Anda di halaman 1dari 3

Indonesia setelah 12 tahun Reformasi

May 28th, 2010 • Related • Filed Under

Tanggal 21 Mei 2010 reformasi Indonesia yang dipelopori barisan mahasiswa genap berusia 12
tahun, yang nyaris tidak memperlihat hasil yang menggembirakan dalam dinamika kehidupan.

Derita rakyat masih seperti pra reformasi, antara lain ditandai dengan masih tingginya tingkat
kemiskinan serta pengangguran di berbagai daerah, utamanya luar Jawa. Masyarakat masih
dihadapkan pada aneka kelangkaan barang konsumsi, harga sembako masih labil, tiap awal tahun
ajaran dihadapkan pada masalah biaya pendidikan. Petani masih dihadapkan pada kelangkaan
pupuk, sementara harga jual hasil pertanian juga tidak stabil.

Sementara pelayanan publik juga tidak kunjung membaik. Listrik untuk masyarakat masih “byar-
pet,” alias pemadaman bergilir. Air bersih tidak mengalir sebagaimana diharapkan, sekedar
menetes bahkan terhenti sama sekali. Angkutan umum bersifat massal masih diwarnai dengan
pelayanan yang jelek. Sistem administrasi kependudukan masih dapat “diacak-acak” sehingga
menimbulkan kekisruhan daftar pemilih tetap (DPT) baik pada Pemilu 2009 maupun Pemilu
Kada. Infrastruktur jalan antar provinsi utamanya di luar Jawa, juga infrastruktur irigasi banyak
yang rusak.

Ironisnya, di tingkat elit pusat justeru seolah tidak peduli dengan kenyataan yang terjadi di
sejumlah daerah. Perilaku korup secara berjemaah masih menjadi keasyikan yang sulit
diberantas. Para pihak yang berkompeten dengan penindakan kejahatan korupsi – Kepolisian,
Jaksa dan Hakim, sejumlah pengacara serta KPK – larut dalam tudingan bermafia dan
bermakelar, yang setiap hari dijadikan sajian tontonan sejumlah stasiun televisi. Semua ini
menjadi bahan interospeksi kita, mempertanyakan kenapa ini terjadi ? Inikah buah reformasi 21
Mei 1998 yang sudah berusia 12 tahun ?

Kegagalan Reformasi

Setelah 12 tahun berlalu, kita harus berani mengatakan bahwa reformasi yang bergulir 21 Mei
1998 telah gagal. Tidak mampu mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa sesuai dengan yang
diamanatkan pada pembukaan UU NRI 1945. Selanjutnya, mari kita pelajari, kita identifikasi apa
faktor penyebab kegagalan itu. Selanjutnya merumuskan langkah-langkah ke depan yang dapat
menghindari peluang kegagalan untuk kedua kalinya.

Sebab, tanpa ada keberanian mengatakan reformasi telah gagal, dikhawatirkan kita akan terus
berjalan mengikuti irama yang iklim yang telah terbentuk, yang ditengarai masih sarat dengan
dusta di antara kita. Elite birokrasi di berbagai level pemerintahan yang masih penuh dengan tipu
daya, akal-akalan dan rekayasa untuk menggerogoti uang negara, sementara rakyat Indonesia
semakin sengsara dan penuh harap agar penderitaan segera berakhir, tapi entah kapan !!

Faktor penyebab kegagalan reformasi adalah tindakan yang salah kaprah pasca “lengsernya”
presiden Soeharto 21 Mei 1998. Maklum, akumulasi ketidakpuasan setelah terbelenggu oleh
kekuasaan otoriter selama 32 tahun, membuat elit politik dan pemerintahan pasca reformasi salah
menerjemahkan hakekat dari reformasi itu sendiri. Kita tidak hanya memburu tikus di dalam
lumbung padi untuk mengamankan padinya, tetapi membakar keseluruhan lumbung padi milik
kita untuk membunuh tikus.

Betapa tidak, hampir semua “senjata pamungkas” era Soeharto disingkirkan, “diharamkan” dan
tidak dipakai lagi. Contoh, lembaga BP7 yang bertugas memasyarakatkan Pancasila dibubarkan,
kurikulum pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) ditiadakan, digabung pada Pendidikan
Kewarganegaraan (PKN), yang semakin mempersempit ruang pemahaman generasi muda
terhadap Pancasila.

Materi ajar terkait dengan bela negara, wawasan nusantara dan wawasan kejuangan, Kewiraan
dan UUD NRI 1945 yang sebelumnya menjadi bagian kurikulum di perguruan tinggi, juga
dianggap sebagai hal yang tabu. Korps Pegawai Negeri Republik Indonesia (KORPRI) serta
sejumlah norma pembinaan aparatur negara juga ditinggalkan begitu saja. Sebagai wadah
pembinaan pegawai negeri organisasi KORPRI nyaris hilang tak tentu rimbanya.

Sapta Prasetya KORPRI dan Eka Prasetya Panca Karsa kini tinggal kenangan. Tanggal 17 yang
semula dijadikan media pembinaan bulanan secara protokoler, juga ditiadakan. Era reformasi
seolah “mengharamkan” segala bentuk yang pernah diimplementasikan semasa orde baru.
Sejumlah “rambu-rambu disiplin” pada era orde baru didobrak dan dirobohkan begitu saja, tanpa
dipelajari terlebih dahulu apa alasan dan latar belakang dibangunnya “rambu-rambu disiplin” itu.

Di beberapa BUMN pelayanan publik muncul sejumlah Serikat Pekerja yang menggantikan
peranan KORPRI. Padahal, walau sudah ada Serikat Pekerja, keberadaan KORPRI masih sah,
tidak ada larangan. Justeru diharapkan KORPRI dapat menjadi “bench-mark” peranan Serikat
Pekerja. Tetapi, yang terjadi, KORPRI diidentikkan dengan Soeharto dan orde baru, yang dinilai
tidak relevan dipakai pada era reformasi.

Celakanya, beberapa undang-undang produk era reformasi pun seolah mengakomodir


“pengharaman” rambu-rambu masa lalu itu. Salah satunya UU Hak Asasi Manusia (HAM), yang
memuat kebebasan menyampaikan pendapat di depan umum, berunjuk rasa atau berdemonstrasi.
Sebaliknya, upaya pengendalian aksi unjuk rasa yang dinilai telah mengarah pada tindak anarkis
sekalipun dapat dituding menghalang-halangi hak menyampaikan pendapat.

Akibatnya kerap kali aksi demonstrasi yang mengganggu ketertiban umum, bahkan timbul
bentrokan antara pendemo dan aparat keamanan yang berakibat timbulnya korban pada kedua
belah pihak. UU Anti Subversi yang dimasa lalu menjadi kekuatan untuk mengendalikan
tindakan anarkis, telah dilikuidasi demi perwujudan HAM. Konyolnya, saat aparat berusaha
menertibkan tindak anarkis dituding melanggar HAM, sementara tindakan anarkis yang
mengganggu ketertiban umum tidak.

Tersesat dan Solusinya

Karena diterjemahkan secara salah kaprah, maka reformasi Indonesia yang bergulir 21 Mei 1998
dapat dikatakan berada pada jalan yang sesat. Akibatnya sasaran yang dituju tidak pernah
tercapai, atau kalaupun suatu saat tercapai tetapi lambat. Di jalan yang sesat itu, reformasi pun
seolah letih kehabisan enerji, mencari-cari jalan mana yang harus dituju. Oleh karena itu, setelah
mengakui kegagalan reformasi, mari kita berpegang pada ungkapan bijak “kalau sesat di ujung
jalan, kembalilah ke pangkal jalan.”

Bersyukur sinyal ini sudah ditangkap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun presiden
tidak mengatakan reformasi gagal, namun mengakui bahwa reformasi birokrasi belum tuntas,
antara lain ditandai dengan banyaknya masalah hukum yang membelit jajaran birokrasi. “Dari
sekian banyak masalah yang kita hadapi dalam pembangunan di negeri ini, kalau saya boleh
menyebut, yang paling pokok adalah reformasi birokrasi. Kalau dalam 4,5 tahun masa bakti
Kabinet Indonesia Bersatu II ini kita benar-benar bisa meningkatkan efektivitas birokrasi, lebih
dari separuh persoalan dapat kita atasi,” ujar Presiden Yudhoyono dalam pengantar sidang
kabinet (12/5).

Dikatakan presiden, bahwa sampai saat ini (12/5) lebih dari 100 pejabat yang sudah diberi izin
untuk diperiksa oleh penegak hukum. “Saya pikir sudah cukup 100, ternyata saya hitung kembali
sudah lebih dari 150. Ini bukan prestasi dalam arti sesuatu yang patut kita syukuri, kita prihatin,”
ujar Presiden pada sidang kabinet paripurna yang menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda
tunggal. Untuk itu, Presiden akan membentuk Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional
dan menunjuk Wakil Presiden memimpin komite ini (Kompas, 14 Mei 2010).

Kita berharap Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional yang dipimpin Wakil Presiden ini
dapat mengawali jalannya reformasi menuju ke sasaran yang benar. Tidak tersesat lagi seperti
reformasi yang telah bergulir 12 tahun sejak 21 Mei 1998, jalannya reformasi pun semakin
terkendali, sehingga sisa waktu masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu II selama 4,5 tahun dapat
menyelesaikan sejumlah persoalan yang dihadapi bangsa dan negeri ini. Syaratnya reformasi
birokrasi harus menghasilkan peningkatan efektivitas birokrasi.

Reformasi birokrasi memang hanya bagian dari reformasi nasional. Tetapi, birokrasi yang
meliputi struktur organisasi dan mentalitas individu aparaturnya mewakili porsi besar jalannya
reformasi nasional. Artinya, keberhasilan pelaksanaan tugas Komite Pengarah Reformasi
Birokrasi Nasional akan berkonstribusi yang besar terhadap pelaksanaan reformasi nasional.
Sebab, birokrasi ada di setiap lini dalam struktur pemerintahan, yang ikut menentukan sekaligus
menjadi tolok ukur pencapaian kinerja pemerintah sampai tahun 2014.

Untuk menjamin terlaksananya reformasi birokrasi tersebut sebelum tahun 2014, selain norma
tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dan tata kelola perusahaan (BUMN)
yang baik (Good Corporate Governance) harus diimplementasikan secara konsisten dan
konsekuen. Prinsip transparan, akuntabel, responsible, independen dan fairness (TARIF) juga
harus dibuatkan ukurannya, sehingga dinamika reformasi nasional dapat dikawal oleh seluruh
lapisan masyarakat. Tentunya, semua pihak juga harus siap mempublikasikan kinerjanya secara
aktual.

Anda mungkin juga menyukai