OLEH :
MUCHAMMAD ZAIDUN
DEWAN PAKAR PROPINSI JAWA TIMUR
I
POSISI REGULASI INDUSTRI MIGAS
DALAM PRESPEKTIF KEPENTINGAN MASYARAKAT LOKAL
1
daerah-daerah. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa bentuk
negara RI adalah suatu negara kesatuan, sehingga policy atau
kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam yang
strategis dan potensial harus dikuasai dan diatur pengelolaan dan
pemanfaatannya oleh Pemerintah Pusat.
Pada tataran konseptual strategi tersebut cukup masuk akal karena
untuk mengurangi adanya kesenjangan antara daerah-daerah yang
secara potensial memiliki sumberdaya alam yang melimpah dengan
daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup,
sehingga tidak akan terjadi kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan
sosial yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan politik.
2
Apabila dilihat semata-mata dari perspektif hukum memang dapat
dipahami, karena pengelola pertambangan yang berbentuk badan
hukum PT (Persero) atau dimasa lalu disebut Perusahaan Negara (PN)
sebagai suatu entitas / badan hukum yang mengelola suatu industri
migas, tentu memiliki aturan dan standar khusus dalam memberikan
kesejahteraan pegawainya, apalagi beberapa standar kebutuhan
hidup mereka membandingkannya dengan standar perusahaan-
perusahaan asing dalam bidang industri yang sama. Karena sebagian
dari mereka yang bekerja di sektor tersebut memiliki suatu kualifikasi
standar keahlian tertentu dan konsekuensinya juga memiliki standar
imbalan jasa yang standar dan jaminan kesejahteraan sosial yang
standar pula.
II
IMPLIKASI PARTICIPATING INTEREST
DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN
3
Pasal 34 menyatakan :
Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksi dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib
menawarkan participating interest 10% (sepuluh persen) kepada
badan usaha milik daerah
Pasal 35 :
(1) pernyataan minat dan kesanggupan untuk mengambil
participating interest sebagaimana dimaksud dalam pasal 34
disampaikan oleh Badan Usaha Milik Daerah dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penawaran dari
kontraktor
Berdasarkan ketentuan pasal 35 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) maka
prioritas utama participating interest sebesar 10% diberikan pada
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan jangka waktu penawaran
paling lama 60 hari sejak tanggal penawaran dari kontraktor.
4
Apabila BUMD tidak memberikan pernyataan kesanggupan dalam
jangka waktu tersebut, kontraktor wajib menawarkan kepada
perusahaan nasional.
5
Pembukaan (disclose) data dalam rangka pengalihan, penyerahan
dan pemindahtanganan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban
kontraktor kepada pihak lain, wajib mendapat ijin dari Menteri melalui
Badan Pelaksana.
Kontraktor tidak dapat mengalihkan sebagian hak dan kewajibannya
secara mayoritas kepada pihak lain yang bukan afiliasinya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun pertama masa eksplorasi.
6
Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1998 tentang bentuk hukum
Badan Usaha Milik Daerah.
7
Berdasarkan ketentuan pasal 6, pendirian Perseroan Terbatas (PT)
diproses sesuai dengan ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (PT).
Prinsip Kedua
• Ada bentuk lain participating interest menurut ketentuan pasal 33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
• Hak participating interest BUMD sebagaimana perusahaan
nasional lainnya merupakan hak prioritas sebelum hak pengalihan
diberikan kepada perusahaan non afiliasi atau perusahaan selain
mitra kerja dalam wilayah kerja yang sma.
• Penawaran dilakukan berdasarkan kelaziman bisnis.
8
tidak memanfaatkan atau tidak dapat menggunakan haknya sesuai
dengan persyaratan-persyaratan hukum yang ditentukan oleh
perundang-undangan maka hak tersebut dapat dialihkan pada pihak
lain.
9
participating interest tersebut dilakukan secara ”patungan” dengan
pihak swasta, maka konsekuensinya hasil yang diperoleh sebagai
suatu pendapatan dari investasi tersebut tentunya juga harus rela
berbagi dengan pihak swasta yang bekerja sama dengan BUMD
tersebut.
10
Inilah liku-liku implementasi dan segala konsekuensi ekonomisnya
penggunaan hak participating interest yang harus dipenuhi oleh
Pemerintah Daerah melalui BUMD yang lagi-lagi disebabkan karena
faktor kemiskinan daerah wilayah eksploitasi tersebut.
11
Selanjutnya yang menjadi kerisauan yang mendasar adalah sejauh
mana keberadaan industri perminyakan tersebut dampak positifnya
pada daerah.
Semua pihak sudah mafhum bahwa industri perminyakan adalah
industri yang berbasis high tech dan membutuhkan tenaga kerja yang
memiliki skill / ketrampilan dan keahlian khusus. Sementara itu dalam
banyak kasus wilayah tempat penambangan minyak dan gas bumi
sering merupakan daerah rural / pedesaan atau paling tinggi
merupakan daerah sub urban yang kondisi potensi penduduknya
relatif miskin dengan pendidikan yang relatif rendah. Selain itu
biasanya kondisi sarana dan prasarana wilayah juga sangat terbatas.
Ringkasnya, sulit dibayangkan terwujudnya suatu sinergi yang
integrated antara kondisi daerah dengan kebutuhan sektor industri
perminyakan.
Sehingga secara sederhana masih sulit dibayangkan keberadaan
suatu industri perminyakan serta merta memiliki pengaruh yang
sangat positif langsung bagi kehidupan ekonomi daerah dan
kehidupan ekonomi masyarakat setempat.
Oleh karena itu ada baiknya kalau kita lebih bijak melihat perspektif
dampak industri perminyakan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan daerah, agar kita tidak terlalu bermimpi tentang
sesuatu perkembangan daerah yang demikian cepat, padahal dalam
kenyataannya belum tentu demikian.
Catatan ini agar menjadi rambu-rambu kita untuk menetapkan suatu
strategi pembangunan daerah yang lebih berwawasan luas yang lebih
memungkinkan untuk dapat menunjang pembangunan daerah
melalui berbagai kebijakan industrialisasi, terutama yang berbasis
pada potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dalam
perspektif lokal.
Walaupun demikian tidak dapat disangkal dengan keberadaan
industri perminyakan di suatu daerah masih juga dapat memberikan
12
multiplayer effect pada perkembangan daerah walaupun tidak terlalu
signifikan.
13