Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
Penduduk asli Kalimantan Tengah adalah suku Dayak, suku ini merupakan masyarakat
terbesar yang mendiami Provinsi Kalimantan Tengah bersama dengan berbagai suku
lain di Indonesia. Suku Dayak terbagi atas beberapa sub etnis yang masing-masing
memiliki satu kesatuan bahasa, adat istiadat dan budaya. Sub-sub etnis tersebut
antara lain Suku Dayak Ngaju (termasuk Bakumpai dan Mendawai), Ot Danum,
Ma’anyan, Lawangan, Siang dan lain-lain.
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki aneka ragam tradisi yang
berasal dari budaya Suku Dayak. Untuk mempertahankan serta melestarikan kebudayaan
Dayak yang mulai terkikis oleh perkembangan zaman tidaklah mudah. Perlu kesadaran yang
tinggi dari masyarakat Dayak sendiri. Oleh karena itulah perlu suatu apresiasi serta
pengembangan khusus yang paling tidak dapat mengurangi arus dampak kemajuan atau
globalisasi dunia. Oleh karena itulah makalah singkat tentang “Lima Ritual Besar Suku
Dayak di Kalteng” ini disusun. Sasarannya adalah generasi muda Kalimantan Tengah agar
mereka dapat mengenal, menghargai bahkan mencintai budaya lokal atau budaya leluhurnya.
1.2 METODE
Metode yang digunakan dalam menyusun makalah ini adalah metode dengan penelitian
kualitatif. Dengan jenis penelitian :
Etnografi
Etnografi adalah uraian dan penafsiran suatu budaya atau sistem kelompok sosial.
peneliti menguji kelompok tersebut dan mempelajari pola perilaku, kebiasaan, dan
cara hidup. Etnografi adalah sebuah proses dan hasil dari sebuah penelitian.
Sebagai proses, etnografi melibatkan pengamatan yang cukup panjang terhadap
suatu kelompok, dimana dalam pengamatan tersebut peneliti terlibat dalam
keseharian hidup responden atau melalui wawancara satu per satu dengan anggota
kelompok tersebut. Peneliti mempelajari arti atau makna dari setiap perilaku,
bahasa, dan interaksi dalam kelompok.
Metode pengumpulan data :
Wawancara
Observasi
Provinsi Kalimantan Tengah merupakan daerah yang memiliki aneka ragam tradisi
yang berasal dari budaya Suku Dayak. Suku Dayak Kalimantan Tengah yang kemudian
terbagi atas berbagai sub suku seperti Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Ma'anyan,
Dayak Lawangan, Dayak Taboyan, Dayak Siang dan sub Suku Dayak lainnya memiliki
keunikan aneka tradisi tersendiri.
Tradisi berupa upacara ritual tersebut secara umum dibagi menjadi dua bagian yaitu
ritus kehidupan dan kematian. Dari semua upacara ritual tersebut dikenal lima upacara yang
bersifat besar dan melibatkan banyak orang serta dana yang tidak sedikit.
Suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng) mengenal lima ritual besar, yaitu :
1. Tiwah : Ritual Suku Dayak di Kalteng paling populer merupakan sebuah ritual dayak
bertujuan untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah orang yang ditiwahkan agar
damai menuju Surga atau Lewu Tatau dalam Bahasa Sangiang sehingga arwah bisa
hidup lebih tentram serta damai di alam Sang Kuasa.
2. Pakanan Sahur Lewu : Ritual Suku Dayak di Kalteng bertujuan untuk memberikan
beragam sesajen ditujukan kepada arwah para leluhur atau dewa yang diyakini
melindungi warga sebuah desa atau suatu kampung sebagai suatu tanda ucapan
terimakasih atas berkat di dunia.
3. Nahunan : Ritual Suku Dayak di Kalteng berupa sebuah prosesi untuk pemberian
suatu nama dan sekaligus upacara pembaptisan seorang anak menurut kepercayaan
Agama Kaharingan terhadap anak yang telah lahir ke dunia.
4. Manyanggar : Ritual Suku Dayak di Kalteng yang sengaja dilakukan oleh kaum
manusia untuk membuat suatu batas-batas dari berbagai macam aspek kehidupan
dengan makhluk gaib atau roh lain yang tidak terlihat jika secara kasat mata awam.
5. Pakanan Batu : Ritual Suku Dayak di Kalteng sarat akan nuansa tradisional dan
biasanya digelar setelah pelaksanaan panen sebuah ladang atau sawah milik warga.
Upacara Tiwah bagi Suku Dayak sangatlah sakral, pada acara Tiwah ini sebelum
tulang-tulang orang yang sudah mati tersebut di antar dan diletakkan ke tempatnya (sandung),
banyak sekali acara-acara ritual, tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya
tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).
Upacara Tiwah digelar dan dilaksanakan oleh keluarga (Dayak) yang masih hidup
(apakah dia pemeluk Agama Kaharingan, Kristen maupun Islam), untuk anggota keluarganya
yang telah meninggal dunia yang merupakan tuntunan kewajiban suci, dan bagi pemeluk
agama Kaharingan, di samping kewajiban suci, kegiatan tersebut merupakan pelaksanaan
keimanan berdasarkan ajaran agama” (Lewis dan Simpei 1996: 1).
Tiwah adalah suatu upacara suci, kewajiban luhur dan mutlak dilaksanakan dan
merupakan utang, yang terungkap akibat kematian keluarga. Mengapa demikian? Karena
kematian keluarga menimbulkan “Pali” yang di dalam ajaran Agama Kaharingan, bahwa
pali-pali akibat kematian anggota keluarga tersebut hanya dapat dihapus/dihilangkan dengan
upacara “malapas pali” yang disebut Tiwah (Nantiwah Pali Belum). Mengapa Upacara
Malapas Pali (Tiwah) tersebut dilakukan, karena pali dapat menimbulkan akibat buruk bagi
kehidupan diri pribadi, keluarga, masyarakat bahkan lingkungan, juga bagi
almargumah/almarhum. Dan bagi mereka yang telah meninggal dunia, untuk melapangkan
jalan menuju “Lewu Tatau Je dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate”
(Tempat yang Maha Mulia yang disediakan Tuhan). Akibat buruk tersebut dapat dihindari
hanya melalui atau dengan melaksanakan upacara Tiwah” (Lewis danSimpei 1996: 1).
Dalam pandangan para penganut agama Kaharingan jelas sekali bahwa Tiwah
dilaksanakan dalam rangka kematian salah seorang anggota keluarga dan bukan dalam
Mengenai ritual kematian orang Dayak Ngaju, Anne Schiller, kini Profesor
Anthropologi Budaya di North Carolina State University-USA dan telah melakukan
penelitian serius terhadap perubahan yang dialami oleh Dayak Ngaju, walaupun bukan
insider, memaparkan dengan baik proses ritual kematian Dayak Ngaju sebagai berikut :
Adherents of Hindu Kaharingan claim that the completion of three distinct ritual
phases is necessary to process the dead and to ensure souls’ arrival in the Upperworld. The
cycle commences withprimary treatment (mangubur), which includes the wake and primary
disposal, usually by interment. The second phase, known as balian tantulak matei, mampisik
liau, primarily consists of chants performed by ritual specialists to “separate” the souls of
thedead-that is, to dispatch them to appropriate cosmological locations where they will await
further processing-as well as to purge the deceased’shome of some of the pollution
associated with death. It culminates with a riverine ablution of the bereaved kin who were
present at the death, as well as those who were physically involved in primary treatment. The
final phase, tiwah, completes the processing of the souls and the physical remains. It is
followed by rituals to honor and benefit sponsors and their descendants (Schiller 1997: 35).
Acara Tiwah berkaitan erat dengan konsep roh atau jiwa yang dipercayai oleh orang
Dayak Ngaju yaitu apabila mereka mati maka roh mereka akan terbagi tiga yaitu menjadi :
1. Salumpuk teras liau atau panyalumpuk liau, roh utama yang menghidupkan ini
pada saat meninggal dunia langsung kembali ke Ranying Mahatala Langit Sang
Pencipta.
2. Liau balawang panjang ganan bereng, roh dalam tubuh yang dalam upacara Balian
Tantulak Ambun Rutas Matei di hantar ke tempat yang bernama Lewu Balo Indu
Rangkang Penyang.
3. Liau karahang tulang, silu, tuntang balau. Ini adalah roh yang mendiami tulang,
kuku dan rambut. Pada saat mati roh ini tinggal di dalam peti mati.
Pada seorang Dayak Ngaju mati, ritual pertama yang dilakukan adalah Mangubur,
yaitu menghantar mayat ke tempat pekuburan yang dalam bahasa Dayak Ngaju dibahasakan
sebagai Bukit Pasahan Raung (Bukit Tempat Meletakan Peti Mati). Kemudian Tantulak
Nahunan adalah salah satu upacara adat khas masyarakat Suku Dayak di Kalimantan
Tengah berkaitan dengan daur hidup kelahiran. Tujuannya untuk memberikan nama bagi si
bayi pada usia 1-2 tahun. Upacara Nahunan bisa dilaksanakan pada setiap kelahiran bayi di
kalangan Suku Dayak Ngaju Kalteng.
Upacara Nahunan memiliki berbagai makna. Pertama upacara dilaksanakan dengan
maksud sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada bidan kampung (dukun bayi) karena telah
membantu proses kelahiran bayi agar ibu dan bayi lahir dengan selamat. Kedua, bermakna
sebagai sanjungan atas kelahiran bayi yang sangat didambakan dalam kehidupan berumah
tangga. Makna terakhir dan yang terpenting adalah pemberian nama untuk sang anak agar
dikenal oleh masyarakat dalam pergaulan keseharian.
Untuk melaksanakan upacara Nahunan tersebut, disiapkanlah beberapa perlengkapan
upacara Nahunan baik perlengkapan untuk sang bayi maupun perlengkapan bidan. Untuk
sang bayi, disiapkan sebuah keranjang pakaian guna menyimpan pakaian sang bayi, Tuyang
atau ayunan untuk menidurkannya ketika upacara Nahunan sedang dilangsungkan, tuyang ini
terbuat dari kulit kayu nyamu dan terhiaskan dengan mainan sederhana terbuat dari botol
bekas yang dirangkai sehingga menimbulkan bunyi-bunyian yang unik.
Kemudian untuk melengkapi perlengkapan Upacara Nahunan terdapat Sangku besar
berbentuk seperti mangkuk besar yang digunakan untuk memandikan bayi dan tak lupa
garantung untuk tempat pijakan bayi ketika keluar. Tidak hanya sang bayi yang mempunyai
perlengkapan, sang bidan pun memiliki pelengkapan khusus dalam upacara Nahunan sebuah
Tanggul Layah, sebuah topi yang digunakan sang bidan untuk menutup kepala ketika
membawa dan memandikan sang bayi ke sungai.
Ditambah lagi dengan benda-benda yang memang sering digunakan seperti peludahan
untuk menampung air ludah kinangan pada pasca upacara Nahunan, Lancing untuk
menyimpan sirih pinang, Mangkok Petak untuk meletakkan tanah atau air, Apar untuk
menyimpan sesajen. Mangkuk Tampung Tawar untuk menyimpan ramuan tampung tawar
serta ceret untuk menyimpan air minuman tradisional (baram atau anding) dan terakhir
adalah Sangku Penduduk untuk menaruh beras dan kelapa.
Terdapat juga benda-benda yang sarat dengan spiritual dan perlambang. Benda-benda
inilah yang lebih diutamakan. Rabayang Kujuk Kalakai misalnya, merupakan sebuah
perlambang kesuburan pada saat upacara tersebut berlangsung. Hampatung Kalekang
Karuhei merupakan perlambang untuk mengundang rejeki setelah upacara Nahunan
Manyanggar atau ruatan bumi dan atau manenga lewu biasa dilakukan oleh suku
dayak ngaju sebagai masyarakat local yang bermukim di wilayah hutan – lahan gambut
Kabupaten Kapuas, Pulang Pisau dan Barito Selatan dan Kota Palangkaraya. Upacara adat ini
salah satu bagian terpenting bagi suku dayak ngaju dalam memberikan ucapan terima kasih
kepada Sang Pencipta (Tuhan) dan Penghuni Alam Semesta atau alam gaib. Upacara ini di
persembahkan karena Sang Pencipta dan penghuni alam semesta telah memberikan rejeki dan
keselamatan selama masyarakat bekerja, berusaha di suatu wilayah yang diyakini sebagai
sumber-sumber kehidupan generasi saat ini dan generasi mendatang.
Istilah Manyanggar berasal dari kata "Sangga". Artinya adalah batasan atau rambu-
rambu. Upacara Manyanggar Suku Dayak kemudian diartikan sebagai ritual yang dilakukan
oleh manusia untuk membuat batas-batas berbagai aspek kehidupan dengan makhluk gaib
yang tidak terlihat secara kasat mata.
Ritual Dayak bernama Manyanggar ini ditradisikan oleh masyarakat Dayak karena
mereka percaya bahwa dalam hidup di dunia, selain manusia juga hidup makhluk halus.
Perlunya membuat rambu-rambu atau tapal batas denganroh halus tersebut diharapkan agar
keduanya tidak saling mengganggu alam kehidupan masing-masing serta sebagai ungkapan
penghormatan terhadap batasan kehidupan makluk lain. Ritual Manyanggar biasanya digelar
saat manusia ingin membuka lahan baru untuk pertanian,mendirikan bangunan untuk tempat
tinggal atau sebelum dilangsungkannya kegiatan masyarakat dalam skala besar.
KESIMPULAN
http://www.dayakpos.com/2010/04/lima-ritual-besar-suku-dayak-di-kalteng.html
http://www.kaskus.us/showpost.php?p=74984675&postcount=18
http://www.dayakpos.com/