Anda di halaman 1dari 5

Tersenyumlah…

Tertawa sewajarnya merupakan obat kecemasan dan pelipur kesedihan. Dalam


senyum terdapat kekuatan yang menakjubkan dalam menggembirakan jiwa dan
menyenangkan hati, sehingga Abu darda berkata: “Sesungguhnya aku akan tertawa
hingga hatiku akan terhibur.” Tertawa merupakan puncak keceriaan, kelegaan dan
keriangan, asalkan tidak berlebihan, dengan sewajarnya, dan tidak di maksudkan
mengejek atau mencemooh: “Jangan terlalu banyak tertawa, karena terlalu banyak
tertawa akan mematikan hati.”

Hakikatnya, Islam adalah agama yang dibangun atas dasar keseimbangan dan
keadilan, baik dalam hal akidah, ibadah, akhlak, maupun tingkah laku. Oleh karena
itu, janganlah anda masamkan raut muka anda sehingga menakutkan orang yang
melihat. Jangan pula anda tertawa terbahak – bahak. Akan tetapi, tampilkanlah
wajah yang tenang, selalu berseri dan enak dipandang, sehingga menyenangkan
orang yang memandang.

Kalau kita diminta memilih antara harta yang banyak atau jabatan terhormat dan jiwa
yang tenang penuh keceriaan, tentu anda akan memilih yang kedua. Apa artinya
harta jika jiwa penuh kemuraman? Apa artinya pangkat dan jabatan jika jiwa
terkekang? Apa artinya kecantikan istri bila ia selalu cemberut dan menjadikan
suasana rumah seperti neraka? Sungguh lebih baik seribu kali lipat istri yang tidak
terlalu cantik tetapi mampu menciptakan suasana rumah seperti surga.

Senyum yang tampak secara lahir tidak akan bernilai bila muncul dengan pura –
pura dan untuk menutupi seseorang yang berperangai menyimpang. Lihatlah bunga
juga tersenyum; hutan tersenyum; dan lautan, sungai, langit, bintang, burung,
semuanya tersenyum. Senyum mereka itulah senyum yang tulus.

Jiwa yang senantiasa tersenyum akan melihat kesulitan dengan nyaman sambil
berusaha mengatasinya. Jika mereka melihat sebuah persoalan, mereka tersenyum
dan tetap tersenyum ketika mampu mengatasinya. Sebaliknya, jiwa yang muram
akan akan melihat kesulitan dengan kesedihan. Bila menemui kesulitan, ia akan
meghindar atau  membesar-besarkannya, semangatnya melemah dan berandai
andai dengan kata-kata “kalau”, “bila”, dan “jika”.

Betapa kita amat membutuhkan senyuman, keceriaan wajah, kelapangan dada,


kemrahan hati, kelemahlembutan, dan keramahan. “Sesungguhnya Alloh
Subhanahu wa Ta’ala telah mewahyukan kepadaku (Rasululloh Muhammad
Shallallahu’alaihi wasallam) agar kalian bersikap tawadhu’ hingga tidak ada seorang
pun yang berbuat zhalim terhadap orang lain.”

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info
Akhlak islam cerminan akidah islam
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) benar-benar berakhlak yang agung” (Al qalam : 4). Adakah orang yang
tidak menyukai perhiasan ? jawaban pertanyaan ini jelas, bahwa tidak ada seorangpun melainkan ia menyukai
perhiasan dan senang untuk tampil berhias di hadapan siapa saja. Karena itu kita lihat banyak orang berlomba-
lomba untuk memperbaiki penampilan dirinya. Ada yang lebih mementingkan perhiasan dhahir (luar) dengan
penambahan aksesoris sepertipakaian yang bagus, make up yang mewah dan emas permata, sehingga
mengundang decak kagum orang yang melihat. Adapula yang berupaya memperbaiki kualitas akhlak,
memperbaiki dengan akhlak islami.
Yang disebut terakhir ini tentunya bukan decak kagum manusia yang dicari, namun karena kesadaran
agamanya menghendaki demikian dengan disertai harapan mendapatkan pahala dari Allah subhanahu wa
ta’ala. Kalaupun penampilannya mengundang pujian orang, ia segera mengembalikannya kepada Allah karena
kepunyaan-Nyalah segala pujian dan hanya Dialah yang berhak untuk dipuji.

ISLAM MENGUTAMAKAN AKHLAK

Mungkin banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Di satu sisi kita mengutamakan tauhid
yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi
lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan. Sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang
terlontar dari kalangan awwam, seperti ucapan : “Wah udah ngerti agama kok kurang ajar sama orang tua.” Atau
ucapan : “Dia sih agamanya bagus tapi sama tetangga tidak pedulian.”, dan lain-lain.

Seharusnya ucapan-ucapan seperti ini ataupun yang semisal dengan ini menjadi cambuk bagi kita untuk
mengoreksi diri dan membenahi akhlak. Islam bukanlah agama yang mengabaikan akhlak, bahkan islam
mementingkan akhlak. Yang perlu diingat bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti islam yang memang seharusnya
kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai
hubungan yang erat. Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah dan ini merupakan
pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik
manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang
muwahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya.

RASUL DIUTUS UNTUK MENYEMPURNAKAN AKHLAK

Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam, rasul kita yang mulia mendapat pujian Allah. Karena ketinggian akhlak
beliau sebagaimana firmanNya dalam surat Al Qalam ayat 4. bahkan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
menegaskan bahwa kedatangannya adalah untuk menyempurnakan akhlak yang ada pada diri manusia,
“Hanyalah aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak.” (HR.Ahmad, lihat Ash Shahihah oleh Asy
Syaikh al Bani no.45 dan beliau menshahihkannya).

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu seorang sahabat yang mulia menyatakan : “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam adalah manusia yang paling baik budi pekertinya.” (HR.Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain anas
memuji beliau shalallahu ‘alahi wasallam : “Belum pernah saya menyentuh sutra yang tebal atau tipis lebih halus
dari tangan rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Saya juga belum pernah mencium bau yang lebih wangi dari
bau rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Selama sepuluh tahun saya melayani rasulullah shalallahu ‘alahi wa
sallam, belum pernah saya dibentak atau ditegur perbuatan saya : mengapa engkau berbuat ini ? atau mengapa
engkau tidak mengerjakan itu ?” (HR. Bukhari dan Muslim).

Akhlak merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh
rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam : “Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik
akhlaknya.” (HR Tirmidzi, dari abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, diriwayatkan juga oleh Ahmad. Disahihkan Al Bani
dalam Ash Shahihah No.284 dan 751). Dalam riwayat Bukhari dan Muslim dari Abdillah bin amr bin Al ‘Ash
radhiallahu ‘anhuma disebutkan : “Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang terbaik akhlaknya.”

KEUTAMAAN AKHLAK

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa suatu saat rashulullah pernah ditanya tentang kriteria orang
yang paling banyak masuk syurga. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Taqwa kepada Allah dan
Akhlak yang Baik.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Lihat Riyadus Sholihin
no.627, tahqiq Rabbah dan Daqqaq).

Tatkala Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menasehati sahabatnya, beliau shalallahu ‘alahi wasallam
menggandengkan antara nasehat untuk bertaqwa dengan nasehat untuk bergaul/berakhlak yang baik kepada
manusia sebagaimana hadits dari abi dzar, ia berkata bahwa rashulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik
niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.” (HR
Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan, dan dishahihkan oleh syaikh Al Salim Al Hilali).

Dalam timbangan (mizan) amal pada hari kiamat tidak ada yang lebih berat dari pada aklak yang baik,
sebagaimana sabda rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam : “ Sesuatu yang paling berat dalam mizan
(timbangan seorang hamba) adalah akhlak yang baik.” (HR. Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Bani. Lihat
ash Shahihah Juz 2 hal 535). Juga sabda beliau : “ Sesungguhnya sesuatu yang paling utama dalam mizan
(timbangan) pada hari kiamat adalah akhlak yang baik.” (HR. Ahmad, dishahihkan al Bani. Lihat Ash Shahihah
juz 2 hal.535).

Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata : Rashulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya orang
yang paling saya kasihi dan yang paling dekat padaku majelisnya di hari kiamat ialah yang terbaik budi
pekertinya.” (HR. Tirmidzi dengan sanad hasan. Diriwayatkan juga oleh Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu
Hibban. Lihat Ash shahihah Juz 2 hal 418-419).

Dari hadits-hadits di atas dapat dipahami bahwa akhlak yang paling baik memiliki keutamaan yang tinggi. Karena
itu sudah sepantasnya setiap muslimah mengambilakhlak yang baik sebagai perhiasannya. Yang perlu diingat
bahwa ukuran baik atau buruk suatu akhlak bukan ditimbang menurut selera individu, bukan pula hitam putih
akhlak itu menurut ukuran adat yang dibuat manusia. Karena boleh jadi, yang dianggap baik oleh adat bernilai
jelek menurut timbangan syari’at atau sebaliknya.

Jelas bagi kita bahwa semuanya berpatokan pada syari’at, dalam semua masalah termasuk akhlak. Allah
sebagai Pembuat syari’at ini, Maha Tahu dengan keluasan ilmu-Nya apa yang mendatangkan
kemashlahatan/kebaikan bagi hamba-hamba-Nya. Wallahu Ta’ala a’lam.

Disalin dari: Arsip Moslem Blogs dan sumber artikel dari Media Muslim Info
PERINGATAN MAULID NABI DALAM TIMBANGAN
ISLAM
Sejarah Peringatan Hari Maulid Nabi Bulan Rabi’ul Awwal dikenang oleh kaum muslimin
sebagai bulan maulid Nabi, karena pada bulan itulah, tepatnya pada hari senin tanggal 12,
junjungan kita nabi besar Muhammad dilahirkan, menurut pendapat jumhur ulama. Mayoritas
kaum muslimin pun beramai-ramai memperingatinya karena terdorong rasa mahabbah
(kecintaan) kepada beliau , dengan suatu keyakinan bahwa ini adalah bagian dari hari raya
Islam, bahkan terkategorikan sebagai amal ibadah mulia yang dapat mendekatkan diri kepada
Allah . Lalu sejak kapankah peringatan ini diadakan?

Al Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid
Nabi adalah para raja kerajaan Fathimiyyah -Al ‘Ubaidiyyah yang dinasabkan kepada
‘Ubaidullah bin Maimun Al Qaddah Al Yahudi- mereka berkuasa di Mesir sejak tahun 357 H
hingga 567 H. Para raja Fathimiyyah ini beragama Syi’ah Isma’iliyyah Rafidhiyyah. (Al
Bidayah Wan Nihayah 11/172). Demikian pula yang dinyatakan oleh Al Miqrizi dalam
kitabnya Al Mawaa’izh Wal I’tibar 1/490. (Lihat Ash Shufiyyah karya Asy Syaikh
Muhammad bin Jamil Zainu hal. 43)
Adapun Asy Syaikh Ali Mahfuzh maka beliau berkata: “Di antara pakar sejarah ada yang
menilai, bahwa yang pertama kali mengadakan peringatan maulid Nabi ialah para raja
kerajaan Fathimiyyah di Kairo, pada abad ke-4 H. Mereka menyelenggarakan enam perayaan
maulid, yaitu maulid Nabi , maulid Imam Ali t, maulid Sayyidah Fathimah Az Zahra, maulid
Al Hasan dan Al Husain, dan maulid raja yang sedang berkuasa. Perayaan-perayaan tersebut
terus berlangsung dengan berbagai modelnya, hingga akhirnya dilarang pada masa Raja Al
Afdhal bin Amirul Juyusy. Namun kemudian dihidupkan kembali pada masa Al Hakim bin
Amrullah pada tahun 524 H, setelah hampir dilupakan orang. (Al Ibda’ Fi Mazhahiril Ibtida’ ,
hal. 126)

Hukum Memperingati Maulid Nabi


Hari kelahiran Nabi mempunyai keutamaan di sisi Allah . Berkata Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah: “Nabi Muhammad dilahirkan pada tahun gajah. Peristiwa ini (yakni
dihancurkannya tentara bergajah yang dipimpin oleh Abrahah ketika hendak menyerang
Ka’bah) adalah sebagai bentuk pemuliaan Allah kepada Nabi-Nya dan Baitullah Ka’bah.”
(Zaadul Ma’ad: 1/74)
Lalu apakah dengan kemuliaan tersebut lantas disyari’atkan untuk memperingatinya? Para
pembaca yang budiman, ketahuilah bahwa tolok ukur suatu kebenaran adalah Al Qur’an dan
As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah dari kalangan sahabat Nabi . Allah berfirman
(artinya): “Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah
(yakni Al Qur’an) dan Rasul-Nya (yakni As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kiamat.” (An Nisaa’: 59)
Subhanallah!, ketika kita kembali kepada Al Qur’an ternyata tidak ada satu ayat pun yang
memerintahkannya, demikian pula di dalam As Sunnah Rasulullah tidak pernah
melakukannya atau memerintahkannya. Padahal kaum muslimin sepakat bahwa tidak ada
sesuatu pun dari agama ini yang belum disampaikan oleh Nabi Muhammad . Nabi bersabda:
ُ َ‫ش َّر ماَ يَ ْعل‬
‫م ُه‬ َ ‫م‬
ْ ‫ه‬ ْ ‫م ُه لَ ُه‬
ُ ‫م َو ُي ْن ِذ ُر‬ ُ َ‫خ ْي ِر َما يَ ْعل‬
َ ‫ى‬ َّ ‫ه أَنْ يَ ُد‬
َ ‫ل ُأ َّم َت ُه َعل‬ ِ ‫ح ًّقا َعلَ ْي‬
َ َ‫ي إِال َّ َكان‬
ٍ ّ ِ‫ن نَب‬
ْ ‫هللا ِم‬
ُ َ‫َما بَ َعث‬
‫م‬
ْ ‫ل ُه‬َ
“Tidaklah Allah mengutus seorang nabi kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kepada
umatnya segala kebaikan yang diketahuinya, dan memperingatkan mereka dari kejelekan
yang diketahuinya.” (HR. Muslim)
Bagaimanakah dengan para sahabat Nabi , apakah mereka memperingati hari kelahiran
seorang yang paling mereka cintai ini?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Merayakan hari kelahiran Nabi tidak pernah
dilakukan oleh Salaf (yakni para sahabat), meski ada peluang dan tidak ada penghalang
tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Kalaulah perayaan maulid ini murni suatu
kebaikan atau lebih besar kebaikannya, pastilah kaum Salaf t orang yang lebih berhak
merayakannya daripada kita. Karena kecintaan dan pengagungan mereka kepada Rasul lebih
besar dari yang kita miliki, demikian pula semangat mereka dalam meraih kebaikan lebih
besar daripada kita. (Iqtidha’ Shirathil Mustaqim: 2/122)
Bagaimana dengan tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam yang empat (Al Imam Abu
Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), apakah mereka merayakan maulid Nabi ?
Jawabnya adalah bahwa mereka sama sekali tidak pernah merayakannya.
Dan bila kita renungkan lebih dalam, ternyata peringatan Maulid Nabi ini merupakan bentuk
tasyabbuh (penyerupaan) terhadap orang-orang Nashrani. Karena mereka biasa merayakan
hari kelahiran Nabi Isa u. Rasulullah bersabda:
‫م‬ ْ ‫شبَّ َه بِ َق ْو ٍم َف ُه َو ِم ْن ُه‬
َ َ‫ن ت‬ْ ‫َم‬
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (H.R Ahmad)
Para pembaca yang budiman, mungkinkah suatu amalan yang tidak ada perintahnya di dalam
Al Qur’an dan As Sunnah, tidak pernah dilakukan atau diperintahkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya, tidak pernah pula dilakukan oleh tabi’in, tabi’ut tabi’in dan Imam-Imam
yang empat (Al Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad), bahkan hasil rekayasa
para raja kerajaan Fathimiyyah yang dari keturunan Yahudi, dan juga mengandung unsur
penyerupaan terhadap orang-orang Nashrani, tergolong sebagai amal ibadah dalam agama
ini? Tentu seorang yang kritis dan berakal sehat akan mengatakan: ‘tidak mungkin’, bahkan
tergolong sebagai amalan bid’ah yang sangat berbahaya.
Rasulullah bersabda:
‫س ِم ْن ُه َف ُه َو َر ٌّد‬َ ‫هذَا َما لَ ْي‬ َ َ‫ي أَ ْم ِرنا‬ ْ َ‫ن أ‬
ْ ِ‫ح َدثَ ف‬ ْ ‫َم‬
“Barangsiapa mengada-adakan sesuatu hal yang baru dalam agama kami ini yang bukan
bagian darinya, maka amalannya akan tertolak.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Lebih dari itu, Allah berfirman (yang artinya): “Barangsiapa yang menyelisihi Rasul setelah
jelas baginya kebenaran dan mengikuti selain jalan orang-orang mukmin (yakni sahabat
Nabi), maka Aku akan palingkan ke mana mereka berpaling dan Kami masukkan mereka ke
dalam Jahannam.” (An Nisaa’: 115)
Bagaimanakah, bila pada sebagian acara yang tidak ada syariatnya tersebut justru diramaikan
oleh senandung syirik ala Bushiri yang ia goreskan dalam kitab Burdahnya :
“Duhai dzat yang paling mulia (Nabi Muhammad), tiada tempat berlindung bagiku dari
hempasan musibah nan menggurita selain engkau.
Bila hari kiamat engkau tak berkenan mengambil tanganku sebagai bentuk kemuliaan, maka
katakanlah duhai orang yang binasa.
Karena sungguh diantara bukti kedermawananmu adalah adanya dunia dan akhirat, dan
diantara ilmumu adalah ilmu tentang Lauhul Mahfuzh dan pena pencatat takdir (ilmu tentang
segala kejadian).”
Padahal, Rasulullah jauh-jauh hari telah memperingatkan umatnya dengan sabda beliau
(artinya): “Janganlah kalian berlebihan didalam memuliakanku sebagaimana orang-orang
Nashrani berlebihan didalam memuliakan Isa bin Maryam, sungguh aku hanyalah seorang
hamba, maka ucapkanlah (untukku): Hamba Allah dan Rasul-Nya.” (H.R. Al Bukhari).
Demikian pula Allah telah berfirman (artinya): “Katakanlah: aku tidak mengatakan
kepadamu bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang
ghaib, serta tidak (pula) aku mengatakan padamu bahwa aku adalah malaikat.” (Al An’am: 5

Anda mungkin juga menyukai