Anda di halaman 1dari 10

Hukum

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi  

Pendahuluan.
1. Salah satu unsur dalam tindak pidana korupsi ialah adanya kerugian keuangan Negara.
Terhadap kerugian keuangan negara ini membuat UU korupsi, baik yang lama yaitu UUD
no.3 tahun 1971 maupun yang baru yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001,
menetapkan kebijakan bahwa kerugian keuangan negara itu harus dikembalikan atau
diganti oleh pelaku korupsi.
2. Menurut UU korupsi tersebut, pengembalian kerugian keuangan negara dapat dilakukan
melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen
pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya
oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh Hakim. Instrument perdata dilakukan
oleh Jaksa Pengacara Negara (JPN) atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi
(tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana meninggal dunia).
Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan
mudah.

Kasus perdata.
1. Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata
yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang berlaku, baik materiil
maupun formil.
2. UU korupsi lama yaitu UU no.3 tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen
perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam praktek instrumen
perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman tambahan yaitu
pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide pasal 34 (C) UU tersebut. Dalam hal
ini Jaksa Pengacara Negara (selanjutnya disingkat JPN) melakukan gugatan perdata
terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim
pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
3. UU Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001
dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada pasal 32, 33,
34, UU no.31 tahun 1999 dan pasal 38 C UU no.20 tahun 2001.
4. Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen perdata tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara,
tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka
penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan.
Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau
kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka
yang telah merugikan keuangan negara tersebut (pasal 32 ayat (1) UU no.31 tahun 1999)
b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata
telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal
ini penuntut umum (PU) menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi
yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah
merugikan keuangan negara (pasal 32 ayat (2) UU no.31 tahun 1999)
c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa
dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau
kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris
tersangka (pasal 33 UU no.31 tahun 1999)
d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan
salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (pasal 34 UU no.31 tahun 1999)
e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap,
diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan
perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta
benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan
perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (pasal 38 C UU no.20 tahun 2001).
Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa
hukumnya untuk mewakilinya.

Proses perdata.
1. Sebagaimana disinggung di atas, bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara
menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata
materiil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
2. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka
proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit
daripada pembuktikan materiil. Dalam tindak pidana korupsi khususnya, di samping
penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan bahwa harta benda miliknya diperoleh bukan karena korupsi. Beban
pembuktian pada terdakwa ini disebut “pembuktian terbalik terbatas” (penjelasan pasal 37
UU no.31 tahun 1999)
3. Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat, demikian
halnya untuk kasus-kasus tersebut angka 4a – e di atas, beban pembuktian ada pada JPN
atau instansi yang dirugikan sebagai penggugat. Dalam hubungan ini penggugat
berkewajiban membuktikan antara lain:
a. Bahwa secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
b. Kerugian keuangan negara sebagai akibat atau berkaitan dengan perbuatan tersangka
terdakwa atau terpidana.
c. Adanya harta benda milik tersangka, terdakwa atau terpidana yang dapat digunakan
untuk pengembalian kerugian keuangan negara.
4. Untuk melaksanakan gugatan perdata tersebut sungguh tidak gampang. Ichwal yang
menghadang dalam praktek dapat dicontohkan seperti di bawah ini.
a. Dalam pasal 32, 33 dan 34 UU no.31 tahun 1999 terdapat rumusan “secara nyata telah
ada kerugian negara”. Penjelasan pasal 32 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
“secara nyata telah ada kerugian negara adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung
jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik”
Pengertian “nyata” di sini didasarkan pada adanya kerugian negara yang sudah dapat
dihitung jumlahnya oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik. Jadi pengertian
“nyata” disejajarkan atau diberi bobot hukum sama dengan pengertian hukum “terbukti”.
Dalam sistem hukum kita, hanya Hakim dalam suatu persidangan pengadilan mempunyai
hak untuk menyatakan sesuatu terbukti atau tidak terbukti. Perhitungan instansi yang
berwenang atau akuntan publik tersebut dalam sidang pengadilan tidak mengikat hakim.
Hakim tidak akan serta merta menerima perhitungan tersebut sebagai perhitungan yang
benar, sah dan karenanya mengikat.
Demikian halnya dengan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) juga dapat
menolaknya sebagai perhitungan yang benar, sah dan dapat diterima. Siapa yang
dimaksud dengan “instansi yang berwenang”, juga tidak jelas; mungkin yang dimaksud
instansi seperti BPKP, atau BPK. Mengenai “akuntan publik”, juga tidak dijelaskan siapa
yang menunjuk akuntan publik tersebut; penggugat atau tergugat atau pengadilan?
b. Penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) harus dapat membuktikan bahwa tergugat
(tersangka, terdakwa, atau terpidana) telah merugikan keuangan negara dengan melakukan
perbuatan tanpa hak (onrechmatige daad, factum illicitum). Beban ini sungguh tidak
ringan, tetapi penggugat harus berhasil untuk bisa menuntut ganti rugi.
c. Kalau harta kekayaan tergugat (tersangka, terdakwa atau terpidana) pernah disita, hal ini
akan memudahkan penggugat (JPN atau instansi yang dirugikan) untuk melacaknya
kembali dan kemudian dapat dimohonkan oleh penggugat agar Hakim melakukan sita
jaminan (conservatoir beslag). Tetapi bila harta kekayaaan tergugat belum (tidak pernah
disita), maka akan sulit bagi penggugat untuk melacaknya; kemungkinan besar hasil
korupsi telah diamankan dengan di atas namakan orang lain.
d. Pasal 38 C UU no.20 tahun 2001 menyatakan bahwa terhadap “harta benda milik
terpidana yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum
dikenakan perampasan untuk negara………………….. negara dapat melakukan gugatan
perdata”.
Dengan bekal “dugaan atau patut diduga” saja penggugat (JPN atau instansi yang
dirugikan) pasti akan gagal menggugat harta benda tergugat (terpidana). Penggugat harus
bisa membuktikan secara hukum bahwa harta benda tergugat berasal dari tindak pidana
korupsi; “dugaan atau patut diduga” sama sekali tidak mempunyai kekuatan hukum dalam
proses perdata.
e. Proses perkara perdata dalam prakteknya berlangsung dengan memakan waktu panjang,
bahkan bisa berlarut-larut. Tidak ada jaminan perkara perdata yang berkaitan dengan
perkara korupsi akan memperoleh prioritas. Di samping itu, sebagaimana pengamatan
umum bahwa putusan Hakim perdata sulit diduga (unpredictable)

Upaya konvensional
1. Kalau kita simak penjelasan umum UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001,
maka pembuat UU berikrar akan memberantas korupsi dengan “cara luar biasa” dan
dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan
meluas serta telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas.
“Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud adalah pembuktian terbalik yang
dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan
secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi,
ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar
uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk
mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya.
2. Kalau kita perhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang diperkirakan dapat
timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan
negara, maka gugatan perdata terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud
oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 merupakan upaya standard bahkan
konvensional dan sama sekali bukan “cara luar biasa” atau “cara yang khusus”.
3. Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat diperkirakan bahwa upaya
pengembalian kerugian keuangan negara sulit memperoleh keberhasilan. Kalau
ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru,
khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah UU.

Kesimpulan.
1. Dengan instrumen hukum perdata yang standard atau konvensional sebagaimana yang
disediakan oleh UU no.31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001, upaya mengembalikan
kerugian keuangan negara tidak akan efektif, karena banyak hambatan yang menghadang.
2. Untuk extra ordinary crime seperti korupsi, perlu instrumen yang juga extra ordinary,
agar pemulihan kerugian keuangan negara bisa efektif, yaitu antara lain dengan
memberlakukan konsep pembuktian terbalik secara penuh dalam proses perdata,
khususnya dalam kaitannya dengan harta benda tergugat (tersangka, terdakwa atau
terpidana). Artinya tergugat diberi beban untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya
tidak berasal dari korupsi. Di samping itu perlu penyederhanaan proses, misalnya proses
sita jaminan (conservatoir beslag).
3. Pembuat UU no. 31 tahun 1999 jo UU no.20 tahun 2001 rupanya tidak memahami asas-
asas dan praktek litigasi perkara perdata, sehingga berasumsi bahwa pengembalian
kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen perdata bisa efektif.
 

oleh: Suhadibroto

Sumber: Komisi Hukum Nasional


Berita : Max Moein Siap Disidang Dikirim oleh humas pada 2011/3/16 8:00:00 (134
Pembaca)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bergerak cepat dalam
menuntaskan kasus suap cek perjalanan (travellers cheque)
dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
(DGS BI) 2004 lalu. Lembaga antikorupsi tersebut mulai
melimpahkan berkas penyidikan tersebut kasus ke tahap
penuntutan. Berkas penyidikan Max Moein dan empat
tersangka lainnya yakni Agus Condro Prayitno, Willem
Tutuarima, Poltak Sitorus dan Rusman Lumbantoruan,
dinyatakan lengkap. Mereka akan segera menghadapi persidangan di Pengadilan Tipikor. Hal
tersebut diungkapkan oleh Juru Bicara KPK Johan Budi SP, kemarin (14/3).

Johan memaparkan, pemeriksaan kelima mantan anggota Komisi IX DPR periode 1999-
2004, dari Fraksi PDIP itu dibuat dalam satu berkas. “Berkas mereka sudah pelimpahan tahap
dua ke penuntutan,” ujar Johan. Setelah berkas lima tersangka dilimpahkan, masih tersisa 20
tersangka yang yang berkasnya masih dilengkapi oleh penyidik KPK. Johan memperkirakan,
pelimpahan berkas yang tersisa segera dilakukan dalam waktu dekat. Sementara itu, terkait
kasus yang juga menyeret Mantan DGS BI Miranda Goeltom tersebut, lembaga superbodi
kembali menerima pengembalian salah seorang tersangka. Yakni, sang whistleblower kasus
tersebut, Agus Condro Prayitno. Uang pengembalian tersebut diberikan oleh yang
bersangkutan, dalam bentuk satu unit apartemen yang harganya ditaksir senilai Rp400 juta.
Johan memaparkan, apartemen atas nama istri Agus Condro tersebut, berlokasi di Teluk
Intan, Jakarta Barat. Apartemen diserahkan pada Rabu pekan lalu (15/3).

“Istri agus Condro menyerahkan apartemen miliknya di Teluk Intan sebagai pengembalian ke
KPK,” ungkap Johan. Agus Condro merupakan tersangka sekaligus whistle blower dalam
kasus suap berupa cek perjalanan tersebut. Mantan legislator dari PDIP itu mengaku telah
menerima sepuluh lembar cek perjalanan dengan total nilai Rp500 juta. Menurutnya, cek
tersebut diterima terkait upaya pemenangan Miranda Goeltom sebagai DGS BI pada 2004
lalu. Atas informasinya, diduga aliran dan cek perjalanan tersebut mengalir ke sejumlah
anggota Komisi IX periode 1999-2004 DPR RI.

Sebelumnya, lembaga superbodi tersebut membuat gebrakan dalam kasus tersebut, dengan
melakukan penahanan massal atas 19 dari total 24 tersangka pada 28 Januari lalu. Lima
tersangka sisanya juga ditahan pada hari berikutnya. Diantara para tersangka penerima cek
perjalanan tersebut, terdapat nama-nama seperti Panda Nababan, Paskah Suzetta, hingga
Baharuddin Aritonang. Dalam kasus yang sama, pengadilan Tipikor telah memvonis empat
pembagi cek perjalanan terhadap sejumlah anggota dewan, diantaranya Dudhie Makmun
Murod, Hamka Yandhu, Endin Soefihara dan Udju Djuhaeri.

Sumber: Pontianak Pos, 16 Maret 2011


Berita : KPK Minta UU No 30 Tidak Diubah Dikirim oleh humas pada 2011/3/21 11:17:09
(128 Pembaca)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta supaya UU
No 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak perlu diubah lagi.
Selama ini proses penanganan kasus di KPK sudah efektif
sehingga tidak ada lagi yang perlu ditambah atau dikurangi.
“Kalau sekarang efektif, kenapa harus diubah. Lembaga ini
kan dibentuk untuk bisa meningkatkan daya gedor penegak
hukum dalam memberantas korupsi,” kata Wakil Ketua KPK
M Jasin di Jakarta kemarin.

Menurut dia, salah satu kelemahan yang ada di penegak hukum biasanya seputar masalah
kelengkapan berkas.Tidak satu atapnya proses penyidikan dan penuntutan membuat setiap
berkas perkara bisa terkatung-katung di tengah jalan.Sehingga,KPK hadir untuk mengatasi
permasalahan tersebut antara kepolisian dan kejaksaan. Jasin juga merasa KPK sudah cukup
dengan tidak memiliki kebijakan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan
(SP3).Wewenang ini sering dijadikan posisi tawarmenawar dengan tersangka.

Dengan tidak adanya SP3,KPK juga menjadi lebih hati-hati dalam memproses
seseorang,mulai dari tersangka, hingga terdakwa. “Keberhasilan 100% dalam memproses
seseorang hingga kini masih dipegang KPK. Justru karena tidak ada SP3 ini, KPK hati-hati
dalam melakukan penegakan hukum,” kata Jasin. Untuk diketahui, dalam daftar Prolegnas
prioritas pada 2011 terdapat 70 rancangan tentang perubahan undangundang. Undang-
Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi salah satu undangundang dalam daftar
tersebut, dan hal itu diprakarsai oleh Komisi III DPR. Banyak yang menilai hal ini bisa
membuat kewenangan yang dimiliki KPK terancam. Revisi Undang-Undang KPK tersebut
diduga sebagai upaya DPR mengurangi kewenangan KPK.

Wacana pengurangan kewenangan KPK tersebut berawal dari pernyataan Wakil Ketua DPR
Fraksi Golkar Priyo Budi Santoso bahwa DPR akan merombak kewenangan KPK yang
dinilai terlampau besar. Kendati demikian, Ketua KPK Busyro Muqoddas merasa yakin tidak
semua partai politik di DPR berkeinginan memangkas kewenangan KPK. Busyro menilai,
revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK tidak perlu dilakukan.

Undangundang yang ada saat ini dinilai sudah memadai. “Sudah recommended. Tidak perlu
lagi direvisi,” kata Busyro. Untuk mengantisipasi hal tersebut, KPK,menurut Busyro, terus
melakukan pendekatan dengan parpol-parpol.

Upaya yang sama juga dilakukan KPK dalam mengupayakan agar KPK lebih eksis di daerah
melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Busyro juga mengkritik Komisi III DPR yang memasukkan UU 30 Tahun 2002
tentang KPK dalam Prolegnas 2011.Menurut Busyro, untuk melakukan revisi suatu undang-
undang perlu dilakukan survei oleh lembaga independen terlebih dahulu.

”Kalau mau melakukan revisi undang-undang,setidaknyahatihati. Janganbernafsu.Tapi,harus


dilakukan survei bertanggung jawab yang dilakukan oleh lembaga independen,” katanya.
Sementara anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari meminta sejumlah kalangan tidak
khawatir berlebihan terhadap rencana revisi UU KPK.

Sumber: Seputar Indonesia, 21 Maret 2011


Berita : KPK Rekonstruksi Kasus Mochtar Dikirim oleh humas pada 2011/3/16 10:07:12
(258 Pembaca)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan
rekonstruksi kasus dugaan korupsi APBD 2009,suap Piala
Adipura, dan permintaan fee 2% kepada kepala SKPD untuk
mempercepat pengesahan APBD 2010 yang dilakukan Wali
Kota Bekasi Mochtar Mohamad.

Rekonstruksi di Kantor Pemkot Bekasi, Jalan Ahmad Yani,


Bekasi Selatan,Kota Bekasi, ini berlangsung selama delapan
jam. Dalam rekonstruksi ini, tim KPK juga membawa dua terdakwa kasus suap BPK Jawa
Barat yang telah divonis Pengadilan Tipikor yakni mantan Sekda Kota Bekasi Tjandra Utama
Effendi dan mantan Kepala Inspektorat Kota Bekasi Herry Lukmantohari.

Pengamatan di lapangan, tim rekonstruksi KPK ini datang menggunakan empat mobil yang
terdiri dua mobil Toyota Avanza yang diisi tim dari KPK. Kemudian dua mobil Toyota
Kijang yang ditumpangi Wali Kota Bekasi Mochtar Mohamad, Tjandra Utama Effendi, dan
Heri Lukmantohari. Saat tiba pukul 10.13 WIB, tim rekonstruksi KPK bersama Mochtar
Mohamad, Tjandra Utama Effendi, dan Heri Lukmantohari langsung masuk ke ruang Sekda
Kota Bekasi. Mereka baru keluar dari kantor Pemkot Bekasi sekitar pukul 18.15 WIB.

Rekonstruksi ini mendapat penjagaan ketat dari Polresta Bekasi Kota dan Satpol PP Kota
Bekasi. Koordinator Tim Rekonstruksi KPK Gunawan mengatakan, ada dua tempat yang
dijadikan lokasi rekonstruksi yakni ruangan bagian umum dan ruang kerja Wali Kota Bekasi
Mochtar Mohamad.

”Di dua ruangan ini kami melakukan rekonstruksi tak lebih dari 30 adegan,” kata Gunawan
kemarin. Gunawan menambahkan, hari ini KPK akan kembali menggelar rekonstruksi yang
rencananya akan dilakukan di rumah dinas wali kota.Sementara itu, Mochtar Mohamad
seusai menjalani rekonstruksi tak banyak berkomentar.

”Doakan saja ya,” tukas orang nomor satu di Pemkot Bekasi sambil masuk ke mobil.Kuasa
Hukum Mochtar Mohamad, Sirra Prayuna, mengatakan, kliennya menjalani 24 adegan dalam
rekonstruksi di ruangan bagian umum dan ruang kerja walikota.

Sumber: Seputar Indonesia, 16 Maret 2011


Berita : Bachtiar Divonis 1 Tahun 8 Bulan Dikirim oleh humas pada 2011/3/23 8:00:00 (54
Pembaca)
Vonis untuk kasus korupsi di Indonesia dinilai sangat rendah
sehingga tidak bakal menimbulkan efek jera. Terakhir,
Selasa (22/3), majelis hakim Pengadilan Khusus Tindak
Pidana Korupsi memvonis mantan Menteri Sosial Bachtiar
Chamsyah dengan 1 tahun 8 bulan, dari tuntutan 3 tahun,
dalam kasus korupsi pengadaan sarung, mesin jahit, dan sapi
impor di Departemen Sosial. Vonis dijatuhkan dalam sidang
yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba.

Bachtiar terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan menyetujui penunjukan langsung
dalam pengadaan mesin jahit dan sapi impor. Majelis hakim menilai Bachtiar terbukti
melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Ia tidak terbukti menikmati uang hasil tindak pidana korupsi dari pengadaan
sarung, mesin jahit, dan sapi impor.

Hal yang memberatkan terdakwa adalah memberikan persetujuan penunjukan langsung yang
tidak sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Adapun hakim menilai hal yang
meringankan adalah Bachtiar dinilai telah berjasa kepada negara dan tidak menikmati uang
hasil korupsi.

Setelah berdiskusi dengan kuasa hukumnya, Bachtiar menyatakan pikir-pikir atas putusan
tersebut. Demikian juga jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelumnya,
jaksa menuntut Bachtiar tiga tahun penjara dan membayar denda Rp 100 juta. ”Kami akan
memanfaatkan waktu tujuh hari untuk memikirkan lebih lanjut,” ujar Bachtiar.

Setelah vonis, Bachtiar menyatakan yang dialaminya merupakan pelajaran berharga bagi para
pejabat di Indonesia. ”Ini pelajaran berharga bagi siapa pun yang jadi pemimpin di lembaga
negara. Suatu kebijakan di negara ini bisa diadili,” ujarnya.

Bachtiar juga mengimbau pejabat agar berhati-hati dalam mengambil kebijakan. ”Keputusan
ini adalah yurisprudensi bagi siapa pun. Saya imbau kepada teman-teman yang pada hari ini
memimpin setidaknya harus hati-hati,” lanjutnya.

Khawatir

Menanggapi vonis di Pengadilan Khusus Tipikor, peneliti Indonesia Corruption Watch,


Emerson Yuntho, menilai ada kecenderungan mengkhawatirkan, lembaga ini mulai melemah.
Ini bisa dilihat dari semakin ringannya vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor.

”Ini adalah kekhawatiran kita. Di peradilan umum banyak vonis bebas kepada koruptor,
sementara di Pengadilan Tipikor kian melemah,” kata Emerson.

Menurut dia, pada tahun 2006-2007 rata-rata vonis kepada koruptor mencapai 4 tahun 6
bulan dan semakin menurun sehingga pada 2009 hanya berkisar 2 tahun 6 bulan. ”Ada
penurunan drastis vonis hingga satu atau dua tahun,” tutur dia.

Rendahnya vonis memang tidak lepas dari tuntutan jaksa sehingga seharusnya jaksa KPK
menuntut maksimal melihat kebiasaan hakim. ”Rendahnya tuntutan kepada koruptor
menghilangkan efek jera. Ini memprihatinkan, belum lagi nanti terpidana menikmati remisi
dan pembebasan bersyarat,” ujarnya lebih lanjut.

Emerson mengungkapkan, pada awal-awal berdirinya Pengadilan Tipikor, lembaga ini begitu
ditakuti. ”Semakin lama semakin tidak menakutkan,” ujarnya.

Sebelumnya Pengadilan Tipikor membebaskan terdakwa Mieke Henriett, terdakwa perkara


menghalang-halangi penyidikan korupsi, melalui putusan sela. Mantan Sekretaris Gubernur
Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah itu dibebaskan setelah majelis hakim mengabulkan
eksepsi yang diajukan.

Sumber: Kompas, 23 Maret 2011


Berita : Gubernur Sumut Didakwa Korupsi Rp 98,7 Miliar Dikirim oleh humas pada
2011/3/15 8:30:00 (339 Pembaca)
Satu lagi kepala daerah diseret ke meja hijau karena terjerat
kasus korupsi. Kemarin, Gubernur Sumatera Utara Syamsul
Arifin mulai disidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
(Tipikor), Jakarta. Syamsul didakwa melakukan korupsi
dengan potensi kerugian negara Rp 98,7 miliar. Dalam
dakwaan yang disusun jaksa Chatarina Muliana Girsang,
Muhibuddin, Afni Carolina, dan Risma Asyari, Syamsul saat
menjabat bupati langkat diduga melakukan tindak pidana
korupsi bersama-sama dengan Buyung Ritonga (bendahara Pemkab Langkat), Surya Djahisa
(kabag Keuangan), dan Aswan Sufri (Plt Kabag Keuangan).

Buyung juga telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus itu dan berkas penyidikannya
ditangani terpisah oleh Kejaksaan Tinggi Sumut. “Terdakwa Syamsul baik sendiri maupun
bersama-sama telah memperkaya diri sendiri melalui pengeluaran kas daerah Kabupaten
Langkat selama tahun 2000-2007,“ kata Chatarina. Jaksa menilai, tindakan politikus Partai
Golkar itu bertentangan dengan PP Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengelolaan dan
Pertanggungjawaban Keuangan Daerah serta peraturan Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri).

Selama tahun 2000-2007, Syamsul memerintahkan pencairan dana APBD dan APBD
Perubahan. Total uang yang dikeluarkan Rp 52,004 miliar. Uang tersebut dibagi-bagikan
kepada anggota keluarga Syamsul, antara lain Fatimah Habibi (istri), Aisia Samira dan Beby
Arbiana (anak), Syah Afandin dan Lela Wongso (adik), Noor Jigan (keponakan), serta ibunda
Syamsul. Hasil korupsi Syamsul juga didistribusikan kepada ketua dan anggota DPRD
Langkat, Muspida, BPK, FKPPI, KNPI, fraksi di DPRD, dan wartawan.

Selain itu juga ke perorangan seperti Teruna Jasa Said, Azril Azhar, Ignatius Moelyono,
Dewi Intan Sari, Sulaiman Zuhdi, dan penyanyi dangdut Fitria Elvie Sukaesih. “PP Nomor 5
Tahun 1975 Pasal 6 ayat 3 menyebutkan, kepala daerah dilarang melakukan pengeluaran atas
beban anggaran daerah untuk tujuan lain daripada yang ditetapkan dalam anggaran,“ tambah
jaksa Muhibuddin. Tak Berkaus Kaki Dalam persidangan, Syamsul meminta maaf kepada
majelis hakim karena kebiasaannya yang tak pernah memakai kaus kaki. “Saya mohon maaf,
saya ditegur penasihat hukum kenapa tidak pakai kaus kaki. Saya memang orang bawah,
susah diubah. Saya mohon maaf kepada majelis hakim, “ucap Syamsul saat menyampaikan
tanggapannya usai pembacaan dakwaan jaksa.

Menanggapi dakwaan, Syamsul menilai sebagian isinya tidak sesuai dengan fakta. Ia berjanji
akan membuka beberapa fakta baru untuk membongkar kasus yang dianggapnya telah
dipolitisasi. “Semoga ada mukjizat di Pengadilan Tipikor ini,íí katanya. Ketua Majelis Hakim
Tjokorda Rai Suamba memutuskan, persidangan akan dilanjutkan dengan agenda
pemeriksaan saksi karena Syamsul tidak mengajukan eksepsi. Tjokorda memerintahkan tim
jaksa penuntut umum untuk menghadirkan saksi-saksi pada sidang pekan depan. “Sidang
akan dilanjutkan hari Senin tanggal 21 Maret pukul 11.00,“ kata Tjokorda menutup
persidangan.

Sumber: Suara Merdeka, 15 Maret 2011

Anda mungkin juga menyukai