com/ustadz/mkn/7305142057-hoka-
hoka-bento-halal.htm
-------------------------------------------------------------
Pa ustad, di tempat saya bekerja sering diadakan rapat membahas program kerja dan lainya, dan di
setiap rapat itu pula selalu ada makan siang untuk peserta rapat.
Yang saya tanyakan apakah makanan bermerk "hoka-hoka bento" halal? Karena hampir menu ini
dijadikan menu favorit para pimpinan (bos) di setiap rapat. Buat saya sangat dilematis, satu sisi
memang waktu makan dan tidak ada makanan lain, sisi lain saya khawatir kalo yang saya makan
tidak jelas halal haramnya (tidak terdapat logo halal di box/ kemasan).
Wassalmu'alaikum wr. Wb
Masarif
Jawaban
Dalam masalah ini ada dua pendekatan. Pertama, pendekatan hukum fiqih. Kedua, pendekatan
tasawuf.
Kalau kita menggunakan pendekatan hukum fiqih, maka status suatu makanan itu belum bisa
berubah menjadi haram, kecuali ada ketetapan yang meyakinkan tentang keharamannya. Bila belum
ada kepastian, maka hukumnya kembali kepada hukum asal, yaitu halal.
Sebab hukum segala sesuatu pada dasarnya halal, sebagaimana kaidah fiqih menyebutkan: al-ashlu
fil asy-ya'i al-ibahah. Selama kita tidak melihat secara pisik adanya indikasi keharaman atau
kenajisan, atau belum dibuktikan lewat pengujian ilmiyah secara langsung, maka kita tidak boleh
Kisah yang kita dapat dari masa nabi SAW justru menguatkan hal-hal seperti ini. Pernah beliau
ditanya oleh para shahabat tentang kebolehan memakan daging pemberian suatu kaum. Para
shahabat agak ragu tentang kehalalannya, persi seperti yang sedang anda alami sekarang ini. Maka
beliau SAW memerintahkan untuk membaca basmalah sebelum memerintahkan untuk menyantapnya.
Kalau kita pahami dari kisah ini, seolah beliau SAW menghalalkan hal-hal yang sebelumnya telah
diragukan oleh para shahabat. Namun sesuai dengan logika fiqih, keraguan itu tidak bisa atau belum
bisa dijadikan alasan untuk mengubah status hukum.
Dalam kaidah fiqhiyah yang kita pelajari, ada disebutkan: al-yaqinu la yazuulu bisy-syakki. Suatu
hukum yang telah ditetapkan berdasarkan sesuatu yang yakin, tidak bisa hilang hukumnya hanya
Maka makanan yang beredar di tengah umat Islam, meski tidak ada pengesahan dari suatu lembaga
tertentu tentang kehalalannya, tidak bisa divonis hukumnya menjadi haram, tanpa ada penelitian
Pendekatan kedua, pendekatan tasawuf. Disebut dengan tasawuf maksudnya karena lebih
menekankan sikap di dalam hati, berupa kehati-hatian dan wara'. Pendekatan ini jauh dari masalah
hukum.
Adalah hak setiap muslim untuk menjaga diri dari hal-hal yang meragukan hatinya. Apabila seseorang
kurang yakin atas kehalalan suatu makanan, meski tidak ada fatwa yang mengharamkannya, tidak
mengapa bila dia tidak menyantap makanan itu, sebagai sebuah sikap wara' (hati-hati) dari terkena
Di dalam dunia tasawuf, pendekatan ini sangat diutamakan, meski mereka pun sadar bahwa keraguan
tidak bisa mengubah status hukum suatu hal. Sehingga, para pelaksana tasawuf memang tidak
pernah mengharamkan sesuatu buat orang lain, kecuali hanya berlaku untuk diri sendiri. Dan sikap
seperti ini pada batas-batas tertentu memang sangat dianjurkan.
Bila anda tertarik menggunakan pendekatan ini, silahkan tinggalkan makan makanan seperti itu.
Misalnya, anda tetapkan hanya untuk diri anda sendiri bahwa semua makanan bermerek yang tidak
ada label halalnya, tidak akan anda santap. Kalau anda tetapkan untuk diri sendiri karena berangkat
dari sikap kehati-hatian, sungguh merupakan sebuah ibadah dengan nilai tersendiri.
Mengapa ibadah tersendiri? Sebab anda rela tidak makan dan menahan lapar, demi sekedar menjaga
diri dari kemunkginan makan makanan yang anda kurang tahu hukumnya.Ketika anda direpotkan
membawa nasi bungkus dari rumah, atau keluar cari warteg dengan biaya sendiri, tentu ada nilai
Namun anda tidak punya hak dan otoritas untuk memaksakan sikap subjektif anda kepada orang lain,
karena pendekatan anda hanyalah sebuah pendekatan pribadi yang bersifat kebersihan individual.
Secara hukum fiqih, biar bagaimana pun tetap dibutuhkan penelitian ilmiyah secara langsung atas
makanan tersebut, sampai bisa dikeluarkan fatwa keharamannya. Dan selama belum ada fatwa
tentang keharamannya, kita tidak mungkin memvonisnya sebagai haram. Maka hukumnya kembali
Ahmad Sarwat, Lc