Anda di halaman 1dari 13

DARI GERAKAN SOSIAL

KE ISLAM POLITIK

Neng Dara Affiah

Pengantar
Sejak berakhirnya era Perang Dingin, banyak kalangan yang
memprediksi bahwa perseteruan dunia juga akan berakhir. Era di
mana ideologi-ideologi besar saling bersaing sudah berakhir. Ada
sementara anggapan yang menyatakan bahwa akhir Perang Dingin
adalah kemenangan blok demokrasi liberal. Samuel P. Huntington
memberi catatan kritis terhadap tesis Fukuyama tersebut. Melalui
buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order
(1996), Huntington mengajukan soal bagaimana pola hubungan
international pasca-Perang Dingin? Tiga Perang Dunia selalu
berakhir dengan membawa serta pola hubungan internasional yang
khas. Perang Dunia I menjadi sebab lahirnya komunisme, fasisme,
dan kemunduran demokrasi. Perang Dunia II melahirkan Perang
Dingin dan gelombang dekolonialisasi. Sementara Perang Dingin,
menurut Huntington, tampaknya tidak berarkhir harmoni dengan
kemenangan blok demokrasi liberal (Barat) sebagaimana yang
diprediksi oleh Francis Fukuyama. Yang terjadi malah bangkitnya
sentimen-sentimen cultural-primordial di masing-masing wilayah
dunia. Pasca Perang Dingin, orang-orang saling mengidentikkan diri
berdasarkan asal-usul (keturunan), agama, bahasa, sejarah, nilai-
nilai, adat-istiadat, dan institusi-institusi. Dan dengan itu pulalah era
pasca-Perang Dingin ditandai dengan konflik etnis dan
keterpecahan. Tidak kurang dari separuh dari 48 konflik yang terjadi
pada awal 1993, misalnya, adalah konflik atar pelbagai kelompok
dari peradaban yang berbeda-beda.1 Sekarang ini identitas kultural
semakin menguat. Pergumulan antar-identitas melalui kemudahan
informasi dan transportasi ternyata tidak menhancurkan identitas-
identitas, malah semakin memperkuatnya. Penguatan identitas pada
level rendah (regional) akan menjadi sebab bagi identifikasi diri
pada level yang lebih tinggi, yaitu peradaban.
Munculnya gelombang fundamentalisme agama, yang pada
titik ektrim muncul dalam bentuk terorisme, adalah sekian tanda
yang membuktikan “kebenaran” tesis Huntington tersebut. Pasca
Perang Dingin, kekuatan-kekuatan primordial, berupa agama seolah
memperoleh momentum kebangkitannya. Kebangkitan itu seolah
1
LIhat Samuel P. Huntington, The Clash of Civilization and The Remaking of World Order, terj.
M.Sadat Ismail, Benturan Antarperadaban dan Masa Depan Politik Dunia (Yogyakarta: Qalam, 2007)

1
merata dalam semua agama: Kristen, Katolik, Islam, Hindu, Budha,
Konghucu, dan seterusnya. Agama-agama seolah bersaing berebut
popularitas. Angka kelahiran memicu pertumbuhan masyarakat
Muslim di pelbagai negara. Sementara runtuhnya Uni Soviet secara
signifikan menambah jumlah pemeluk Kristen yang melakukan
konversi dari ateisme. Semakin terbukanya ekonomi-politik Cina
juga menambah laju pertumbuhan masyarakat beragama dunia.
Kebangkitan agama ini sesungguhnya adalah anti-tesis
terhadap teori-teori “mapan” masyarakat modern yang menyatakan
bahwa agama adalah warisan masa lalu yang sedikit demi sedikit
akan tergerus oleh kemajuan zaman. Perubahan dari masyarakat
metafisis, agamis, dan positivis (Auguste Comte) ternyata tidak
muncul dalam bentuk yang saklek. Ada penyesuaian-penyesuaian
yang tak terduga. Fundamentalisme agama ternyata bukan
konsumsi masyarakat tradisional pedesaan, melainkan terutama
muncul di perkotaan, pusat modernitas dunia. Mereka yang tampil
sebagai pembela agama adalah justru juga adalah orang-orang
terdidik dan menguasai ilmu-ilmu modern. Modernitas ternyata tidak
muncul dengan sebuah rongga di dada berbentuk Tuhan (Albert
Camus), melainkan dengan dada yang juga dipenuhi dengan Tuhan.
Masyarakat memang berjalan dengan pola solidaritas organik tetapi
juga tetap berpegang teguh kepada simbol-simbol metafisis perekat
solidaritas ala suku Arunta.
Dengan latar belakang global semacam ini, gerakan
keagamaan masyarakat Muslim juga mencuat. Sejak tahun 1990-an,
dunia diramaikan dengan munculnya kekuatan Islam di pelbagai
negara. Negara-negara berpenduduk mayoritas Islam yang
sebelumnya dikuasai oleh rezim-rezim sekuler dan komunis mulai
dibanjiri gerakan politik yang menginkan Islam sebagai ideologi
negara. Di banyak tempat, ideologi Islam berkolaborasi dengan
ideologi sekuler dan komunis untuk meruntuhkan rezim diktator.
Ayatullah Khomaini mengobarkan revolusi di Irang tahun 1979.
Gerakan revolusi itu disebut perpaduan yang apik antara gerakan
Islam dengan semangat komunisme. Belakangan, tuntutan
Islamisasi semakin marak.
Gerakan politik Islam menjadi isu yang paling hangat dalam
pembicaraan para pengamat dunia Islam dua puluh tahun terakhir
ini. Secara umum, demokratisasi ekonomi dan politik yang terjadi di
negara-negara Muslim, secara umum seluruh dunia, dianggap
sebagai wahana yang memberi ruang bagi gerakan-gerakan Islam
untuk muncul sebagai kekuatan alternatif. Keterbukaan yang
menjadi implikasi langsung dari demokratisasi menjadi ruang

2
kesempatan politik (political opportunity structure) bagi gerakan
politik Islam meneguhkan eksistensinya. M. Hakan Yafuz menyebut
setidaknya ada empat pola gerakan sosial Islam yang muncul dari
struktur kesempatan politik akibat demokratisasi tersebut. Pada
level fertikal, kelompok reformis berusaha masuk ke dalam sistem
dan melakukan gerakan politik demokratis, sementara kelompok
revolusioner secara tegas menyatakan penolakan kepada sistem
dan berusaha menggalang kekuatan radikal revolusioner, tak jarang
dengan cara-cara kekerasan. Pada level horizontal, kelompok
reformis mencoba membangun jaringan integrasi sosial dan
memanfaatkan fasilitas sosial untuk menciptakan tata kehidupan
sosial yang lebih baik, sementara kelompok revolusioner berusaha
lari dari dunia dan mengkampanyekan kehidupan sufistik yang
menolak kemewahan dunia.2
Tulisan ini akan mengulas gerakan sosial Islam pada level
vertikal yang kemudian disebut sebagai gerakan politik Islam.
Gerakan politik Islam sering juga disebut sebagai gerakan
Islamisme. Islamisme digunakan sebagai istilah yang cukup netral
dan genuin, jika dibandingkan dengan fundamentalisme Islam yang
memiliki akar sejarah dalam tradisi Kristen. Islamisme merujuk
kepada ideologi kelompok Islam yang percaya bahwa Islam adalah
agama yang mengatur baik kehidupan agama (prifat) maupun
kehidupan politik (publik) atau bisa disebut sebagai Islam kaffah.3
Islamisme biasa dipertukarkan dengan istilah Islam politik.

Salafisme dan Wahhabisme


Gagasan mengenai Islam politik memiliki akar yang jauh
sampai kepada gagasan yang disebut sebagai salafisme
(salafiyyah). International Crisis Group (ICG) mendefinisikan
salafisme sebagai “gerakan Islam internasional yang berusaha
kembali kepada zaman yang dianggap sebagai era Islam paling suci,
yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad dan dua generasi
setelahnya.”4

2
Lihat M. Hakan Yafuz, Ruang Kesempatan, Identitas, dan Makna Islam di Turki, dalam Quintan
Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory, terj. Tim Penerjemah Paramadina,
Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Paramadina, 2007), hlm. 344.
3
Lihat Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: Gramedia, 2007). Bandingkan dengan Noorhaidi Hasan, Laskar
Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru, (Jakarta: LP3ES,
2008), hlm. 18
4
ICG Report, Indonesia Backgrounder: Why Salafism and Terrorism Mostly Don’t Mix, ICG Asia
Report No. 83, 13 September 2004.

3
Secara harfiah, salafisme berasal dari kata salaf yang berarti
masa lalu atau yang awal. Konsep salafisme berdiri di atas
keyakinan bahwa selamanya yang lebih dahulu selalu lebih baik dari
yang sebelumnya sampai kepada era Nabi Muhammad. Pada
mulanya gerakan salafi bukanlah gerakan politik, melainkan hanya
merupakan sebuah model kehidupan atau keyakinan keagamaan
tertentu.
Banyak kalangan yang menganggap bahwa Ibn Hanballah
yang memperkenalkan konsep ini, lalu kemudian lebih dipopulerkan
oleh Ibn Taimiyyah. Ciri khas gagasan kedua tokoh ini adalah
sifatnya yang kaku. Konsep salafisme menjadi sesuatu yang
memiliki kekuatan dunia yang cukup besar adalah ketika ia
disandingkan dengan istilah wahhabisme. Dalam literatur-literatur
modern, kata salafisme sering dipertukarkan dengan wahhabisme,
bahkan disebut dalam satu kata, salafi-wahhabi. Dan yang paling
mutakhir adalah salafi-jihadi-wahhabi.
Wahhabisme yang sekarang dianut secara resmi oleh dinasti
Saud di Arab Saudi adalah sebuah faksi pemikiran dalam Islam yang
dicirikan oleh fanatisme terhadap doktrin agama. Yang paling
bermasalah dari kelompok ini adalah doktrin pengkafiran. Semua
kelompok yang tidak sependapat dengan ide mereka akan disebut
sebagai orang-orang kafir. Dan orang kafir, bagi kelompok ini,
adalah musuh yang harus dimusnahkan. Kelompok Wahhabilah yang
pertama kali dalam sejarah Islam modern yang secara terbukan
melancarkan serangan kepada kelompok-kelompok Islam lain,
seperti Syiah. Bagi kelompok Wahhabi, kekafiran yang lebih
berbahaya adalah jika itu dilakukan oleh orang-orang Islam sendiri.
Itulah sebabnya mereka mau bekerja sama dengan negara-negara
non-Islam seperti Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris, tetapi pada
saat yang sama melakukan permusuhan dengan negara-negara
Muslim lain, seperti Turki dan Iran.
Wahhabisme menjadi semakin berbahaya ketika dinasti Saud
menjadikannya sebagai ideologi resmi negara untuk melegitimasi
kekuasaan politik mereka. Kekakuan berpikir dan sikap anti
perbedaan yang dibungkus oleh doktrin agama kemudian
bergabung dengan kekuasaan diktator. Maka lengkaplah sudah
semua instrumen totalitarianisme ini. Pertama-tama yang mereka
lakukan adalah menyerang dan membunuh penduduk Jazirah Arab
sendiri yang tidak mau menerima keyakinan Wahhabi. Di masa
kekuasaan yang stabil, rezim Saud-Wahhabi tetap melakukan
pembungkaman dan pembunuhan terhadap semua gerakan oposisi
di negara tersebut.

4
Beberapa doktrin utama yang diyakini oleh kelompok salafi-
wahhabi adalah adanya sikap tanpa bertanya terhadap teks-teks
primer agama Islam. Sikap semacam ini biasa disebut sebagai sikap
bila kayfa. Sikap tanpa pertanyaan ini menjadikan para penganutnya
akan berupaya mengikuti apapun yang dilakukan oleh Nabi tanpa
peduli terhadap konteks di mana Nabi hidup. Pengabaian konteks
semacam inilah yang menyebabkan ideologi wahhabi-salafisme
acapkali berhadap-hadapan secara langsung dengan perubahan
zaman. Pada masa-masa awal, bahkan sampai sekarang, banyak
sekali ulama wahhabi yang mengharamkan televisi dan tehnologi
lainnya, karena dianggap bid’ah atau merupakan inovasi yang tidak
memiliki rujukan dalam kehidupan Nabi. Di atas sikap yang
cenderung naif semacam inilah salafisme-wahhabisme dibangun.

Islam Politik
Banyak pengamat yang menyatakan bahwa apa yang disebut
sebagai Islam politik atau Islamisme sesungguhnya adalah
fenomena baru. Gagasan ini diperkenalkan oleh Hasan al-Banna
yang kemudian mendirikan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Abu al-
a’la al-Maududi yang mendirikan Jama’at al-Islami di Pakistan.
Keduanya mengusung gagasan Islam sebagai ideologi politik yang
berdampingan dengan ideologi-ideologi politik dunia lainnya di abad
ke-20. Gagasan Islam politik ini kemudian memperoleh tempat yang
luas pada masyarakat Muslim menyusul kegagalan rezim-rezim
sekular di negara-negara tersebut. Islam politik pada akhirnya
adalah gerakan politik yang berfungsi sebagai kritik terhadap rezim-
rezim sekular yang korup. Kegagalan rezim-rezim sekular, terutama
di Timur Tengah, mencapai puncaknya pada kekalahan gabungan
negara-negara Arab dalam perang enam hari dengan Israel pada
tahun 1967. Kekalahan ini memicu kekecewaan yang meluas di
tengah-tengah masyarakat Muslim dunia. Sejak saat itulah slogan
“Islam huwa al-hal” (Islam sebagai solusi) menjadi sangat populer.
Kekalahan dalam perang enam hari menjadi alat propaganda
yang sangat efektif dalam mendesak rezim-rezim sekuler Timur
Tengah untuk mundur. Keberhasilan gerakan revolusi Iran 1979
semakin membuka mata dunia Islam bahwa agama ini bisa dijadikan
alat perubahan sosial. Ayatullah Khomaini bahkan menyeru dunia
Islam agar mengikuti jalan revolusi Iran untuk merebut kekuasaan
dari tangan rezim-rezim sekular. Kelompok-kelompok Islamis
kemudian membangun kekuatan bawah tanah dan melakukan
propaganda anti pemerintah. Dua bentuk gerakan anti pemerintah
muncul secara bergantian, yakni terlibat dalam politik praktis atau

5
melakukan gerakan revolusioner dan kekerasan. Dua bentuk
gerakan Islam ini muncul dalam sejarah gerakan Ikhwanul Muslimin
di Mesir.
Pada mulanya Ikwanul Muslimin adalah gerakan dakwah yang
dipelopori oleh Hasan al-Banna. Gerakan ini dengan cepat menjadi
radikal ketika Sayyid Qutb menyusun landasan ideologis Ikhwanul
Muslimin. Gagasan Qutb yang paling terkenal adalah redefinisinya
mengenai jahiliyyah. Secara tradisional, jahiliyyah adalah cara sebut
masyarakat Muslim perdana kepada masyarakat pra-Islam. Masa itu
disebut jahiliyyah karena tiadanya “petunjuk” Tuhan yang oleh
karenanya mereka tersesat. Qutb menyebut rezim-rezim sekular
sebagai rezim jahiliyyah. Melakukan perang, setidaknya mengambil
oposisi yang jelas, terhadap rezim sekular adalah sebuah kemestian
bagi masyarakat Muslim. Sejak itu Ikhwanul Muslimin tumbuh
menjadi gerakan politik Islam yang radikal. Rezim sekular Mesir
akhirnya melarang organisasi ini. Sayyid Qutb sendiri dibunuh dan
para pengikutnya dikejar-kejar. Ribuan aktivis Ikhwanul Muslimin
kemudian hijrah ke Arab Saudi. Raja Faisal memberi ruang bagi para
pelarian Ikhwan ini di pelbagai universitas sejak tahun 1950-an.
Pertemuan pelarian aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin dan
anak-anak muda Wahhabi melahirkan sebuah kolaborasi gerakan
yang sampai sekarang memiliki jejak dalam hampir semua gerakan
Islam radikal di seluruh dunia.
Arab Saudi disebut-sebut sebagai pusat gerakan Islam politik.
Di sini lahir gerakan Wahhabisme yang kemudian berkolaborasi
dengan rezim politik dinasti Ibn Saud. Kolaborasi itu kemudian
menjadi kekuatan yang begitu dominan terutama karena ditopang
oleh dukungan minyak dan ideologi yang keras dan kaku.
Wahhabisme secara tegas menyerang semua kelompok di luar
dirinya. Tradisi pengkafiran yang pernah disuarakan oleh Khawarij
dalam Islam perdana kembali dimunculkan. Wahhabi bahkan
terutama menolak kelompok-kelompok lain di dalam Islam.
Sehingga, sepanjang sejarahnya, kelompok Wahhabi jauh lebih
sering berkonflik dengan kelompok-kelompok masyarakat sesama
Islam.
Secara tradisional, Wahhabi lahir dari rahim kelompok Islam
Sunni. Tidak heran kemudian kebencian Sunni terhadap Syiah
kemudian diradikalkan menjadi gerakan pembumihangusan.
Kelompok masyarakat Arab yang paling merasakan ulah kekerasan
kelompok Wahhabi adalah para penganut Syiah di beberapa wilayah
jazirah Arab. Secara brutal, pasukan Wahhabi bahkan menyerang
dan membunuhi masyarakat Syiah. Ketika Syiah Iran berhasil

6
membuka mata dunia mengenai kekuatan mereka dengan
menumbangkan rezim Syah Reza Pahlevi. Wahhabi Arab Saudi
mencoba pelbagai cara untuk menghindari pengaruh revolusi Iran.
Tidak bisa dipungkiri, Khomaini sudah menjadi idola ummat Islam,
tidak hanya kelompok Syiah, melainkan juga Sunni. Wahhabi terus
berupaya menancapkan hegemoninya.
Sejak minyak bumi ditemukan dan mencapai booming pada
tahun 1970-an, gerakan Wahhabisme kemudian menyebar secara
sporadis ke seluruh dunia. Dengan dukungan dana minyak yang
seolah tanpa batas, rezim Saudi membangun basis-basis kekuatan
ideologis di seluruh dunia. Sebetulnya rezim Saudi menghadapi
dilema yang cukup besar. Rezim ini didukung oleh basis ideologi
Wahhabi. Oleh sebab itu, kerajaan terkontrol oleh pakem-pakem
agama yang ketat. Ia dituntut untuk tampil sebagai pembela
ideologi. Ia memperoleh legitimasi kekuasaan dari kelompok agama.
Tetapi pada saat yang sama ia tersandera ideologi yang
mendasarinya.
Untuk tetap memperoleh legitimasi agama (Wahhabi), rezim
melakukan ekspor ideologi secara serius. Rezim kemudian
menggelari diri sebagai Khadim al-Haramain (Penjaga Dua Tempat
Suci (Mekkah dan Madinah). Gelar ini adalah sebuah taktik yang jitu
untuk menempatkan diri sebagai satu-satunya representasi Islam
dunia. Setiap tahun jutaan ummat Islam dunia mengunjungi wilayah
Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji. Hegemoni ideologis Arab
Saudi semakin berkembang.
Kehadiran pelarian Ikhwanul Muslimin di kampus-kampus Arab
Saudi memberi warna tersendiri bagi gerakan Wahhabi yang sudah
ada. Kritisisme mereka tumbuh secara cepat di luar kontrol negara.
Ulama-ulama Wahhabi senior memberi basis teologi, tetapi
kelompok Ikhwanul Musliminlah yang memberi arah terhadap
ideologi Islam garis keras ini. Pada tahun 1979, sekelompok anak
muda Wahhabi melakukan gerakan kudeta terhadap rezim Saudi
yang saat itu dipimpin oleh Raja Khalid. Gerakan ini dipimpin oleh
seorang cucu tentara Wahhabi yang telah membantu Abd Aziz bin
Saud mendirikan kerajaan Arab Saudi. Juhayman al-Utaibi dan para
pengikutnya berhasil merebut Masjid al-Haram selama dunia minggu
yang dimulai tepat pada malam peringatan tahun baru Islam 1300
H.
Juhayman memberi tuntutan kepada rezim agar kembali
kepada ideologi Wahhabi. Mereka menolak segala bentuk inovasi
(bid’ah). Kehadiran orang-orang Amerika di Mekkah untuk
mengeksplorasi ladang-ladang minyak Saudi juga mereka kecam.

7
Alhasil, gerakan Juhayman ini menjadi gerakan yang menginspirasi
gerakan Islam radikal sesudahnya. Yaroslav Trofimov menyebut
kudeta yang dilakukan oleh Juhayman menjadi cikal bakal gerakan
terorisme internasional yang sekarang diorganisir oleh al-Qaedah
pimpinan Osama bin Laden.5
Peristiwa 1979 dan respon terhadapnya membawa pengaruh
yang luas dalam tata kehidupan politik Islam Wahhabi di Arab Saudi.
Rezim tidak lagi mau memberi ruang terhadap oposisi. Raja Fahd
memerintah dengan tangan besi. Semua pelaku pemberontakan
dihukum mati. Tetapi pengaruh gerakan Juhayman ini telah terlanjur
membekas di hati banyak aktivis Islamis. Karena rezim yang begitu
represif, gerakan ini kemudian mengambil jalur bawah tanah atau
yang biasa disebut sebagai gerakan dakwah.
Gerakan dakwah pada masa represif sesungguhnya terjadi di
hampir semua wilayah gerakan Islam. Gerakan Islam muncul dalam
bentuk yang lebih vulgar ketika terjadi perubahan politik yang
memungkinkan mereka bergerak bebas. Tahun 1980-an, pemerintah
Turki muncul dengan wajah yang lebih terbuka dan memberi ruang
kesempatan politik bagi warganya untuk muncul. Gerakan Islam
Turkilah yang berhasil secara gemilang memanfaatkan ruang
kesempatan politik itu. Di akhir tahun 1990-an, gerakan sosial Islam
Turki dengan percaya diri muncul di garis depan sampai kemudian
berhasil memenangkan Pemilu.
Gerakan dakwah juga muncul dalam bentuk peningkatan
religiusitas. Gwenn Okruhlik mengamati kebangkitan religiusitas di
Arab Saudi pasca kudeta Juhayman sebagai sebuah gerakan
simbolik.6 Ketidakpuasan terhadap rezim yang represif membuat
masyarakat menumpahkan energi pemberontakannya dalam bentuk
religiusitas. Selama 1980-an, para syekh, professor, dan mahasiswa
berkembang pesat. Dengan angan-angan akan mendapat legitimasi
yang lebih besar, rezim tidak segan-segan menyalurkan dana yang
luar biasa besar untuk membangun pusat-pusat pendidikan Islam
yang akan mencetak para syekh, professor, dan mahasiswa Islam
tersebut. Program-program studi Islam dikembangkan sedemikian
rupa. Tahun 1990-an, seperempat dari seluruh mahasiswa di
seantero Arab Saudi terlibat dalam institusi-institusi agama. Mereka
5
Lihat Yaroslav Trofimov, The Siege of Mecca: The Forgotten Uprising in Islam’s Holiest Shrine and
the Birth of al Qaeda (New York: Doubleday, 2007).
6
Lihat Gwenn Okruhlik, Membuat Perbincangan Diizinkan: Islamisme dan Reformasi di Arab Saudi,
dalam Quintan Wiktorowicz (ed.), Islamic Activism: A Social Movement Theory, terj. Tim Penerjemah
Paramadina, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, (Jakarta: Paramadina, 2007), hlm.
324.

8
bekerja sebagai birokrat, polisi, mutawwa’, hakim-hakim syari’ah,
dan khatib di sekitar 20,000 mesjid di seluruh negeri.
Kebangkitan Islam melanda seluruh negeri. Kebangkitan tahun
1980-an adalah kebangkitan yang bersifat personal spritual. Mereka
berpegang kepada identitas personal yang semakin hari semakin
meluas. Di Turki, gerakan Islam juga muncul di bawah tanah pada
masa represi militer. Jenny B. White menelusuri bagaimana
masyarakat Muslim Turki menumpahkan ketidakpuasan terhadap
pemerintahan yang korup dengan peningkatan religiusitas.7 Saat ini,
kelompok-kelompok kultural seperti Nurcu dan Tarekat Naqsabandi
menjadi kekuatan alternatif yang sangat besar di Turki.
Metamorfosa ke dalam gerakan Islam politik terjadi dalam
beberapa variasi yang satu sama lain memiliki benang merah. Ada
tiga model yang bisa dibaca sebagai perbandingan. Pertama, Arab
Saudi. Sekitar sepuluh tahun, pasca kegagalan kudeta Juhayman
tahun 1979, gerakan Islam Arab Saudi berada dalam apa yang
disebut sebagai gerakan dakwah. Tetapi hal ini berubah kekita tahun
1990-an, Arab Saudi mengizinkan Amerika Serikat mendirikan
pangkalan militernya. Gerakan yang awalnya merupakan gerakan
dakwah spritual berubah menjadi gerakan politik yang menentang
kebijakan pemerintah Kerajaan Arab Saudi sendiri.
Karena begitu kuatnya negara dalam mempressure rakyat,
maka gerakan politik ini masih belum muncul secara terang-
terangan di dalam negeri. Tetapi imbas di luar negeri sudah sangat
terasa. Para oposan bahkan melakukan gerakan terorisme
internasional yang melakukan serangan terhadap simbol-simbol
negara sekutu Arab Saudi sendiri seperti Amerika Serikat.
Kedua, Turki. Munculnya gerakan Islam politik di Turki tidak
bisa dilepaskan dari keterbukaan ekonomi yang dicanangkan oleh
pemerintah pada tahun 1980-an. Keterbukaan ekonomi kemudian
memicu perkembangan gerakan Islam di Turki yang pada akhirnya
muncul sebagai kekuatan politik yang akhirnya merebut dominasi
suara dalam pemilihan umum.
Ketiga, Indonesia. Demokratisasi yang terjadi di Indonesia
pada tahun 1998 diyakini menjadi pintu masuk bagi gerakan sosial
Islam untuk melakukan metamorfosa menjadi gerakan Islam politik.
Gerakan Islam politik ini muncul dalam beragam rupa, mulai dari
yang mengakui sistem demokrasi dan bertarung dalam mekanisme

7
Lihat Jenny B. White, The End of Islamism? Turkey’s Moslemhood Model, dalam Robert W. Hefner
(ed.), Remaking Muslim Politics: Pluralism, Contestation, Democratization (Princeton and Oxford:
Princeton University Press, 2005).

9
tersebut sampai kepada gerakan yang menolak sistem dan
menyerukan revolusi bahkan penghancuran negara bangsa.

Islam Politik di Indonesia


Masuknya gerakan Islam ke Indonesia tidak bisa dipisahkan
dari campur tangan internasional yang secara sistematis terus
menyuntikkan ideologi ini ke dalam kehidupa keberagamaan di
Indonesia. Arab Saudi diyakini sebagai pihak yang paling
bertanggungjawab dalam supplay ideologi Islam politik tersebut.
Secara umum, Arab Saudi terus mengimpor ideologi Wahhabi
melalui lembaga-lembaga pendidikan yang ia dirikan. Lembaga
dalam negeri yang terus mendapat kucuran dana Saudi untuk
mengembangkan Islam politik Wahhabi adalah Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII). Sejak awal berdirinya, 1967, DDII sudah
menjadi mitra Arab Saudi di Indonesia. Lembaga ini kemudian
pengkaderan secara serius dan mengirimkan ratusan anak muda
Indonesia untuk belajar di universitas-universitas Wahhabi Arab
Saudi. Lembaga ini juga terus melakukan kampanye ideologi melalui
penerbitan majalah Media Dakwah.
Dua di antara sekian banyak anak muda yang dikirim DDII ke
Arab Saudi adalah Ja’far Umar Thalib dan Rizieq Shihab. Kedua
lulusan Arab Saudi ini kemudian masing-masing mendirikan dua
organisasi Islam paling radikal di Indonesia, Laskar Jihad dan Front
Pembela Islam. Laskar Jihad terkenal dengan pengiriman ribuan
sukarelawan jihad ke Maluku. Sementara Front Pembela Islam
muncul dengan aksi-aksi kekerasan terhadap tempat-tempat
hiburan di wilayah Jakarta.
Menurut Noorhaidi Hasan, setidaknya ada tiga kelompok
utama kegerakan Islam politik di Indonesia, menurut garis
geneologinya: Ikhwanul Muslimin (diwakili oleh Tarbiyah atau Partai
Keadilan Sejahtera), Hizbut Tahrir, dan gerakan lokal yakni Negara
Islam Indonesia (yang muncul dalam wadah Majelis Mujahidin
Indonesia). Ketiga kelompok inilah yang memiliki gerakan yang lebih
jelas dan serius. Laskar Jihad dan FPI tampak tidak terlalu mewakili
ideologi secara serius karena keduanya tampak rapuh terutama
karena sifat gerakannya yang reaksioner. Laskar Jihad memang
muncul fenomenal namun segera hilang setelah konflik Maluku usai.
Demikian pula FPI yang muncul sebagai gerakan para militer dan
tidak memiliki gagasan doktrin yang begitu kokoh. Ada sementara
anggapan bahwa kedua gerakan ini sebetulnya dihuni oleh anak-
anak muda pengangguran yang sama sekali tidak memiliki perasaan
ideologis tertentu.

10
Sementara kelompok-kelompok gerakan Islam politik
sebetulnya tumbuh dari komunitas yang tidak terlalu agamis.
Mereka ini adalah orang-orang kota yang jauh dari tradisi pesantren.
Itulah sebabnya, kiai dan para ulama tidak terlalu identik dengan
gerakan Islam politik. Kaderisasi lebih banyak dilakukan di kampus-
kampus umum dengan latar belakang pendidikan yang juga umum.
Sementara gagasan mengenai Islam politik justru tidak memperoleh
gaung yang maksimal di kalangan pesantren atau lembaga
pendidikan agama.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia,
melainkan juga di semua negara di mana Islam politik berkembang.
Bahkan gerakan Islam Iran yang berhasil melakukan revolusi dan
menumbangkan Syah Reza Pahlevi lebih banyak dilakukan oleh
mahasiswa-mahasiswa dari Teheran, dan bukan dari Qum yang
dikenal sebagai pusat kajian Islam.
Banyak analisa yang bisa dikemukakan dari fenomena ini.
Yang banyak banyak dikemukakan oleh para ahli adalah bahwa
mereka yang terlibat di dalam gerakan Islam politik sesungguhnya
adalah mereka mengalami shock budaya di perkotaan. Anak-anak
muda yang setiap hari terlibat dalam gerakan ini adalah mereka
yang berasal dari pedesaan tetapi kemudian tidak mampu
mengatasi kompleksitas kota. Artinya, gerakan Islam politik adalah
konsumsi kaum urban baru.
Cara kerja rekrutmen yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
Islam politik hampir sama di semua wilayah, baik di Timur Tengah
maupun Indonesia. Mereka bergerak pada tataran elit kelas
menengah, yakni mahasiswa-mahasiswa di lingkungan pendidikan
umum. Mahasiswa-mahasiswa di lingkungan pendidikan umum inilah
yang paling mudah untuk diajak bergabung justru karena
keterbatasan ilmu pengetahuan agama mereka. Keterbatasan ilmu
pengetahuan agama menjadikan pemahaman agama yang mereka
miliki mengental dan mudah untuk menjadi egelogis. Sementara
anak-anak muda yang secara dalam mempelajari agama di
lingkungan pesantren akan sangat sulit menjadi fanatik, karena
mereka memiliki banyak perspektif dalam melihat persoalan agama.
Menurut Glenn E. Robinson, kader inti revolusi Iran bukanlah
kalangan religius, melainkan kaum Islamis awam yang darikal.8
Cara lain dalam rekrutmen adalah dengan langsung mengusai
pusat-pusat ibadah, yakni masjid di lingkungan kampus. Dengan
begitu, mereka langsung mendeklarasikan diri sebagai otoritas
agama di lingkungan kampus umum tersebut.
8
Glenn E. Robinson, Hamas sebagai Gerakan Sosial, dalam Quintan Wiktorowicz (ed.).

11
Mahasiswa-mahasiswa yang mengalami keterkejutan budaya
akan berusaha untuk mendapatkan pegangan. Dan Islam politik
memberikan solusi dengan membangun komunitas persaudaraan
yang terus dipupuk dalam bentuk solidaritas, pertemuan-pertemuan,
dan ibadah ritual. Akhirnya, persaudaraan menjadi perekat kuat
dalam kelompok-kelompok gerakan Islam politik. Hampir semua
kampus-kampus umum terkemuka sekarang ini sudah menjadi basis
gerakan Islam politik.
Sementara di kampus-kampus agama semacam IAIN atau UIN,
gerakan Islam politik belum bisa bicara banyak. Namun begitu,
mereka terus berusaha menguasai fakultas-fakultas keguruan.
Fakultas keguruan menjadi target utama rekrutmen karena fakultas
inilah yang akan melahirkan para guru. Para guru akan menjadi alat
propaganda yang sangat efektif dalam proses pengkaderan di
sekolah menengah. Itu pulalah yang menyebabkan gerakan Islam
politik paling marak di lingkungan perguruan tinggi seperti IKIP.
Gerakan Islam, layaknya gerakan sosial lain, juga memiliki
dinamika yang sangat kompleks. Beberapa organisasi Islam politik
dominan juga terlibat konflik dan perpecahan. Hizbut Tahrir
Indonesia sesungguhnya lahir dari rahim yang sama dengan gerakan
Tarbiyah atau PKS. Tetapi karena pelbagai kepentingan, maka
perpecahan terjadi. Kasus perpecahan yang paling mutakhir adalah
apa yang menimpa Majelis Mujahidin Indonesia yang kemudian
pecah menjadi MMI dan Ansharut Tauhid.
Perpecahan-perpecahan ini, menurut temuan Noohhaidi
Hasan, disebabkan oleh banyak faktor, terutama persoalan jatah
kepentingan, seperti donasi funding Timur Tengah. Ada perebutan
wilayah kerja antar organisasi yang bertikai. Tetapi karena ini adalah
organisasi yang melibatkan massa yang banyak, maka secara
sistematis dan berkesinambungan, mereka menggunakan simbol-
simbol agama untuk melegitimasi perpecahannya. Hizbut Tahrir
Indonesia yang awalnya berada dalam rahim yang sama dengan
gerakan Tarbiyah secara umum mendeklarasikan perjuangan
menegakkan khilafah yang secara langsung menolak konsep negara
bangsa. Sementara kelompok lainnya, yakni PKS, justru mendukung
gagasan negara bangsa dengan menjadi peserta Pemilu.

Ruang Perempuan dalam Islam Politik


Fenomena bangkitnya Islam politik di banyak negara
memaksa para ilmuan untuk melakukan redefinisi terhadap konsep
hubungan antara Islam dan demokrasi. Jika para ilmuan awal
berusaha mencari kompatibilitas antara Islam dan demokrasi yang

12
kemudian memunculkan pertanyaan apakah Islam kompatibel
dengan demokrasi atau tidak?, maka sekarang ini pertanyaan yang
pas adalah apa yang mungkin disumbangkan oleh gerakan Islam
bagi demokrasi.
Pertanyaan terakhir itu penting untuk mengakomodir tidak
terbendungnya gerakan Islam politik di banyak negara. Upaya untuk
meminggirkan peran agama di ranah politik ternyata sia-sia di
tengah euforia agama di mana-mana. Maka yang paling bijak
dilakukan adalah meminimalisir dampak negatif dari euforia
teresbut.
Kasus Turki membuktikan bahwa justru gerakan Islam lah
yang menjadi pelopor tuntutan bagi demokratisasi di negara itu. Di
Turki, orang bisa menjadi sangat saleh tetapi pada saat yang sama
juga muncul sebagai demokrat sejati. Saiful Mujani menyebut model
Islam semacam ini sebagai Muslim demokrat, yaitu kompatibilitas
Islam dan demokrasi pada perilaku masyarakat itu sendiri.
Hanya saja, persoalan paling mendasar yang menjadi dampak
negatif dari gerakan Islam politik adalah munculnya kekerasan
akibat ideologi absolutisme yang mereka anut. Absolutisme
menjadikan mereka begitu mudah terprovokasi untuk menhabisi
yang lain. Ini berbahaya bagi kelangsungan demokrasi itu sendiri.
Budaya kekerasan yang kerap identik dengan kelompok-
kelompok Islam politik harus dihilangkan. Yang menarik adalah
bahwa dari semua kasus kekerasan, hampir semua pelaku adalah
laki-laki. Kekerasan-kekerasan yang melibatkan laki-laki itu mulai
dari perang besar, konflik etnis, sampai kepada kekerasan-
kekerasan di pelbagai kota didominasi oleh pelaku laki-laki.
Sayangnya, ideologi konservatif di dalam tubuh gerakan Islam
politik justru membatasi aktivitas perempuan dalam organisasi.
Inilah yang menjadi sumber persoalan. Oleh karena itu, melibatkan
lebih banyak perempuan dalam organisasi Islam politik adalah cara
yang sangat efektif untuk meredam perilaku kekerasan yang kerap
muncul dari kelompok-kelompok masyarakat semacam ini.

13

Anda mungkin juga menyukai