. Spontan :
a. Terjadi karena dinding rahim yang lemah seperti pada luka bekas SC, luka
enukleasi mioma, dan hipoplasia uteri. Mungkin juga karena kuretase,
pelepasan plasenta secara manual, dan sepsis paska persalinan atau paska
abortus.
b. Pada dinding rahim yang baik, terjadi robekan karena bagian depan tidak
maju, misalnya panggul sempit, atau kelainan letak.
c. Gabungan
2. Rudapaksa
a. Karena trauma (kecelakaan) dan pertolongan versi dan ekstraksi
Sebelum terjadi ruptur, biasanya ada tanda-tanda yang mendahuluinya, yang dikenal
dengan istilah gejala yang mengancam robekan rahim. Gejala tersebut antara lain :
1. Kontraksi rahim kuat dan terus menerus
2. Penderita gelisah dan nyeri di perut bagian bawah, juga di laur his
3. Pada palpasi segmen bawah rahim terasa nyeri (di atas simfisis)
4. DJJ biasanya tidak baik karena asfiksia janin yang disebabkan karena kontraksi
dan retraksi rahim yang berlebihan.
Jika keadaan ini berlarut, terjadilah ruptura uteri. Gejala ruptura uteri antara lain :
1. Sewaktu kontraksi yang kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri di perut bagian bawah.
2. Segmen bawah rahim, nyeri sekali pada saat dilakukan palpasi.
3. His berhenti/ hilang.
4. Perdarahan per vaginam, biasanya tidak banyak.
5. Bagian anak mudah diraba jika anak masuk ke dalam rongga perut.
6. Biasanya pasien jatuh dalam syok.
Diagnosis banding
Solusio plasenta dan kehamilan abdominal
Pengobatan
– Bila terdapat gejala robekan rahim merupakan indikasi untuk segera
menyeleseaikan persalinan.
– Bila ruptur uteri sudah pasti, jangan diusahakan melahirkan secara per vaginam.
Jadi sebaiknya dilakukan laparotomi
– Transfusi darah merupakan syarat mutlak pada pengobatan ruptur uteri
– Paska operasi, pasien diletakkan secara Fowler sepaya infeksi terpada pada pelvis
– Antibiotik dosis tinggi
Prognosis
Prognosis bagi ibu dan janin buruk. Penyebab kematian ibu adalah perdarahan dan
infeksi (peritonitis dan sepsis).
2. http://www.mayoclinic.com/health/vaginal-tears/PR00143&slide=2
3. Cunningham FG, et al. Williams Obstetrics, ed. 23. Appleton and Lange 2010.
5. Prawiroharjo S. Ilmu Bedah Kebidanan, ed. 1. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka, hal.
170-186.
6. http://www.primarysuregery.org/ps/vol1/sect0040.html