Anda di halaman 1dari 11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Minuman Ringan

Minuman ringan adalah minuman yang tidak mengandung alkohol dan

lawan kata dari minuman keras. Minuman ini banyak disukai karena rasanya yang

nikmat, siap saji dan sangat memenuhi selera bagi mereka yang sedang dahaga,

terutama setelah berolahraga dan bekerja berat. Selain itu minuman ringan juga

tersedia dalam berbagai rasa, umumnya buah-buahan.

Di Amerika Serikat istilah soft drink digunakan untuk membedakan

minuman tersebut dari liquor (minuman beralkohol), sehingga minuman yang

tidak beralkohol disebut soft drink. Dengan demikian soft drink dapat diperjual

belikan dengan bebas. Jika diwilayah utara Amerika Serikat yang beriklim

subtropis dan dingin minuman baralkohol menjadi minuman favorit, maka

Amerika Serikat bagian selatan yang tropis dan panas soft drink yang popular.

Kita bisa mengindonesiakan soft drink sebagai minuman ringan, dengan asumsi

bahwa benar minuman ini memang “ringan” status gizinya. Minuman ini, selain

kadar gulanya yang tinggi, tidak memiliki zat gizi lain yang berarti. Kini, kita

kenal berbagai jenis produk minuman ringan yang beredar di pasaran. Ada yang

beraroma cola, ada yang berflavor buah jeruk, ada pula jenis flavor lain seperti

rasa nanas, coffee cream, sampai cream soda (Widodo, 2008).

Universitas Sumatera Utara


Adapun komposisi dari minuman ringan adalah:

1. Air: sebagai komponen utama

2. CO2: berguna untuk memperbaiki rasa minuman. Menghasilkan rasa asam

yang enak dan menggelitik dikerongkongan.

3. Pemanis: umumnya pemanis sintetis seperti aspartam, sakarin atau

siklamat.

4. Kafein (terutama pada jenis cola dan coffe cream): kadarnya cukup tinggi,

membantu seseorang tetap terjaga atau tidak mengantuk.

5. Zat pengawet: umumnya minuman ringan diawetkan dengan sodium

benzoat atau natrium benzoat, atau pengawet sintetis lainnya

6. Zat pewarna: biasanya merupakan pewarna sintetis seperti karmoisin dan

tartrazin.

7. Flavor buatan: seperti rasa jeruk, strawberry, nanas dan sebagainya

(http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=92).

2.2 Bahan Tambahan Pangan

Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan

Tambahan Pangan (PTP) adalah bahan yang ditambahkan kedalam makanan

untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan Tambahan Makanan

itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa pula tidak (Yuliarti, 2007).

Sedangkan menurut Cahyadi (2006) pengertian Bahan Tambahan Pangan

secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan

biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak

mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk

Universitas Sumatera Utara


maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan penyiapan, pelakuan, pengepakan,

pengemasan dan penyimpanan.

2.2.1 Tujuan Penggunaan Bahan Tambahan Pangan

Tujuan pengunaan Bahan Tambahan Pangan adalah dapat meningkatkan

atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan

pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan

(Cahyadi, 2006).

Secara khusus, tujuan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) di

dalam pangan adalah untuk:

- Mengawetkan makanan dengan mencegah pertumbuhan mikroba perusak

pangan atau mencegah terjadinya reaksi kimia yang dapat menurunkan

mutu pangan

- Membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah dan enak di mulut

- Memberikan warna dan aroma yang lebih menarik sehingga menambah

selera

- Meningkatkan kualitas pangan dan

- Menghemat biaya (Syah, 2005).

2.2.2 Macam-Macam Bahan Tambahan Pangan

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

722/Menkes/Per/IX/88, golongan bahan tambahan pangan (BTP) yang diizinkan

yaitu:

Universitas Sumatera Utara


a. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memperlambat oksidasi di

dalam bahan. Contoh: Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil Hidroksi Toluen

(BHT), Profil Gallat, Tokoferol

b. Antikempal, merupakan bahan tambahan pangan yang dapat mencegah

mengempalnya pangan. Contoh: Magnesium Oksida, Magnesium Karbonat.

c. Pengatur keasaman (Asidulan) merupakan bahan tambahan pangan yang

dapat bertindak sebagai penegas rasa dan warna atau menyelubungi after

taste yang tidak disukai. Contoh: Asam Asetat Glasial, Asam Fosfat, Asam

Sitrat.

d. Pemanis buatan, merupakan zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau

membantu mempertajam penerimaan rasa manis tersebut. Contoh: Sakarin,

Siklamat.

e. Pemutih dan pematang tepung merupakan bahan tambahan pangan yang

dapat mempercepat proses pemutihan dan pematang tepung. Contoh: Asam

askorbat, Kaliumbromat.

f. Pengemulsi, pemantap, pengental adalah bahan tambahan pangan yang dapat

membantu terbentuknya sistem dispersi yang homogen pada makanan.

Contoh: Agar-agar, Lesitin, Pektin.

g. Pengawet adalah bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau

menghambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap

makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Contoh: Asam Benzoat,

Asam Propionat, Asam Sorbat.

Universitas Sumatera Utara


h. Pengeras merupakan bahan tambahan pangan yang dapat memeperkeras atau

mencegah melunaknya pangan. Contoh: Kalsium Fosfat, Kalsium Glukonat.

i. Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau

memberikan warna pada makanan. Contoh: Brilliant Blue, Eritrosin.

j. Penyedap rasa adalah bahan tambahan yang diberikan untuk menambah atau

mempertegas rasa atau aroma. Contoh: Anisaldehid, Menthol.

k. Sikuestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam

dalam makanan. Contoh: Asam Fosfat, Asam Sitrat (Winarno, 1992).

2.3 Bahan Pengawet

Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

722/Menkes/Per/IX/1988, pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang

mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap

pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme.

Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu

menghambat, menahan atau menghentikan dan memberikan perlindungan bahan

makanan dari proses pembusukan (Cahyadi, 2006).

2.3.1 Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet

Menurut Cahyadi (2006), secara umum penambahan bahan pengawet pada

pangan bertujuan sebagai berikut:

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang

bersifat patogen maupun tidak patogen.

2. Memperpanjang umur simpan pangan.

Universitas Sumatera Utara


3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan

yang diawetkan.

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas

rendah.

5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah

atau yang tidak memenuhi persyaratan.

6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan pangan.

2.3.2 Jenis Pengawet

2.3.2.1 Pengawet Organik

Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena

bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam

maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan

pengawet dalam minuman ialah asam sorbat, paraben, asam benzoat dan asam

asetat (Winarno, 1992).

2.3.2.2 Pengawet Anorganik

Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat,

dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K sulfit,

bisulfit, dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit

yang terdisosiasi dan terutama terbentuk pH di bawah 3.

Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada proses curing daging

untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan pertumbuhan

mikroba. Didalam daging nitrit akan membentuk nitrooksida yang dengan pigmen

Universitas Sumatera Utara


daging akan membentuk nitrosomioglobulin yang berwarna merah cerah

(Anonim, 1992).

2.3.3 Penggunaan Pengawet dalam Bahan Makanan

Zat pengawet sangat dekat dengan kehidupan kita, penggunaannya dari

minuman dan makanan. Zat pengawet seperti benzoat yang sering digunakan

untuk mengawetkan minuman ringan, kecap, sari buah, jeli, saus, manisan,

sambal, dan makanan lainnya. Ada juga propionat sebagai bahan pengawet untuk

roti dan keju olahan, dan sorbat sebagai bahan pengawet untuk potongan kentang

goreng, udang beku dan pekatan sari nenas. Sedangkan nitrit sering digunakan

untuk bahan pengawet daging olahan seperti sosis dan kornet dalam kaleng, bahan

ini juga untuk mengawetkan keju (Syah, 2005).

2.3.4 Toksisitas Pengawet

Penggunaan bahan pengawet yang paling banyak digunakan di Indonesia

adalah sulfit, nitrit dan benzoat. Perdebatan para ahli mengenai aman tidaknya

bahan pengawet itu masih berlangsung. Sebagian orang beranggapan, belum ada

bahan tambahan makanan (BTM) yang pernah menyebabkan reaksi serius bagi

manusia dalam jumlah yang sering ditemukan pada makanan. Seperti asam

benzoat tidak akan mengalami penumpukan sehingga cukup aman untuk

dikonsumsi. Bukti- bukti menunjukkan, pengawet ini mempunyai toksisitas sangat

rendah terhadap hewan maupun manusia. Ini karena hewan dan manusia

mempunyai mekanisme detoksifikasi benzoat yang efisien. Sampai saat ini

benzoat dipandang tidak mempunyai efek teratogenik (menyebabkan cacat

bawaan) dan karsinogenik. Namun, bukti lain menunjukkan bahwa pemakaian

Universitas Sumatera Utara


dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti memberikan

dampak negatif pada penderita asma karena bahan pengawet ini bisa

mempengaruhi mekanisme pernafasan paru-paru sehingga kerja paru-paru tidak

normal (Yuliarti, 2007).

2.4 Asam Benzoat

Asam benzoat (C6H5COOH), merupakan bahan pengawet yang luas

penggunaannya dan sering digunakan pada makanan atau minuman. Bahan ini

digunakan untuk mencegah pertumbuhan mikroorganisme. Benzoat efektif pada

pH 2,5-4,0. Karena kelarutan garamnya lebih besar, maka biasa digunakan dalam

bentuk garam Na-benzoat. Sedangkan dalam bahan, garam benzoat terurai

menjadi bentuk aktif, yaitu bentuk asam benzoat yang tak terdisosiasi (Winarno,

1992).

Keasaman dari substrat ke dalam mana asam benzoat ditambahkan

mempengaruhi keefektifan dari zat pengawet kimia. Asam benzoat kurang efektif

dalam suatu bahan pangan yang mempunyai pH 7,0 dibandingkan dengan bahan

pangan yang asam yang mempunyai pH mendekati 3,0 (Desrosier,1988).

Menurut PerMenKes RI No.722/MenKes/Per/IX/88 batas maksimum

penggunaan asam banzoat dalam minuman ringan adalah 600 mg/kg.

Dalam tubuh terdapat mekanisme detoksifikasi terhadap asam benzoat,

sehingga tidak terjadi penumpukan asam benzoat. Asam benzoat akan bereaksi

dengan glisin menjadi asam hipurat yang akan dibuang oleh tubuh. Asam benzoat

secara alami terdapat dalam rempah-rempah seperti cengkeh dan kayu manis

(Winarno, 1992).

Universitas Sumatera Utara


2.4.1 Struktur Asam Benzoat

Rumus bangun : O

OH

Nama kimia : Asam Benzoat, Benzoic acid, bensol carboxylic,

Asam Carboxybenzene

Rumus empiris : C6H5COOH

Berat molekul : 122,2

2.4.2 Sifat-sifat Asam Benzoat

Asam benzoat berbentuk hablur bentuk jarum atau sisik, putih, sedikit

berbau, biasanya bau benzaldehida atau benzoin. Agak mudah menguap pada

suhu hangat. Mudah menguap dalam uap air.

Kelarutan sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol, dalam

kloroform dan dalam eter (Ditjen POM, 1995).

2.4.3 Efek Asam Benzoat terhadap Kesehatan

Metabolisme asam benzoat didalam tubuh meliputi dua tahap reaksi,

pertama dikatalisis oleh enzim syntetase dan pada reaksi kedua dikatalisis oleh

enzim acytransferase. Asam hipurat yang pengujiannya didalam hati, kemudian

diekspresikan melalui urin. Jadi, didalam tubuh tidak terjadi penumpukan asam

benzoat, sisa asam benzoat yang tidak dieksresi sebagai asam hipurat, dihilangkan

toksisitasnya berkonjugasi dengan asam glukoronat dan dieksresi melalui urin.

Pada penderita asma dan orang yang menderita urticaria sangat sensitif terhadap

Universitas Sumatera Utara


asam benzoat, jika dikonsumsi dalam jumlah besar akan mengiritasi lambung

(Cahyadi, 2006).

2.5 Penetapan kadar Asam Benzoat Secara Kromatografi Cair Kinerja

Tinggi (KCKT)

Salah satu cara untuk mengetahui kadar asam benzoat adalah dengan

menggunakan metode kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT).

Kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan teknik yang mana

solut atau zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-

solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut-solut ini diatur oleh

distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair

secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan

secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase

gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan aliran fase gerak, suhu kolom, dan

ukuran sampel (Rohman, 2007).

2.5.1 Instrumentasi KCKT

a. Pompa

Tujuan penggunaan pompa atau system penghantaran fase gerak adalah

untuk menjamin proses penghantaran fase gerak berlangsung secara tepat, konstan

dan bebas dari gangguan.

b. Injektor

Sampel-sampel cair dan larutan disuntikkan secara langsung ke dalam fase

gerak yang mengalir dibawah tekanan menuju kolom menggunakan alat

penyuntik.

Universitas Sumatera Utara


c. Kolom

Kolom pada kromatografi cair kinerja tinggi merupakan bagian yang

sangat penting, sebab pemisahan komponen-komponen sampel terjadi di dalam

kolom. Oleh sebab itu harus diperhatikan dengan seksama tiga hal berikut:

- Pemilihan kolom yang sesuai

- Pemeliharaan kolom

- Uji terhadap spesifikasi kolom (walaupun kolom tersebut merupakan

kolom yang siap pakai)

Dilihat dari jenis fase diam dan fase gerak, maka kromatografi cair kinerja

tinggi (kolomnya) dibedakan atas:

1. Kolom fase normal

Kromatografi dengan kolom yang fase diamnya “normal” bersifat polar,

misalnya silika gel, sedangkan fase geraknya bersifat non polar.

2. Kolom fase terbalik

Kromatografi dengan kolom yang fase diamnya bersifat non polar,

sedangkan fase geraknya bersifat polar, kebalikan dari fase normal (Mulja, 1995).

d. Detektor

Suatu detektor dibutuhkan untuk mendeteksi adanya komponen sampel di

dalam kolom (analisis kualitatif) dan menghitung kadarnya (analisis kuantitatif).

Detektor yang baik adalah detektor dengan sensitifitas tinggi, gangguan yang

rendah dan memberi respon untuk semua senyawa.

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai