Ekonom besar kita Dr. Faisal Basri pada tulisannya pada harian Kompas
tanggal 11 April 2011 halaman 15 yang yang diberi judul: “ ASEAN
Cina FTA: Pemerintah Abai?” menulis antara lain sebagai berikut:
Sangat ironis kalau barang barang yang terdesak di pasar domestik kita
sendiri adalah hasil produksi dari kegiatan atau industri yang sejatinya
kita punya potensi keunggulan komparatif, seperti mebel kayu dan
rotan, hasil perikanan, pertanian dan hotikultura, hutan, industri
makanan dan minuman serta beberapa jenis tekstil dan pakaian jadi.
Isi tulisan tersebut diatas, saya yakin pasti mengandung kebenaran yang
tidak terbantahkan.
Bila untuk produk dimana kita memiliki potensi keunggulan komparatif
saja, kita sudah kalah, apa lagi untuk produk yang tidak memiliki
keunggulan komparatif. Ini menggambarkan sebuah fakta yang paling
sahih bahwa industri kita sudah kalah total dari Cina, yang
membenarkan judul tulisan ini.
Saya ingat pesan Mario Teguh, yang mengatakan bahwa kalau kita kalah
dalam bersaing, jangan mencari kesalahan diluar diri kita sebab itu tidak
akan menghasilkan manfaat apa apa. Sejalan dengan nasihat itu, kalau
industri kita kalah bersaing berhadapan dengan industri Cina, maka kita
harus mencari kekurangannya pada industri kita sendiri dulu, baru
melangkah pada soal diluar industri kita, seperti transportasi yang mahal,
bunga bank yang tinggi, sumberdaya manusia yang rendah, pasokan
bahan baku yang tersendat sendat dan sebagainya. Kalau tidak, kita tidak
akan pernah sampai pada penanggulangan masaalah yang sebenarnya.
2
Jika industri kita sudah kalah dari Cina saja, apalagi jika dibandingkan
dengan industri Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Korea. Kekalahan
ini memberikan tanda tanda kepada kita, bahwa industri kita masih
berada pada taraf tradisional yang primitif.
Walaupun sudah ada fakta tentang kekalahan industri kita dari negara
negara tersebut diatas, rasanya kita tidak mampu menerima kenyataan
bahwa industri kita masih terbelakang dan bertaraf tradisional.
Ketidakmampuan kita menerima fakta bahwa industri kita masih pada
taraf tradisional seperti yang disebutkan diatas itu, merupakan hambatan
utama buat bangsa ini untuk memoderenkan industrinya.
Betapa tidak. Kita dibuai oleh sebuah ilusi bahwa kita moderen dalam
berindustri, dan akan dengan mudah dapat mengejar ketertinggalan itu
dalam waktu dekat, malah sudah ada yang berani memprediksi tahun
2015. Ini tidak jauh berbeda dengan idaman Presiden Soeharto tentang
bangsa ini akan tinggal landas pada awal abad XXI, menyamai industri
Jepang, yang tidak pernah menjadi kenyataan sampai saat ini.
Mengapa disebut ilusi, karena yang dipakai sebagai tolok ukur kemajuan
industri, adalah tingkat pendapatan per kapita, atau PDB yang sama
sekali tidak ada kaitannya dengan moderennya industri sesuatu bangsa.
Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa negara negara yang
berpendapatan per kapita tinggi seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman
Perancis dan Norwegia merupakan hasil capaian dari industri mereka
yang moderen, dengan produksivitas dan pertambahan nilai yang tinggi,
bukan sebaliknya. Negara Brunei Darusalam memiliki pendapatan per
kapita yang tinggi tetapi industrinya masih sekelas dengan taraf industri
kita.
3
Sekarang pertanyaannya, mengapa industri kita masih bertaraf primitif
dan tradisional?
Jawabannya adalah karena bangsa ini tidak ikut dalam sebuah revolusi
industri yang mengubah kekayaan perekonomian dunia menjadi hampir
sepuluh kali lipat, dalam kurun waktu 250 tahun belakangan ini, karena
sewaktu revolusi industri itu dimulai pada tahun 1750 di Inggeris dan
berkembang secara pesat sesudahnya, kita belum menjadi sebuah
bangsa, sehingga taraf industri kita masih sama dengan kondisi industri
dunia sewaktu sebelum revolusi terjadi, alias tradisional.
Pada revolusi industri yang dimulai dari Inggeris itu sercara singkat
menghasilkan lima perubahan dasar yang saya sebut dengan julukan
Panca Dasar Perubahan (PDP) yaitu:
1. Mengubah ketergantungan penggunaan energi yang disediakan
alam seperti tenaga air, tenaga angin, tenaga panas matahari,
tenaga hewan dan tenaga manusia, menjadi ketergantungan
terhadap penggunaan tenaga mesin buatan manusia saja.
2. Mengalihkan kompetensi memproduksi barang dari tangan
manusia ke tangan mesin yang lebih perkasa.
3. Mengubah cara berproduksi dengan tangan (handicraft) satu per
satu, menjadi cara berproduksi manufaktur, yang massal dimana
setiap produk diuraikan dulu dalam komponen komponen, lalu
produksinya dimulai dari produksi komponennya terlebih dahulu
dengan mesin baru komponen pomponen itu dirakit menjadi
produk akhir.
4. Penemuan energi baru seperti listrik, nuklir, dan penemuan bahan
material baru seperti bahan kimia anorganik menggantikan bahan
kimia organik, metal baru hasil
4
Eddy Boekoesoe
Direktur Eksekutif.
0812 8767 939