Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu


syndrome/kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem
kekebalan atau pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang
terinfeksi mudah diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan
infeksi oportunistik. Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada
tahun 1981 dan virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983.1,2,3
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak
8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di
Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP
Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685
orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di
Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya.
Pada penyakit ini berlaku teori “Gunung Es“ dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian
kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang
terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui.2,4
Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan pada tahun 1987 di Bali yaitu seorang
warga negara Belanda. Sebenarnya sebelum itu telah ditemukan kasus pada bulan Desember
1985 yang secara klinis sangat sesuai dengan diagnosis AIDS dan hasil tes Elisa 3 (tiga) kali
diulang, menyatakan positif, namun hasil Western Blot yang dilakukan di Amerika Serikat ialah
negatif sehingga tidak dilaporkan sebagai kasus AIDS. Penyebaran HIV di Indonesia meningkat
setelah tahun 1995. Berdasarkan pelaporan kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 hingga 31
Desember 2008 terjadi peningkatan signifikan. Setidaknya, 2007 hingga akhir Desember 2008
tercatat penambahan penderita AIDS sebanyak 2.000 orang. Angka ini jauh lebih besar
dibanding tahun 2005 ke 2006 dan 2006 ke 2007 yang hanya ratusan. Sedangkan dari
keseluruhan penderita, pada akhir 2008, AIDS sudah merenggut korban meninggal sebanyak
1
3.362 (20,87 persen), sedangkan mereka yang hidup adalah 12.748 (79,13 persen) orang. Untuk
proporsi berdasarkan jenis kelamin hingga kini masih banyak diderita oleh kaum laki-laki yaitu
74,9 persen, dibanding perempuan sebanyak 24,6 persen. Fakta baru tahun 2002 menunjukkan
bahwa penularan infeksi HIV di Indonesia telah meluas ke rumah tangga, sejumlah 251 orang
diantara penderita HIV/AIDS di atas adalah anak-anak dan remaja, dan transmisi perinatal (dari
ibu kepada anak) terjadi pada 71 kasus.2,4
Berbagai gejala dan tanda yang bervariasi dapat bermanifestasi dan ditemukan yang
sebelumnya tidak diperkirakan mengidap infeksi HIV harus menjadi suatu tanda peringatan bagi
para petugas kesehatan, terutama para dokter untuk memikirkan kemungkinan terjadinya infeksi
HIV. Gejala dan tanda-tanda yang mungkin terjadi meliputi infeksi bakteri yang berulang,
demam yang sukar sembuh, diare yang sukar sembuh, sariawan yang sukar sembuh, parotitis
kronis, pneumonia berulang, lymphadenopati generalisata, gangguan perkembangan yang
disertai failure to thrive pada anak, dan kelainan kulit kronis-berulang.1,3

Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi
problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan
semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV.2,4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
-----AIDS (acquired Imunideficiency Syndrome) merupakan sekumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi virus HIV (Human
Imunodeficiency Virus) yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari
infeksi HIV.1,3

2.2 EPIDEMIOLOGI
Sindroma AIDS pertama kali dilaporkan oleh Gottlieb dari Amerika pada tahun 1981.
Sejak saat itu jumlah negara yang melaporkan kasus-kasus AIDS meningkat dengan cepat.
Dewasa ini penyakit HIV/AIDS telah merupakan pandemi, menyerang jutaan penduduk dunia,
pria, wanita, bahkan anak-anak. WHO memperkirakan bahwa sekitas 15 juta orang diantaranya
14 juta remaja dan dewasa terinfeksi HIV. Setiap hari 5000 orang ketularan virus HIV. 2,4
Menurut etimasi WHO pada tahun 2000 sekitar 30-40 juta orang terinfeksi virus HIV, 12-
18 juta orang akan menunjukkan gejala-gejala AIDS dan setiap tahun sebanyak 1,8 juta orang
akan meninggal karena AIDS. Pada saat ini laju infeksi (infection rate) pada wanita jauh lebih
cepat dari pada pria. Dari seluruh infeksi, 90% akan terjadi di negara berkembang, terutama
Asia.4

2.2.1 Cara Penularan

Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu
sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan
tempat masuk kuman (port’d entrée).4
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai
organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum
yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau
servik dan darah penderita. 1,4

3
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui : 1,2,4

1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual merupakan


penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan semen
dan cairan vagina atau serviks. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks,
jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985) ditemukan
resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang
dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan
berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.

1.1. Homoseksual

Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita
AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan usia.

Cara hubungan seksual anogenital merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis
dan mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.

1.2. Heteroseksual

Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada
promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria
maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.

4
2. Transmisi Non Seksual

2.1 Transmisi Parenteral

2.1.1. Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang
telah terkontaminasi, misalnya pada penyalahgunaan narkotik suntik yang
menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga
terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parenteral ini kurang dari 1%.

2.1.2. Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum
tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat
jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular
infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%.

2.2. Transmisi Transplasental

Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

2.3 ETIOLOGI
Virus penyebab defisiensi imun yang dengan nama Human Immunodeficiency Virus
(HIV) adalah suatu virus RNA dari famili Retrovirus dan subfamili Lentiviridae. Sampai
sekarang baru dikenal dua serotype HIV yaitu HIV-1 dan HIV-2 yang juga disebut
lymphadenopathy associated virus type-2 (LAV-2) yang hingga kini hanya dijumpai pada kasus
AIDS atau orang sehat di Afrika,dan spektrum penyakit yang ditimbulkannya belum banyak
diketahui. HIV-1, sebagai penyebab sindrom defisiensi imun (AIDS) tersering, dahulu dikenal
juga sebagai human T cell-lymphotropic virus type III (HTLV-III), lymphadenopathy-associated
virus (LAV) dan AIDS-associated virus.1,3

Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawan-kawan di Prancis pada tahun
1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV), sedangkan Gallo di Amerika
5
Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas kesepakatan internasional pada
tahun 1986 nama virus dirubah menjadi HIV.1,3
Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang
asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut. 1,3
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 akan berikatan dengan reseptor CD4, yaitu suatu
reseptor yang terdapat pada permukaan sel T helper, makrofag, monosit, sel-sel langerhans pada
kulit, sel-sel glial, dan epitel usus (terutama sel-sel kripta dan sel-sel enterokromafin). Sedangkan
gp 41 atau disebut juga protein transmembran, dapat bekerja sebagai protein fusi yaitu protein
yang dapat berikatan dengan reseptor sel lain yang berdekatan sehingga sel-sel yang berdekatan
tersebut bersatu membentuk sinsitium. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan
kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih,
sinar matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol,
jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi relatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. 1,3
Virus HIV hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV
dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrofag dan sel glia jaringan otak. 1,3,6

6
Gambar 2.1 Gambaran virus HIV.

2.4 PATOFISIOLOGI
Sistem imun manusia sangat kompleks, kerusakan pada salah satu komponen sistem imun
akan mempengaruhi sistem imun secara keseluruhan. HIV menginfeksi sel T helper yang
memiliki reseptor CD4 di permukaannya, makrofag, sel dendritik, organ limfoid. Fungsi penting
sel T helper antara lain menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai stimulasi pertumbuhan
dan pembentukan sel-sel lain dalam sistem imun dan pembentukan antibodi, sehingga penurunan
sel T CD4 menurunkan imunitas dan menyebabkan penderita mudah terinfeksi.1,3,7
Ketika HIV masuk melalui mukosa, sel yang pertama kali terinfeksi ialah sel dendritik.
Kemudian sel-sel ini menarik sel-sel radang lainnya dan mengirim antigen tersebut ke sel-sel
limfoid. HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4, yang mempunyai reseptor CD4.
Setelah masuk ke dalam tubuh, HIV akan menempel pada sel yang mempunyai molekul CD4
pada permukaannya. Molekul CD4 ini mempunyai afinitas yang sangat besar terhadap HIV,
sehingga limfosit CD4 dihasilkan dan dikirim ke sel limfoid yang peka terhadap infeksi HIV.

7
Limfosit-limfosit CD4 yang diakumulasikan di jaringan limfoid akan tampak sebagai
limfadenopati dari sindrom retrovirus akut yang dapat terlihat pada remaja dan orang dewasa.
HIV akan menginfeksi sel CD4 yang sangat berespon terhadapnya sehingga kehilangan respon
dan kontrol pertumbuhan terhadap HIV. Ketika replikasi virus melebihi batas (biasanya 3-6
minggu sejak infeksi) akan terjadi viremia yang tampak secara klinis sebagai flulike syndrome
(demam, rash, limfadenopati, athralgia) terjadi 50-70% pada orang dewasa. Dengan terbentuknya
respon imun humoral dan seluler selama 2-4 bulan, muatan virus dalam darah mengalami
penurunan secara substansial, dan pasien memasuki masa dengan gejala yang sedikit dan jumlah
CD4 yang meningkat sedikit.1,3,7
Beberapa mekanisme yang diduga berhubungan dengan turunnya kadar CD4 pada orang
dewasa dan anak-anak ialah mekanisme-mekanisme dari HIV-mediated single cell killing,
formasi multinukleus dari sel giant pada CD4 baik yang terinfeksi maupun yang tidak (formasi
syncytia), respon imun spesifik untuk virus (sel natural killer, sitotoksisitas seluer tergantung
antibodi), aktivasi mediasi superantigen sel T (membuat sel T lebih peka terhadap HIV),
autoimun dan apoptosis.1,3,7

Perjalanan Penyakit
Perjalanan alamiah infeksi HIV dapat dibagi dalam tahapan sebagai berikut :

Infeksi virus (2-3 minggu)


8
Sindrom retroviral akut (2-3 minggu)

Gejala menghilang + serokonversi

Infeksi kronis HIV-asimtomatik (rata-rata 8 tahun)

Infeksi HIV/AIDS simtomatik (rata-rata 1,3 tahun)

Kematian

Bagan 2.1 Perjalanan penyakit alamiah infeksi HIV7

Kejadian awal yang timbul setelah infeksi HIV disebut Sindrom retroviral akut atau
Acute Retroviral Syndrome. Sindrom retroviral akut diikuti oleh penurunan CD4 dan
peningkatan kadar RNA HIV dalam plasma (viral load). Hitung CD4 perlahan-lahan akan
menurun dalam beberapa tahun dengan laju penurunan CD4 yang lebih cepat pada 1,5-2,5 tahun
sebelum pasien jatuh dalam keadaan AIDS. Viral load akan meningkat dengan cepat pada awal
infeksi dan kemudian turun sampai titik tertentu. Dengan berlanjutnya infeksi, viral load secara
perlahan akan meningkat. Pada fase akhir penyakit akan ditemukan hitung sel CD4<200/mm 3,
diikuti timbulnya infeksi opportunistik, munculnya kanker tertentu, berat badan menurun, dan
munculnya komplikasi neurologis. Tanpa obat ARV rata-rata kemampuan bertahan setelah CD4
turun ialah 3,7 tahun. 1,7

Window period adalah masa dimana pemeriksaan tes serologis untuk antibodi HIV masih
menunjukka hasil negatif sementara sebenarnya virus sudah ada dalam jumlah banyak dalam
darah penderita. Window period menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena pada masa
itu orang dengan HIV sudah mampu menularkan kepada orang lain misalnya melalui darah yang
didonorkan, bertukar jarum suntik pada IDU atau melalui hubungan seksual. Sebenarnya pada
saat itu pemeriksaan laboratorium telah mampu mendeteksinya karena pada window period
terdapat peningkatan kadar antigen p24 secara bermakna.1,7

9
2.5 MANIFESTASI KLINIS
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu
biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari
10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati.
Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu :7
1. Infeksi HIV stadium pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-
gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.

2. Persisten Generalized Limfadenopati


Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu
malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur
kandida di mulut.

3. AIDS Relative Complex (ARC)


Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi
berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini
penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah
dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.

4. Full Blown AIDS


Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap
infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru
pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman
opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum
saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum
waktunya.

10
Atau dapat juga dijabarkan dengan manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada
umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik : 2,3,4

1. Manifestasi tumor diantaranya;


a. Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi kejadiannya
36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang terjadi pada
heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan bertahan
kurang lebih 1 tahun.

2. Manifestasi Oportunistik diantaranya


2.1. Manifestasi pada Paru-paru
2.1.1. Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru-
paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
2.1.2. Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi dapat
menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian pada 30%
penderita AIDS.
2.1.3. Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit disembuhkan.

2.1.4. Mycobacterium Tuberculosis


Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar ke
organ lain diluar paru.
2.2. Manifestasi pada Gastroitestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.

3. Manifestasi Neurologis

11
Sekitar 10% kasus AIDS nenunjukkan manifestasi Neurologis, yang biasanya timbul
pada fase akhir penyakit. Kelainan syaraf yang umum adalah ensefalitis, meningitis,
demensia, mielopati dan neuropati perifer.5

2. 6 KRITERIA DIAGNOSIS
Seperti penyakit lain, diagnosis HIV juga ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium.1,4
Diagnostik AIDS ditegakkan bila ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda minor tanpa
penyebab lain, yaitu :1,2,4
Gejala mayor :
1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan.
2. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan.
3. Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan.
4. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis.
5. Demensia/ensefalopati HIV.
Gejala minor:
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
2. Dermatitis generalisata yang gatal.
3. Herpes Zoster multisegemental dan atau berulang.
4. Kandidiasis orofaringeal.
5. Herpes simpleks kronis progresif.
6. Limfadenopati generalisata.
7. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
2.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Human Immunodefeciency Virus dapat di isolasi dari cairan-cairan yang berperan dalam
penularan AIDS seperti darah, semen dan cairan serviks atau vagina.6
Diagnosa adanya infeksi dengan HIV ditegakkan di laboratoruim dengan ditemukannya
antibodi yang khusus terhadap virus tersebut. Pemeriksaan untuk menemukan adanya antibodi
tersebut menggunakan metode Elisa (Enzyme Linked Imunosorbent Assay). Bila hasil test Elisa
positif maka dilakukan pengulangan dan bila tetap positif setelah pengulangan maka harus
dikonfirmasikan dengan test yang lebih spesifik yaitu metode Western Blot. 1,3,6

12
Dasar dalam menegakkan diagnosa AIDS adalah : 1,6

1. Adanya HIV sebagai etiologi (melalui pemeriksaan laboratorium).

2. Adanya tanda-tanda Immunodeficiency.

3. Adanya gejala infeksi oportunistik.

Dalam prakteknya yang dipakai sebagai petunjuk adalah infeksi oportunistik atau sarkoma
kaposi pada usia muda kemudian dilakukan uji serologis untuk mendeteksi zat anti HIV (Elisa,
Western Blot). 1,3,6

-------

2. 8 PENATALAKSANAAN
2.8.1 Terapi Anti Retroviral (ARV)
Terapi saat ini tidak dapat mengeradikasi virus namun hanya untuk mensupres virus
untuk memperpanjang waktu dan perubahan perjalanan penyakit ke arah yang kronis.1,2,4,7
Keputusan untuk memberikan terapi antiretrovirus harus memenuhi kriteria sebagai berikut :2,4,7
1. Tes HIV secara sukarela disertai konseling yang mudah dijangkau untuk mendiagnosis
HIV secara dini.
2. Tersedia dana yang cukup untuk membiayai Anti Retrovirus Terapi (ART) selama
sedikitnya 1 tahun
3. Konseling bagi pasien dan pendamping untuk memberikan pengertian tentang ART,
pentingnya kepatuhan pada terapi, efek samping yang mungkin terjadi, dll.
4. Konseling lanjutan untuk memberi dukungan psikososial dan mendorong kepatuhan serta
untuk menghadapi masalah nutrisi yang dapat timbul akibat ART
5. Laboratorium untuk memantau efek samping obat termasuk Hb, tes fungsi hati, dll.
6. Kemampuan untuk mengenal dan menangani penyakit umum dan infeksi oportunistik
akibat HIV
7. Tersedianya obat yang bermutu dengan jumlah yang cukup, termasuk obat untuk infeksi
oportunistik dan penyakit yang berhubungan dengan HIV.
8. Tersedianya tim kesehatan termasuk dokter, perawat, konselor, pekerja sosial, dukungan
sebaya. Tim ini seharusnya membantu pembentukan kelompok dukungan Orang
Dengan HIV/AIDS (ODHA) dan pendampinya.
13
9. Adanya pelatihan, pendidikan berkelanjutan, pemantauan dan umpan balik tentang
penatalaksanaan penyakit HIV yang efektif termasuk sistem untuk menyebarluaskan
informasi dan pedoman baru.
10. Obat ARV digunakan secara rasional sesuai pedoman yang berlaku.
Saat ini ada 3 (tiga) golongan ART yang tersedia di Indonesia: 1,2,3,4,7
1. Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTIs): Obat ini dikenal sebagai analog
nukleosida yang menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA. Proses ini
diperlukan agar virus dapat bereplikasi. Obat dalam golongan ini termasuk Zidovudine
(AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine (ddl), Stavudine (d4T), Zalcitabin (ddC),
Abacavir (ABC).
2. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI): obat ini berbeda dengan
NRTI walaupun juga menghambat proses perubahan RNA menjadi DNA. Obat dalam
golongan ini termasuk nevirapine (NVP), Efavirenz (EFV), dan Delavirdine (DLV).
3. Protease Inhibitor (PI): Obat ini bekerja menghambat enzim protease yang memotong
rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil. Obat dalam golongan ini
termasuk Indinavir (IDV), Nelfinavir (NFV), Saquinavir (SQV), Ritonavir (RTV),
Amprenavir (APV), dan Lopinavir/ritonavir (LPV/r).

Regimen obat yang diusulkan di Indonesia ialah :

Salah satu dari Kolom A dan salah satu kombinasi dari


Kolom B
Kolom A Kolom B
Nevirapine (NVP) AZT + ddl
Nelfinavir (NVF) ddl+3TC

d4T + ddl

AZT + 3TC

d4T + 3TC
Tabel 2.3 Regimen ART yang diusulkan di Indonesia2,4

2.8.2 Pemantauan pengobatan


Pemantauan pengobatan diperlukan untuk melihat :2,4

14
1. Kepatuhan minum obat.
2. Gejala baru yang timbul akibat efek samping obat maupun dari perjalanan penyakit itu
sendiri.
Pemantauan sebaiknya dilakukan setelah 1 bulan pengobatan dimulai dan selanjutnya
setiap 3 bulan sekali.
Pemantauan keberhasilan dan toksisitas ART :2,4,7
1. Secara klinis
a. Berat badan meningkat
b. Tidak kena infeksi opportunistik, atau kalau pun terkena, infeksi tidak berat
c. Anamnesis gejala yang berhubungan dengan HIV seperti batuk lebih dari 2 minggu,
demam, diare, dll disertai pemeriksaan fisik.
2. Pemeriksaan laboratorium
Tes darah rutin termasuk tes darah lengkap, SGOT/SGPT, kreatinin, gula darah,
kolesterol dan trigliserid dibutuhkan untuk memantau efek samping obat dan
perjalanan penyakit. Jenis tes yang dibutuhkan bergantung pada regimen obat yang
digunakan. Tes jumlah CD4 setiap 6 bulan sekali diperlukan untuk menentukan kapan
profilaksis dapat dihentikan. Bila tes ini belum dapat dilakukan maka dapat dipakai
hitung limfosit total.
2.8.3 Indikasi untuk Mengganti Regimen atau Berhenti ART
Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan degan mengganti satu atau
lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai mengakibatkan toksisitas.
Mengganti terapi akibat kegagalan, untuk hal ini terdapat kriteria khusus untuk penggantian
terapi menjadi regimen yang baru secara keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi
diganti dengan yang baru) atau penghentian terapi penggantian atau penghentian dilakukan
apabila :2,4
1. ODHA pernah menerima regimen yang sama sekali tidak efektif lagi misalnya
monoterapi atau terapi dengan 2 nukleosida Nucleosida reverse transcriptase inhibitor
(NRTI)
2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load menjadi
terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi.

15
3. Jumlah CD4 terus-menerus menurun setelah dites 2 kali dengan interval beberapa
minggu
4. Infeksi opportunistik dengan immune reconstitution syndrome/sindrom pemulihan
kembali kekebalan.
2.8.4 Asuhan Gizi
Asuhan gizi merupakan komponen penting dalam perawatan individu yang terinfeksi
HIV. Mereka akan mengalami gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan dan hal ini
berkaitan dengan kurang gizi. Penyebabnya multifaktorial antara lain karena anoreksia,
gangguan penyerapan sari makanan pada saluran cerna, hilangnya cairan tubuh akibat diare dan
muntah, dan gangguan metabolisme. Jika seseorang dengan HIV mempunyai status gizi yang
baik maka daya tahan tubuh akan lebih baik sehingga menghambat memasuki tahap AIDS.2,4
Asuhan gizi dan terapi gizi bagi ODHA sangat penting bagi mereka yang mengkonsumsi
ARV. Makanan yang dikonsumsi mempengaruhi penyerapan ARV dan obat infeksi
opoortunistik dan juga sebaliknya, sehingga memerlukan pengaturan diet seperti obat ARV
dimakan ketika saat lambung kosong.2,4
Prinsip gizi medis pada ODHA ialah tinggi kalori tinggi protein (TKTP) diberikan secara
oral, juga kaya vitamin meneral dan cukup air. Berdasarkan beberapa penelitian, pemberian
stimulan nafsu makan, seperti megestrol acetate dan human recombinant growth hormone dapat
memberikan kenaikan berat badan dan pertumbuhan.2,4
Seiring dengan berkembangnya penyakit, akan terjadi penurunan berat badan yang sangat
drastis (drastic wasting) dan terhambatnya pertumbuhan anak. Berkurangnya cadangan protein
dapat diatasi dengan meningkatkan intake asam amino, terutama threonine dan methionine.2,4

2.9 PROGNOSIS
Sulit sekali menduga apalagi menentukan perjalanan penyakit pada waktu diagnosis
AIDS ditegakkan. Mortalitas pasien AIDS mendekati 100%.1,3

2.10 PENCEGAHAN
Edukasi dan konseling pasien yang terdeteksi terinfeksi HIV. Infeksi HIV yang muncul
pada wanita biasanya karena pengguna obat-obatan dan pasangan seksual laki-laki yang resiko
tinggi. Sehingga dibutuhkan pendidikan seks yang baik dan sehat. Konseling juga jangan hanya

16
membahas tentang modifikasi stress namun juga memodifikasi perubahan gaya hidup melalui
pesan-pesan budaya dan religi.2,4
Perlu dilakukan uji tapis serologis bagi darah pendonor dan pengawasan serta perlakuan
yang lebih ketat bagi bahan-bahan yang berasal dari darah, terutama yang akan diberikan pada
anak yang perlu mendapat transfusi atau pemberian bahan yang berasal dari darah berulang-
ulang atau daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi.2,4
Program pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja, perlu dipikirkan strategi
penerapannya di sekolah dan akademi dan untuk remaja yang berada di luar sekolah.2,4
Transmisi vertical dapat dicegah dengan memberikan terapi antiretrovirus pada ibu
selama kehamilan dan memberikan profilaksis pada bayinya yang baru lahir. Wanita hamil yang
terinfeksi HIV sebaiknya diberikan terapi kombinasi 3 (tiga) obat. Terapi kombinasi dapat
membuat supresi virus.2,4

BAB III

KESIMPULAN

AIDS merupakan masalah kesehatan internasional yang perlu segera ditanggulangi.


AIDS berkembang secara pandemi hampir di setiap negara di Dunia, termasuk Indonesia.
Epidemi yang terjadi meliputi penyakit (AIDS), virus (HIV) dan epidemi reaksi / dampak
negatif diberbagai bidang seperti kesehatan, sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, dan
demografi.
Sampai saat ini obat dan vaksin untuk menaggulangi AIDS belum ditemukan. Untuk itu
alternatif lain yang lebih mendekati dalam upaya pencegahan. Upaya pencegahan dapat
dilakukan oleh semua pihak asal mengetahui cara-cara penularan AIDS.
Penularan AIDS terjadi melalui hubungan seksual, parental dan transplasental, sehingga
upaya pencegahan perlu diarahkan untuk merubah perilaku seksual masyarakat (terutama yang
memiliki resiko tinggi), menghindari infeksi melalui donor darah, dan upaya pencegahan infeksi
perinatal sebelum ibu hamil. Perubahan perilaku dilakukan dengan penyuluhan kesehatan.
17
18

Anda mungkin juga menyukai