Makalah
Oleh
William
1508011
BANDUNG
2011
KATA PENGANTAR
Rasa syukur saya sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah. Karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan tepat waktu dan sesuai yang
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk melengkapi tugas mata kuliah (KU-108)
Etika Profesi.
arahan, koreksi dan saran, untuk itu penyusun ingin mengucapkan terima kasih
kepada:
• Ir. Johni S. Pasaribu, MT., MA, selaku dosen mata kuliah “Etika Profesi”
Makalah ini.
Disini saya selaku penyusun menerima kritik dan saran dari pembaca sebagai
masukkan untuk menyempurnakan makalah ini. Demikian karya tulis ilmiah ini saya
Penyusun
William
Pembahasan
Pengantar
Joseph Fletcher adalah tokoh yang paling terkenal sebuah aliran dalam etika yang
dinamakan “etika situasi”. Etika situasi menolak adanya norma-norma moral umum karena
kewajiban moral menurut mereka selalu tergantung dari situasi konkret. Jadi apa yang wajib
saya lakukan dalam situasi tertentu, menurut etika situasi hukum moral. Sesuatu yang dalam
situasi yang sama baik dan tepat, dalam situasi lain bisa jelek dan salah.
eksistensialisme menegaskan bahwa setiap orang harus menetapkan sendiri apa yang menjadi
kewajiban dan tanggungjawabnya dan menolak segala aturan moral objektif, begitu etika
situasi menolak bahwa ada norma-norma moral yang berwenang untuk begitu saja mengikat.
tanggungjawab masing-masing orang dan apa yang menjadi tanggungjawab itu hanya dapat
diketahui oleh orang yang bersangkutan didalam situasi konkret di mana ia berada.
Definisi
Etika situasi adalah sebuah pendekatan dan teori dalam etika yang dipengaruhi oleh
filsafat eksistensialisme dan personalisme di mana keunikan dan tanggung jawab tiap pribadi
Etika situasi adalah legalisme dan sikap tak mau mengakui prinsip-prinsip karena
semangat anti hukum. Apabila si penganut etika situasi masuk ke dalam sebuah situasi
pencerah masalah-masalah yang dihadapinya. Namum bagaimana pun juga, dalam setiap
situasi ia siap untuk melakukan kompromi atau menyingkirkan patokan-patokan itu, apabila
mana yang betul dapat tergantung dari situasi dan kondisi, akan tetapi ada kewajiban mutlak
untuk menghendaki apa yang betul dalam setiap situasi.” Kewajiban kita bersifat relatif
terhadap situasi, tetapi kewajiban dalam situasi bersifat mutlak. Misalnya, kita hanya”wajib”
mengatakan kebenaran, apabila hal itu dituntut oleh situasi, maka apabila seseorang
bohong. Dalam etika situasi ini ada unsur mutlak dan unsur perhitungan sebagaimana pernah
ditegaskan oleh Alexander Miller. Tetapi lebih tepat dikatakan bahwa etika situasi
mempunyai norma mutlak dan metode yang memakai perhitungan. Ada benarnya dalam
pepatah kuno bahwa apa ang dibutuhkan adalah “iman, harapan, dan kejelasan.” Kita harus
menemukan apa yang “cocok” agar kita sungguh-sungguh bersikap etis, seperti dikatakan
oleh H.R. Neiburhr dalam The Responsible Self. Etika situasi menuju pada kecocokan
konstekstual-bukan pada “yang baik” atau “yang betul”, melainkan yang cocok.
Teks pertama, Etika situasi hanya mengakui satu norma moral, yaitu cintakasih.
Tindakan apa pun adalah benar apabila merupakan ungkapan cintakasih, dan tindakan apa
pun secara moral salah apabila bertentangan dengan cintakasih. Semua prinsip moral lain,
begitu pula pandangan moral tradisional, tidak lebih daripada petunjuk yang pantas
diperhatikan dalam mempertimbangkan, akan tetapi tidak pernah langsung mengikat. Sikap
moral bagi etika situasi adalah bertanggungjawab dalam cintakasih. Lebih konkret etika
situasi menegaskan bahwa “situasi dan kondisi mengubah masalah”. Artinya, perbuatan yang
dalam situasi dan kondisi yang satu merupakan kewajiban, dalam situasi dan kondisi lain
barangkali tidak dapat dibenarkan. “Hukum moral” apa pun tidak berhak untuk menghalang-
etika situasi cukup radikal, namun sekaligus membebaskan. Sesuatu yang menurut moralitas
tradisional sangat diyakini terlarang, bisa saja justru dituntut oleh situasi konkret-dan, itulah
sindiran Fletcher, lebih sesuai dengan intuisi moral kita sendiri. Jadi etika situasi mengklain
membebaskan kita, bukan dari moralitas, melainkan dari pandangan salah tentang tuntutan
moralitas.
Teks ketiga, etika situasi juga merupakan kritik keras terhadap klaim pelbagai
ideologi dan kode moral atas ketaatan. Tak ada teori atau ajaran berhak memerintahkan
sesuatu yang bertentangan dengan cintakasih, atau menghalang-halangi apa yang dituntut
oleh cintakasih.
bertanya apakah, misalnya, orang boleh bohong, karena jawabannya selalu tergantung dari
situasi didalamnya semua orang yang bersangkutan berada. Tetapi ditegaskan juga bahwa
etika situasi tidak berarti bahwa kewajiban untuk bertindak moral sendiri juga tidak mutlak.
Apa yang wajib kita lakukan memang selalu relatif terhadap situasi akan tetapi apabila kita
sudah memutuskan apa yang menjadi tanggungjawab kita dalam situasi tertentu, kita wajib
mutlak untuk bertindak menurut apa yang kita sadari sebagai kewajiban itu.
Etika Situasi Dikaitkan Dengan Alkitab
Untuk sebagian jalan etika situasi berjalan bersama dengan hukum kodrat, dengan
mengakui nalar sebagai sarana penilaian moral, tetapi dengan menolak anggapan bahwa apa
yang baik sudah “terdapat begitu saja dalam kodrat realitas, secara objektif. Untuk sebagian
etika situasi berjalan bersama hukum Kitab Suci dengan mengakui wahyu sebagai sebuah
norma, tetapi dengan sekaligus menolak segala norma atau hukum yang “diwahyukan”,
kecuali perintah yang satu-agar kita mencintai Allah dalam sesama. Penganut etika situasi
mengikuti atau melanggar hukum moral menurut kebutuhan cinta. Misalnya, “ memberikan
derma adalah hal yang baik, apabila...” Si penganut etika situasi tidak pernah mengatakan
“memberikan derma adalah hal yang baik.” Keputusan-keputusan hipotesis, bukan kategoris.
“Janganlah kamu berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, kecuali saling mengasihi” (Roma
13:8). Apabila bantuan kepada orang yang miskin hanya memelaratkan dan merendahkannya,
penganut etika situasi menolak memberikan derma dan menemukan suatu cara lain. Ia tidak
menjadikan perintah Yesus “berikan kepada yang meminta-minta dari kamu” menjadi
hukum. Skriptualisme Biblik semacam itu hanya berjauh satu langkah saja dari skripturalisme
yang membuat orang-orang perempuan dalam sekte-sekte tertentu menolak transfusi darah
dipercepat, yang akan mati juga. Si legalis (orang yang selalu berpegang pada huruf hukum)
mengatakan bahwa bahkan apabila ia menceritakan kepada orang yang lari dari rumah sakit
jiwa dimana kurban yang dicarinya berada, lalu orang itu menemukan dan membunuhnya,
sekurang-kurangnya hanya satu dosa jadi dilakukan (pembunuhan), bukan dua (tambah
bohong).
Sebagaimana dikatakan Brunner, “dasar perintah Ilahi selalu sama, tetapi isinya
berubah-ubah sesuai dengan kondisi-kondisi yang berubah.” Oleh karena itu “Kekeliruan
pendekatan kasuistik bukanlah kenyataan bahwa pendekatan itu menunjuk pada keanekaan
tak terhingga bentuk-bentuk perintah cinta yang mungkin. Kekeliruannya adalah bahwa
galanya dapat diatur sebelumnya. Namun cinta adalah bebas dari sudut pandang kaum etika
situasi dapat saja disimpulkan “prinsip-prinsip” umum dari apa pun yang menjadi hukum
universal satu-satunya (agape = kasih untuk orang kristiani, sesuatu yang lain bagi orang
lain), tetapi bukan hukum-hukum atau peraturan-peraturan. Kita tidak dapat memeras hal-hal
marah-marah, memegang papan batu dengan semua sepuluh perintah terpahat (yang
diberikan Allah sendiri kepadanya di Gunung Sinai), dan seorang pemahat bersemangat yang
meringkas sepuluh perintah itu menjadi ‘bertindak secara bertanggungjawab dalam cinta
kasih’ “kartun itu dimaksud sebagai sindiran terhadap kaum etika situasi dan moralitas baru,
tetapi humor legalistik didalamnya (sebenarnya) hanya menyatakan persis apa yang
mengatakan bahwa “prinsip-prinsip hanyalah sarana dalam tangan Allah, yang segera akan
Etika situasi berdasarkan pembahasan diatas, maka saya dapat memberikan penilaian
• Etika situasi ini hanya mengakui satu norma moral yaitu cinta kasih sehingga saya
menilai buruk, karena segala sesuatu dapat dinilai benar dan baik dilihat dari situasi
berhutang apa-apa kepada siapa pun juga, kecuali saling mengasihi” (Roma 13:8)
• Etika situasi ini juga menekankan kasih. Tetapi kasih yang bertentangan dengan kasih
kristiani. Karena kasih dalam etika situasi ini mengabaikan hukum-hukum lainnya.
Simpulan
Bahwa ETIKA SITUASI mengajak kita agar tidak sekedar menjiplak norma-norma
yang sudah ada untuk diterapkan begitu saja pada semua kasus, pantas diterima. Namun
melawan etika situasi harus dipertahankan bahwa terhadap norma-norma umum ( sama
seperti ada juga situasi ”umum”, tidak setiap situasi serba lain); norma-norma abstrak berlaku
mutlak, sedangkan norma-norma umum konkret hanya berlaku sebagai patokan yang pada
umumnya perlu diikuti. Meskipun demikian harus diakui bahwa norma-norma umum itu
tidak pernah mencukupi utk memastikan bagaimana seseorang harus bertindak dalam situasi
konret. Argumen yang sama bisa diterapkan juga melawan RELATIVISME MORAL
KULTURAL yang melihat masalah moral sebagai masalah ”kebiasaan” faktual deskriptif
saja, padahal dari das Sein (kenyataannya) tidak dengan sendirinya berarti das Sollen (yang
seharusnya). Fakta bahwa ada korupsi yang sudah jadi kebiasaan, sama sekali tidak berarti
Daftar Pustaka
Magnis Suseno, Franz (2006). “Etika Abad Ke-20”, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.