Anda di halaman 1dari 17

Mutu Pelayanan Kesehatan; Ambivalensi Antara Kewajiban dan Keinginan

(antara penyelenggara dan pemilik)

Jonirasmanto, SKM, MKES

Setelah membaca berita “RUMAHSAKIT HARUS BERBENAH” dan “RSD ABUNDJANI


BANTAH ABAIKAN FASILITAS” di koran RADAR SARKO saya sebagai manusia
kesehatan dengan ini menyampaikan pemikiran yang mungkin mengundang tanya atau
pertanyaan lagi. Dan barangkali ini hanya merupakan materi pencerahan yang semoga
bermanfaat.

Mutu pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh ada tidaknya kritikan dan keluhan dari
pasiennya, lembaga sosial atau swadaya masyarakat dan bahkan pemerintah sekalipun. Mutu
akan diwujudkan jika telah ada dan berakhirnya interaksi antara penerima pelayanan dan
pemberi pelayanan. Jika pemerintah yang menyampaikan kritikan ini dapat berarti bahwa
masyarakat mendapatkan legalitas bahwa memang benar mutu pelayanan kesehatan harus
diperbaiki. Mengukur mutu pelayanan dapat dilakukan dengan melihat indikator-indikator
mutu pelayanan rumahsakit yang ada di beberapa kebijakan pemerintah, sudahkan kita
mengetahuinya. Analisa indikator akan mengantarkan kita bagaimana sebenarnya kualitas
manajemen input, manajemen proses dan output dari proses pelayanan kesehatan secara
mikro maupun makro.

Dari definisi, Rumahsakit menurut WHO Expert Committee On Organization Of Medical


Care: “is an integral part of social and medical organization, the function of which is to
provide for the population complete health care, both curative and preventive and whose
outpatient service reach out to the family and its home environment; the hospital is also a
centre for the training of health workers and for biosocial research”, yang dalam bahasa
Indonesianya jika diterjemahkan secara bebas dapat berarti: suatu bagian menyeluruh dari
organisasi dan medis, berfungsi memberikan pelayanan kesehatan lengkap kepada
masyarakat baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana output layanannya menjangkau
pelayanan keluarga dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan tenaga
kesehatan serta untuk penelitian biososial.

Definisi rumah sakit menurut Keputusan Menteri Republik Indonesia nomor


983.MENKES/SK/1992 mengenai pedoman rumah sakit umum dinyatakan bahwa: ”Rumah
Sakit Umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar,
spesialistik dan pendidikan tenaga kesehatan dan pelatihan”. Sementara itu menurut Siregar
(2003) menyatakan bahwa rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan
gabungan ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih
dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang semuanya
terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan pemeliharaan
kesehatan yang baik.

Definisi rumahsakit ini di setiap peraturan daerah pada umumnya sama, hanya saja terdapat
perbedaan pada tugas pokoknya, yang diantaranya adalah: luas tidaknya lingkup spesialistik
yang dimiliki, kekhususan menyertainya dengan adanya rumah sakit yang dibina dirjen
yanmed Dpekes RI yang secara fisik berada di daerah kabupaten, kota ataupun di provinsi.

Berikut merupakan tugas sekaligus fungsi dari rumah sakit secara lengkap, yaitu:
Melaksanakan pelayanan medis, pelayanan penunjang medis,
Melaksanakan pelayanan medis tambahan, pelayanan penunjang medis tambahan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran kehakiman,
Melaksanakan pelayanan medis khusus,
Melaksanakan pelayanan rujukan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan kedokteran gigi,
Melaksanakan pelayanan kedokteran sosial,
Melaksanakan pelayanan penyuluhan kesehatan,
Melaksanakan pelayanan rawat jalan atau rawat darurat dan rawat tinggal (observasi),
Melaksanakan pelayanan rawat inap,
Melaksanakan pelayanan administratif,
Melaksanakan pendidikan para medis,
Membantu pendidikan tenaga medis umum,
Membantu pendidikan tenaga medis spesialis,
Membantu penelitian dan pengembangan kesehatan,
Membantu kegiatan penyelidikan epidemiologi,

Tugas dan fungsi ini berhubungan dengan kelas dan type rumah sakit yang di Indonesia
terdiri dari rumah sakit umum dan rumah sakit khusus, kelas “a, b, c, d”. berbentuk badan dan
sebagai unit pelaksana teknis daerah. Perubahan kelas rumah sakit dapat saja terjadi
sehubungan dengan turunnya kinerja rumahsakit yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan
Indonesia melalui Keputusan Dirjen Yan Medik.

Dari Sumberdaya Kesehatan yang ada di rumahsakit:

(1) Tenaga kesehatan terdiri dari :


tenaga medis;
tenaga keperawatan;
tenaga kefarmasian;
tenaga kesehatan masyarakat;
tenaga gizi;
tenaga keterapian fisik;
tenaga keteknisian medis.

(2) Tenaga medis meliputi dokter dan dokter gigi.

(3) Tenaga keperawatan meliputi perawat dan bidan.

(4) Tenaga kefarmasian meliputi apoteker, analis farmasi dan asisten apoteker.

(5) Tenaga kesehatan masyarakat meliputi epidemiolog kesehatan, entomolog kesehatan,


mikrobiolog kesehatan, penyuluh kesehatan, administrator kesehatan dan sanitarian.

(6) Tenaga gizi meliputi nutrisionis dan dietisien.

(7) Tenaga keterapian fisik meliputi fisioterapis, okupasiterapis dan terapis wicara.

(8) Tenaga keteknisian medis meliputi radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi
elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi transfusi dan
perekam medis.
Sebagai unsur manajemen, sumber daya manusia kesehatan yang dimiliki oleh rumahsakit
akan mempengaruhi diferensiasi dan kualitas pelayanan kesehatan, keterbatasan
keanekaragaman jenis tenaga kesehatan akan menghasilkan kinerja rumahsakit dalam
pencapaian indikator mutu pelayanan rumahsakit. Kekhususan ini sangatlah tidak mungkin
dimanajemeni secara umum, karena SDM kesehatan adalah SDM fungsional yang kepadanya
melekat fungsi profesi berdasarkan latar belakang pendidikan kesehatannya.

Tentang disiplin kepegawaian seharusnya tidak diberlakukan secara ketat, jika diberlakukan
secara ketat maka mereka akan menuntut uang lembur untuk pekerjaan yang dilakukannya
pada waktu di luar jam dinas (07.30-14.00 jika 6 (enam) hari kerja; atau 07.30 sampai 16.00
jika 5 (lima) hari kerja. Memang ada daerah yang memberikan semacam insentif dan atau
reward untuk tenaga kesehatan tertentu yang harus melayani pasiennya di luar jam dinas yang
jumlahnya menurut tenaga dokter spesialis masih belum dianggap cukup (sesuatu yang wajar
yang seharusnya dibayarkan). Mari kita hitung penghasilan mereka jika tidak melayani pasien
di rumahsakit, hal yang seperti ini perlu komunikasi yang ajeg demi harmonisasi pemenuhan
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.

Dari Struktur Organisasi Daerah: rumahsakit dapat berdiri dengan legalitas dan ilegal karena
ada rumahsakit dengan ijin penyelenggaraan dan tidak ada ijin, rumahsakit dapat merupakan
unit pelaksana teknis dinas dan atau sebagai institusi yang bertanggungjawab kepada bupati
dan atau rumahsakit vertikal yang ada di daerah. Kondisi ini akan berhubungan dengan
kemapanan dukungan kebijakan dan dukungan anggaran yang pada akhirnya berdampak pada
kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

Pada kebanyakan daerah di Indonesia, rumahsakit daerah dijadikan sumber pendapatan


daerah dan dalam laporan pertangggungjawaban pemerintah daerah keberhasilan capaian
indikator pelayanan kesehatan rumahsakit jarang dan bahkan tidak pernah dijadikan data
atau informasi dalam penyusunan perencanaan dan penyusunan kebijakan, biasanya hanya
dilaporkan sebagai hasil dari akumulasi seluruh indikator, yang sebenarnya satu indikator
gagal dapat menyebabkan perubahan penilaian kinerja. Hal ini dikarenakan adanya indikator
vital dalam proses dan atau dalam output sistem pelayanan kesehatan. Sebagai contoh:
peningkatan penerimaan daerah dari retribusi pelayanan kesehatan akan tidak ada artinya
apa-apa jika cakupan angka rujukan ke rumahsakit vertikal atau ke kabupaten lain lebih
tinggi dari angka kunjungan UGD rumahsakit yang bersangkutan atau angka pasien rawat
inap kelas III.

Rumahsakit dengan angka rujukan yang jumlahnya mendekati setengah dari jumlah
kunjungan patut dipertanyakan, jawabannya akan berhubungan dengan ketersediaan
sumberdaya manusia kesehatan dan kualitasnya. Ada apa dengan kompetensi mereka dalam
memberikan pelayanan, bagaimana komunikasi dan manajemennya dilakukan di rumahsakit
tersebut.

Dapat ditambahkan lagi dengan adanya permasalahan kelembagaan, dimana ada kotak
kelompok tenaga fungsional dalam bagan struktur organisasi tidak ada isinya dan tidak ada
koordinasinya. Jika kelompok ini ada maka tenaga fungsional tersebut dapat dijadikan media
informasi guna penyusunan kebijakan yang ajeg dan mumpuni secara keilmuan. Keberadaan
resident tanpa pengawasan satuan pengawas internal rumahsakit dapat dipersepsikan berbagai
rupa oleh masyarakat dengan latar belakang pengalaman dan pengetahuan yang berbeda-
beda, kenapa tidak, karena merekakan sedang dalam pendalaman ilmu kedokteran, tetapi jika
tak ada rotan maka akarpun jadilah sehingga kualitas yang diharapkan belum tentu dapat
dinikmati sebagai akhir dari pelayanan yang bermutu.

Beperapa peraturan daerah diimplementasikan dengan tidak paripurna, karena apa, karena
yang diperlukan hanya pejabat struktural yang mengepalai beberapa bidang dan bagian,
sedangkan komite medik; komite keperawatan; komite rekam medik; satuan pengawas
internal; dan kelompok fungsional tidak dilantik oleh bupati kepala daerah padahal struktur
organisasi rumah sakit sudah menjelaskannya, mungkin berhubungan dengan ketidak tahuan
dan ketidak mampuan membayar atau belum ada dasar hukumnya (padahal peraturan
pemerintah sudah menjelaskan hal itu)

Dari Manajemen Lintas Program dan Lintas Sektor

Rumahsakit sebagai pintu gerbang dan unsur vital dalam penilaian adipura, di banyak daerah
rumahsakit daerah sebagai penghasil pendapatan asli daerah terbesar. Sesuatu yang riskan
jika PAD dijadikan ukuran keberhasilan pelayanan kesehatan karena nominal PAD adalah
rupiah yang dibayarkan pasien, rasionalitasnya jika makin banyak penerimaan berarti makin
banyak masyarakat yang menggunakan fasilitas sumberdaya di rumah sakit, makin banyak
masyarakat yang menggunakan berarti masih ada masyarakat yang sakit, masih adanya
masyarakat yang sakit berarti derajat kesehatan masyarakat belum optimal, untuk
pembuktiannya diperlukan analisa lebih lanjut, tentang bagaimana dan seterusnya masyarakat
di rumahsakit tersebut. Ada item rupiah yang bisa dirinci jumlahnya dari pola tarif yang ada.
Apa yang mereka bayar dari pelayanan yang mereka terima dapat mencerminkan tingkatan
kesehatan masyarakat tersebut. Epidemiolog dapat menyampaikan laporan ini jika
dibutuhkan. Hanya tinggal lagi epidemiolognya berpihak kepada siapa.

Ada beberapa instansi yang memiliki keterkaitan dengan rumahsakit daerah, dan itu dalam
penyusunan program kegiatan dan anggaran rasanya belum pernah ada yang duduk bersama
menyatukan pernyataan dan kesimpulan. Sesuatu yang aneh memang. Sebagai contoh:
Kebijakan berobat gratis, daftar nama keluarga dan anggotanya bersumber dari BKKBN,
bukan dari RT-RW dan Lingkungan, bersumber dari oknum pegawai di tingkatan tersebut,
dan dalam data base saat perjalanannya rumahsakit harus memberikan pelayanan seperti yang
diharapkan mereka, bukan berdasarkan kemampuan yang dapat diberikan oleh rumahsakit,
mengapa karena ada pasien yang berobat dari keluarga miskin yang benar-benar miskin
dengan nama yang tak ada dalam data base yang diberikan oleh pemerintah, bermuncullanlah
pahlawan dengan pamrih disini, dan mereka yang berobat dengan fasilitas kartu miskin saat
akan dirawat minta dirawat dengan fasilitas VIP. Dunia pelayanan kesehatan semakin hitam
jadinya.

Dari Akreditasi Rumahsakit, rumahsakit terkareditasi 5 (lima) pelayanan, 8 (delapan)


pelayanan dan 13 (tiga belas) pelayanan. Rumahsakit dengan standar ISO 14000 dan ISO
2000, dan kelompok rumahsakit yang belum terakreditasi dan atau yang belum terstandar.
Departemen kesehatan dengan Komite Akreditasi Rumahsakit terus berupaya agar semua
rumah sakit daerah harus terakreditasi minimal 5 (lima) pelayanan, yaitu:

(1) Pelayanan Gawat Darurat,


(2) Pelayanan Medik,

(3) Pelayanan Administrasi,

(4) Pelayanan Keperawatan dan

(5) Pelayanan Rekam Medik

Tujuan pemerintah dengan akreditasi ini adalah untuk: agar kualitas pelayanan diintegrasikan
dan dibudayakan ke dalam sistem pelayanan di rumah sakit. RSD Kol Abundjani didukung
anggaran belum juga mampu menyelesaikan proyek ini, karena apa, jawabnya dapat
bersumber dari kualitas dan kuantitas sumber daya yang ada di rumahsakit tersebut,
Pernyataan jelasnya adalah sumberdaya manusia kesehatan yang ada di rumahsakit tersebut.
Pejabat dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang sedikitpun tidak menunjang
dipilih untuk memimpin roda proses pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi
rumahsakit, menurut beberapa pengamat adalah sangat tidak masuk akal jika tidak ingin
dianggap aneh.

Proses akreditasi telah berlangsung hampir lebih dari 5 (lima) tahun, tetapi nyatanya budaya
akreditasi belum sama sekali mendarah daging di institusi RSD Kol Abundjani ini. Ada apa,
…? Pertanyaan yang seharusnya dijawab dengan lintas sektor dan lintas program, bukan
hanya oleh masyarakat rumahsakit, tetapi bagaimanapun juga SDM rumahsakit daerah harus
terlebih dahulu menjawabnya dengan pernyataan yang diikuti oleh sikap yang terakreditasi
pula.

Dari Dukungan Kebijakan

Nah ini yang lebih perlu mendapat perhatian, begitu banyak peraturan daerah disusun dengan
cara studi banding, dicopi dan dipastekan kemudian diedit agar menjadi sesuai dengan
keadaan riel daerah. Masih belum terlihat jiwa pemiliknya dalam peraturan ini. Pedoman
umum mengenai persentase anggaran kesehatan dari total anggaran daerah masih perlu
dipertanyakan lebih lanjut lagi, masih perlu dianalisa dan disikapi dengan jalinan koordinasi
dan pengawasan yang komprehensif. Menurut Rusli, anggaran efektif jika rasio antara
pembiayaan dan penerimaan berkisar 0,1%, sebenarnya tidak berlaku di institusi pelayanan
rumahsakit, karena rumahsakit bukan badan profit, tetapi lembaga non profit.

Kemajuan pertumbuhan dan pengembangan rumahsakit menjadikan rumahsakit sebagai


lembaga profit tetapi tidak meninggalkan unsur sosialnya telah mengubah persepsi sumber
daya manusia kesehatan dari non material menjadi sangat material, karena disini setiap
pekerjaan yang dikerjakan dan yang seharusnya dikerjakan bukan lagi berdasarkan panggilan
hati nurani, bukan lagi panggilan profesi, tetapi telah bergeser menjadi panggilan pemenuhan
kebutuhan ekonomi. Jika ini berlanjut dapat dibayangkan bagaimana pemenuhan hak pokok
masyarakat sebagai pasien jika mereka tidak mampu membayar.

Peruntukan anggaran tentu membutuhkan kebijakan paripurna yang proporsional, kalau


tigaperempat anggarannya hanya untuk fisik, kapan SDM kesehatannya mau manggung
dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam pemberian pelayanan kesehatan.
Dari mutu pelayanan kesehatan.

Mutu Pelayanan Kesehatan yang mengemuka sebagai panglima program unggulan Depkes
dengan nama Quality Assurance (QA, jaminan mutu) pada tahun 1996, pihak Institusi
pelayanan kesehatan/rumahsakit sebagai (lagi-lagi) pihak pelaksana, dibuat terperangah oleh
program tersebut. Sebagai suatu pernyataan akhir dari sebuat proses pelayanan kesehatan.
Sebagai sebuah proses, pelayanan kesehatan dapat berbentuk makro dan berbentuk mikro.
Kedua bentuk ini saling bersimbiose mutalisme dalam sebuah sistem.

Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan salah
satu definisi yang umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu pelayanan
kesehatan adalah “tingkat di mana pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi
mampu menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan yang diharapkan dan konsisten
dengan pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001). Namun demikian mengingat definisi
tersebut dianggap terlalu luas, berbagai peneliti telah mencoba mengembangkannya untuk
menjamin agar pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah
yang diajukan oleh Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan
outcome. Sementara itu the IOM (1999) dan National Health Service menggunakan konsep
mutu pelayanan kesehatan dalam 6 aspek, yaitu safety, effectiveness, timeliness, efficiency,
equity, dan patient awareness.

Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under use, over
use, dan misuse of health care services. Under use didefinisikan sebagai kegagalan untuk
memberikan pelayanan yang efektif padahal jika dilakukan dapat menghasilkan outcome
yang diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi atau gagal untuk melakukan bedah
katarak). Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan yang dilakukan ternyata memberi
dampak risiko yang lebih besar daripada potensi manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya
memberikan antibiotika untuk kasus-kasus common cold). Sedangkan misuse didefinisikan
sebagai komplikasi yang sebenarnya dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan
secara seksama.

Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk


mengkuantifikasikan mutu pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu
pelayanan yang disusun oleh ACHS yang merupakan instrumen untuk mengidentifikasi area
pelayanan kesehatan yang masih memerlukan perbaikan secara fundamental. Dengan metode
kuantifikasi ini selanjutnya dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai area-area
pelayanan yang dianggap memiliki defisiensi dalam menghasilkan outcome yang diharapkan.

Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and Quality
(AHRQ) yang mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality Indicators,
Inpatient Quality Indicators, dan Patient Safety Indicators (PSIs).

Tetapi sebagai institusi bawahan Depkes, lagi-lagi Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit


berada di posisi tak berdaya dan lagi-lagi hanyalah sebagai terminal akhir pembuangan dan
berposisi layaknya sandal jepit. Mungkin Depkes lupa bahwa para dokter yang ada di
Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit adalah seorang sarjana juga seperti halnya para
petinggi Depkes. Lupa mungkin karena tampilan dokter institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit yang tak pernah berdasi dan naik kendaraan dinas apa adanya kala
tugas, tidak seperti teman-temannya di Depkes yang sebagian diantaranya berdasi dan naik
mobil dinas mulus-mulus dan baru-baru.
Mungkin ini jalan keluar, Hidup sehat merupakan kebutuhan utama (primer) setiap orang.
Oleh karenanya, hak atas pelayanan kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM).
Dalam hal ini, pemerintah dan praktisi kesehatan masyarakat bertanggung jawab untuk
berupaya merealisasikan adanya kebijakan yang lebih baik, sistem yang berkualitas, dana
yang cukup, fasilitas dan tenaga medis yang memadai guna menjamin terlaksananya program
kesehatan masyarakat.

Pelayanan yang baik dan memuaskan bisa diwujudkan secara bersama antara pengguna jasa
pelayanan dan petugas kesehatan. Artinya, kritik, complain maupun keluhan konsumen
semestinya tidak diartikan sebagai serangan, tetapi diterima sebagai koreksi terhadap cara
berpikir dan cara melayani konsumen. Dari keluhan konsumen, petugas kesehatan dapat
mengetahui keinginan konsumen dan kekurangan yang dimilikinya. Namun, kondisi ini harus
disertai pula dengan perbaikan pada aspek kebijakan dan manajemen. Sehubungan dengan
hal ini, ada beberapa kondisi yang tampak dalam pelayanan kesehatan.
Fasilitas kesehatan (formal) yang tersedia masih relatif baru, dan belum mengakar atau belum
dirasakan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat, tetapi tidak tersedia standar quality of
care yang berbasis konsumen. Sebaliknya, masyarakat memiliki sistem pengobatan atau
pengetahuan mengenai perawatan kesehatan (biomedis), yang relatif berakar dari tradisi dan
kebudayaan mereka. Kondisi budaya ini di satu sisi menjadi kendala dalam pelayanan medis,
di sisi lain mampu memenuhi kebutuhan masyarakat secara murah dan mudah.
Kecenderungan perilaku para praktisi medis yang tidak mempertimbangkan proses-proses
komunikasi atau pertukaran informasi, dan interaksi sosial yang saling menguntungkan.
Rosalia Sciortino dalam “Menuju Kesehatan Madani” (1999:78) menyebut adanya
“konstruksi rahasia” yang dipertahankan petugas kesehatan.
Pada umumnya konsumen sebagai pengguna jasa kesehatan seperti pasien, klien tidak
menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan pelayanan yang memuaskan.
Artinya, seorang pasien berhak untuk mempertanyakan pelayanan dokter yang dirasakannya
tidak jelas, bahkan memberatkan konsumen itu sendiri.

Memahami Hak dan Kewajiban Konsumen

Dalam berbagai kesempatan diskusi dengan kelompok konsumen, pertanyaan yang sering
muncul adalah apa saja hak-hak konsumen dalam pelayanan kesehatan, bagaimana sebaiknya
pelayanan yang berkualitas?

Pertama-tama perlu ditegaskan bahwa istilah konsumen dalam pelayanan kesehatan


mencakup pengertian mereka yang menerima pelayanan jasa maupun obat-obatan dari
petugas kesehatan (paramedis, bidan, dokter), yang secara khusus disebut klien, pasien.
Sedangkan yang dimaksud pelayanan yang berkualitas biasanya mengacu pada pengertian
Quality of Care atau standar pelayanan yang berkualitas, yakni pelayanan yang menghormati
hak-hak konsumen. Setiap konsumen memiliki hak yang dilindungi undang-undang. Sebagai
pasien, konsumen berhak:
Mendapatkan informasi yang dapat dipahaminya mengenai penyakit yang diderita, cara
pengobatan, prosedur perawatan, efek samping pengobatan, kelebihan maupun kekurangan
pengobatan, biaya, pendapat dari petugas kesehatan lainnya, hal-hal dirahasiakan, catatan
medis petugas kesehatan, dan izin persetujuan pasien bila ingin akan dioperasi.
Memperoleh rasa aman dari semua proses pelayanan, dan jaminan
keamanan/keselamatannya.
Mendapatkan ganti rugi apabila terjadi malpraktek yang dilakukan petugas kesehatan. Contoh
aktual adalah bayi yang dilahirkan cacat (tanpa tangan) di RSUD Bayu Asih Purwakarta
(Kompas, 26 Juni 1997). Orang tua bayi itu menuduh pihak RS, dalam hal ini bidan, karena
kecerobohan dalam pelayanannya, telah menyebabkan anak mereka cacat seumur hidup.
Kasus ini kemudian dibawa ke pengadilan dengan tuntutan 1 milyar rupiah, meskipun
akhirnya ditempuh jalan damai dengan ganti rugi 25 juta rupiah.
Memilih tempat pelayanan yang diinginkannya, membatalkan persetujuan sewaktu-waktu,
dan jika dianggap perlu, ia menolak suatu metode pengobatan atau tindakan medis tertentu.

Sebagai pasien, konsumen memiliki kewajiban, yaitu:


Mengetahui sejarah atau riwayat pengobatannya;
Menepati janji dengan petugas kesehatan;
Bersedia bekerja sama dan mematuhi perawatan yang diberikan;
Memberitahu petugas kesehatan jika ia menerima perawatan dari dokter yang lain;
Jika menggunakan jasa asuransi, ia berkewajiban mengetahui apa yang dapat atau tidak dapat
diatasi oleh perusahaan asuransi.

Kebanyakan konsumen juga petugas kesehatan tidak mengetahui hak-hak dan kewajiban
konsumen. Hanya sebagian kecil konsumen menyadari hak-haknya, tetapi tidak merasa
percaya diri untuk mengemukakannya di tenpat pemeriksaan. Sebaliknya, petugas kesehatan
yang mengerti hak-hak konsumen tidak mau peduli. Banyak alasan yang seringkali
dikemukakan, misalnya keterbatasan petugas dan fasilitas tidak memadai, yang tidak
seimbang dengan banyaknya pasien yang berkunjung setiap hari kerja. Bahkan petugas
kesehatan menyadari bahwa masyarakat tidak mengerti cara hidup sehat, tidak disiplin, dan
seterusnya. Padahal masyarakat tidak pernah belajar di sekolah kesehatan.

Dari persoalan ini sebenarnya tuntutan akan pelayanan kesehatan yang memuaskan
(berkualitas) semakin kompleks. Namun harus diyakini bahwa ukuran kepuasan tidak bisa
bertolak dari kepentingan individu saja karena kepuasan individual tidak ada batasnya.
Ukuran standar yang bisa dijadikan pedoman adalah kebutuhan orang banyak yang selama ini
sudah dibakukan, misalnya oleh IPPF (International Planned Parenthood Federation),
organisasi KB dunia, yang merumuskan 10 hak-hak klien KB antara lain: hak atas informasi,
menentukan pilihan, mendapatkan pelayanan kapan dan di mana saja (akses), hak atas
keamanan, kenyamanan, kerahasiaan, hak mengajukan protes (berpendapat), dan kemudian
ditambahkan oleh YLKI dan PKBI; hak ganti rugi. Oleh sebab itu, proses pencapaian
pelayanan yang memuaskan tidak bisa tidak melibatkan orang banyak. Konsumen dan
pengelola pelayanan kesehatan bisa bersama-sama merumuskan standar pelayanan yang
berkualitas (quality of care), di tingkat desa sekalipun.
Bertolak dari “Quality of Care”

Konsep quality of care adalah istilah yang digunakan secara luas dalam pelayanan kesehatan,
yang dapat dipandang dari provider (penyedia jasa) dan klien (konsumen). Dari sisi provider,
standar quality of care di Indonesia belum jelas. Konsep ini biasanya dirujuk pada prinsip-
prinsip manajemen pengawasan kualitas terhadap fasilitas pelayanan kesehatan umum, yakni
penyediaan pelayanan kesehatan yang terus menerus memperbaiki diri dengan
memperhatikan kebutuhan dan tuntutan pasien, dokter, petugas, dan komunitas setempat.
Dasarnya adalah “problem solving”, yaitu pemantauan masalah dan mencari jalan keluar
dengan memperbaiki akar masalah secara berkelanjutan (The Population Council, 1994).
Dari sisi klien, ukuran standar pelayanan cukup jelas, yakni mengacu pada pemenuhan hak-
hak pasien, atau hak-hak klien kesehatan reproduksi, atau pun hak-hak konsumen
sebagaimana yang diatur dalam UUPK No. 8 No. 1999, Pasal 4.
Ukuran pencapaian pelayanan kesehatan selama ini lebih berorientasi pada pencapaian target
sarana pelayanan dan penerima layanannya. Gejala seperti ini terutama terjadi di tingkat
pelayanan kesehatan dasar di pedesaan, dan pinggiran kota. Aspek pemenuhan kualitas
kesehatan, tanggung jawab sosial, dan pembelajaran kesehatan bagi pengguna (konsumen)
terabaikan. Konsumen tidak memperoleh manfaat yang optimal dari pelayanan kesehatan.

Pada tahun 1990, Judith Bruce dari Population Council menempatkan enam elemen dasar
yang kemudian dikenal dengan “Bruce Framework” dan menjadi sumber utama bagi
penelitian mengenai kualitas pelayanan KB dan kesehatan reproduksi dari sisi tenaga
kesehatan.

Pilihan terhadap Metode Layanan. Setiap metode layanan (KB) tersedia bagi perempuan dan
laki-laki yang ingin merencanakan keluarganya.
Informasi untuk Klien. Informasi yang berkualitas dapat berdampak pada bagaimana klien
menggunakan metode kontrasepsi. Informasi yang diberikan harus berisi pula informasi
mengenai tiap metode, cara penggunaan metode, dan efek sampingnya.
Keterampilan Teknis. Mempertahankan kondisi aseptic, menjalankan protokol (aturan) dan
staf yang kompeten melakukan teknis klinik.
Hubungan Antarpribadi. Bagaimana klien berinteraksi dengan tenaga kesehatan, apakah
cukup simpatik dan cukup waktu untuk bertemu dengan kliennya.
Mekanisme untuk Mendorong Keberlanjutan. Klien dapat didorong meneruskan penggunaan
kontrasepsi yang efektif melalui berbagai cara, termasuk kartu untuk mengingatkan dan
kunjungan rumah.
Pelayanan yang Terpadu. Klien memerlukan pelayanan yang nyaman dan terpadu. Misalnya,
pelayanan KB terpadu dengan pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan pasca persalinan,
dan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya.

Jadi, strategi dasar yang penting dilakukan aktifis organisasi konsumen yang melakukan
pendampingan konsumen kesehatan adalah dengan memperkuat pengorganisasian dan
pendidikan kritis bagi kelompok-kelompok konsumen yang rentan seperti petani, perempuan,
buruh dan kaum miskin kota. Pendamping atau organizer bersama kelompok konsumen
merumuskan:
Masalah dan akar masalah,
Bentuk-bentuk kasus yang dialami konsumen,
Instansi dan orang-orang yang terlibat dan bertanggung jawab,
Inisiatif konsumen sendiri dalam mengatasi masalahnya,
Usaha (aksi-aksi) bersama menggugat petugas kesehatan di tempat pelayanan,
Usulan, konsep, cara pandang konsumen terhadap pelayanan yang diinginkan atau pelayanan
yang berkualitas (quality of care versi konsumen),
Penyebarluasan informasi terus-menerus kepada konsumen yang lain.

Mengingat gerakan konsumen saat ini didukung oleh kebijakan yang relatif jelas dengan
adanya Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), maka organisasi konsumen dapat
mengambil peran dengan melakukan advokasi kebijakan dan pembelaan hukum. Bukan hal
yang mustahil, bila suatu waktu konsumen dapat mengadili provider pelayanan kesehatan
atas dasar pelanggaran terhadap hak-hak konsumen secara perorangan atau pun berkelompok
(class-action).
Hasil penelitian tentang perbaikan mutu pelayanan kesehatan di instalasi rawat inap RSD
KOL. ABUNDJANI BANGKO menyarankan yang diantaranya

Pemberian pelayanan kesehatan kepada pasien terdiri dari serangkaian proses-proses dari
beberapa sistem, sistem ini berhubungan dengan unsur-unsur manajemen seperti peralatan,
manusia, kebijakan, dan anggaran.

Penyimpangan dalam area-area penting manajemen pelayanan kesehatan yang

menyebabkan kematian tersebut, memerlukan tindakan terstruktur dengan manajemen resiko


dan manajemen mutu. Untuk itu semua peneliti menyampaikan beberapa saran seperti
berikut:

Saran untuk Perawat, Seperti yang disarankan oleh The Nursing and Midwifery Council,
(2002), bahwa memelihara kualitas RM akan membantu dalam memelihara ketrampilan dan
kemandirian dalam asuhan keperawatan, untuk ini diperlukan:

1) deskripsikan dengan jelas hasil pengkajian, rencana keperawatan dan rencana


tindakan yang akan dilakukan,

2) dokumentasikan informasi yang berhubungan dengan pasien dan apa yang akan
dilakukan dalam merespon kebutuhan pasien,

3) jika sudah diketahui dengan baik kondisi pasien lakukan tindakan yang dapat
diterima dan dapat dilakukan dengan tahapan yang baik dan benar saat melaksanakan
perawatan kepada pasien dan jelaskan bahwa setiap tindakan tidak selalu berbahaya untuk
selalu untuk keselamatan dan membatu mereka, dan

4) menuliskan perencanaan perawatan agar dapat diteruskan oleh sejawat dalam


perawatan berikutnya dan selalu menuliskan tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan,
dan dapat ditambahkan bahwa

Saran untuk Dokter penyelenggara utama perawatan dan pengobatan pasien di instalasi rawat
inap diantaranya adalah: Bertugas berdasarkan standar General Medical Council seperti:
pemberian pelayanan kepada pasien merupakan hal yang utama, memperlakukan setiap
pasien dengan sopan dan sewajarnya, menghormati privasi dan kehormatan pasien,
mendengarkan dan menghormati pandangan-pandangan pasien, memberikan informasi yang
dapat dimengerti pasien, menghormati hak pasien dalam keterlibatan secara aktif pada
pengambilam keputusan, selalu memperbaharui pengetahuan dan ketrampilan, menyadari
berbagai keterbatasan yang dimilikinya, jujur dan dapat dipercaya, menghargai dan menjaga
informasi tentang pasiennya, menghindarkan pasien dari resiko fisik dan finansial akibat
tindakan medis, bekerjasama dengan para sejawat untuk kebaikan pasien-pasien yang
dirawat.

Saran untuk komite staf fungsional diantaranya adalah:

1) Mematuhi tugas pokok dan fungsinya seperti yang tergambarkan dalam Peraturan Daerah
Kab. Merangin tentang struktur organisasi dan tata kerja RSD KOL ABUNDJANI;
2) Melaksanakan semua tugas sesuai dengan kompetensi dan kode etik profesi;

3) Menjadikan RSD KOL ABUNDJANI bukan sebagai tempat mencari sesuatu yang dapat
memenuhi kebutuhan hidup tetapi juga menjadikannya sebagai tempat ibadah dan fungsi
sosial.

Saran untuk manajemen RSD diantaranya adalah:

1) Berusaha mengetahui keinginan pelanggan dengan melakukan survey pasar, diantaranya


survey kepuasan, survey kebutuhan pelayanan dan survey tingkat utilisasi pelayanan
kesehatan rumahsakit;

2) Menyusun berbagai prosedur dan standar pelayanan sesuai dengan hasil tingkat kebutuhan
dan hasil dari penelitian ini, diantaranya:

a. Prosedur dan Standar Pelayanan Laboratorium

b. Prosedur dan Standar Pelayanan Radiologi

c. Prosedur dan Standar Pelayanan Kamar Operasi

d. Prosedur dan Standar Pelayanan Anastesi

e. Prosedur dan Standar Pelayanan Rawat Inap dengan Kegawatan

f. Prosedur dan Standar Pelayanan Rekam Medik.

3) Memastikan bahwa prosedur dan standar yang telah disusun diterapkan dan dilaksanakan
dengan baik. Hal ini dilakukan dengan audit internal secara rutin dan melakukan management
riview guna membahas tindak lanjut yang perlu dilakukan agar pelayanan yang diberikan
selalu konsisten sesuai prosedur dan standar yang telah ditetapkan;

4) Menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan guna mensosialisasikan jasa-jasa


pelayanan yang mampu diberikan oleh rumahsakit, misalnya dengan membuat brosur-brosur,
information desk, terminal komputer yang dapat diakses oleh pelanggan;

5) Membumikan paradigma bahwa dari pasien kita mendapatkan jasa pelayanan yang
mendukung kesejahteraan dan kepada pasien seharusnya tumbuh keinginan untuk
membebaskan masalah kesehatannya;

6) Menyusun dan memberlakukan sistem pengawasan dan pemantauan pelayanan kesehatan


yang diberikan dengan efektif;

7) Melaksanakan saran-saran ini dengan dukungan sumber daya manusia kesehatan dan
anggaran kesehatan beserta kebijakan-kebijakan kesehatan;

Perlu adanya dukungan sistem pengelolaan RM yang baik dan benar, mustahil tata tertib
administrasi rumahsakit akan berhasil seperti apa yang telah distandarisasikan oleh
pemerintah maka oleh karena itu diperlukan adanya komitment bersama untuk sepakat
menyusun pedoman RM dan melaksanakannya dengan pertanggungjawaban profesi. Seperti
diketahui bahwa tata tertib administrasi merupakan salah satu faktor yang menentukan di
dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan di rumahsakit;

9) Menginvetarisir akar penyebab masalah dari faktor internal yang mempengaruhi kualitas
layanan kesehatan dan administrasi RM terutama dalam bidang: faktor pendidikan SDM,
faktor pelatihan dan tambahan pengetahuan, faktor masa kerja dan lama Jabatan, faktot beban
kerja, faktor fasilitas dan peralatan, faktor Standart Operating Procedure dan atau instruksi
kerja, faktor administrasi dan alur layanan, faktor pengendalian dan evaluasi, faktor
manajemen rawat inap dan faktor staf medis fungsional.

Dianjurkan pula langkah-langkah umum sebagai berikut untuk pemecahan masalah mutu dan
efisiensi dan efektifitas pelayanan rumah sakit:

1) Memecahkan struktur masalah yang sudah teridentifikasi kedalam komponen-


komponennya, menganalisis komponen-komponen itu sehingga ditemukan akar masalah.
Akar masalah adalah penyebab paling dasar dari masalah etika yang terjadi. Ia dapat berupa
kelemahan pada manusia, kepemimpinan, manajemen, budaya organisasi, sarana, alat, sistem,
prosedur, atau faktor-faktor lain;

2) Melakukan analisis lebih dalam tentang akar masalah yang sudah ditemukan (root cause
analysis), untuk menetapkan arah pemecahannya;

3) Menetapkan dan memilih alternatif untuk pemecahan akar masalah;

4) Memantau dan mengevaluasi penerapan upaya pemecahan masalah yang sudah


dilaksanakan;

5) Melakukan tindakan koreksi jika masalah etika belum terpecahkan atau terulang lagi
terjadi. Tindakan koreksi yang dapat menimbulkan masalah etika baru adalah jika manusia
sebagai penyebab akar masalah yang berulang-ulang dikeluarkan dari rumah sakit.

Saran untuk Pemerintah Daerah, sesuai dengan beberapa kebijakan nasional pembangunan
kesehatan di Indonesia diharapkan pemerintah daerah dapat:

1) Menjadi stake holder yang berpihak dan mendukung dalam berbagai aspek manajemen
pelayanan kesehatan;

2) Berperan sebagai regulator yang melindungi dan menumbuh kembangkan kemampuan


profesionalisme tenaga pemberi pelayanan kesehatan;

3) menjadi fasilitator dalam akselerasi peningkatan kemampuan pemberian pelayanan


kesehatan sesuai dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan kesehatan daerah.

Saran untuk pasien, diantaranya adalah:

1) sebelum penyakit menjadi lebih parah (persepsi masyarakat) sebaiknya segera


memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan yang terdekat,

2) bertanya dengan petugas kesehatan tidak dengan emosi tentang keadaan penyakit,
diagnosanya, kemungkinan kesembuhan dan tindakan apa saja yang akan dilakukan dan
selalulah memulai komunikasi dengan kata „maaf“, „tolong“, dan „tolonglah saya“ atau
„tolonglah kami“.

3) mengikuti semua kebijakan sarana pelayanan dan saran dari petugas kesehatan dengan
jujur dan bertanggungjawab, jika ragu dan meragukan mintalah penjelasan lebih lanjut
tentang kebijakan dan atau saran tersebut,

4) selalu menyediakan tabungan kesehatan saat sehat dan mampu melaksanakan aktifitas
memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia.

Peningkatan mutu pelayanan kesehatan mengandung arti bahwa sarana pelayanan kesehatan
dan tenaga profesi kesehatan harus mampu menunjukkan akuntabilitas sosial untuk
memberikan pelayanan prima kepada konsumen, yakni pelayanan yang sesuai dengan standar
yang diakui sehingga dapat memenuhi atau bahkan melebihi harapan konsumen.

Untuk itu perlu dikembangkan suatu sistem dan mekanisme yang efektif guna tercapainya
pelayanan prima tersebut.

Hal lain adalah Pelaksanaan Program kendali mutu harus berdasarkan falsafah bersama untuk
mempertahankan dan meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh tim pelayanan dari
berbagai disiplin ilmu.

Falsafah yang mendasari program kendali mutu antara lain:


Masing-masing disiplin telah mengidentifikasi dan menyetujui falsafah dasar untuk
dikembangkan menjadi tujuan masing-masing pelayanan.
Masing -masing disiplin menyepakati untuk mengkaji pelayanan yang diberikan oleh
anggotanya.
Semua staf memberikan perhatian untuk mencapai tujuan institusi yang dalam hal ini
memberikan efek terhadap pelayanan pada klien.
Praktek perawatan tidak akan mungkin meningkatkan kecuali masalah dapat diidentifikasi
dan dipecahkan.
Staf mempunyai pengetahuan yang cukup dan memiliki ide-ide yang kreatif untuk
memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaannya
Staf dapat memecahkan masalah jika cukup informasi-informasi yang diperlukan .

Pekerja pada umumnya merasakan kepuasan kerja dan lebih produktif bila mereka dibantu
dengan menciptakan lingkungan kerja yang baik dengan mengurangi hambatan dalam
pekerjaannya. Program kendali mutu perlu dilaksanakan dan dibuat secara teratur dan terus
menerus untuk meningkatkan mutu pelayanan.

Dengan melakukan pendekatan konkuren maupun retrospektif terhadap lingkup struktur,


proses dan hasil maka semua aspek-aspekantara lain: Tenaga keperawatan, asuhan
keperawatan dan kepuasan klien harus dinilai dengan menggunakan standar-standar yang
tepat, walaupun demikian baiknya program kendali mutu ini dilakukan secara terpadu tetapi
tetap ada kendala kendala yang perlu diperhatikan.

Dengan melibatkan semua staf keperawatan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan program
pengendalian mutu ini, maka tujuan akhir dari program pengendalian mutu yaitu
meningkatnya mutu pelayanan keperawatan berdasarkan standar akan dapat dicapai dengan
baik.

Dari UU Perlindungan Konsumen rumahsakit adalah: salah satu institusi pemberi pelayanan
dibidang kesehatan, hubungan yang jelas adalah pelayanan jasa kesehatan. Kesehatan adalah
hak azazi manusia. Maka manusia sebagai konsumen rumahsakit berhak sesuai dengan Pasal
5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, seperti:
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa;
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa
yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Bila menyimak surat pembaca di media cetak, banyak sekali keluhan dari konsumen yang
merasa dirugikan. Misalnya soal layanan listrik PLN, PDAM, delay pesawat, layanan
barang/jasa yang buruk, mutu barang yang tidak bagus, tindak kriminal di kereta api,
pelayanan rumahsakit dan bahkan pelayanan pajak dan lain sebagainya. Semua itu adalah
persoalan yang kerap kali muncul di Indonesia. Maka inilah realitas ketertindasan konsumen
dalam menghadapi pilihan-pilihan barang/ jasa harus mereka konsumsi.

Ironisnya, keluhan yang disampaikan kebanyakan hanya lewat surat pembaca di media
massa. Cara ini terlalu sederhana dan tidak menyelesaikan masalah. Cara lain yang lebih
kreatif adalah langsung mengadu ke pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) atau lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat.

Memang pada kenyataannya konsumen kerap berada dalam posisi yang tidak berimbang
dibanding dengan posisi produsen. Maka untuk mengurangi kesewang-wenangan para
produsen barang dan jasa, sebagai konsumen kita perlu mengetahui faktor-faktor yang
melemahkan konsumen, antara lain:
Masih rendahnya tingkat kesadaran konsumen akan hak-haknya.
Belum terkondisikannya “masyarakat konsumen” karena memang sebagian masyarakat ada
yang belum mengetahui tentang apa saja hak-haknya dan ke mana hak-haknya dapoat
disalurkan jika mendapat kesulitan atau kekurangan dari standar barang atau jasa yang
sewajarnya.
Masyarakat belum memiliki kemauan untuk menuntut hak-haknya.
Proses peradilan yang ruwet dan memakan waktu yang berkepanjangan.
Posisi konsumen yang selalu lemah (lemah informasi dan lemah kondisi sehingga tak berani
menyangga seperti kasus Prita), apa kata dokter/perawat mereka iyakan.

Padahal bisa jadi kala sekolah dahulu, yang di Depkes tidak lebih pandai dari yang di institusi
pelayanan kesehatan /rumahsakit. Pun demikian pula setelahnya, lebih-lebih kala berbicara
kepekaan terhadap keperluan masyarakat terhadap layanan kesehatan, dijamin dokter di
institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit lebih peka dibanding dokter di Depkes walau
sepanjang apapun gelarnya. Yang membedakan hanyalah kekuasaan. Itulah kira-kira
gambaran umum, mengapa hingga kini institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit ibarat
tempat uji coba, trial and error aneka macam program dari depkes, dan dokter yang
berpraktik di rumahsakitpun dalam memberikan pelayanan kesehatannya.

Jaminan mutu produk tahun 1996 yang lalupun, konon hasil pemikiran grusa-grusu karena
ada “jajan” berupa pinjaman IMF (maksudnya hutang yang harus dibayar), yang mana
depkes tidak mau kalah dengan departemen lain untuk ikut mencicipi jajan IMF. Dan supaya
dapat dana segar nan besar, nama programnya pun dibuat “greng”, maka bim salabim lahirlah
Quality Assurance atau Jaminan Mutu. Parameterpun disiapkan, demikian pula pelatihan,
panduan, monitor dan evaluasinya, baik terhadap item kegiatan ataupun terhadap program
besarnya.

Menyimak produk Depkes tahun 1988, yang mana dalam Pedoman Kerja Institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit sudah sangat jelas dan rinci berisi panduan tatalaksana setiap kegiatan
di Institusi pelayanankesehatan/rumahsakit yang mengacu kepada UPK, termasuk panduan
pengobatan, maka program QA adalah sebuah langkah kebimbangan dan ambivalensi.
Artinya mengulang program mapan yang sudah terintegrasi dengan keseharian para petugas
Institusi pelayanan kesehatan/rumahsakit dengan mengganti nama QA yang justru lebih
sempit tapi tidak lebih mendalam. Bedanya hanya di segi dana yang luar biasa besar dan
pelatihan berulang yang justru buang-buang waktu.

Untuk meningkatkan mutu layanan, tidak cukup dengan kajian monopoli petinggi Depkes,
lebih dari itu ada ukuran non teknis yakni keinginan dan harapan warga. Sayangnya yang ini
tidak pernah tersentuh, artinya pengguna jasa pelayanan Institusi pelayanan
kesehatan/rumahsakit tak lebih hanyalah obyek semata yang tak punya hak suara. Siklus
demikian mestinya tidak boleh terulang.

Akreditasi rumahsakit dicanangkan sejak tahun 2007 dan sampai tahun 2009 ini capaiannya
sangat menyedihkan, dari ratus rsd dan puluh rsp serta ratus rss, hanya 14% yang sudah
terakreditasi, jiwanya masih nol saya rasa, karena prosesnya sendiri tidak terakreditasi. RSD
Kol Abundjani saat ini sedang dalam proses akreditasi yang pelaksanaannya setengah isi dan
setengah kosong.

Pelayanan rumah sakit diera sekarang tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
masyarakat . Hal ini tercermin pada perubahan fungsi klasik rumah sakit yang pada awalnya
hanya memberi pelayanan yang bersifat kuratif (penyembuhan) saja terhadap pasien melalui
rawat inap dan rawat jalan bergeser ke pelayanan yang lebih komprehensif meliputi promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.

Pengaruh perubahan dinamika lingkungan usaha rumah sakit yang terjadi tidak saja di
Indonesia tetapi hampir diberbagai penjuru dunia. Hal ini menuntut para manajer untuk lebih
memperhatikan secara saksama dinamika lingkungan yang ada yang kemungkinan besar akan
merubah system manajemen yang dipergunakan. Sistem manajemen yang berlaku global
mempengaruhi pola berfikir manajer rumah sakit, dengan menekankan pada aspek efisiensi,
efektif dan produktifitas serta memperhatikan pemerataan pelayanan. Gambaran lain adalah
tehnologi kedokteran dan obat-obatan yang berkembang pesat disisi lain rumah sakit adalah
lembaga pemberi jasa pelayanan kesehatan yang tergantung pada perkembangan tehnologi
kedokteran.

Tehnologi kedokteran mempengaruhi biaya pelayanan rumah sakit. Menurut Trisnantoro


(2005) saat ini sektor kesehatan berbeda jauh dengan keadaan 50 tahun lalu. Tehnologi yang
digunakan saat ini sangat canggih, sebagi contoh operasi dengan menggunakan peralatan
mikro merupakan suatu tindakan yang sama canggihnya dengan tehnologi program ruang
angkasa dan militer yang tentu saja memerlukan SDM yang berkompetensi untuk
mengelolanya.

Salah satu tehnologi tinggi adalah obat yang dihasilkan oleh industri farmasi. Obat
merupakan barang yang sangat dibutuhkan oleh rumah sakit. Kebutuhan akan obat ini sering
disertai dengan biaya yang besar. Besarnya omset untuk obat-obatan mencapai 50-60% dari
seluruh anggaran rumah sakit. Rumah sakit dapat meningkatkan pendapatan dengan
memperbesar omset penjualan obat.

Hal inilah menjadikan rumah sakit menjadii lembaga yang bersifat padat modal, padat karya
dan padat tehnologi Ketiga sifat tersebut menuntut pengelolaan keuangan rumah sakit yang
lebih professional, berdasarkan hitungan-hitungan ekonomi. Cost recovery rate (CRR) rumah
sakit menjadi hal yang sangat penting, penentuan tarif lebih rasional, disertai peningkatan
kuantitas dan kualitas pelayanan serta mampu berkembang (growth) dan survive.

Pengertian rumah sakit menurut WHO adalah suatu bagian penyeluruh dari organisasi sosial
dan medis berfungsi memberikan pelayanan Kesehatan yang lengkap kepada masyarakat,
baik kuratif maupun rehabilitatif, dimana pelayanan keluarga menjangkau pelayanan keluarga
dan lingkungan, rumah sakit juga merupakan pusat latihan tenaga kesehatan, serta untuk
penelitian biososial.

Dari definisi diatas bahwa rumah sakit disamping memberikan pelayanan kesehatan secara
komprehensif kepada masyarakat juga sebagai pusat pendidikan calon tenaga kesehatan. Dan
yang lebih penting lagi adalah bahwa rumah sakit juga harus menjalankan fungsi sosialnya.
Untuk menjalankan fungsi sosialnya ini sebaiknya anggaran untuk pos sosial tersebut tersedia
dalam APBD dan diatur dengan kemudahan-kemudahan pengelolaannya tetapi tetap dengan
pengawasan yang ketat. Kita pelajari

Dalam perkembangannya rumah sakit swasta yang dikelola oleh yayasan keagamaan seperti
rumah sakit Islam sangat kesulitan dalam memenuhi fungsi sosialnya oleh karena kesulitan
dalam hal pendanaan. Hal ini membuat banyak rumah sakit swasta bahkan yang dikelola oleh
yayasan keagamaanpun berubah menjadi lembaga for profit sebagai jawaban terhadap
perubahan lingkungan yang terjadi diluar rumah sakit akibat pengaruh globalisasi.

Walaupun demikian masih banyak rumah sakit keagamaan masih melihat perubahan yang
ada tanpa strategi pengembangan yang jelas (Trisnantoro, 2005). Hal ini dapat membawa
suatu resiko yaitu rumah sakit keagamaan akan menjadi lembaga usaha yang praktis untuk
mencari keuntungan atau menghidupi SDM, akibat hilangnya subsidi dan semakin mahalnya
alat dan tenaga kesehatan yang pada akhirnya menuntut pendapatan yang tinggi.

Subsidi yang mengecil atau bahkan tidak ada sama sekali menyebabkan rumah sakit
keagamaan kesulitan mencari sumber dana bagi orang miskin yang sakit, sementara
penggalian dana-dana kemanusiaan sama sekali tidak dikelola secara sistematis. Penerapan
subsidi silang dari kelas atas (VIP) ke kelas bawah (III) tidak rasional.

Penelitian Abeng dan Trisnantoro (1997) disebuah rumah sakit swasta menunjukkan bahwa
tarif kamar VIP berada dibawah unit cost. Hal yang dikhawatirkan adalah pasien dikelas
bawah justru mensubsidi pasien kelas atas. Kenyataan menunjukkan bahwa konsep subsidi
silang sebenarnya tidak ada ataupun jika ada subsidi silang akan menggerogoti aset dan
kemampuan investasi rumah sakit.

Hal yang penting adalah masalah biaya operasional dan pemeliharaan yang tidak semudah
biaya investasi untuk memperolehnya. Akibatnya banyak rumah sakit swasta keagamaan
yang mempunyai fasilitas fisik dan peralatan yang memadai tetapi kesulitan dalam mencari
dana operasional, sehingga menaikan tarif akan menjadi pilihan, disamping itu belum ada
standar sumber pendanaan termasuk pembagian sumber pendapatan (keuntungan) apakah
untuk pemilik atau untuk pengembangan.

Berdasarkan kenyataan diatas maka rumah sakit mulai berubah menjadi lembaga usaha yang
membutuhkan berbagai konsep ekonomi dalam manajemen yang mungkin asing bagi para
dokter atau pemilik rumah sakit. Rumah sakit tidak lagi harus dipandang sebagai suatu
lembaga yang harus bersandar pada norma-norma dan etika profesi dokter, tetapi lebih
mengarah pada suatu lembaga yang harus hidup dan bermutu, berkembang dan mempunyai
dasar etika berbagai profesi dan mempunyai etika bisnis. Dengan demikian rumah sakit
bukanlah lembaga yang hanya menggunakan prinsip kedokteran dan kesehatan. Rumah sakit
merupakan lembaga multiprofesional yang menghasilkan berbagai produk pelayanan
kesehatan yang bermutu dengan tetap memperhatikan aspek sosialnya. Implementasinya
adalah penerapan ekonomi dalam pelayanan kesehatan harus dilakukan diantaranya dengan
melakukan analisis biaya di rumah sakit.

Sumber:
http://rusliakatili.blogspot.com/2007/10/wajah-perumahsakitan-saat-ini.html
Catatan Kuliah Manajemen Rumah Sakit
Tesis Evaluasi Mutu Pelayanan Kesehatan Rawat Inap melalui Audit Kematian
BMJ Journal
Wikipedia Indonesia
Pedoman Pelayanan Kesehatan Depkes RI

Penulis adalah magister manajemen rumahsakit UGM dan seorang calon widyaiswara dari
kabupaten Merangin, sedang mempersiapkan diri untuk Stratifikasi Khusus Widyaiswara
secara mandiri. Saat ini juga sedang belajar menulis

Anda mungkin juga menyukai