Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam
cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.
Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia.
Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu
(dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini
dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat
juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa
Melayu yang tinggal di Singapura.
Daftar isi
[sembunyikan]
• 1 Periodisasi
• 2 Pujangga Lama
o 2.1 Karya Sastra Pujangga Lama
2.1.1 Sejarah
2.1.2 Hikayat
2.1.3 Syair
2.1.4 Kitab agama
• 3 Sastra Melayu Lama
o 3.1 Karya Sastra Melayu Lama
• 4 Angkatan Balai Pustaka
• 5 Pujangga Baru
o 5.1 Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
• 6 Angkatan 1945
o 6.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
• 7 Angkatan 1950 - 1960-an
o 7.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
• 8 Angkatan 1966 - 1970-an
o 8.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
• 9 Angkatan 1980 - 1990an
o 9.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
• 10 Angkatan Reformasi
o 10.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
• 11 Angkatan 2000-an
o 11.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
• 12 Cybersastra
• 13 Pranala luar
• 14 Referensi
[sunting] Periodisasi
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
• lisan
• tulisan
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:
[sunting] Sejarah
[sunting] Hikayat
[sunting] Syair
• Syair Bidasari
• Syair Ken Tambuhan
• Syair Raja Mambang Jauhari
• Syair Raja Siak
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar
yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul)
dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam
bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak
karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera",
dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]
Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.
Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya
pada masa itu.
• Merari Siregar
• Marah Roesli
• Muhammad Yamin
• Tanah Air (1922)
• Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
• Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
• Ken Arok dan Ken Dedes (1934)
• Djamaluddin Adinegoro
• Pertemuan (1927)
• Abdul Muis
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka
(tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang,
menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung
menjadi karya penting sebelum perang.
1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
• Chairil Anwar
o Kerikil Tajam (1949)
o Deru Campur Debu (1949)
• Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan
• Achdiat K. Mihardja
o Atheis (1949)
• Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)
• Suman Hs.
o Kasih Ta' Terlarai (1961)
o Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o Pertjobaan Setia (1940)
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah
perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
• Mochtar Lubis
o Tak Ada Esok (1950)
o Jalan Tak Ada Ujung (1952)
o Tanah Gersang (1964)
• Trisnojuwono
o Si Djamal (1964)
o Angin Laut (1958)
o Dimedan Perang (1962)
• Marius Ramis Dayoh
o Laki-laki dan Mesiu (1951)
o Putra Budiman (1951)
o Pahlawan Minahasa (1957)
• Toha Mochtar
o Pulang (1958)
• Ajip Rosidi
o Gugurnya Komandan Gerilya
o Tahun-tahun Kematian (1955)
(1962)
o Ditengah Keluarga (1956)
o Daerah Tak Bertuan (1963)
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua
(1957)
• Purnawan Tjondronagaro
o Cari Muatan (1959)
o Mendarat Kembali (1962)
o Pertemuan Kembali (1961)
• Bokor Hutasuhut
• Ali Akbar Navis
o Robohnya Surau Kami - 8 cerita
o Datang Malam (1963)
pendek pilihan (1955)
o Bianglala - kumpulan cerita pendek
(1963)
o Hujan Panas (1964)
o Kemarau (1967)
Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin
C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad
Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy
Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade
1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka,
Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-
novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi
oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop,
yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial
Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang
kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani
Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka
Rusmini.
• Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)
• Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)
• Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)
• Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
• Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)
• Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)
• Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
• Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)
• Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
o Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
o Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
o Dinamika Budaya dan Politik (1991)
o Arsitektur Hujan (1995)
o Pistol Perdamaian (1996)
o Kalung dari Teman (1998)
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada
tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel --
pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti
Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny
Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.
• Widji Thukul
o Puisi Pelo
o Darman
• Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)
• Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2.1: Akar (2002)
o Supernova 2.2: Petir (2004)
• Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Diatas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)
• Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
• Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
o Ranah 3 Warna (2011)
• Tosa
o Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
o Melan Conis (2009)
http://teaterapakah.blogspot.com/
Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan
dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah
membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa
kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah
cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut.
“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-
Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?
Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis
musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu,
berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan
burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar,
konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.
Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan
dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan
hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota
kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.
Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh
tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon.
Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto
maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang
“mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.
Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau
bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-
batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di
titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu;
berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak
bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah
dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang
sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang
maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang
utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal,
menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan,
perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi
besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia
kapsul dan kondom.
Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa
kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal
atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau
rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.
O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila
sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia
digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran,
setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku,
bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi
yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam.
Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-
retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan
diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh
pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi
semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-
menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah
arsitektur.
Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan,
pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun
kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari,
dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung
mutakhir: ruko.
Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur
dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko
tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi,
guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau
ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar,
kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-
remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar,
bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka
tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang
kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta,
letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni,
bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.
Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-
sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi,
ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye;
kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah,
sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai,
nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam,
ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun
sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan,
“dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah
dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko
adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.
Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi
ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah,
air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan,
kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya
boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan
daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai
boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen
dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah
julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah,
samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun
mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan
Waras.
O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi
Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia
Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok
serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya
mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku
setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana.
WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang
bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—
pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa
ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah:
DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku
“Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.
Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru.
Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar
langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan
memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan
bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi
jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…
Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal,
telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat
jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu
dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba,
berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan
menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh…
Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak
disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi
petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga
batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan
kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga
pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada
perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga
ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar
ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua
pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang
Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu
daging, berlemak-peak.
Surabaya, 2008
SEJARAH SASTRA
Salah satu alasan dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra adalah
kurangnya jumlah buku yang terbit. Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer di tahun
1950-1953 yang selalu muncul dengan judul baru dan tebal-tebal itu karangannya pada tahun
sebelum 1950 di dalam penjara. (Dikemukakan oleh para penuduh)
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka (penerbit utama buku buku-buku sastra) kedudukannya tidak
menentu. Penerbit yang bernaung di bawah PP dan K itu berkali-kali mengalami perubahan
status, ditambah penempatan pimpinan pada yang bukan ahli, juga tidak mencukupinya faktor
anggaran produksinya.
Juga penerbit pustaka rakyat yang menjadi penerbit nasional juga mengalami kesukaran. Begitu
juga penerbit lain seperti Pembangunan, Tinta Mas, dan lain-lain. Dengan itu maka aktivitas
sastra hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Pudjangga Baru, dan lain-lain. Karena sifatnya majalah maka yang dimuat juga pendek-pendek
hanya berupa sajak, cerpen, sesuai yang dibutuhkan majalah.
Keadaan itu yang menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah.” istilah ini pertama kali dilansir
oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi 1954” dimuat dalam majalah Kompas yang
dipimpinnya.
Pada masa itu juga ramai dipersoalkan bahwa ada angkatan baru sesudah angkatan Chairil
Anwar (45). Pada simposium sastra yang bergelar oleh Fakultas Sastra UI tahun 1955, juga pada
simposium-simposium di Solo, Yogyakarta dan kota-kota lain ada kecenderungan pemikiran
yang beranggapan telah lahir angkatan baru sesudah angkatan Chairil Anwar yang tidak tepat
lagi digolongkan dengan angkatan sebelumnya (45).
Dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta tahun 1960, dicoba untuk mencari ciri
yang membedakan angkatan baru dengan angkatan ’45. Angkatan terbaru mempunyai budaya
sikap menggabungkan dua sikap mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia, yaitu :
1) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu merupakan persatuan dari
puncak-puncak kebudayaan daerah.
2) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia ialah mendunia dan mempersatukan
kebudayaan daerah.
Maka sikap sintesisnya : Kebudayaan Nasional Indonesia akan berkembang berdasarkan
kenyataan-kenyataan dalam masyrakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan
adanya pengaruh dari luar.
Pada tahun 1963, di Fakultas Sastra UI diadakan seminar kesusastraan yang ditokohi oleh
Nugroho Notosusanto yang ceramah berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia”
mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah ‘50 tahun yang tidak bisa lagi
dimasukkan ke dalam periode sebelumnya. Pada periode 1950, para pengarang yang aktif mulai
menulis ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik Tolak.”
Termasuk kepada pengarang dari periode ini, diantaranya :
- Nugroho Notosusanto (1930)
- M. Hussyin Umar (1931)
- Toto S. Bachtiar (1929)
- W. S. Hendra (1935)
- Nh. Dini (1936)
- Subagio Sastrowardojo (1924)
- Trisnoyuwono (1926)
- S. M. Ardan (1932)
- Rijono Pratikto (1934)
- A. A. Navis (1924)
- Sukanto S. A. (1930)
- Iwan Simatupang (1928)
- Matinggo Boesje (1936)
- Taufiq Ismail (1937)
- Kirdjomuljo (1930)
- Alex A’Xandre Leo (1934)
- Ali Audah (1924)
- M. Saribi Afni (1938)
- Surachman R. M. (1936)
- Ramadhan K. H. (1927)
- Jusach Ananda (1930)
- Amyus N. n (1926-1968)
- Terbit Sembiring (1934)
- Widia Lusia Zulia
- Basuki Goenawan
- Dan lain-lain
NUGROHO NOTOSUSANTO
Nugroho Notosusanto adalah seorang sarjana ilmu sejarah. Ia dilahirkan di Rembang, 15 Juli
1930. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi
sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar diantaranya dimuat
dalam majalah yang dipimpinnya, “KOMPAS”. Tidak mendapat kepuasan dalam menulis sajak,
ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Sampai sekarang ia telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen.
1. Hujan Kepagian (1958)
Memuat tentang perjuangan kemerdekaaan nasional yang dilakukan oleh pemuda dan pelajar.
2. Tiga Kota (1959)
Memuat cerpen yang ditulis karena inspirasi dari tiga kota, diantaranya: Rembang, Yogyakarta,
Jakarta yang dimana kota tersebut merupakan setting tempat yang mempunyai makna.
3. Rasa Sajange (1963)
Yang antara lain memuat cerpennya yang paling berhasil yang berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada
penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah, ia menjadi kepala pusat sejarah angkatan bersenjata. Dan
sejak 1968 ia diangkat menjadi Kolonel Tituler. Kemudian brigadir jenderal diantaranya para
pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya
menulis cerpen dan sajak, Nugroholah salah seorang diantara yang muda-muda ketika itu yang
banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan
kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium
sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi
tahunan sampai dengan tahun 1958. ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang
pemrasaran yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek.
DAFTAR PUSTAKA
Ajib Rosidi. 1986. Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia: Sastra Majalah, Nugroho Notosusanto,
Sastra dan Politik. Bandung: Percetakan Bina Cipta.