Anda di halaman 1dari 26

PERANAN PAD DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

Disusun Oleh :

Dian Aprianti (0810213010)

Dwika Nurnanindya (0810213014)

Fakultas Ekonomi
Jurusan Ilmu Ekonomi
Universitas Brawijaya
2011
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan sumber-sumber yang mendukung


pendapatan asli daerah ini selalu menjadi isu yang dipermasalahkan ketika
otonomi daerah menjadi tuntutan untuk dikembangkan secara maksimal.
Disamping itu sistem pemerintahan Republik Indonesia menganut asas
desentralisasi, dekosentrasi dan tugas yang dilaksanakan secara bersama-sama.
Untuk mewujudkan pelaksanaan asa desentralisasi tersebut maka dibentuklah
daerah otonom sesuai dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999. Menurut pasal 1 huruf 1 dalam Undang-Undang tersebut
dirumuskan bahwa : “Daerah Otonom”, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan negara kesatuan Republik
Indonesia.

Otonomi daerah selama ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator
kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran
dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut, maka praktek
yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga
masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk
mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000
: 574). Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 seperti yang
telah dijelaskan diatas dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah
pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada posisi yang
sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundangan. Kewenangan daerah tersebut mencakup seluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.

Sejalan dengan pemberian urusan kepada daerah teramsuk sumber


keuangannya, maka dalam bunyi pasal 79 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
dicantumkan sumber-sumber pendapatan daerah terdiri atas :

a. Pendapatan asli daerah yaitu :


1. Hasil pajak daerah
2. Hasil retribusi daerah
3. Hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah dan
4. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
b. Dana Perimbangan
c. Pinjaman daerah
d. Lain-lain pendapatan daerah yang sah

Dalam pelaksanaan otonomi daerah, sumber keuangan yang berasal dari


pendapatan asli daerah lebih penting dibandingkan dengan sumber-sumber diluar
pendapatan asli daerah, karena pendapatan asli daerah dapat dipergunakan sesuai
dengan prakarsa dan inisiatif daerah sedangkan bentuk pemberian pemerintah
(non PAD) sifatnya lebih terikat.
1. 2 Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang penulisan makalah di atas, maka


rumusan masalah dalam penulisan ini adalah :

a. Bagaimana peranan dan kendala yang dihadapi pemerintah dalam PAD ?


b. Bagaimana cara peningkatan peranan PAD dalam penerimaan daerah ?

1. 3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah


diatas sebagai berikut :

a. Untuk memahami peranan dan kendala yang dihadapi pemerintah dalam


PAD
b. Untuk memahami cara peningkatan peranan PAD dalam penerimaan
daerah

1. 4 Manfaat Penulisan

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan atau


informasi bagi Pemerintah Daerah sebagai acuan yang ditujukan untuk
peningkatan peranan PAD dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi Pendapatan Asli Daerah

Pendapatan Asli Daerah (Marihot P. Siahaan 2005 : 15), yaitu


pendapatan yang diperoleh daerah dan dipunggut berdasarkan perturan daerah
sesuai dengan perturan perundang-undangan, meliputi :

1. Pajak daerah;
2. Retribusi Daerah, termasuk hasil dan pelayanan badan umum (BLU)
daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan, antara lain bagian laba dari BUMD,
hasil kerja sama dengan pihak ketiga dan
4. Lain-lain PAD yang sah.

Selain itu Pendapatan Asli Daerah merupakan hasil berupa uang maupun
barang yang dijadikan sebagai kekayaan daerah dalam rangka pembiayaan
pembangunan masyarakat dikota. Pendapatan Asli Daerah menurut Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999 (pasal 3) Pendapatan Asli Daerah merupakan
pendapatan daerah dari hasil pajak, hasil retribusi daerah, hasil perusahaan milik
daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan.

Menurut Mardiasmo (2002:132), “pendapatan asli daerah adalah


penerimaan yang diperoleh dari sektor pajak daerah, retribusi daerah, hasil
perusahaan milik daerah, hasil pengeloalaan kekayaan daerah yang dipisahkan,
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah”.
Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah disebutkan bahwa
sumber pendapatan daerah terdiri dari Pendapatan Asli Daerah, Bagi Hasil Pajak
dan Bukan Pajak. Pendapatan Asli Daerah sendiri terdiri dari:

• pajak daerah,

• retribusi daerah,

• hasil pengolahan kekayaan daerah yang dipisahkan,

• lain-lain PAD yang sah.

Klasifikasi PAD yang terbaru berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun


2006 terdiri dari: Pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Jenis pajak daerah dan
retribusi daerah dirinci menurut objek pendapatan sesuai dengan undang-undang
tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Jenis hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup bagian
laba atas penyertaaan modal pada perusahaan milik daerah/ BUMD, bagian laba
atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/ BUMN, dan bagian
laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha
masyarakat. Jenis lain-lain PAD yang sah disediakan untuk menganggarkan
penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam pajak daerah, retribusi daerah dan
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dirinci menurut objek
pendapatan yang mencakup hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak
dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, penerimaan atas tuntutan ganti kerugian
daerah, penerimaan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan / atau jasa oleh daerah, penerimaan
keuntungan dari selisih nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, pendapatan
denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, pendapatan denda pajak,
pendapatan denda retribusi. Pendapatan hasil eksekusi atau jaminan, pendapatan
dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan, pendapatan dari angsuran/cicilan
penjualan.
2. 2. Sumber Pendapatan Asli Daerah

Menurut Halim (2004:67), “PAD dipisahkan menjadi empat jenis


pendapatan, yaitu: pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
dan hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, lain-lain PAD yang
sah”. Klasifikasi PAD yang dinyatakan oleh Halim (2004:67) adalah sesuai
dengan klasifikasi PAD berdasarkan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002.
1. Pajak Daerah
Berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang perubahan atas UU
Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah dalam Saragih
(2003:61), yang dimaksud dengan pajak daerah adalah “iuran wajib yang
dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintah daerah dan pembangunan daerah”. Menurut Halim (2004:67), “pajak
daerah merupakan pendapatan daerah yang berasal dari pajak”. Jenis-jenis pajak
daerah untuk kabupaten/kota menurut Kadjatmiko (2002:77) antara lain ialah:
• Pajak hotel,

• Paja restoran,

• Pajak hiburan,

• Pajak reklame,

• Pajak penerangan jalan,

• Pajak pengambilan bahan galian golongan C,

• Pajak parkir

2. Retribusi Daerah
Yang dimaksud dengan retribusi menurut Saragih (2003:65) adalah
“pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemda untuk kepentingan orang
pribadi atau badan”.
Menurut Halim (2004:67), “Retribusi daerah merupakan pendapatan
daerah yang berasal dari retribusi daerah”.
Retribusi untuk kabupaten/kota dapat dibagi menjadi 2, yakni:
• Retribusi untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai kewenangan masing-
masing daerah, terdiri dari: 10 jenis retribusi jasa umum, 4 jenis retribusi
perizinan tertentu,
• Retribusi untuk kabupaten/kota ditetapkan sesuai jasa/pelayanan yang
diberikan oleh masing-masing daerah, terdiri dari: 13 jenis retribusi jasa usaha.
(Kadjatmiko,2002:78).
Jenis pendapatan retribusi untuk kabupaten/kota meliputi objek pendapatan
berikut:
• Retribusi pelayanan kesehatan,

• Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan,

• Retribusi pergantian biaya cetak KTP,

• Retribusi pergantian cetak akta catatan sipil,

• Retribusi pelayanan pemakaman,

• Retribusi pelayanan pengabuan mayat,

• Retribusi pelayanan parkir ditepi jalan umum,

• Retribusi pelayanan pasar,

• Retribusi pengujian kendraan bermotor,

• Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran,

• Retribusi penggantian biaya cetak peta,

• Retribusi pengujian kapal perikanan,


• Retribusi pemakaian kekayaan daerah,

• Retribusi jasa usaha pasar grosir atau pertokoan,

• Retribusi jasa usaha tempat pelelangan,

• Retribusi jasa usaha terminal,

• Retribusi jasa usaha tempat khusus parkir,

• Retribusi jasa usaha tempat penginapan/pesanggrahan/villa,

• Retribusi jasa usaha penyedotan kakus,

• Retribusi jasa usaha rumah potong hewan,

• Retribusi jasa usaha pelayaran pelabuhan kapal,

• Retribusi jasa usaha tempat rekreasi dan olah raga,

• Retribusi jasa usaha penyebrangan diatas air,

• Retribusi jasa usaha pengolahan limbah cair,

• Retribusi jasa usaha penjualan produksi usaha daerah,

• Retribusi izin mendirikan bangunan,

• Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol,

• Retribusi izin gangguan,

• Retribusi izin trayek.

(Halim,2004:68).

Dalam Undang Undang No 34 tahun 2000 juga disebutkan jenis retribusi yang
terdiri dari :

1. Retribusi Jasa Umum yang merupakan pungutan yang dikenakan oleh


daerah kepada masyarakat atas pelayanan yang diberikan.Pelayanan yang
digolongkan sebagai jasa usaha tersebut tergolong quasy goods dan pelayanan
yang memerlukan pengendalian dalam konsumsinya dan biaya penyediaan
layanan tersebut cukup besar sehingga layak dibebankan pada masyarakat
misalnya : retribusi pelayanan kesehatan, persampahan, akta catatan sipil, KTP
dll.

2. Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan yang dikenakan oleh daerah


berkaitan dengan penyediaan layanan yang belum memadai disediakan oleh
swasta dan atau penyewaan aset/kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
misalnya : retribusi pasar grosir, terminal, rumah potong hewan dll.

3. Retribusi Perijinan Tertentu yang merupakan pungutan yang dikenakan


sebagai pembayaran atas pemberian ijin untuk melakukan kegiatan tertentu yang
perlu dikendalikan oleh daerah misalnya : IMB, Ijin Pengambilan Hasil Hutan
Ikutan, Pengelolaan Hutan dll.

3. Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Kekayaan


Milik Daerah yang Dipisahkan
Menurut Halim (2004:68), “Hasil perusahaan milik Daerah dan hasil
Pengelolaan kekayaan milik Daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan
Daerah yang berasal dari hasil perusahaan milik Daerah dan pengelolaan
Kekayaan Daerah yang dipisahkan”. Menurut Halim (2004:68), jenis pendapatan
ini meliputi objek pendapatan berikut: “1) bagian laba Perusahaan mliki Daerah,
2) bagian laba lembaga keuangan Bank, 3) bagian laba lembaga keuangan non
Bank, 4) bagaian laba atas penyertaan modal/investasi”.

4. Lain-Lain PAD yang Sah


Menurut Halim (2004:69), “pendapatan ini merupakan penerimaan Daerah
yang berasal dari lain-lain milik pemerinyah Daerah”. Menurut Halim (2004:69),
jenis penndapatan ini meliputi objek pendapatan berikut, “1) hasil penjualan aset
Daerah yang tidak dipisahkan, 2) penerimaan jasa giro, 3) penerimaan bunga
deposito, 4) denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan, 5) penerimaan ganti rugi
atas kerugian/kehilangan kekayaan Daerah”.

2.3 Otonomi Daerah


Daerah hukum pelaksanaan otonomi daerah Indonesia adalah pasal 18
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut : pembagian daerah Indonesia atas
daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang dengan memandang dan mengingat dasar
pemusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak urus daerah
yang bersifat istimewa. Dalam penjelasan pasal tersebut dirumuskan: Daerah
Indonesia akan dibagi dalam daerah propinsi dan propinsi akan dibagi pula dalam
daerah yang lebih kecil.
Daerah-daerah itu bersifat otonom atau bersifat daerah administrasi
belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang.
Secara etimologis kata otonomi berasal dari bahasa Latin, “Autos”yang berarti
“sendiri” dan “Nomos” aturan. Amran Muslimin mengatakan otonomi itu
termasuk salah satu sari azas-azas pemerintahan negara, dimana pemerintah suatu
negara dalam pelaksanaan kepentingan umum untuk mencapai tujuan. Disamping
itu, Ateng Syafruddin mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna
kebebasan atas kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kemerdekaan terbatas
atau kemandirian itu adalah wujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah
untuk penyelenggaraan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang
luar negeri, pertahanan, keamanan, peradilan moneter dan fiskal, agama serta
kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
Selain itu keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat
dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, penggerakan da evaluasi.
Otonomi nyata merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang hidup dan berkembang
didaerah.
Sedang otonomi yang bertanggungjawab maksudnya ialah : berupa
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul
oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, adalah berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik,
pengembangan kehidupan demokrasi keadilan dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia.
Jadi otonomi untuk daerah propinsi diberikan secara terbatas meliputi
kewenangan lintas kabupaaten dan kota, dan kewenangan dibidang pemerintahan
lainnya. Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang
nomor 22 tahun 1999 adalah sebagai berikut :
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman.
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas dan
bertanggungjawab
3. Pelaksanaan otonomi yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan
daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah, serta antar daerah.
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah
otonomi da karenanya dalam daerah kabupaten dan daerah kota tidak ada lagi
wilayah administratif.
6. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibangun oleh pemerintah
atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan industri, kawasan perumahan,
kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan
pariwisata, dan semacamnya berlaku ketentuan daerah otonomi.
7. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawasan maupun
fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
8. Pelaksanaan asas desentralisasi diletakkan pada daerah propinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan pemerintahan tertentu yang
dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.
9. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah
kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai
dengan pembiayaan sarana dan prasarana, serta sumberdaya manusia dengan
kewajiban melaporkan pelaksanaan dan pertanggungjawaban kepada yang
menugaskan.
Agar pelaksanaan tugas otonomi dapat berjalan dengan baik perlu
memperhatikan : sumber pendapatan daerah, teknologi, struktur organisasi
pemerintah daerah, dukungan hukum, perilaku masyarakat, faktor kemimpinan.
Disamping itu hal-hal yang mempengaruhi pengembangan otonomi daerah
menurut Yosef Riwu Kaho sebagai berikut :
1. Faktor manusia pelaksana yang baik
2. Faktor keuangan daerah yang cukup dan baik
3. Faktor peralatan yang cukup dan baik
4. Faktor organisasi dan manajemen yang baik
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Peranan dan Kendala PAD Dalam Otonomi Daerah

3.1.1 Peranan PAD Dalam Otonomi Daerah


Otonomi daerah selama ini tergolong sangat kecil dilihat dari indikator
kecilnya kewenangan, jumlah bidang pemerintahan, dan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) yang dimiliki daerah (Hoessein, 2000 :3). Hal ini merupakan gambaran
dari praktek pemerintahan masa lalu yang dilandasi oleh Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1974. Dengan berpegang pada Undang-undang tersebut, maka praktek
yang terjadi di lapangan berupa sentralisasi kekuasaan yang sangat kuat, sehingga
masyarakat di daerah tidak memiliki kekuasaan dan kesempatan untuk
mengaktualisasikan kepentingan dan potensi daerahnya sendiri (Mardiasmo, 2000
: 574). Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma pemerintahan yang
ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Nomor 25 Tahun 1999, pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali
arti penting otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi
daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah tersebut
mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang
politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama,
serta kewenangan bidang lain.
Gambar : Pola Kewenangan dan Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah di Era
Otonomi Daerah

Sumber : DJPKPD

Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar bagi
pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD merupakan tolak ukur
terpenting bagi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan dan mewujudkan
otonomi daerah. Di samping itu PAD juga mencerminkan kemandirian suatu
daerah. Sebagaimana Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan
sumber penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama bagi
daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.
Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai total pengeluaran daerah,
namun proporsi PAD terhadap total penerimaan daerah tetap merupakan indikasi
derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah.

Sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai di dalam pelaksanaan


desentralisasi dan otonomi Daerah, jargon tentang kemandirian Daerah bukan hal
yang baru. Secara teoritis pengukuran kemandirian Daerah diukur dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD). Sesuai dengan Undang Undang No 22 tahun
1999 disebutkan bahwasanya Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari :

1. hasil pajak daerah

2. hasil retribusi daerah

3. hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan dan

4. lain lain pendapatan asli daerah yang sah

Namun di dalam perkembangan selanjutnya, diantara semua komponen


Pendapatan Asli Daerah (PAD), pajak dan retribusi daerah merupakan
penyumbang terbesar, sehingga muncul anggapan bahwasanya Pendapatan Asli
Daerah (PAD) identik dengan pajak dan retribusi Daerah. Hal tersebut diperkuat
dengan komposisi pada tabel berikut ini :
Dari komposisi tabel di atas terlihat bahwasanya pajak dan retribusi daerah
merupakan elemen dominan penyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) baik
untuk daerah propinsi maupun Kab/Kota dilihat dari numerik maupun
prosentasenya. Untuk propinsi prosentase pajak terlihat sangat timpang
dibandingkan perolehan prosentase elemen lainnya yang mencapai kisaran diatas
80 %. Untuk kab/kota prosentase antara pajak dan retribusi agak berimbang
dimana hasil pencapaian retribusi daerah memperlihatkan trend meningkat di
tahun 2002. Satu hal yang agak memprihatinkan adalah prosentase pencapaian
Laba BUMD dan Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Lainnya yang tidak pernah
melebih angka 5 % setiap tahunnya baik di propinsi maupun kab/kota. Sesuai
Undang Undang No 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dipisahkan jenis pajak sebagai berikut :
Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama
bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, pada saat ini kondisinya
masih kurang memadai. Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan
PAD terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah. Sebagaimana
yang dialami Pemerintah Kota Yogyakarta, selama kurun waktu tahun anggaran
1991/1992 – 2000 proporsi PAD terhadap TPD rata-rata sebesar 32,96 %.
Proporsi sebesar ini sebenarnya tidaklah terlalu kecil bila dibandingkan dengan
kabupaten/kota lain di seluruh Indonesia. Seperti halnya penelitian yang dilakukan
oleh Fisipol UGM bekerjasama dengan Badan Litbang Depdagri menunjukkan
bahwa selama 5 tahun (1986/1987 – 1989/1990) sebagian besar Daerah
Kabupaten/Kota atau sebanyak 173 Daerah Kabupaten/Kota (59,25 % dari seluruh
Indonesia) mempunyai angka prosentase PAD terhadap total penerimaan daerah
di bawah 15 %.

3.1.2 Kendala PAD Dalam Otonomi Daerah

Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi


adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat dicapai oleh daerah
tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan sulit bagi daerah tersebut untuk
melaksanakan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara
mandiri, tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat dan
Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah dituntut untuk mampu
membiayai dirinya sendiri. Adapun kendala yang menyebabkan rendahnya PAD
dalam rangka otonomi daerah disebabkan oleh beberapa faktor.

Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya


penerimaan PAD antara lain adalah :

1. banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi digali oleh


instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak kendaraan bermotor (PKB), dan
pajak bumi dan bangunan (PBB);

2. badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan keuntungan


kepada Pemerintah Daerah;

3. kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak, retribusi, dan


pungutan lainnya;

4. adanya kebocoran-kebocoran;

5. biaya pungut yang masih tinggi;

6. banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan disempurnakan;

7. kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.

Menurut Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab


utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya ketergantungan daerah
terhadap pusat, adalah sebagai berikut :

1. kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan daerah;

2. tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena semua jenis


pajak utama yang paling produktif baik pajak langsung maupun tidak langsung
ditarik oleh pusat;
3. kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bisa
diandalkan sebagai sumber penerimaan;

4. alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah mempunyai


sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan
separatisme;

5. kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada Pemerintah


Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih kecil kepada
Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di daerahnya.

Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa masalah


rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada unsur perpajakan. Lebih jauh
mengenai perpajakan dan permasalahannya perlu dikemukakan pendapat
Reksohadiprodjo (1996 : 74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering
dihadapi sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah adanya
kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang satu dengan
daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan dalam resources endowment,
tingkat pembangunan, dan derajat urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu
banyaknya jenis pajak daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang
lainnya. Tidak ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya,
dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.

Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh


besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada beberapa faktor
lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang
dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan pelaksanaan otonomi
daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. faktor manusia;

2. faktor keuangan;

3. faktor peralatan;
4. faktor organisasi dan manajemen.

3.2 Cara Peningkatan Peranan PAD Dalam Penerimaan Daerah

Peningkatan peranan PAD dalam penerimaan daerah dapat dilakukan


dengan berbagai cara antara lain melalui sumber-sumber yang mempengaruhi
PAD itu sendiri seperti halnya peningkatan pajak,dan retribusi daerah.

Menurut Abdul Halim (dalam wahyuning 2001:13) Dalam upaya


meningkatkan pajak dan retribusi daerah sebagai PAD secara umum ditempuh
melalui dua upaya yaitu insifikasi dan Ekstensifikasi.

1. Intensifikasi

Memiliki makna penekanan dalam pencapaian tujuan dengan


memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Adapun langkah-langkahnya adalah
dengan mengektifkan pemungutan pajak terhadap subjek dan objek pajak yang
sudah dikenakan sebelumnya dengan memberikan penerangan, penyuluhan, dan
disosialisasikan pajak lainnya.

Secara intensifikasi usaha yang dapat dilakukan oleh Pemerintah adalah :


(1) Memberlakukan/ melaksanakan sistem pungutan sesuai dengan petunjuk.

(2) Diadakan penyempurnaan administrasi sarana/prasarana kerja dengan


menggunakan sistem komputerisasi.

(3) Diadakan pendekatan kepada masyarakat/wajib retribusi melalui penyuluhan-


penyuluhan.

(4) meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim


Penagihan Retribusi melalui penyuluhan-penyuluhan.

(5) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dengan membentuk Tim


Penagihan Retribusi, sehingga Wajib Retribusi dapat membayar kepada petugas
penagih yang ditunjuk dengan Surat Perintah Tugas.
(6) Terus menerus/secara berkesinambungan diadakan pencairan tunggakan,

(7) Peningkatan koordinasi dengan instansi terkait terutama yang berkenaan


dengan perubahan data.

(8) Penyampaian Surat Ketetapan Retribusi tepat pada waktunya.

(9) Mengadakan monitoring terhadap pelaksanaan pemungutan di lapangan.

(10) Meningkatkan kualitas aparatur dengan mengikut sertakan karyawan untuk


mengikuti kursus-kursus/penataran mengenai Pendapatan Daerah.

2. Ekstensifikasi

Merupakan suatu kondisi yang menekankan pada upaya penjakauan


sesuatu secara lebih luas dari pada yang telah ada. Perluasan pemungutan pajak
dalam arti :

1. Penambahan pajak baru dengan menemukan pajak dan objek baru;


2. Menciptakan pajak-pajak baru atau memperluas ruang lingkup yang ada.

Pajak parkir adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat


parkir diluar badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan
berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disedikan sebagai suatu usaha,
termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan
bermotor yang memungut bayaran. Pengenaan pajak parkir tidak mutlak ada pada
seluruh daerah kabupaten atau kota yang ada di Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten atau kota untuk
mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak kabupaten/kota. Untuk
dipungut pada suatu daerah kabupaten atau kota, pemerintah daerah terlebih
dahulu menerbitkan Peraturan daerah tentang retribusi parkir yang menjadi
landasan hukum operasional dalam teknis pelaksanaan di daerah kabupaten/kota.
Dalam pemungutan pajak parkir terdapat beberapa terminologi yang perlu
diketahui. Terminologi tersebut dapat dilihat berikit ini :
1. Tempat parkir adalah tempat parkir diluar badan jalan yang disediakan
oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan
pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk
tempat penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi
bermotor yang memungut bayaran.
2. Pembayaran adalah jumlah yang diterima atau seharusnya diterima sebagai
imbalan atas penyerahan barang atau jasa pembayaran kepada
penyelenggara tempat parkir.
3. Pengusaha parkir adalah orang pribadi atau badan hukum yang
menyelenggarakan usaha parkir atau jenis lainnya pada gedung, pelataran
milik pemerintah atau swasta orang pribadi atau badan yang dijadikan
tempat parkir untuk dan atas namanya sendiri atau untuk dan atas nama
pihak lain yang menjadi tanggungannya.
4. Gedung parkir adalah tempat parkir kendaraan, tempatr menyimpan
kendaraan dan atau tempat memamerkan kendaraan yang berupa gedung
milik pemerintah/swasta, orang pribadi, atau badan yang dikelola sebagai
tempat parkir kendaraan.
5. Pelataran parkir adalah pelataran milik pemerintah atau swasta, orang
pribadi, atau badan diluar jalan atau yang dikelola sebagai tempat parkir
terbuka.
6. Garasi adalah bagunan atau ruang rumah yang dipakai untuk menyimpan
kendaraan yang dipungut bayaran.
7. Tempat penitipan kendaraan adalah suatu ruang, bidang, yang dipakai
untuk menyimpan, menaruh, mengumpulkan, memamerkan, memajang
kendaraan untuk jangka waktu tertentu dan atau di perjual belikan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Adapun beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan diatas


antara lain :
1. Landasan hukum dari mengenai pendapatan asli daerah (PAD) dalam
otonomi daerah disinggug dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999.
2. Peranan dari sumber pendapatan asli daerah yang berupa pajak dan
retribusi memiliki andil yang besar dalam peningkatan PAD.
3. Adanya kendala PAD dalam otonomi daerah terbukti pada adanya
penerimaan pendapatan asli daerah yang rendah.
4. Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh
besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada
beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya yang
diantarany faktor manusia, faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor
organisasi dan manajemen.
5. Peningkatan peranan PAD dalam penerimaan daerah dapat dilakukan
dengan berbagai cara antara lain melalui sumber-sumber yang
mempengaruhi PAD itu sendiri seperti halnya peningkatan pajak,dan
retribusi daerah atau dapat dengan cara intensifikasi dan ekstensifikasi.

4.2 Saran

Beberapa saran yang dapat penulis berikan berkaitan dengan pembahasan


diatas antara lain :

1. Peranan pemerintah dalam penerimaan PAD harus lebih


ditingkatkan seperti halnya dalam pemungutan pajak serta
retribusinya, karena penerimaan PAD sebagian besar bersumber
dari kedua faktor tersebut.
2. Harus adanya transparansi pengalokasian dana PAD dalam
penggunaanya untuk masyarakat sehingga tidak adanya
kecurangan di dalam pengalokasian tersebut.

3. Pemerintah perlu meningkatkan lagi sumber daya manusia supaya


adanya kesadaran terhadap pembayaran pajak dan retribusi sesuai
dengan penetapan yang telah di tentukan.
DAFTAR PUSTAKA

• Riduansyah Mohammad.Desember 2003. Kontribusi Pajak Daerah dan


Retribusi daerah terhadap pendapatan asli daerah (PAD) dan anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD) guna mendukung pelaksanaan
otonomi daerah (studi kasus pemerintahan daerah kota Bogor). Vol 7 No 2
• Mardiasmo.2002.otonomi dan manajemen keuangan daerah. Yogyakarta
• Santosa Purbayu Budi, Rahayu Retno Fuji.Juli 2005. Analisi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dan faktor-faktor yang mempengaruhinya dalam upaya
pelaksanaan otonomi daerah di kabupaten Kediri.Vol 2 No 1
• Haryanto Joko Tri. Potret PAD Dan Relevansinya Terhadap
Kemandirian Daerah. Jurnal
• Dewi Elita. 2002. IDENTIFIKASI SUMBER PENDAPATAN ASLI
DAERAH DALAM RANGKA PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH
• Tarigan Keriahen. PENGARUH OTONOMI DAERAH TERHADAP
PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DAN SEKTOR-SEKTOR
BERPOTENSI YANG DAPAT DIKEMBANGKAN DI PEMERINTAH KOTA
MEDAN
• Jhosin. 26 juni 2010. Konsep Peningkatan Pajak dan Retribusi Daerah.
(http://yosin.wordpress.com/2010/06/26/konsep-peningkatan-pajak-dan-
retribusi-daerah/)
• Majid Abdul. 30Juni2008. Peranan Pajak Daerah dalam peningkatan PA.
(http://majidbsz.wordpress.com/2008/06/30/peranan-pajak-daerah-dalam-
rangka/)
• http://www.asiamaya.com/undang-
undang/uu_perimb_keuangan/uu_perimb_keuangan_babIII%282%29.htm
• http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/bbcb343707778e9dc94d743af2e8abcd.
pdf
• http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/bbcb343707778e9dc94d743af2e8abcd.
pdf

Anda mungkin juga menyukai