Anda di halaman 1dari 13

REGULASI INDUSTRI MIGAS DAN

HARAPAN OTONOMI DAERAH


TENTANG KESEJEAHTERAAN MASYARAKAT LOKAL

OLEH :
MUCHAMMAD ZAIDUN
DEWAN PAKAR PROPINSI JAWA TIMUR

I
POSISI REGULASI INDUSTRI MIGAS
DALAM PRESPEKTIF KEPENTINGAN MASYARAKAT LOKAL

Sudah menjadi realitas sosial-ekonomi bahwa telah cukup lama sejak


Republik Indonesia Merdeka bahkan sebelum merdeka, bahwa
industri Migas selalu orientasinya ke pusat baik dalam pengaturan /
regulalisasinya ataupun pengelolaan dan pemanfaatan hasilnya.
Pada awal Republik Indonesia lahir sampai dengan sebelum lahirnya
Undang-undang tentang Minyak dan Gas Bumi berseiring dengan
euforia otonomi daerah, pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
migas selalu menjadi otoritas kewenangan pusat baik dari segi
pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatannya.

Argumentasi utama yang menjadi landasan pengaturan, pengelolaan


dan pemanfaatan tersebut adalah berinduk pada ketentuan pasal 33
UUD 1945 yang pada intinya menegaskan bahwa seluruh kekayaan
(sumberdaya) alam dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Dasar ini menjadi ligitimasi bahwa penguasaan oleh negara (yang


ditafsirkan sebagai pengawasan oleh pemerintah pusat) pada
dasarnya adalah pemerintah pusatlah nantinya yang memiliki
wewenang dan akan mendistribusikan kemanfaatan tersebut ke

1
daerah-daerah. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa bentuk
negara RI adalah suatu negara kesatuan, sehingga policy atau
kebijakan yang menyangkut pemanfaatan sumberdaya alam yang
strategis dan potensial harus dikuasai dan diatur pengelolaan dan
pemanfaatannya oleh Pemerintah Pusat.
Pada tataran konseptual strategi tersebut cukup masuk akal karena
untuk mengurangi adanya kesenjangan antara daerah-daerah yang
secara potensial memiliki sumberdaya alam yang melimpah dengan
daerah-daerah yang tidak memiliki sumberdaya alam yang cukup,
sehingga tidak akan terjadi kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan
sosial yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial dan politik.

Namun dalam realitasnya ada kekayaan alam yang cukup melimpah


dimasa lalu bagi daerah yang menjadi wilayah penambangan (yang
memiliki potensi) ternyata masih kurang dapat menikmati hasil-
hasilnya apalagi daerah-daerah yang bukan merupakan penghasil
tambang. Karena itu selalu muncul pertanyaan yang mendasar
kemana larinya harta kekayaan sumberdaya alam tersebut, karena ke
wilayah daerah penambangan manfaat tersebut tidak mengucur dan
apalagi ke wilayah daerah di luar wilayah penambangan malah lebih
tidak menetes.

Ada kesan dimasa lalu rakyat di wilayah pertambangan migas tetap


miskin sementara para pekerja disektor pertambangan migas hidup
secara eksklusif dengan segala kemewahannya, setidaknya ada dua
komunitas kehidupan ekonomi yang berbeda dan bertolak belakang
bahkan sampai menyangkut pola hidup dan budaya komunitas
masyarakat tambang yang berbeda dengan pola hidup dan budaya
masyarakat lokal. Suka atau tidak suka gambaran realitas seperti
yang dikemukakan tersebut nyata keberadaannya di dunia
masyarakat pertambangan khususnya untuk minyak dan gas bumi.

2
Apabila dilihat semata-mata dari perspektif hukum memang dapat
dipahami, karena pengelola pertambangan yang berbentuk badan
hukum PT (Persero) atau dimasa lalu disebut Perusahaan Negara (PN)
sebagai suatu entitas / badan hukum yang mengelola suatu industri
migas, tentu memiliki aturan dan standar khusus dalam memberikan
kesejahteraan pegawainya, apalagi beberapa standar kebutuhan
hidup mereka membandingkannya dengan standar perusahaan-
perusahaan asing dalam bidang industri yang sama. Karena sebagian
dari mereka yang bekerja di sektor tersebut memiliki suatu kualifikasi
standar keahlian tertentu dan konsekuensinya juga memiliki standar
imbalan jasa yang standar dan jaminan kesejahteraan sosial yang
standar pula.

Jadi realitas kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi antara


masyarakat perminyakan dengan masyarakat lokal memang
merupakan suatu konsekuensi dari jenis kegiatan industri
perminyakan yang high tech dan penggunaan standar keahlian
khusus yang berdampak pada pendapat yang cukup tinggi. Hal ini
menjadi kontras dengan realitas keberadaan sosial ekonomi
masyarakat umum disekitar industri perminyakan yang nota bene
bekerja pada sektor yang bersifat tradisional dengan penghasilan
yang relatif rendah.

II
IMPLIKASI PARTICIPATING INTEREST
DALAM INDUSTRI PERMINYAKAN

Dasar hukum yang digunakan sebagai anjakan keharusan adanya


Participating Interest adalah Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi :

3
Pasal 34 menyatakan :
Sejak disetujuinya rencana pengembangan lapangan yang pertama
kali akan diproduksi dari suatu wilayah kerja, kontraktor wajib
menawarkan participating interest 10% (sepuluh persen) kepada
badan usaha milik daerah

Pasal 35 :
(1) pernyataan minat dan kesanggupan untuk mengambil
participating interest sebagaimana dimaksud dalam pasal 34
disampaikan oleh Badan Usaha Milik Daerah dalam jangka waktu
paling lama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penawaran dari
kontraktor

(2) dalam hal Badan Usaha Milik Daerah tidak memberikan


pernyataan kesanggupan dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), kontraktor wajib menawarkan kepada
Perusahaan Nasional.

(3) dalam hal Perusahaan Nasional tidak memberikan pernyataan


minat dan kesanggupan dalam jangka waktu paling lama 60
(enam puluh) hari sejak tanggal penawaran dari kontraktor
kepada Perusahaan Nasional, maka penawaran dinyatakan
tertutup.

Berdasarkan ketentuan pasal 35 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) maka
prioritas utama participating interest sebesar 10% diberikan pada
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan jangka waktu penawaran
paling lama 60 hari sejak tanggal penawaran dari kontraktor.

4
Apabila BUMD tidak memberikan pernyataan kesanggupan dalam
jangka waktu tersebut, kontraktor wajib menawarkan kepada
perusahaan nasional.

Apabila perusahaan nasional tidak memberikan pernyataan minat dan


kesanggupan dalam jangka waktu 60 hari sejak tanggal penawaran,
maka penawaran dinyatakan tertutup.

Hak participating interest merupakan hak yang memiliki


keterbatasan, khususnya dengan jangka waktu kesanggupan (60 hari)
dari BUMD Perusahaan Daerah (PD) ataupun Perseroan Terbatas (PT)
kepada kontraktor.

Saham Perseroan Terbatas (PT) bisa dimiliki oleh Pemda, Perusahaan


Daerah (PD), swasta dan masyarakat tetapi bagian terbesar dari
saham Perseroan Terbatas (PT) dimiliki oleh Pemda atau Perusahaan
Daerah (PD).

Pengalihan, penyerahan dan pemindahtanganan participating interest


(pasal 33 PP RI No. 35 tahun 2004)

Kontraktor dapat mengalihkan, menyerahkan dan


memindahtangankan sebagian tau seluruh hak dan kewajibannya
(participating interest) kepada pihak lain setelah mendapat
persetujuan menteri berdasarkan pertimbangan Badan Pelaksana.

Apabila pengalihan, penyerahan dan pemindahtanganan sebagian


atau seluruh hak dan kewajiban kontraktor dilakukan kepada
perusahaan non afiliasi atau kepada perusahaan lain selain mitra
kerja dalam wilayah kerja yang sama, maka Menteri dapat meminta
kontraktor untuk menawarkan terlebih dahulu kepada perusahaan
nasional.

5
Pembukaan (disclose) data dalam rangka pengalihan, penyerahan
dan pemindahtanganan sebagian atau seluruh hak dan kewajiban
kontraktor kepada pihak lain, wajib mendapat ijin dari Menteri melalui
Badan Pelaksana.
Kontraktor tidak dapat mengalihkan sebagian hak dan kewajibannya
secara mayoritas kepada pihak lain yang bukan afiliasinya dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun pertama masa eksplorasi.

Berdasarkan penjelasan pasal 33, perusahaan nasional yang


dimaksud adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), Koperasi, usaha kecil dan perusahaan swasta
nasional yang keseluruhan sahamnya dimiliki warga negara
Indonesia.

Penawaran tersebut dilakukan antara kontraktor dengan perusahaan


nasional berdasarkan kelaziman bisnis.

Apabila kontraktor telah menawarkan kepada perusahaan nasional


dan tidak ada yang berminat maka kontraktor dapat menawarkan
kepada pihak lain.

Afiliasi dan pengendalian


Afiliasi yang dimaksud adalah perusahaan atau badan lain yang
mengendalikan atau dikendalikan salah satu pihak, atau suatu
perusahaan atau badan lain yang mengendalikan atau dikendalikan
oleh suatu perusahaan atau badan lain yang mengendalikan salah
satu pihak.

Pengendalian memiliki makna kepemilikan perusahaan atau badan


lain apabila perusahaan atau badan lain paling sedikit 50 % (lima
puluh per seratus) dari saham dengan hak suara atau hak
pengendalian atau keuntungan jika badan lain itu bukan suatu
perusahaan.

6
Peraturan Pemerintah RI No. 3 tahun 1998 tentang bentuk hukum
Badan Usaha Milik Daerah.

Berdasarkan pasal 2 dan pasal 3 dapat disimpulkan bahwa bentuk


hukum Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) terdiri dari Perusahaan
Daerah (PD) atau Perseroan Terbatas (PT).

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bentuk hukumnya


Perusahaan Daerah (PD) tunduk pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang mengatur Perusahaan Daerah (PD) yaitu Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah jo
Permendagri Nomor 3 Tahun 1998 tentang Bentuk Hukum Badan
Usaha Milik Daerah.

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bentuk hukumnya berupa


Perseroan Terbatas (PT) tunduk pada UU No. 1 Tahun 1995 tentang
Perseroan Terbatas (PT) dan peraturan pelaksananya.

Pasal 4 menyatakan bahwa gubernur, bupati/walikotamadya dapat


merubah bentuk hukum perusahaan daerah menjadi PT.

Berdasarkan pasal 5 diatur tentang perubahan bentuk Badan Usaha


Milik Daerah (BUMD) dilakukan dengan cara :
⋆ Mengajukan permohonan ijin prinsip tentang perubahan bentuk
hukum kepada menteri dalam negeri.
⋆ Menetapkan peraturan daerah tingkat I atau tingkat II tentang
perubahan bentuk hukum badan usaha milik daerah dari
perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas.
⋆ Pembuatan akte notaris pendirian sebagai perseroan terbatas.

7
Berdasarkan ketentuan pasal 6, pendirian Perseroan Terbatas (PT)
diproses sesuai dengan ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1995
tentang Perseroan Terbatas (PT).

Berdasarkan ketentuan pasal 7, perubahan bentuk hukum


perusahaan daerah menjadi perseroan terbatas, tidak merubah
fungsinya sebagai pelayanan umum dan sekaligus tetap menjadi
sumber pendapatan asli daerah (APBD).

Prinsip penyertaan berdasarkan paticipating interest :


Prinsip pertama
• Hak BUMD (PD maupun PT) participating interest 10%
• Hak participating interest ada pembatasan jangka waktu
kesanggupan.
• Saham PT BUMD dapat dimiliki oleh pemda, PD, swasta, dan
masyarakat.
• Saham terbesar (mayoritas) PT harus dimiliki oleh pemda atau
PD.

Prinsip Kedua
• Ada bentuk lain participating interest menurut ketentuan pasal 33
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 35 tahun 2004
tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
• Hak participating interest BUMD sebagaimana perusahaan
nasional lainnya merupakan hak prioritas sebelum hak pengalihan
diberikan kepada perusahaan non afiliasi atau perusahaan selain
mitra kerja dalam wilayah kerja yang sma.
• Penawaran dilakukan berdasarkan kelaziman bisnis.

Berdasarkan tinjauan dari perspektif hukum tegas dinyatakan bahwa


participating interest dalam konteks industri perminyakan adalah
merupakan suatu keharusan / kewajiban, kecuali apabila yang berhak

8
tidak memanfaatkan atau tidak dapat menggunakan haknya sesuai
dengan persyaratan-persyaratan hukum yang ditentukan oleh
perundang-undangan maka hak tersebut dapat dialihkan pada pihak
lain.

Pengaturan hukum yang demikian ini jelas bermaksud untuk


memberikan sumbangsih bagi penguatan ekonomi lokal sebagai
konsekuensi termanfaatkannya sumberdaya alam lokal tersebut oleh
para investor.

Tetapi suatu hal yang menjadi persoalan adalah apakah pemerintah


lokal (kabupaten/kota) yang wilayahnya dieksploitasi tersebut mampu
sepenuhnya memenuhi persyaratan-persyaratan khusus dari segi
modal yang harus diinvestasikan ?

Beberapa kasus menunjukkan fakta bahwa ternyata sebagian besar


pemerintah lokal / daerah tersebut belum sepenuhnya mampu
memenuhi persyaratan besaran modal yang harus diinvestasikan,
karena itu biasanya Pemerintah Daerah melalui Badan Usaha Milik
Daerah (BUMD) kemudian menggandeng perusahaan swasta untuk
bersama-sama memenuhi kewajiban penanaman modal sebesar 10%
sesuai dengan ketentuan hak participating interest tersebut.

Berdasarkan realitas tersebut menimbulkan konsekuensi penikmatan


penghasilan/pendapatan melalui hak participating interest tersebut
tentu harus berbagi keuntungan (penghasilan) antara BUMD dengan
perusahaan swasta yang menjadi partner BUMD tersebut.

Dalam perspektif hubungan relasional dalam investasi melalui hak


participating interest tersebut jelas bahwa walaupun Pemerintah
Lokal / Pemerintah Daerah melalui hak tersebut seharusnya dapat
menikmati hasil semaksimal mungkin, namun karena mereka dalam
kaitannya dengan penanaman modal dalam memenuhi hak

9
participating interest tersebut dilakukan secara ”patungan” dengan
pihak swasta, maka konsekuensinya hasil yang diperoleh sebagai
suatu pendapatan dari investasi tersebut tentunya juga harus rela
berbagi dengan pihak swasta yang bekerja sama dengan BUMD
tersebut.

Dalam konteks realitas yang demikian adanya harapan memperoleh


tambahan pendapatan bagi Pemerintah Daerah melalui BUMD
tidaklah mungkin dapat diperoleh secara maksimal. Lebih-lebih lagi
dalam kenyataannya tidak jarang kepemilikan modal pihak swasta
lebih besar daripada BUMD.

Hal ini adalah merupakan suatu kenyataan yang ironis, karena


adanya pemberian hak melalui participating interest tetapi dalam
kenyataan Pemerintah Daerah melalui BUMD tidak dapat
memanfaatkan secara maksimal, dan kurang beruntungnya lagi
karena disebabkan miskinnya kondisi ekonomi Pemerintah Daerah
yang tidak mampu menyiapkan dana untuk memenuhi persyaratan
hak participating interest sebesar 10% tersebut.

Kenyataan ini membawa konsekuensi besarnya pendapatan BUMD


dari hasil investasi dalam hak participating interest tersebut akan
relatif kecil, karena keuntungan tersebut harus berbagi dengan
perusahaan swasta yang digandeng untuk memenuhi persyaratan
permodalan dalam hak participating interest tersebut.

Sebagai akibat selanjutnya, maka sumbangan dari BUMD yang


berinvestasi melalui penggunaan hak participating interest tersebut
terhadap pendapatan daerah yang dapat disetor ke APBD adalah
kurang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan
daerah.

10
Inilah liku-liku implementasi dan segala konsekuensi ekonomisnya
penggunaan hak participating interest yang harus dipenuhi oleh
Pemerintah Daerah melalui BUMD yang lagi-lagi disebabkan karena
faktor kemiskinan daerah wilayah eksploitasi tersebut.

Kenyataan yang demikian merupakan suatu lingkaran setan bagi


upaya penguatan kondisi ekonomi daerah wilayah eksploitasi bahkan
tidak ada suatu terobosan strategis untuk memenuhi hak
participating interest tersebut melalui suatu langkah inovatif dari
Pemerintah Pusat, antara lain misalnya mencarikan jalan keluar agar
daerah melalui BUMDnya dapat memperoleh suatu fasilitas
pembiayaan melalui suatu mekanisme yang tidak memberatkan bagi
BUMD antara lain misalnya dapat memperoleh bantuan atau
pinjaman tanpa bunga atau pinjaman lunak dengan bunga rendah
untuk memenuhi kewajiban investasi dalam participating interest
sebesar 10% tersebut.

Apabila dalam konteks hak participating interest tersebut,


permasalahan yang dihadapi daerah tidak ada langkah pemecahan
yang bijak dengan bantuan Pemerintah Pusat, maka hasil-hasil yang
seharusnya dapat dinikmati dan sudah tinggal meraihnya justru akan
dinikmati lebih besar oleh sektor swasta yang semakin jauh
menyimpang dari semangat kebijakan pemberian hak participating
interest bagi daerah yang diharapkan dapat menyumbang
pendapatan daerah dan mendorong pembangunan daerah.

Semua hal tersebut apabila dikaitkan antara hak participating interest


dengan implikasi ekonomi bagi peningkatan pendapatan daerah yang
dapat menunjang pembangunan daerah, ternyata tidak sebagaimana
yang diharapkan.

11
Selanjutnya yang menjadi kerisauan yang mendasar adalah sejauh
mana keberadaan industri perminyakan tersebut dampak positifnya
pada daerah.
Semua pihak sudah mafhum bahwa industri perminyakan adalah
industri yang berbasis high tech dan membutuhkan tenaga kerja yang
memiliki skill / ketrampilan dan keahlian khusus. Sementara itu dalam
banyak kasus wilayah tempat penambangan minyak dan gas bumi
sering merupakan daerah rural / pedesaan atau paling tinggi
merupakan daerah sub urban yang kondisi potensi penduduknya
relatif miskin dengan pendidikan yang relatif rendah. Selain itu
biasanya kondisi sarana dan prasarana wilayah juga sangat terbatas.
Ringkasnya, sulit dibayangkan terwujudnya suatu sinergi yang
integrated antara kondisi daerah dengan kebutuhan sektor industri
perminyakan.
Sehingga secara sederhana masih sulit dibayangkan keberadaan
suatu industri perminyakan serta merta memiliki pengaruh yang
sangat positif langsung bagi kehidupan ekonomi daerah dan
kehidupan ekonomi masyarakat setempat.

Oleh karena itu ada baiknya kalau kita lebih bijak melihat perspektif
dampak industri perminyakan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan daerah, agar kita tidak terlalu bermimpi tentang
sesuatu perkembangan daerah yang demikian cepat, padahal dalam
kenyataannya belum tentu demikian.
Catatan ini agar menjadi rambu-rambu kita untuk menetapkan suatu
strategi pembangunan daerah yang lebih berwawasan luas yang lebih
memungkinkan untuk dapat menunjang pembangunan daerah
melalui berbagai kebijakan industrialisasi, terutama yang berbasis
pada potensi sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia dalam
perspektif lokal.
Walaupun demikian tidak dapat disangkal dengan keberadaan
industri perminyakan di suatu daerah masih juga dapat memberikan

12
multiplayer effect pada perkembangan daerah walaupun tidak terlalu
signifikan.

13

Anda mungkin juga menyukai