RESEPTOR OPIOID
Reseptor opioid diklasifikasikan sebagai (Atchson and Lambert, 1994 ; Lambert, 1998) :
Reseptor µ (mu)
Reseptor δ (delta)
Reseptor κ (kappa)
Ketiga reseptor ini merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada otak dan medula spinalis
yang berfungsi untuk trasnsmisi dan modulasi nyeri. Opioid berinteraksi secara
stereospesifik dengan reseptor protein di membran sel dalam SSP (Sistem Saraf Pusat),
pada bagian nervus terminal di perifer dan pada sel-sel traktus gastrointestinal serta daerah
lainnya. Ketiga jenis reseptor ini merupakan reseptor utama yang memediasi efek utama
dari opioid dan merupakan bagian dari reseptor protein Guanine yang berpasangan (G
protein coupled receptor) dan menginhibisi adenilsiklase menyebabkan penurunan formasi
siklik AMP sehingga aktivitas neurotransmitter terhambat. Selain itu juga meningkatkan
effluks K+ pada postsinaptik (hiperpolarisasi) dan mereduksi Ca+ influks pada presinaptik
yang juga turut berperan dalam menghambat pelepasan neurotransmitter. Di dalam otak
terdapat tiga jenis endogenous peptide yang aktivitasnya seperti opiat yaitu :
Enkephalin yang berikatan dengan reseptor δ (delta)
β – Endorfin yang berikatan dengan reseptor µ (mu)
Dandynorpin yang berikatan dengan reseptor κ (kappa)
Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4 th ed.
EFEK INHIBISI OPIAT DALAM PELEPASAN NEUROTRANSMITTER
Tempat Kerja
Ada dua tempat kerja obat opioid yang utama, yaitu susunan saraf pusat dan visceral. Di
dalam susunan saraf pusat opiat berefek di beberapa daerah termasuk korteks, hipokampus,
thalamus, hipothalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus coreleus, daerah
periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis. Di dalam sistem saraf visceral, opiat
bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek
konstipasi.
Pelepasan noradrenalin
Opiat menghambat pelepasan noradrenalin dengan mengaktivasi reseptor μ (mu) yang
berlokasi didaerah noradrenalin. Efek morfin tidak terbatas dikorteks,tetapi juga di
hipokampus, amigdala, serebelum, daerah peraquadiktal, dan locus cereleus.
Pelepasan asetikolin
Inhibisi pelepasan asetikolin terjadi didaerah striatum oleh reseptor δ (delta), didaerah
amigdala dan hipokampus oleh reseptor μ (mu). Pelepasan dopamin diinhibisi oleh aktifitas
reseptor κ (kappa).
Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4 th ed.
EFEK KE SISTEM ORGAN
2. Euforia
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan perasaan
euforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari rasa cemas.
Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang normal yang tidak
mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir disertai mual,
muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa berat.
3. Sedasi
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi morfin
dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur
yang sangat dalam.
4. Pernafasan
Pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi
langsung pada pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7
menit setelah injeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular.
Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam.
5. Pupil
Pemberian morfin secara sistemik dapat menimbulkan miosis. Miosis terjadi akibat stimulasi
pada nukleus Edinger Westphal N. III.
Efek Perifer
1. Saluran cerna
Pada lambung akan menghambat sekresi asam lambung, mortilitas lambung berkurang,
tetapi tonus bagian antrum meninggi.
Pada usus beasr akan mengurangi gerakan peristaltik, sehingga dapat menimbulkan
konstipasi.
2. Sistem kardiovaskular
Tidak mempunyai efek yang signifikan terhadap tekanan darah, frekuensi maupun irama
jantung. Perubahan yang tampak hanya bersifat sekunder terhadap berkurangnya aktivitas
badan dan keadaan tidur, hipotensi disebabkan dilatasi arteri perifer dan vena akibat
mekanisme depresi sentral oleh mekanisme stabilitasi vasomotor dan pelepasan histamin.
3. Kulit
Mengakibatkan pelebaran pembuluh darah kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa
panas. Seringkali terjadi pembentukan keringat, kemungkinan disebabkan oleh
bertambahnya peredaran darah di kulit akibat efek sentral dan pelepasan histamin.
4. Traktus urinarius
Tonus ureter dan vesika urinaria meningkat, tonus otot sphinkter meningkat,sehingga dapat
menimbulkan retensi urine.
Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4 th ed.
Sumber : Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4 th ed.
Gejala putus obat:
6 - 12 jam , lakrimasi, rhinorrhea, bertingkat, sering menguap, gelisah.
12 - 24 jam, tidur gelisah, iritabel, tremor, pupil dilatasi (midriasi), anoreksia.
24 - 72 jam, semua gejala diatas intensitasnya bertambah disertai adanya kelemahan,
depresi, nausea, vornitus, diare, kram perut, nyeri pada otot dan tulang, kedinginan dan
kepanasan yang bergantian, peningkatan tekanan darah dan denyut jantung,gerakan
involunter dari lengan dan tungkai, dehidrasi dan gangguan elektrolit.
Selanjutnya, gejala hiperaktivitas otonom mulai berkurang secara berangsur-angsur
dalam 7-10 hari, tetapi penderita masih tergantung kuat pada obat. Beberapa gejala
ringan masih dapat terdeteksi dalam 6 bulan. Pada bayi dengan ibu pecandu obat akan
terjadi keterlambatan dalam perkembangan dan pertumbuhan yang dapat terdeteksi
setelah usia 1 tahun.