True Story
True Story
Lalu Jane datang ke dalam kehidupanku. Hari itu hari yang cerah. Aku
berdiri di balkon yang luas. Jane memelukku dari belakang. Sekali lagi
hatiku seperti terbenam di dalam cintanya. Apartment ini aku belikan
untuknya. Lalu Jane berkata, "Kau adalah laki-laki yang pandai memikat
wanita." Kata-katanya tiba-tiba
mengingatkan ku pada istriku. Ketika kami baru menikah, istriku
berkata "Laki-laki sepertimu, ketika sukses nanti, akan memikat banyak
wanita." Memikirkan hal ini, aku menjadi ragu-ragu. Aku tahu, aku
telah mengkhianati istriku.
Aku menyampingkan tangan Jane dan berkata, "Kamu perlu memilih
beberapa furnitur, ok? Ada yang perlu aku lakukan di perusahaan." Dia
terlihat tidak senang, karena aku telah berjanji akan menemaninya
melihat-lihat furnitur. Sesaat, pikiran untuk bercerai menjadi semakin
jelas walaupun sebelumnya tampak mustahil. Bagaimanapun juga, akan
sulit untuk mengatakannya pada istriku. Tidak peduli selembut apapun
aku mengatakannya, dia akan sangat terluka. Sejujurnya, dia adalah
seorang istri yang baik. Setiap malam, dia selalu sibuk menyiapkan
makan malam. Aku duduk di depan televisi. Makan malam akan segera
tersedia. Kemudian kami menonton TV bersama. Hal ini sebelumnya
merupakan hiburan bagiku.
Suatu hari aku bertanya pada istriku dengan bercanda, "Kalau misalnya
kita bercerai, apa yang akan kamu lakukan?" Dia menatapku beberapa saat
tanpa berkata apapun. Kelihatannya dia seorang yang percaya bahwa
perceraian tidak akan datang padanya. Aku tidak bisa membayangkan
bagaimana reaksinya ketika nanti dia tahu bahwa aku serius tentang ini.
Ketika istriku datang ke kantorku, Jane langsung pegi keluar. Hampir
semua pegawai melihat istriku dengan pandangan simpatik dan mencoba
menyembunyikan apa yang sedang terjadi ketika berbicara dengannya.
Istriku seperti mendapat sedikit petunjuk. Dia tersenyum dengan lembut
kepada bawahan-bawahanku. Tapi aku melihat ada perasaan luka dimatanya.
Sekali lagi, Jane berkata padaku, "Sayang, ceraikan dia, ok? Lalu kita
akan hidup bersama." Aku mengangguk. Aku tahu aku tidak bisa ragu-ragu
lagi. Ketika aku pulang malam itu, istriku sedang menyiapkan makan
malam. Aku menggemgam tangannya dan berkata, "Ada yang ingin aku
bicarakan."Dia kemudian duduk dan makan dalam diam. Lagi, aku melihat
perasaan luka dari matanya. Tiba-tiba aku tidak bisa membuka mulutku.
Tapi aku harus tetap
mengatakan ini pada istriku. Aku ingin bercerai. Aku memulai
pembicaraan dengan tenang.
Dia melirik surat itu dan kemudian merobek-robeknya. Wanita yang telah
menghabiskan 10 tahun hidupnya denganku telah menjadi seorang yang
asing bagiku. Aku menyesal karena telah menyia-nyiakan waktu, daya dan
tenaganya tapi aku tidak bisa menarik kembali apa yang telah aku
katakan karena aku sangat mencintai Jane. Akhirnya istriku menangis
dengan keras di depanku, yang telah aku perkirakan sebelumnya. Bagiku,
tangisannya adalah semacam pelepasan. Pikiran tentang perceraian yang
telah memenuhi diriku selama beberapa minggu belakangan, sekarang
menjadi tampak tegas dan jelas.
Hari berikutnya, aku pulang terlambat dan melihat istriku menulis
sesuatu di meja makan. Aku tidak makan malam, tapi langsung tidur dan
tertidur dengan cepat karena telah seharian bersama Jane. Ketika aku
terbangun, istriku masih disana, menulis. Aku tidak
mempedulikannya dan langsung kembali tidur. Paginya, dia menyerahkan
syarat perceraiannya: Dia tidak menginginkan apapun dariku, hanya
menginginkan perhatian selama sebulan sebelum perceraian. Dia meminta
dalam 1 bulan itu kami berdua harus berusaha hidup sebiasa mungkin.
Alasannya sederhana : Anak kami sedang menghadapi ujian dalam sebulan
itu, dan dia tidak mau mengacaukan anak kami dengan perceraian kami.
Aku setuju saja dengan permintaannya. Namun dia meminta satu lagi, dia
memintaku untuk meingat bagaimana menggendongnya ketika aku membawanya
ke kamar pengantin, di hari pernikahan kami. Dia memintanya selama 1
bulan setiap hari, aku menggendongnya keluar dari kamar kami, ke pintu
depan setiap pagi. Aku pikir dia gila. Aku menerima permintaannya yang
aneh karena hanya ingin membuat hari-hari terakhir kebersamaan kami
lebih mudah diterima olehnya. Aku memberi tahu Jane tentang syarat
perceraian dari istriku. Dia tertawa keras dan berpikir bahwa hal itu
berlebihan. "Trik apapun yang dia gunakan, dia harus tetap menghadapi
perceraian!", kata Jane, dengan nada menghina.
Istriku dan aku sudah lama tidak melakukan kontak fisik sejak
keinginan untuk bercerai mulai terpikirkan olehku. Jadi, ketika aku
menggendongnya di hari pertama, kami berdua tampak canggung. Anak kami
tepuk tangan di belakang kami. Katanya, "Papa menggendong mama!" Kata-
katanya membuat ku merasa terluka. Dari kamar ke ruang tamu, lalu ke
pintu depan, aku berjalan sejauh 10 meter, dengan dirinya dipelukanku.
Dia menutup mata dan berbisik padaku, "Jangan bilang anak kita mengenai
perceraian ini." Aku mengangguk, merasa sedih. Aku menurunkannya di
depan pintu. Dia pergi untuk menunggu bus untuk bekerja. Aku sendiri
naik mobil ke kantor.
Satu pagi, istriku sedang memilih pakaian yang dia ingin kenakan. Dia
mencoba beberpa pakaian tapi tidak menemukan yang pas. Kemudian dia
menghela nafas, "Pakaianku semua jadi besar." Tiba-tiba aku tersadar
bahwa dia telah menjadi sangat kurus. Ini lah alasan aku bisa
menggendongnya dengan mudah. Tiba-tiba aku terpukul. Dia telah memendam
rasa sakit dan kepahitan yang luar biasa di hatinya. Tanpa sadar aku
menyentuh kepalanya.
Anak kami datang saat itu dan berkata, "Pa, sudah waktunya menggendong
mama keluar." Bagi anak kami, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar
telah menjadi arti penting dalam hidupnya. Istriku melambai pada anakku
untuk mendekat dan memeluknya erat. Aku mengalihkan wajahku karena
takut aku akan berubah pikiran pada saat terakhir. Kemudian aku
menggendong istriku, jalan dari kamar, ke ruang tamu, ke pintu depan.
Tangannya melingkar di leherku dengan lembut. Aku menggendongnya dengan
erat, seperti ketika hari pernikahan kami. Tapi berat badannya yang
ringan membuatku sedih. Pada hari terakhir, ketika aku menggendongnya,
sulit sekali bagiku untuk bergerak. Anak kami telah pergi ke sekolah.
Aku menggendongnya dengan erat dan
berkata, "Aku tidak memperhatikan kalau selama ini kita kurang
kedekatan."
Aku pergi ke kantor, keluar cepat dari mobil tanpa mengunci pintunya.
Aku takut, penundaan apapun akan mengubah pikiranku. Aku jalan keatas,
Jane membuka pintu dan aku berkata padanya, "Maaf, Jane, aku tidak mau
perceraian." Dia menatapku, dengan heran menyentuh keningku. "Kamu
demam?", tanyanya. Aku menyingkirkan tangannya dari kepalaku. "Maaf,
Jane, aku bilang, aku tidak akan bercerai." Kehidupan pernikahanku
selama ini membosankan mungkin karena aku dan istriku tidak menilai
segala detail kehidupan kami, bukan karena kami tidak saling mencintai.
Sekarang aku sadar, sejak aku menggendongnya ke rumahku di hari
pernikahan kami, aku harus terus menggendongnya sampai maut memisahkan
kami.
Jane seperti tiba-tiba tersadar. Dia menamparku keras kemudian
membanting pintu dan lari sambil menangis. Aku turun dan pergi keluar.
Di toko bunga, ketika aku berkendara pulang, aku memesan satu buket
bunga untuk istriku. Penjual menanyakan padaku apa yang ingin aku tulis
di kartunya. Aku tersenyum dan menulis, aku akan menggendongmu setiap
pagi sampai maut memisahkan kita.
Kalau kamu tidak share ini, tidak akan terjadi apa-apa padamu. Kalau
share, mungkin kamu menyelamatkan satu pernikahan. Banyaknya kegagalan
dalam kehidupan karena orang tidak sadar betapa dekat mereka dengan
kesuksesan ketika mereka telah menyerah.