Anda di halaman 1dari 23

Sastra Indonesia, adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia

Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam
cakupan geografi dan sejarah poltik di wilayah tersebut.

Sastra Indonesia sendiri dapat merujuk pada sastra yang dibuat di wilayah Kepulauan Indonesia.
Sering juga secara luas dirujuk kepada sastra yang bahasa akarnya berdasarkan Bahasa Melayu
(dimana bahasa Indonesia adalah satu turunannya). Dengan pengertian kedua maka sastra ini
dapat juga diartikan sebagai sastra yang dibuat di wilayah Melayu (selain Indonesia, terdapat
juga beberapa negara berbahasa Melayu seperti Malaysia dan Brunei), demikian pula bangsa
Melayu yang tinggal di Singapura.

Daftar isi
[sembunyikan]

• 1 Periodisasi
• 2 Pujangga Lama
o 2.1 Karya Sastra Pujangga Lama
 2.1.1 Sejarah
 2.1.2 Hikayat
 2.1.3 Syair
 2.1.4 Kitab agama
• 3 Sastra Melayu Lama
o 3.1 Karya Sastra Melayu Lama
• 4 Angkatan Balai Pustaka
• 5 Pujangga Baru
o 5.1 Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru
• 6 Angkatan 1945
o 6.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945
• 7 Angkatan 1950 - 1960-an
o 7.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an
• 8 Angkatan 1966 - 1970-an
o 8.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
• 9 Angkatan 1980 - 1990an
o 9.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an
• 10 Angkatan Reformasi
o 10.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
• 11 Angkatan 2000-an
o 11.1 Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
• 12 Cybersastra
• 13 Pranala luar

• 14 Referensi

[sunting] Periodisasi
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:

• lisan
• tulisan

Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:

• Angkatan Pujangga Lama


• Angkatan Sastra Melayu Lama
• Angkatan Balai Pustaka
• Angkatan Pujangga Baru
• Angkatan 1945
• Angkatan 1950 - 1960-an
• Angkatan 1966 - 1970-an
• Angkatan 1980 - 1990-an
• Angkatan Reformasi
• Angkatan 2000-an

[sunting] Pujangga Lama


Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan
sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya satra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan
hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi
sebagian besar negara pantai Sumatera dan Semenanjung Malaya. Di Sumatera bagian utara
muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah
Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama. Dari
istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling
terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-
Raniri.[1]

[sunting] Karya Sastra Pujangga Lama

[sunting] Sejarah

• Sejarah Melayu (Malay Annals)

[sunting] Hikayat

• Hikayat Abdullah • Hikayat Kalila dan Damina


• Hikayat Aceh • Hikayat Masydulhak
• Hikayat Amir Hamzah • Hikayat Pandawa Jaya
• Hikayat Andaken Penurat • Hikayat Pandja Tanderan
• Hikayat Bayan Budiman • Hikayat Putri Djohar Manikam
• Hikayat Djahidin • Hikayat Sri Rama
• Hikayat Hang Tuah • Hikayat Tjendera Hasan
• Hikayat Iskandar Zulkarnain
• Tsahibul Hikayat
• Hikayat Kadirun

[sunting] Syair

• Syair Bidasari
• Syair Ken Tambuhan
• Syair Raja Mambang Jauhari
• Syair Raja Siak

[sunting] Kitab agama

• Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri


• Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
• Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
• Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri

[sunting] Sastra Melayu Lama


Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang
dilingkungan masyarakat Sumatera seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah
Sumatera lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang
terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.

[sunting] Karya Sastra Melayu Lama

• Robinson Crusoe (terjemahan) • Nona Leonie


• Lawan-lawan Merah • Warna Sari Melayu oleh Kat S.J
• Mengelilingi Bumi dalam 80 hari • Cerita Si Conat oleh F.D.J. Pangemanan
(terjemahan) • Cerita Rossina
• Graaf de Monte Cristo • Nyai Isah oleh F. Wiggers
(terjemahan) • Drama Raden Bei Surioretno
• Kapten Flamberger (terjemahan) • Syair Java Bank Dirampok
• Rocambole (terjemahan) • Lo Fen Kui oleh Gouw Peng Liang
• Nyai Dasima oleh G. Francis • Cerita Oey See oleh Thio Tjin Boen
(Indo) • Tambahsia
• Bunga Rampai oleh A.F van • Busono oleh R.M.Tirto Adhi Soerjo
Dewall • Nyai Permana
• Kisah Perjalanan Nakhoda • Hikayat Siti Mariah oleh Hadji Moekti (indo)
Bontekoe
• Kisah Pelayaran ke Pulau • dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra
Kalimantan Melayu-Lama lainnya
• Kisah Pelayaran ke Makassar dan
lain-lainnya
• Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R
Kommer (Indo)
• Cerita Nyi Paina
• Cerita Nyai Sarikem

• Cerita Nyonya Kong Hong Nio

[sunting] Angkatan Balai Pustaka


Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang
dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan
puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra
di Indonesia pada masa ini.

Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar
yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul)
dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa
yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam
bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.

Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" oleh sebab banyak
karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah
dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatera",
dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[2]

Pada masa ini, novel Siti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting.
Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu.
Dalam perkembangannya, tema-teman inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya
pada masa itu.

Penulis dan Karya Sastra Angkatan Balai Pustaka:

• Merari Siregar

• Azab dan Sengsara (1920)


• Binasa kerna Gadis Priangan (1931)
• Cinta dan Hawa Nafsu

• Marah Roesli

• Siti Nurbaya (1922)


• La Hami (1924)
• Anak dan Kemenakan (1956)

• Muhammad Yamin
• Tanah Air (1922)
• Indonesia, Tumpah Darahku (1928)
• Kalau Dewi Tara Sudah Berkata
• Ken Arok dan Ken Dedes (1934)

• Nur Sutan Iskandar

• Apa Dayaku karena Aku Seorang Perempuan (1923)


• Cinta yang Membawa Maut (1926)
• Salah Pilih (1928)
• Karena Mentua (1932)
• Tuba Dibalas dengan Susu (1933)
• Hulubalang Raja (1934)
• Katak Hendak Menjadi Lembu (1935)

• Tulis Sutan Sati

• Tak Disangka (1923)


• Sengsara Membawa Nikmat (1928)
• Tak Membalas Guna (1932)
• Memutuskan Pertalian (1932)

• Djamaluddin Adinegoro

• Darah Muda (1927)


• Asmara Jaya (1928)

• Abas Soetan Pamoentjak

• Pertemuan (1927)

• Abdul Muis

• Salah Asuhan (1928)


• Pertemuan Djodoh (1933)

• Aman Datuk Madjoindo

• Menebus Dosa (1932)


• Si Cebol Rindukan Bulan (1934)
• Sampaikan Salamku Kepadanya (1935)

[sunting] Pujangga Baru


Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka
terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang
menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra
intelektual, nasionalistik dan elitis.

Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana,
beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka
(tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang,
menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar
Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung
menjadi karya penting sebelum perang.

Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu :

1. Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
2. Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru

• Sutan Takdir Alisjahbana • Roestam Effendi


o Dian Tak Kunjung Padam (1932) o Bebasari: toneel dalam 3
o Tebaran Mega - kumpulan sajak pertundjukan
(1935) o Pertjikan Permenungan
o Layar Terkembang (1936)
o Anak Perawan di Sarang Penyamun • Sariamin Ismail
(1940) o Kalau Tak Untung (1933)
o Pengaruh Keadaan (1937)
• Hamka
o Di Bawah Lindungan Ka'bah (1938) • Anak Agung Pandji Tisna
o Tenggelamnya Kapal van der Wijck o Ni Rawit Ceti Penjual Orang
(1939) (1935)
o Tuan Direktur (1950) o Sukreni Gadis Bali (1936)
o Didalam Lembah Kehidoepan o I Swasta Setahun di Bedahulu
(1940) (1938)

• Armijn Pane • J.E.Tatengkeng


o Belenggu (1940) o Rindoe Dendam (1934)
o Jiwa Berjiwa
o Gamelan Djiwa - kumpulan sajak • Fatimah Hasan Delais
(1960) o Kehilangan Mestika (1935)
o Djinak-djinak Merpati - sandiwara
(1950) • Said Daeng Muntu
o Kisah Antara Manusia - kumpulan o Pembalasan
cerpen (1953) o Karena Kerendahan Boedi
(1941)
• Sanusi Pane
o Pancaran Cinta (1926)
o Puspa Mega (1927)
o Madah Kelana (1931)
o Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
o Kertajaya (1932)
• Karim Halim
• Tengku Amir Hamzah
o Palawija (1944)
o Nyanyi Sunyi (1937)
o Begawat Gita (1933)

o Setanggi Timur (1939)

[sunting] Angkatan 1945


Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan
'45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang
romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan
merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki
konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa
para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani.
Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma
dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1945

• Chairil Anwar
o Kerikil Tajam (1949)
o Deru Campur Debu (1949)

• Asrul Sani, bersama Rivai Apin dan Chairil Anwar


o Tiga Menguak Takdir (1950)

• Idrus
o Dari Ave Maria ke Djalan Lain ke Roma (1948)
o Aki (1949)
o Perempuan dan Kebangsaan

• Achdiat K. Mihardja
o Atheis (1949)

• Trisno Sumardjo
o Katahati dan Perbuatan (1952)

• Utuy Tatang Sontani


o Suling (drama) (1948)
o Tambera (1949)
o Awal dan Mira - drama satu babak (1962)

• Suman Hs.
o Kasih Ta' Terlarai (1961)
o Mentjari Pentjuri Anak Perawan (1957)
o Pertjobaan Setia (1940)

[sunting] Angkatan 1950 - 1960-an


Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri
angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi.
Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya,
Sastra.

Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam
Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme-sosialis. Timbullah
perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada
awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik
praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1950 - 1960-an

• Pramoedya Ananta Toer • Toto Sudarto Bachtiar


o Kranji dan Bekasi Jatuh (1947) o Etsa sajak-sajak (1956)
o Bukan Pasar Malam (1951) o Suara - kumpulan sajak 1950-
o Di Tepi Kali Bekasi (1951) 1955 (1958)
o Keluarga Gerilya (1951)
o Mereka yang Dilumpuhkan (1951) • Ramadhan K.H
o Perburuan (1950) o Priangan si Jelita (1956)
o Cerita dari Blora (1952)
o Gadis Pantai (1965) • W.S. Rendra
o Balada Orang-orang Tercinta
• Nh. Dini (1957)
o Dua Dunia (1950) o Empat Kumpulan Sajak
o Hati jang Damai (1960) (1961)
o Ia Sudah Bertualang (1963)
• Sitor Situmorang
o Dalam Sadjak (1950) • Subagio Sastrowardojo
o Djalan Mutiara: kumpulan tiga o Simphoni (1957)
sandiwara (1954)
o Pertempuran dan Saldju di Paris • Nugroho Notosusanto
(1956) o Hujan Kepagian (1958)
o Surat Kertas Hidjau: kumpulan o Rasa Sajangé (1961)
sadjak (1953) o Tiga Kota (1959)
o Wadjah Tak Bernama: kumpulan
sadjak (1955)

• Mochtar Lubis
o Tak Ada Esok (1950)
o Jalan Tak Ada Ujung (1952)
o Tanah Gersang (1964)
• Trisnojuwono
o Si Djamal (1964)
o Angin Laut (1958)
o Dimedan Perang (1962)
• Marius Ramis Dayoh
o Laki-laki dan Mesiu (1951)
o Putra Budiman (1951)
o Pahlawan Minahasa (1957)
• Toha Mochtar
o Pulang (1958)
• Ajip Rosidi
o Gugurnya Komandan Gerilya
o Tahun-tahun Kematian (1955)
(1962)
o Ditengah Keluarga (1956)
o Daerah Tak Bertuan (1963)
o Sebuah Rumah Buat Hari Tua
(1957)
• Purnawan Tjondronagaro
o Cari Muatan (1959)
o Mendarat Kembali (1962)
o Pertemuan Kembali (1961)

• Bokor Hutasuhut
• Ali Akbar Navis
o Robohnya Surau Kami - 8 cerita
o Datang Malam (1963)
pendek pilihan (1955)
o Bianglala - kumpulan cerita pendek
(1963)
o Hujan Panas (1964)

o Kemarau (1967)

[sunting] Angkatan 1966 - 1970-an


Angkatan ini ditandai dengan terbitnya Horison (majalah sastra) pimpinan Mochtar Lubis.[3]
Semangat avant-garde sangat menonjol pada angkatan ini. Banyak karya sastra pada angkatan
ini yang sangat beragam dalam aliran sastra dengan munculnya karya sastra beraliran surealistik,
arus kesadaran, arketip, dan absurd. Penerbit Pustaka Jaya sangat banyak membantu dalam
menerbitkan karya-karya sastra pada masa ini. Sastrawan pada angkatan 1950-an yang juga
termasuk dalam kelompok ini adalah Motinggo Busye, Purnawan Tjondronegoro, Djamil
Suherman, Bur Rasuanto, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Satyagraha Hoerip
Soeprobo dan termasuk paus sastra Indonesia, H.B. Jassin.

Beberapa satrawan pada angkatan ini antara lain: Umar Kayam, Ikranegara, Leon Agusta, Arifin
C. Noer, Darmanto Jatman, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, Budi Darma, Hamsad
Rangkuti, Putu Wijaya, Wisran Hadi, Wing Kardjo, Taufik Ismail, dan banyak lagi yang lainnya.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966


• Taufik Ismail • Djamil Suherman
o Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia o Perjalanan ke Akhirat (1962)
o Tirani dan Benteng o Manifestasi (1963)
o Buku Tamu Musim Perjuangan
o Sajak Ladang Jagung • Titis Basino
o Kenalkan o Dia, Hotel, Surat Keputusan
o Saya Hewan (1963)
o Puisi-puisi Langit o Lesbian (1976)
o Bukan Rumahku (1976)
• Sutardji Calzoum Bachri o Pelabuhan Hati (1978)
o O o Pelabuhan Hati (1978)
o Amuk
o Kapak • Leon Agusta
o Monumen Safari (1966)
• Abdul Hadi WM o Catatan Putih (1975)
o Meditasi (1976) o Di Bawah Bayangan Sang
o Potret Panjang Seorang Pengunjung Kekasih (1978)
Pantai Sanur (1975) o Hukla (1979)
o Tergantung Pada Angin (1977)
• Iwan Simatupang
• Sapardi Djoko Damono o Ziarah (1968)
o Dukamu Abadi (1969) o Kering (1972)
o Mata Pisau (1974) o Merahnya Merah (1968)
o Keong (1975)
• Goenawan Mohamad o RT Nol/RW Nol
o Parikesit (1969) o Tegak Lurus Dengan Langit
o Interlude (1971) • M.A Salmoen
o Potret Seorang Penyair Muda o Masa Bergolak (1968)
Sebagai Si Malin Kundang (1972)
o Seks, Sastra, dan Kita (1980) • Parakitri Tahi Simbolon
o Ibu (1969)
• Umar Kayam
o Seribu Kunang-kunang di • Chairul Harun
Manhattan o Warisan (1979)
o Sri Sumarah dan Bawuk
o Lebaran di Karet • Kuntowijoyo
o Pada Suatu Saat di Bandar Sangging o Khotbah di Atas Bukit (1976)
o Kelir Tanpa Batas
o Para Priyayi • M. Balfas
o Jalan Menikung o Lingkaran-lingkaran Retak
• Danarto (1978)
o Godlob
o Adam Makrifat • Mahbub Djunaidi
o Berhala o Dari Hari ke Hari (1975)
• Nasjah Djamin
• Wildan Yatim
o Hilanglah si Anak Hilang (1963) o Pergolakan (1974)
o Gairah untuk Hidup dan untuk Mati
(1968) • Harijadi S. Hartowardojo
o Perjanjian dengan Maut
• Putu Wijaya (1976)
o Bila Malam Bertambah Malam
(1971) • Ismail Marahimin
o Telegram (1973) o Dan Perang Pun Usai (1979)
o Stasiun (1977)
o Pabrik • Wisran Hadi
o Gres o Empat Orang Melayu

o Bom o Jalan Lurus

[sunting] Angkatan 1980 - 1990an


Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya
roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T.
Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan
umum.

Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy
Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja,
Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi
Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.

Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade
1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka,
Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-
novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya
mempunyai konflik dengan pemikiran timur.

Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi
romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka
adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi
oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa
romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran
antagonisnya.

Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop,
yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial
Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang
kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Ada nama-nama terkenal muncul dari komunitas Wanita Penulis Indonesia yang dikomandani
Titie Said, antara lain: La Rose, Lastri Fardhani, Diah Hadaning, Yvonne de Fretes, dan Oka
Rusmini.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1980 - 1990an

• Ahmadun Yosi Herfanda


o Ladang Hijau (1980)
o Sajak Penari (1990)
o Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
o Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
o Sembahyang Rumputan (1997)

• Y.B Mangunwijaya
o Burung-burung Manyar (1981)

• Darman Moenir
o Bako (1983)
o Dendang (1988)

• Budi Darma
o Olenka (1983)
o Rafilus (1988)

• Sindhunata
o Anak Bajang Menggiring Angin (1984)

• Arswendo Atmowiloto
o Canting (1986)

• Hilman Hariwijaya
o Lupus - 28 novel (1986-2007)
o Lupus Kecil - 13 novel (1989-2003)
o Olga Sepatu Roda (1992)
o Lupus ABG - 11 novel (1995-2005)

• Dorothea Rosa Herliany


o Nyanyian Gaduh (1987)
o Matahari yang Mengalir (1990)
o Kepompong Sunyi (1993)
o Nikah Ilalang (1995)
o Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)

• Gustaf Rizal
o Segi Empat Patah Sisi (1990)
o Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
o Ben (1992)
o Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)

• Remy Sylado
o Ca Bau Kan (1999)
o Kerudung Merah Kirmizi (2002)

• Afrizal Malna
o Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
o Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
o Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
o Dinamika Budaya dan Politik (1991)
o Arsitektur Hujan (1995)
o Pistol Perdamaian (1996)
o Kalung dari Teman (1998)

[sunting] Angkatan Reformasi


Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH
Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang "Sastrawan
Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra,
puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik
sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa
atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi
juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.

Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir
tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada
tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra -- puisi, cerpen, dan novel --
pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti
Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny
Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan
sajak-sajak sosial-politik mereka.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi

• Widji Thukul
o Puisi Pelo
o Darman

[sunting] Angkatan 2000-an


Setelah wacana tentang lahirnya sastrawan Angkatan Reformasi muncul, namun tidak berhasil
dikukuhkan karena tidak memiliki juru bicara, Korrie Layun Rampan pada tahun 2002 melempar
wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000". Sebuah buku tebal tentang Angkatan 2000
yang disusunnya diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta pada tahun 2002. Seratus lebih penyair,
cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra dimasukkan Korrie ke dalam Angkatan 2000,
termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun
Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu
Utami dan Dorothea Rosa Herliany.

[sunting] Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000

• Ayu Utami
o Saman (1998)
o Larung (2001)

• Seno Gumira Ajidarma


o Atas Nama Malam
o Sepotong Senja untuk Pacarku
o Biola Tak Berdawai

• Dewi Lestari
o Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
o Supernova 2.1: Akar (2002)
o Supernova 2.2: Petir (2004)

• Raudal Tanjung Banua


o Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
o Ziarah bagi yang Hidup (2004)
o Parang Tak Berulu (2005)
o Gugusan Mata Ibu (2005)

• Habiburrahman El Shirazy
o Ayat-Ayat Cinta (2004)
o Diatas Sajadah Cinta (2004)
o Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
o Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
o Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
o Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
o Dalam Mihrab Cinta (2007)

• Andrea Hirata
o Laskar Pelangi (2005)
o Sang Pemimpi (2006)
o Edensor (2007)
o Maryamah Karpov (2008)
o Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)

• Ahmad Fuadi
o Negeri 5 Menara (2009)
o Ranah 3 Warna (2011)

• Tosa
o Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
o Melan Conis (2009)

Posted by PuJa on January 15, 2010

http://teaterapakah.blogspot.com/

Peran: Seorang Dionisian

Dionisian:
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Teruskan, mabukkan, pestakan, sukaria, topeng, rumbai-rumbai, musik, tari, nyanyi. Rayakan
dewa anggur, kesuburan, dan ramalan. Pesta musim panas, bumi baru, kesuburan setelah
membeku. Kemabukan tiada tara. Mari terbang, melayang, jungkir dan balikkan. Tanpa
kemabukan bukan lagi teater namanya, dan tak ada lagi hasrat serta manfaat gunanya. Bukanlah
cinta tanpa mabuk kepayang-payang, barangkali cuma letup sesaat dan tak sengaja kayak kentut.
“Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian,” ujar Chairil Anwar dalam Krawang-
Bekasi. Tanpa kemabukan bagaimana bisa bertahan antara realitas dan mimpi?

Kami Dionisian-dionisian setiamu, dalam kemabukan, kerasukan, cinta, dan bermain.


Dengan kemabukan kami rasuki roh-roh dan mainkan mereka, peran-peran, jadi hidup,
bertindak, menjalani takdir lakon. Dalam lingkaran tari dan koor “nyanyian kambing” kami
sembahkan drama Dionisian, bahkan kami perankan Sang Dewa Mabuk, Dionisos Maha Tuan
Asal-muasal Drama. Kami rayakan kambing, pengganti ritus kanibalisme kuno, sesajen sebutir
kepala manusia. Drama mengubah ritus darah dan nyawa menjadi seni.

Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.


Dengan kemabukan dan kesyahidan kami hidupkan Sayidina Husein, cucu kesayangan Nabi,
beserta anak-anak, keluarga, dan para pengikutnya, berguguran sehabis perlawanan habis-
habisan yang gagah berani dalam Perang Karbala. Kami hidupkan kembali di arena Teater
Takziah, “teater dukacita”, selama hari-hari ritual Asyura di bulan Muharam yang suci. Kami
nyanyikan penderitaan dan kesyahidan Sayidina Husein bin Ali; perlawanan terhadap
ketidakadilan dan penindasan dengan keteguhan otoritas moralnya. Juga kami deklamasikan
kebrutalan para penindas, pelibas, pembantai, yang otoritasnya tirani berbendera agama. Di
tangan tiran agama jadi sektarian, eksklusif, pembenaran ideologi. Agama bukan lagi sirath-al-
mustaqim, jalan lempang, jalan pencerdasan, pembebasan, pencerahan. Teater menemukan dan
membangkitkan penderitaan/catharsis dan kesyahidan/martyrdom.
Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.
Kami adalah shaman, pawang, bomoh, dukun, “terkun”, “orang pintar”, “orang tua”, “orang
aneh”, orang suci, wali, pendeta, peramal, paranormal, “para tidak normal”, atau terserah sapaan
apa saja yang kalian pantas-pantaskan. Dengan kemabukan dan kerasukan dan kesurupan, trance,
ekstase, kami tinggalkan tubuh kasar, dan naik ke langit, dunia-atas, berkendara roh kuda atau
angsa; berbahasa langit, mempelajari ilmu langit dan mengambil untuk mengajarkannya kepada
dan menyembuhkan orang bumi. Memohon Penguasa Dunia Atas agar menerima persembahan,
dan mendapat petunjuk beerkenaan cuaca yang akan datang, panen, berburu, dan juga sesajen
apa yang dibutuhkan. Atau turun ke dunia-bawah, menemani-membimbing roh ke hunian baru,
atau mengambil roh dari kuasa hantu-mambang-danyang. Kami mediator antara dunia nyata dan
dunia lain.

Dengan irama pukulan genderang atau rebana di tangan dan hentakan giring-giring di kaki, jenis
musik tonal; mantera, doa, dzikir yang berulang-ulang; mengundang mahluk gaib pembantu,
berbicara dengan bahasa rahasia, “bahasa hewan”, menirukan jeritan binatang buas, dan kicauan
burung. Irama kendang, giring-giring, tari, nyanyi, makin lama makin keras, makin liar,
konsentrasi penuh ke dunia lain, kami shaman mencapai kesadaran yang lain.

Kami lakukan perjalanan sangat dramatik ke kraton Penguasa Dunia Bawah; kami perankan
dewa-dewa dan tokoh-tokoh lainnya; kami berdialog dengan hantu-mambang-danyang dan
hewan serta burung. Dramatisasi tingkat tinggi kehidupan dewa-dewa oleh kami para anggota
kultus-misteri. Kami “mulut para dewa”.

Kami hidupkan suara seorang samurai sebagai saksi di pengadilan, bahwa dia dibunuh oleh
tertuduh, si perampok, bukan oleh pedang di tangan isterinya sendiri, dalam tragedi Rashomon.
Kami pawang dalam tari misteri lais atau sintren; kami mendapuk, memerankan, Besut—mbekto
maksut/pembawa tujuan—dalam drama ritual Ludruk Besutan; kami di mulut Gandrung Seblang
“mewahyukan” apa yang harus dilaksanakan penduduk pada ritus Seblang di tahun mendatang.

Kami senantiasa mempertahankan kehidupan, kesehatan, kesuburan, dan “dunia terang”;


melawan kematian, penyakit, kemandulan, malapetaka, dan “dunia gelap”. “Drama misteri”
menyambungkan masa lampau ke masa kini, menelusuri masa kini sampai masa primordial, asal-
muasal segala hal.

Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.


Kami Dionisian-dionisian setiamu, mengalami jatuh-bangun, pasang-surut, sedih dan gembira,
bahkan menikmatinya. Tapi kini, aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan,
membosankan, nyaris menjijikkan. Aku melata, mengenaskan, bagai orong-orong dalam gorong-
gorong, tersekap di labirin, di hunian mutakhir: ruko. Ukuran: 5X10X10 meter, dua lantai. Lantai
bawah tempat usaha dan kerja apa saja, lantai atas ruang tinggal, makan, minum, tidur, masak,
macak, manak dan berak.

Aku turun-naik, naik-turun, entah sudah berapa ribuan kali. Mirip ritus komedi-kuda-putar, atau
bajing-dalam-kerangkeng-pusing, atau kakatua-dengan-gelang-dan-rantai-panjang-keliling-
batang-besi-tempat-hinggap-abadinya. Sudah ribuan meter jalan-lari-terbang masih juga tetap di
titik semula.
Aku manusia ruko. Nenek-moyang dulu kala manusia gua, zaman berburu dan meramu;
berbicara dengan bahasa uh-uh-uh. Gua rumah kedua, “rumah pertama” di atas pepohonan, tidak
bisa tidur nyenyak, sering terkejut, terjaga, dan tidur-tidur ayam, agar tak jatuh ke tanah
dimangsa predator. Keterkejutan dan keterjagaan primordial itu tertinggal di otak belakang
sampai kini, dan sering muncul dalam mimpi “jatuh dari ketinggian”, baik selonjor di ranjang
maupun lantai. Semak belukar adalah perbatasan genting: yang berbalik ke rimba menjadi orang
utan, yang turun ke padang rumput menjadi homo-sapien; berladang, bertanam, bertugal,
menabur benih, bertegal, bersawah; menjadi manusia pertanian, pedalaman, pedesaan,
perkampungan, pinggiran. Ketika migrasi dan tranformasi ke manusia urban terjadi diversifikasi
besar-besaran sesuai kelas hunian: dari manusia istana, menara, kondominium sampai manusia
kapsul dan kondom.

Manusia kondom bagian dari MT4: Manusia Tanpa Tempat Tinggal Tetap, antara lain, berupa
kapsul, ujudnya gerobak, cikar, dokar, sepeda, becak, atau bermotor, cukup dilembari gombal
atau karton, gampang bongkar-pasang-pindah. Yang berbentuk kurungan tegak menonjol atau
rebah ke samping, sama sekali tertutup plastik putih, mirip kondom gede.
Dan meledak Revolusi Abu-abu.

O Dewa Mabuk!
Sang pemimpin, pra-revolusi dedengkot demokrasi, pasca-revolusi tersibak watak asli, gila
sanjungan dan otoriter, campuran kekanakan, kelatahan dan kepala batu. Di masa kanak, dia
digendong, dikudang, digadang-gadang, ditimang-timang kakeknya dengan senandung sindiran,
setengah ramalan: Putu, putu, abote koyo watu—gede-gede mbentuki watu. Cucuku, cucuku,
bobotnya seberat batu—besar nanti menimpuki dengan batu. Dia canangkan dan terapkan trilogi
yang dialektis-dinamis-romantis-nostalgis: TRISAMARA—sama-rasa, sama-rata-sama-ragam.
Di sektor hunian, segala gedung, segala pencakar langit, segala perumahan, segala gubuk, di-
retool: didinamit, dirontokkan, dihancur-leburkan, diratakan sepermukaan bumi asal, dan
diperintahkan bagi setiap keluarga inti dua lantai ruko. Pembangunan ruko besar-besaran oleh
pabrik ruko-prefab/bongkar-pasang. Pembangunan semesta rencana revolusioner yang diiringi
semangat lagu lama lirik plesetan: Dari barat sampai ke timur berjajar ruko-ruko, sambung-
menyambung menjadi satu itulah Republik Ruko… Aku manusia ruko, saksi akhir sejarah
arsitektur.

Wajah bumi berubah total. Tidak ada lagi keaslian lama atau alami. Pedesaan, perkotaan,
pedalaman, pesisiran, bantaran sungai, hutan, huma, gunung, sabana, semak belukar, kebun
kangkung, lahan tidur, padang gambut, pulau kosong, delta gosong; semua dikepung, dijalari,
dijajari, digantungi, ditumpuki, digudangi, atau dipersiapkan bagi karya arsitektur agung
mutakhir: ruko.

Saat bangun pagi, saat belum siap buka mata benar-benar, selalu rona melankolis di langit timur
dan pikiran sepi sendiri sepanjang malam, aku berada di ruko sendiri, atau mungkin juga ruko
tetangga, asrama, gardu jaga, rumah sakit, penjara, penampungan sementara, kontrakan abadi,
guest-house, hotel, motel, losmen, luar kota, kota lain, ibukota, pulau sini, pulau seberang, atau
ruko trailer ditarik truk yang bisa kembara ke mana-mana. Tidak ada bedanya. Ranjang standar,
kamar standar, hunian rakitan. Keunikan dan kekhasan milik masalalu. Aku mengais-ais remah-
remahnya.
Pergi, masuk, keluar, pulang, ngendon, ngendok, andok, minggat, menghindar, terlantar,
bertualang, menjauh, mendekat, bahkan menghilang sekalipun: dalam sekapan ruko. Mereka
tidak hilang, mungkin hanya tersesat, terlalu jauh atau lama di luar ruko sendiri, tak bisa pulang
kandang, selalu keliru masuk alamat lain. Semua ruko sama dan serupa. Harus ingat betul peta,
letak, kawasan, wilayah, susunan, kelompok, ruang, sektor, nomor. Ruko kehilangan penghuni,
bukan penghuni kehilangan ruko, tapi kehilangan akal.

Aktivitas apa pun: transaksi, negosiasi, janji, kencan, selingkuh, tatap muka, inisiasi, jual-beli-
sewa, belanja, ngutil, memborong, memboyong, gotong-royong, tanggung-renteng, menalangi,
ngebosi, bersaing, saling-silang, sidang, debat, silat, arisan, ngrumpi, ngantri, pemilu, kampanye;
kebaktian, meditasi, pengajian, salat jamaah, pengakuan dosa, retret, i’tikaf, misa; kuliah,
sekolah, pacaran, bolos, coblosan, tawuran, keluyuran, cangkruk, tenguk-tenguk, mabuk, flai,
nyetun; mandi kembang, mandi susu, mandi kucing, bobok-bobok siang, obok-obok malam,
ngamar, “karaoke”, mandi kuyup sekalian ketimbang cincang-cincing, mandi keris setahun
sekali, mandi ruwatan, mandi mayat; hidup, sakit, koma, failit, bangkrut, dipenjara, diamankan,
“dipinjam instansi lain”, dipermak, dihilangkan, dipancung, digantung, dihukum mati tak pernah
dieksekusi, dikremasi; segalanya dicukupi oleh Departemen Ruko. Baju adalah kulit kedua, ruko
adalah langit kedua, pengayom dan pengendali apa-dan-siapa saja.

O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.


Aku melata, menelengkan kuping, menempelkan, mencari, menanggap, menangkap, menyabet
udara, meraih-raih suara/bunyi gres, baru, yang tidak baku. Kutunggu, tak terdengar apa pun,
sunyi, lama sekali, hampa. Kebisuan itu menggantung, memadat, serasa akan menyedot atau
menimpaku. Segera kubuka jendela dan seperti rangkaian kereta dan gerbong…lebih sejuta
jendela terdengar buka dan bunyi menggerendeng serempak bersama!

Setiap hari, bunyi/suara serentak-segerak, setajam-sepelan, sepanjang- sependek, selengking-


seinterval, senada-se-staccato, sesepele-semelompong, segema-segemuruh, seruang-sewaktu:
merongrong/menindih/menghisapku. Gedoran dinding, getaran kaca, kreotan ranjang, helaan
napas, igauan tidur, gemertak gigi-gerigi, sendawa, tapakan kaki naik-turun tangga, tepuk
nyamuk, tabokan, tempelengan, siulan mulut, nyanyi kamarmandi, kepakan sayap, meong
kucing, cicit tikus, cericit burung, dentingan piring, tarikan kursi, gemerincing kunci, sobekan
kertas, goresan/klik korek api, geseran buah catur, krobokan cairan, kibasan handuk, kucuran
kencing. Buka-tutup pintu WC, ngejan dan lepas, telepok berak dan grujukan air; bahkan bentuk-
rupa-bau tai pun sepadan-serupa. Berkat standarisasi teknologi “ma-min”, makanan-minuman,
mutakhir: pentolan bakso.

Bakso, adalah akhir sejarah gastronomi atau seni makan-memakan, diawali oleh diversifikasi
ma-min instant. Segalanya serba instan: dari mi, nasi, santan, susu, krim, buah, sampai sari buah,
air mineral, kolak, degan kopyor, gudeg, gado-gado, rendang, empek-pek, botok, nyamikan,
kudapan, snack dan tiwul serta jajanan pasar lainnya. Departemen Gastronomi perintah hanya
boleh satu bentuk dan warna ma-min, maka terciptalah kemasan pentolan daging dan bukan
daging, mulai ukuran gotri, kelereng, bola bekel, golf, kasti, tenis, sepak raga/tekong, sampai
boling dan basket. Berisi segala jenis ma-min serba instan, dibikin di pabrik besar Departemen
dan dipasok ke seluruh Republik dengan armada truk katering. Republik pun bertambah
julukannya dan menjadi setengah resmi: Republik Ruko & Bakso. Sempurna dan lengkap sudah,
samarasa-samarata-samaragam merasuk hingga rinci-rinci dan inti prikehidupan. Mimpi pun
mulai dibakukan dengan “paket stimulan”, hasil litbang obat dan jamu, Departemen Sehat dan
Waras.

O Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos.


Aku dalam ketegangan yang menyesakkan, menyebalkan, membosankan, nyaris menjijikkan.
Melata, mengenaskan, bagai tikus eksperimen di labirin laboratorium. Jalan, lari, ketabrak
dinding, mundur, berputar, berhenti, jalan, berbalik, lari-lari, ketubruk lorong buntu, mundur,
mengendap-endap, berbelok, loncat ke ujung lorong lain, rebut hadiah bakso…

O Dewa Mabuk,
Aku mengangankan, melesat ke awang-awang, berkendara roh puisi Sultan Walad, putra Sufi
Agung Jalaluddin Rumi:
Kata-kata adalah tangga ke langit
Sesiapa menaikinya ke atap ia sampai
Bukan langit biru atap itu
Tapi atap di balik segala langit dunia

Glodak! Kubuka pintu WC, dan sejuta lebih pintu WC bergelodak, buka-tutup-telepok-grojok
serentak! Masih kupegangi pintu, aku berdiri di ambang, tidak masuk dan tutup, hanya
mendengar-nikmati gemuruh sejuta lebih pintu dan lubang tai bernyanyi koor pagi buta. Aku
setengah ngantuk, kemulan sarung, bungkus tidur antik kawasan tropik, tanpa baju dan celana.
WC duduk itu kering dan masih rapi terbungkus kertas cap dagang hotel. Aku baru sadar, sedang
bermalam di hotel, urusan kondangan di sebuah kota—kecil atau besar apa pula bedanya?—
pantai utara. Ternyata agak berbeda. Pantai di seberang jalan masih tetap pesisir landai, tanpa
ditanami serial ruko-ruko, hanya ditancapi papan pengumuman besar tulisan merah:
DILARANG BERAK. Sebelum Revolusi pantai utara WC terpanjang sedunia, masuk buku
“Rekor Sejagat-Rat”, penerbit pabrik ciu gambar manuk.

Timbul iseng semasa usia pancaroba, mengusili barang atau tempat atau milik umum yang baru.
Kaca mobil atau etalase toko kucorat-coret dengan kata-kata cabul, atau di gedung pencakar
langit kupilih lantai puncak, kuludahi westafel, kukencingi urinoir, kuberaki WC wangi, dengan
memandangi awan-gemawan, seperti burung terbang sambil crat-cret-crot mengecat udara dan
bumi.
Setengah ngantuk, kemulan sarung, aku keluar hotel, tanpa toleh kanan-kiri lari menyeberangi
jalan, sarung berkibar-kibar, niat memberaki Dilarang Berak…

Entah dari kanan entah kiri, truk besar panjang menanduk, aku terpental, jatuh terkapar di aspal,
telanjang bulat. Sarung terbang, tersangkut truk, menutupi kaca depan, sopir kaget, tak bisa lihat
jalan, oleng, menabrak tanggul pantai, terguling. Pintu belakang trailer ma-min terbuka, kaldu
dan ribuan bola-bola bakso tumpah dan banjir ke jalan, bergelindingan, berenang, berlomba,
berkejaran. Bagai tarikan magnet bola-bola daging dan bukan daging mengerubuti dan
menempeli tubuhku. Daging ketemu daging tumbuh daging ketemu daging tumbuh…
Mengerubuti ujung kaki sampai ubun-ubun seperti serbuan ikan piranha.
Ujung-ujung jari kaki dan tangan ditumbuhi pentilan-pentilan ukuran gotri; kedua ketiak
disangga pentolan boling sehingga dua tangan terangkat siap terbang. Kedua lutut ditamengi
petolan tenis; kantong pelir ditempeli dua pentolan bekel seperti sepasang roda, menyangga
batang zakar tegak seperti meriam mini penangkis serangan udara, di ujungnya pentolan
kelereng mirip peluru. Persis di pusar pentolan golf pada posisi tee, untuk pukulan pertama. Tiga
pentolan mirip “bola raga dari rotan” di bidang dada sebagai perisai, atau “tiga buah dada
perempuan Mars”. Garis mulut didereti pentolan kelereng mirip untaian gigi-gerigi, dari telinga
ke telinga. Kedua telinga tambah melebar oleh sepasang pentolan basket. Hidung lebih akbar
ketimbang Pinokio karena dipanjangkan pentolan tenis+bekel+kelereng +gotri. Pada dahi dua
pentolan tenis plus jadi sepasang tanduk Viking. Rambut lebih gimbal ketimbang megabintang
Reggae karena segala pentolan segala ukuran melekat-rekat, memilin-plintir, dikeramas kaldu
daging, berlemak-peak.

Dewa Mabuk, Tuan, Dionisos,


Di pagi sedang merekah, Dionisian setiamu mempersembahkan instalasi, “Manusia Baru”, pada
latar baru, kanvas aspal.

Surabaya, 2008

Filed under: Naskah Teater

SEJARAH SASTRA

Salah satu alasan dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra adalah
kurangnya jumlah buku yang terbit. Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer di tahun
1950-1953 yang selalu muncul dengan judul baru dan tebal-tebal itu karangannya pada tahun
sebelum 1950 di dalam penjara. (Dikemukakan oleh para penuduh)
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka (penerbit utama buku buku-buku sastra) kedudukannya tidak
menentu. Penerbit yang bernaung di bawah PP dan K itu berkali-kali mengalami perubahan
status, ditambah penempatan pimpinan pada yang bukan ahli, juga tidak mencukupinya faktor
anggaran produksinya.
Juga penerbit pustaka rakyat yang menjadi penerbit nasional juga mengalami kesukaran. Begitu
juga penerbit lain seperti Pembangunan, Tinta Mas, dan lain-lain. Dengan itu maka aktivitas
sastra hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith,
Pudjangga Baru, dan lain-lain. Karena sifatnya majalah maka yang dimuat juga pendek-pendek
hanya berupa sajak, cerpen, sesuai yang dibutuhkan majalah.
Keadaan itu yang menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah.” istilah ini pertama kali dilansir
oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi 1954” dimuat dalam majalah Kompas yang
dipimpinnya.
Pada masa itu juga ramai dipersoalkan bahwa ada angkatan baru sesudah angkatan Chairil
Anwar (45). Pada simposium sastra yang bergelar oleh Fakultas Sastra UI tahun 1955, juga pada
simposium-simposium di Solo, Yogyakarta dan kota-kota lain ada kecenderungan pemikiran
yang beranggapan telah lahir angkatan baru sesudah angkatan Chairil Anwar yang tidak tepat
lagi digolongkan dengan angkatan sebelumnya (45).
Dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta tahun 1960, dicoba untuk mencari ciri
yang membedakan angkatan baru dengan angkatan ’45. Angkatan terbaru mempunyai budaya
sikap menggabungkan dua sikap mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia, yaitu :
1) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu merupakan persatuan dari
puncak-puncak kebudayaan daerah.
2) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia ialah mendunia dan mempersatukan
kebudayaan daerah.
Maka sikap sintesisnya : Kebudayaan Nasional Indonesia akan berkembang berdasarkan
kenyataan-kenyataan dalam masyrakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan
adanya pengaruh dari luar.
Pada tahun 1963, di Fakultas Sastra UI diadakan seminar kesusastraan yang ditokohi oleh
Nugroho Notosusanto yang ceramah berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia”
mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah ‘50 tahun yang tidak bisa lagi
dimasukkan ke dalam periode sebelumnya. Pada periode 1950, para pengarang yang aktif mulai
menulis ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik Tolak.”
Termasuk kepada pengarang dari periode ini, diantaranya :
- Nugroho Notosusanto (1930)
- M. Hussyin Umar (1931)
- Toto S. Bachtiar (1929)
- W. S. Hendra (1935)
- Nh. Dini (1936)
- Subagio Sastrowardojo (1924)
- Trisnoyuwono (1926)
- S. M. Ardan (1932)
- Rijono Pratikto (1934)
- A. A. Navis (1924)
- Sukanto S. A. (1930)
- Iwan Simatupang (1928)
- Matinggo Boesje (1936)
- Taufiq Ismail (1937)
- Kirdjomuljo (1930)
- Alex A’Xandre Leo (1934)
- Ali Audah (1924)
- M. Saribi Afni (1938)
- Surachman R. M. (1936)
- Ramadhan K. H. (1927)
- Jusach Ananda (1930)
- Amyus N. n (1926-1968)
- Terbit Sembiring (1934)
- Widia Lusia Zulia
- Basuki Goenawan
- Dan lain-lain
NUGROHO NOTOSUSANTO

Nugroho Notosusanto adalah seorang sarjana ilmu sejarah. Ia dilahirkan di Rembang, 15 Juli
1930. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi
sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar diantaranya dimuat
dalam majalah yang dipimpinnya, “KOMPAS”. Tidak mendapat kepuasan dalam menulis sajak,
ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Sampai sekarang ia telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen.
1. Hujan Kepagian (1958)
Memuat tentang perjuangan kemerdekaaan nasional yang dilakukan oleh pemuda dan pelajar.
2. Tiga Kota (1959)
Memuat cerpen yang ditulis karena inspirasi dari tiga kota, diantaranya: Rembang, Yogyakarta,
Jakarta yang dimana kota tersebut merupakan setting tempat yang mempunyai makna.
3. Rasa Sajange (1963)
Yang antara lain memuat cerpennya yang paling berhasil yang berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada
penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah, ia menjadi kepala pusat sejarah angkatan bersenjata. Dan
sejak 1968 ia diangkat menjadi Kolonel Tituler. Kemudian brigadir jenderal diantaranya para
pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya
menulis cerpen dan sajak, Nugroholah salah seorang diantara yang muda-muda ketika itu yang
banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan
kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium
sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi
tahunan sampai dengan tahun 1958. ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang
pemrasaran yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek.

SASTRA DAN POLITIK

¬ Merupakan suatu kenyataan sejarah, bahwa sejak awal pertumbuhanya sastrawan-sastrawan


Indonesia menunjukan perhatian yang serius kepada politik. Para pengarang zaman sebelum
perang, banyak yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan pada masa itu. Bahkan, ada
diantaranva yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus dari pada pengarang, seperti Moh.
Yamin dan Rostam Efendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang- orang
yang aktif dalam dunia pergerakan nasional.
¬ Pada awal tahun lima puluh, terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela
hak hidup angkatan ’45 dengan orang-orang yang mengatakan ”Angkatan ’45 sudah mampus”
yang berpangkal pada sikap politik. Pihak yang berpaham realisme sosialis, yaitu paham yang
menjadi filsafat-seni kaum komunitas, aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme
sosialis yang paling keras teriaknya ialah A.S Dharta yang sering juga mengunakan nama
samaran Yoga Swara, Klara Akustia, dan lain-lain. Dipihak lain berdiri H.B. Jassin dan kawan-
kawannya. Sementara itu polemik semacam itu terdiri pulau di Medan, antara Bakri Siregar yang
menganut paham realisme sosialis di suatu pihak dengan Aoh K. Hadimaja (yang ketika itu di
Medan) pada pihak yang lain. Sekitar tahun 1953 terjadi pula polemik semacam itu antara Joebar
Ajoeb yang menganut paham realisme sosialis dengan Harijadi S. Hartowardojo di pihak yang
lain, dalam ruang gelangan siasat.
¬ Dan peristiwa- peristiwa itu tampak bahwa polemik semacam itu senantiasa terjadi antara
orang-orang yang berpaham realisme-sosialis dengan orang-orang dari lingkungan gelanggang
seniman merdeka. Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta lembaga kebudayaan rakyat yang
kemudian lebih terkenal Lekra. Sebagai sekertaris jendralnya yang pertama bertindak A.S.
Dharta. Rupanya pada mulanya Lekra ini belum lagi merupakan orang kebudayaan dalam PKI.
¬ Tahun 1959, Soekarno yang ketika itu menjadi Presiden, mendekritkan Undang-Undang Dasar
1945 berlaku lagi dan menganjurkan ’Manifesto Poiitik’ (yang kemudian menjadi terkenal
dengan singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara Manipol memberikan ruang gerak
kepada PKI untuk sedikit demi sedikit merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting buat
merebut kekuasaan. Apalagi ketika kemudian ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan
Komunis) dijadikan pola perbandingan kekuatan dalam lembaga-lembaga resmi dan tidak resmi,
PKI kian mendapat angin.
¬ Dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan
mereka dihantam dan dimusnahkan. Suatu takdir Alisjabana yang polaitis menjadi anggota partai
yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masjumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut
supaya dilarang dipergunakan, baik di sekolah-sekolah maupun di masyarakat. Metode yang
sama kemudian mereka gunakan juga ketika menghantam para pengarang penanda tanganan
Manifes Kebudayaan. Pengarang-pengarang, seniman-seniman, dan budayawan diteror untuk
bergabung kepada Lekra atau hancur ditumpasnya. Mereka mempraktekkan teori untuk membagi
orang menjadi kawan atau menjadi lawan.
¬ Teror intensif yang mereka lakukan itu, telah menyebabkan banyak budayawan seniman dan
pengarang, lalu menggabungkan diri kepada Lekra karena para seniman itu agaknya berpendapat
kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian lagi yang tetap memegang prinsip
menolak komunisme, lalu menggabungkan diri kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang
bernaung pada partai-partai NASAKOM yang ada pada masa itu. Tahun 1959 PNI membentuk
LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang untuk pertama kali diketahui oleh Sitor Situmorang.
NU membentuk LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dengan ketua
Ismar ismail, Asrul Sani, dan lain-lain. begitu pula dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo),
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo), dan lain-lain.
¬ Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa
untuk masuk salah satu kandang, kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan orang-orang
Lekra dan PKI. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang hendak berdiri sendiri
(independen), terus-terusan diteror dan difitnahnya, seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) .

DAFTAR PUSTAKA

Ajib Rosidi. 1986. Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia: Sastra Majalah, Nugroho Notosusanto,
Sastra dan Politik. Bandung: Percetakan Bina Cipta.

Anda mungkin juga menyukai