1. Prasangka : Sikap yang negatif terhadap sesuatu. Diskriminasi : Pembedaan perlakuan terhadap
sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb);
Etnosentrisme : Sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan kebudayaan
sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan
kebudayaan lain. Prasangka Diskriminasi Bersumber pada suatu sikap Menunjuk pada suatu sikap
Orang yang berprasangka dapat berprilaku negatif.
Contoh :
Cina sebagai kelompok minoritas, sering menjadi sasaran rasial, walaupun secara yuridis telah
menjadi warga negara Indonesia dan dalam UUD 1945 Bab X Pasal 27 dinyatakan bahwa semua
warga negara mempunyai kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan.
Akibat :
Apabila muncul suatu sikap berprasangka dan diskriminatif terhadap kelompok sosial lain, atau
terhadap suku bangsa, kelompok etnis tertentu, bisa jadi akan menimbulkan pertentangan-
pertentangan yang lebih luas.
Suatu contoh : Beberapa peristiwa yang semula menyangkut berapa orang saja bisa menjadi luas
dan melibatkan sejumlah orang
3. Pernikahan beda etnik Mengenai pernikahan berbeda etnik (contoh :laki-laki Jawa dan
perempuan Cina) sebagian besar mengaku tidak mendapat dukungan dari keluarga, malah
sebaliknya mendapat kecaman dari keluarga. Hal itu menggambarkan bahwa masih ada
keengganan untuk pernikahan 2 etnik sebagai cermin masih adanya prasangka antara 2 etnik
yang bersangkutan.
http://partytaufiq.blogspot.com/2010/11/cina-sebagai-kelompok-minoritas.html
Dimana-mana di dunia ini dan dalam hal apa saja, pasti terjadi perbedaan. Konon pula mengenai
etnis, ras, kelompok, budaya, dan agama, persoalan-persoalan yang syarat ditandai dengan simbol.
Perbedaan-perbedaan itu mengerucut sebagai mayoritas dan minoritas.
Dan selalu, minoritas dalam posisi lemah, terdiskriminasikan, diperlakukan tidak adil, dikambing
hitamkan dan bahkan dikuasai oleh mayoritas. Posisi itu makin minor apabila minoritas senantiasa
berpikir bahwa mereka selalu menjadi nomor dua. Sedangkan mayoritas senantiasa berpikir bahwa
mereka selalu harus menjadi nomor satu.
Mereka yang minoritas, karena merasa selalu berada di bawah bayang-bayang mayoritas, tidak
seharusnya menyemangati diri untuk senantiasa ingin menunjukkan eksistensi dengan cara apa saja.
Sedangkan mayortitas, tidak perlu terus-menerus berupaya apa saja agar tetap dalam posisi
mayoritas.
Dalam realitas yang penuh perbedaan, terlalu memikirkan soal minoritas dan mayoritas hanya akan
menimbulkan persoalan krusial. Sebab, adanya mayoritas dan minoritas sudah menunjukkan
perbedaan. Dalam perbedaan itu, sulit mendudukkan kesetaraan. Karena itu, segala bentuk upaya
untuk mengungkit-ungkit perbedaan yang ada hanya akan menimbulkan ketidaksenangan demi
ketidaksenangan. Artinya, ancaman konflik senantiasa membayang.
Dunia selalu berputar sesuai mekanisme roda. Mereka yang mayoritas, tidak selamanya akan
menjadi mayoritas. Begitu juga sebaliknya, yang monoritas tidak selamanya minoritas. Apalagi jika
kita meyakini bahwa realitas hidup sangat beragam dan syarat akan sekian banyak perbedaan. Pada
sisi tertentu, sekelompok masyarakat tampil sebagai mayoritas. Namun, pada sisi lain, mereka yang
mayoritas ternyata juga tidak bisa tampil.
Sebab itu, cara kita dalam memahamai mayoritas dan minorotas mesti diubah. Kita tidak bisa
melihat segala sesuatu dari satu sisi yang menunjukkan kita berada dalam posisi mayoritas. Ada
baiknya kita juga melihat sisi lain dimana kita menjadi minoritas.
***
Seperti masyarakat dunia, masyarakat di Provinsi Lampung juga memiliki banyak perbedaan. Tulisan
berikut menjadikan masyarakat di provinsi ini sebagai contoh dalam melihat persoalan mayoritas
dan minoritas.
Sejak lama Provinsi Lampung merupakan daerah penyebaran masyarakat berkebudayaan Lampung.
Masyarakat ini sendiri terdiri dari dua subbudaya, Pepadun dan Peminggir. Dalam kehidupan sosial
budaya, baik Pepadun maupun Peminggir hidup dalam perbedaan mayoritas dan minoritas itu.
Masyarakat Pepadun seolah lebih banyak secara kuantitas dibanding masyarakat Peminggir,
sehingga Pemadun seolah mayoritas dengan Peminggir sebagai minoritas.
Pada tataran yang lebih luas, masyarakat yang menjadi mayoritas di Lampung adalah masyarakat
Lampung. Sedangkan kelompok minoritas adalah masyarakat di luar penganut kebudayaan Lampung
seperti Jawa, Sumatra Selatan, Banten, Batak, Bali, dan lain sebagainya. Kondisi awal memang
masyarakat Lampung merupakan mayoritas di provinsi ini. Tapi, data pada Bappeda Lampung
menunjukkan, masyarakat yang kini menjadi mayoritas di provinsi ini adalah masyarakat Jawa.
Meskipun secara kuantitas masyarakat Jawa merupakan mayoritas, namun pada sisi lain dalam
realitas kehidupan di provinsi ini masyarakat Jawa tetap menjadi minoritas. Di lingkungan
pemerintahan daerah, sebagian besar elite pejabat pemerintah mayoritas merupakan masyarakat
Lampung. Para kepala daerah di kabupaten sebagian besar merupakan masyarakat Lampung.
Meskipun masyarakat Lampung mayoritas menjadi elite pejabat pemerintah, namun para pejabat ini
menjadi minoritas dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan dinamika pemerintahan daerah.
Sebab, sebagian besar pelaksana kegiatan sehari-ahri pemerintah daerah bukanlah mayoritas
masyarakat Lampung. Dilihat dari jumlah pegawai negeri sipil di provinsi ini, mayoritas merupakan
masyarakat Jawa. Komposisi ini hampir sama dengan komposisi penduduk Lampung secara budaya.
Begitu juga halnya dengan kelompok masyarakat lain yang secara komposisi demografi merupakan
minoritas. Sebut saja masyarakat Tionghoa di Lampung. Meskipun jumlah mereka sangat minim dan
merupakan minoritas, tetapi mereka menjadi mayoritas jika berkaitan dengan realitas dunia bisnis
dan usaha.
Artinya, mereka yang menjadi mayoritas di satu sisi, namun dalam bidang-bidang tertentu justru
menjadi minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas namun dalam hal tertentu menjadi mayoritas di
tengah-tengah kelompok mayoritas itu sendiri.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, dalam hal tertentu justru tidak dominan, katakanlah
dalam hal ekonomi, dimana etnis Cina merupakan kelompok minoritas, tetapi hampir 80 %
menguasai perekonomian Indonesia. Di Jayapura komunitas Kristen merupakan kelompok
mayoritas, sedangkan komunitas non-Kristen merupakan kelompok minoritas, namun mereka
sebagai pendatang secara ekonomi sedikit lebih baik dari kelompok Kristen.
***
Mayoritas dan minoritas bukan suatu persoalan bila masyarakat dapat membangun kebersamaan.
Tentu saja tidak sulit bila masyarakat menjadikan perbedaan sebagai suatu kekuatan baru dalam
menjaga harmoni.
Dalam masyarakat plural seperti di Lampung, isu-isu etnik, ras, dan agama rentan dan paling mudah
menjadi pemicu munculnya prasangka. Prasangka adalah salah satu rintangan atau hambatan berat
bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga
dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa
menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu
sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir obyektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu
akan dinilainya secara negatif. (Effendi, 1981).
Makanya, bagi masyarakat yang plural toleransi dan hidup rukun sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Bila sikap toleransi yang muncul tidak
dilandasi nilai-nilai yang lahir atas kesadaran yang tulus, dapat menjadi bom waktu dikemudian hari.
Untuk itulah dibutuhkan interaksi sosial antar kelompok yang berbeda.
Bentuk interaksi yang paling efektif adalah melakuka komunikasi yang terus menerus diantara setiap
kelompok, baik melakukan kegiatan bersama atau melalui dialog lintas budaya. Sayang, komunikasi
antarabudaya jarang kita temukan di Lampung. Setiap kelompok budaya seolah menjadi eksklusif
antara satu dengan lainnya. Masing-masing membentuk wadah yang hanya diisi satu kelompok
masyarakat saja. Padahal, dibutuhkan wadah yang menggabungkan semua budaya yang ada di
Lampung, sehingga terjadi satu kesatuan diantara perbedaan yang ada.
Kesatuan dalam banyak budaya tidak akan pernah menggabungkan budaya menjadi satu budaya,
karena setiap budaya berbeda. Artinya, masyarakat Jawa yang masuk dalam komunitas budaya
dimana isinya bukan hanya orang Jawa, tidak akan pernah berubah menjadi orang Lampung, Batak,
Sunda, Bali, dan lain sebagainya. Sebaliknya, sangat mungkin akan terjadi asimilasi budaya melalui
proses pernikahan antarpasangan berbeda latar belakang budaya, yang justru akan berdampak
positif terhadap makin eratnya komunikasi antarabudaya.
Dalam situasi seperti ini, interaksi sosial akan mengalami proses dinamis. Proses tersebut dapat
berlangsung dengan adanya pertukaran sosial dalam rangka meningkatkan relasi diantara pihak satu
dengan yang lainnya, baik itu pertukaran infomasi, kerjasama, penyatuan persepsi dan kesamaan
bertindak. Sangat mungkin, masyarakat seperti ini bisa diharapkan ikut berperan dalam
meningkatkan kualitas pembangunan daerah.
***
http://budiphatees.blogspot.com/2010/09/dari-mayoritas-ke-minoritas.html
http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/masyarakat_majemuk.html
Sumber : Kompas
Mitos-mitos tentang karakter-karakter tipikal orang Indonesia keturunan Tionghoa inilah yang
hingga kini masih tertanam kuat di benak kita. Bahkan, bisa jadi, mitos-mitos itu juga masih hidup
subur dan tertanam dalam-dalam di lubuk kesadaran kalangan warga Indonesia keturunan Tionghoa
sendiri. Pertanyaannya, lalu adakah sesuatu yang salah dalam perjalanan sejarah kita sebagai
bangsa, hingga mitos-mitos itu bisa begitu hidup dan tertanam lekat di benak kita sampai sekarang?
Atas pertanyaan sepenting ini, Prof Daniel S Lev PhD (guru besar emeritus Ilmu Politik Universitas
Washington) lalu menarik akar dalam sejarah kita sebagai bangsa. Dalam seminar internasional
tentang “Orang Indonesia-Tionghoa: Manusia dan Kebudayaannya” di Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Jakarta, awal bulan ini, persoalan tersebut ia paparkan dengan cara yang cukup
menarik. Lev ingin menunjukkan betapa sistem politik minoritas di masa lalu telah menempatkan
warga Indonesia keturunan Tionghoa itu sebagai “warga minoritas” di tengah kelompok “masyarakat
mayoritas” Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis lainnya.
***
GELOMBANG migrasi orang-orang Tionghoa secara individual dari daratan Cina ke berbagai pelosok
wilayah di seluruh Indonesia, telah berlangsung lama dan itu terjadi jauh sebelum VOC datang. Itu
pun, kata Lev, tidak pernah dianggap aneh, berbahaya, atau merupakan satu kejadian luar biasa bagi
warga lokal yang menerima kehadiran “tamu-tamu asing” itu. Bahkan menurut sinolog dan
antropolog Prof Leonard Blusse dari Universitas Leiden, Belanda, selalu terjadi proses adaptasi damai
antara kelompok pendatang dari daratan Cina ini dengan warga setempat. Kalaupun pernah terjadi
konflik antarmereka sepanjang proses adaptasi sosial itu, begitu keyakinan Lev, itu adalah hal biasa.
Yang pasti, umumnya kedatangan orang-orang Tionghoa dari daratan Cina ini pernah tidak ditolak,
dikucilkan oleh masyarakat lokal, atau kemudian dijadikan kambing hitam dan dihantam terus-
menerus seperti yang belakangan terjadi. Pendulum sejarah memang akhirnya berbelok arah.
Terjadi pemisahan sosial-politik antara warga Indonesia keturunan Tionghoa dengan masyarakat
setempat. Ini terjadi, terutama sejak Pemerintah Belanda mulai menerapkan sistem politik
minoritas, yang sebenarnya tidak banyak berbeda dibandingi sistem politik sama yang dijalankan
oleh Pemerintah kolonial bangsa-bangsa lain di masing-masing daerah koloninya di seluruh dunia.
Politik minoritas ini diterapkan, kata Lev, dengan tujuan-tujuan khusus. Selain untuk menciptakan
struktur sosial-ekonomi yang aman dan efisien, politik minoritas yang diterapkan pemerintah
kolonial Belanda itu dimaksudkan untuk menepis peluang terbentuknya kelas menengah di antara
masyarakat “pribumi”. Mereka ini adalah kaum pedagang pribumi yang dianggap sangat potensial
bisa mengancam kekuasaan Belanda di Indonesia. Demi tujuan itu, dirangkullah para pejabat lokal-
seperti para sultan di Jawa dan Raja di luar Jawa- oleh pemerintah kolonial Belanda dalam sebuah
aliansi politik.
Pada saat bersamaan, guna mengisi kevakuman tiadanya kelompok pedagang-posisi kelas menengah
yang tidak diminati orang-orang Belanda-lalu sengaja diciptakanlah (dengan banyak paksaan)
semacam persetujuan dan kontrak dengan kelompok minoritas Tionghoa. Sejak itu, mulai riil berlaku
sistem politik minoritas terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa yang anehnya hal itu tak
berlaku bagi warga keturunan Arab atau kelompok etnik lainnya. Sistem politik minoritas ini
belakangan telah menimbulkan implikasi sosial-politik serius berkaitan dengan citra negatif tentang
masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Itu termasuk komentar-komentar bernada peyoratif berupa mitos-mitos yang salah perihal karakter
khas masyarakat keturunan Tionghoa. Yang paling tragis tentu saja, tendensi masyarakat umum yang
dengan mudahnya menohok kelompok minoritas Tionghoa ini sebagai pangkal dan sumber segala
masalah. Ini tak mengherankan, kata Lev, “Karena sejak awal mereka sudah sering dianggap sebagai
sumber segala masalah alias bisa dengan mudah pula bisa dijadikan kambing hitam bila terjadi
sesuatu,” tandasnya.
***
KERUSUHAN Mei tahun 1998 silam, terutama di banyak tempat di Pulau Jawa, bagi banyak orang
telah menanamkan kesan kuat betapa insiden sosial ini tampaknya disengaja untuk bisa menjadikan
warga Tionghoa sebagai korbannya. Menurut pengamatan Lev, peristiwa ini merupakan contoh
nyata perihal telah berkembangnya rasa sentimen masyarakat umum terhadap eksistensi warga
minoritas ini. Peristiwa untuk menyudutkan kelompok minoritas ini bukan yang pertama kali terjadi
di Indonesia. Di tahun 1740, VOC bahkan pernah mengerahkan orang-orang Belanda dan Jawa untuk
melakukan tindakan pembunuhan massal (massacre) terhadap kelompok minoritas ini.
Dalam peristiwa itu korban tewas tercatat tak kurang 10.000 jiwa. Aksi yang disertai pembakaran
rumah-rumah milik warga Tionghoa, secara massif dari Jakarta hingga Semarang, rasanya logis
mengatakan bahwa sejak dulu kelompok minoritas ini telah terbiasa untuk selalu disudutkan,
dijadikan kambing hitam, dan menjadi sasaran kemarahan massa. “Ribuan orang Tionghoa tewas
dalam serangan ini yang besar kemungkinan juga karena disulut oleh rasa sentimen ekonomi. Lebih
jauh, peristiwa ini semakin meningkatkan suatu proses terjadinya kelompok minoritas seperti dalam
bentuknya sekarang,” kata Lev. ***
KESALAHAN sejarah di masa pemerintahan kolonial Belanda ternyata berlanjut kembali di era
pemerintahan Orde Baru. Lebih menyedihkan lagi, ungkap Lev, tekanan politik dan sosial oleh
penguasa Orde Baru terhadap kelompok minoritas ini semakin intensif. Selain partisipasi dalam
politik praktis diingkari dan bahkan sama sekali diasingkan dari jajaran birokrasi pemerintahan, kaum
minoritas ini juga begitu rentan mendapat cap-cap jelek. Yang terburuk tentu saja menjadikan
mereka sebagai sumber segala masalah atau kambing hitam. Sementara, ketergantungan mereka
diintensifkan pada ling-karan kekuasaan-terutama menyangkut soal jaminan keamanan,
perlindungan, dan proteksi ekonomi-pada saat yang sama mereka tanpa henti menjadi “sapi perah”
ekonomi bagi kepentingan kekuasaan dan birokrat.
Tak heran bila di tahun 1970-an muncul istilah cukong untuk menyebut orang-orang Indonesia
keturunan Tionghoa kaya raya yang sering bertindak sebagai “kasir” bagi kepentingan aparat dan
birokrat. Oleh karena itu, tak terlalu mengherankan kalau di kemudian hari-terutama karena proteksi
dan hak-hak monopoli perdagangan-warga minoritas Indonesia keturunan Tionghoa ini lalu menjadi
sungguh-sungguh terampil mengelola bisnis perdagangan. Hal ini memang sejak dulu telah
mendapat “restu” dari pemerintah kolonial Belanda; sebuah kebijakan politik yang rupanya berlanjut
terus dan makin massif di era pemerintahan Orde Baru.
“Sedari awal, kelompok minoritas Indonesia keturunan Tionghoa initelah resmi diizinkan bisa
mencari nafkah secara bebas di dunia bisnis dan bahkan malah boleh menjadi kaya juga…,” ungkap
Lev. Ujung-ujungnya, lalu muncul berbagai mitos yang salah tentang kelompok minoritas ini.
Taruhlah itu anggapan umum di kalangan warga mayoritas “pribumi”, yakni anggapan bahwa orang-
orang Tionghoa ini sejak dari sono-nya sudah pandai berdagang dan cari duit, serta tidak berbakat di
bidang lainnya, juga tidak mau bergaul dengan kelompok masyarakat lain, dan seterusnya.
Padahal, di balik semua itu, dalam kontrak dan persetujuan implisit yang dipaksakan pemerintah
kolonial Belanda terhadap kelompok minoritas ini selalu tersembunyi satu persyaratan yang kurang
lebih berbunyi begini: “Kalau ada apa-apa yang terjadi, yang (harus) disalahkan adalah (kelompok)
minoritas dan ini terjadi di setiap wilayah koloni di mana-mana. Persyaratan itu hingga sekarang
masih ada,” ungkap Lev. Cap-cap jelek itu makin menjadi-jadi di era Orde Baru. Ada perubahan
signifikan atas semula yang disebut Republik Rakyat Tionghoa (RRT) harus diubah menjadi Republik
Rakyat Cina (RRC). Itu membawa konsekuensi serius, karena kebijakan politik asimilasi lalu juga
mengharuskan sebutan “Tionghoa” harus diubah menjadi “Cina”, yang di sini tanpa keraguan sedikit
pun sangat bernuansa penghinaan atau merendahkan.
Begitu kelompok minoritas ini semakin tertekan dan terisolasi, maka dengan mudah pula rezim Orde
Baru lalu bisa “menghidupkan” kembali sejumlah persyaratan kontrak dulu antara kelompok
minoritas ini dengan pemerintah kolonial Belanda. Dari situasi inilah lalu muncul istilah cukong
seperti dimaksudkan di atas. Rupanya ada kesamaan cara pikir penguasa kolonial Belanda dengan
penguasa Orde Baru; mereka sama-sama ingin menjadikan warga Tionghoa ini sebagai warga
minoritas yang hidup di atas menara gading. Saat bersamaan mereka juga dijadikan kelompok
pebisnis profesional yang sewaktu-waktu harus bisa dimanfaatkan bagi kepentingan penguasa.
Praktik politik minoritas ini nyata-nyata bertujuan agar jangan sampai tercipta kelas menengah
“pribumi” yang potensial mengancam kekuasaan Orde Baru. Dengan tergantungnya warga minoritas
ini kepada penguasa dalam masalah jaminan keamanan dan proteksi (dagang), maka kekuasaan bisa
dengan mudah dimanfaatkan bagi kepentingan kekuasaan seperti dengan adanya kewajiban
“setoran”. Dengan kata lain, para pedagang Tionghoa itu bisa diperas terus-menerus. Ini bisa
berlanjut terus, hanya apabila warga Tionghoa ini tetap hidup dalam kerangka isolasi sosial dan
jangan sampai terjun masuk ke dalam politik praktis dengan menjadi politisi atau anggota parlemen.
Bila akhirnya lalu muncul budaya suap, main uang di bawah meja, lagi-lagi kelompok minoritas inilah
yang akhirnya dipersalahkan oleh masyarakat. Mereka, katanya, memang telah menjadi terbiasa
dengan main sogok, paling tidak begitu cap yang seakan-akan menuduh kelompok minoritas ini
sebagai biang keladi tradisi budaya korupsi. Amat jarang, misalnya, kita mau dengan jujur
mengatakan bahwa sesungguhnya para aparat dan pegawai birokrasi itulah yang sejatinya lebih
mata duitan, sehingga mau tak mau lalu memeras kelompok minoritas ini yang tengah terjepit
kepentingannya. Dari sinilah, mitos-mitos yang salah tentang orang-orang Tionghoa itu semakin
terkukuhkan lagi.
***
RANGKUMAN hasil diskusi kelompok dalam seminar ini secara tegas menyimpulkan, semua mitos
tentang masyarakat Tionghoa di atas itu adalah tidak benar. Alih-alih selalu berkutat pada persoalan
ingin menjadikan kelompok minoritas ini sebagai “sasaran tembak”, jauh lebih baik mau
mengembangkan sikap positif. Sebaiknya kita harus berani membedah peran penting yang pernah
dilakukan sejumlah tokoh orang Tionghoa-seperti Kapten John Lee-dalam sejarah pergerakan
nasional menurut proporsinya. Hal itu perlu dilakukan, tambah Mely Tan selaku ketua panitia
pengarah, karena kini justru tengah berlangsung hal-hal positif yang mendukung proses terciptanya-
katakanlah-”identitas” keindonesiaan kita sebagai bangsa.
Proses itu semakin mengkristal di kalangan anak-anak muda, di mana proses konvergensi
(pemusatan pandangan menuju satu arah yang sama) antarkawula muda-baik dari kelompok
pribumi maupun nonpribumi-semakin kencang. “Masyarakat perlu mendukung proses itu agar
proses pembentukan kesadaran baru menyangkut identitas diri baru mereka semakin nyata. Itu
penting, karena kalangan muda ini sekarang lebih suka menyebut dirinya orang Indonesia tanpa
disertai embel-embel apa pun,” ungkap Mely di akhir seminar. Menurut dia, kalaupun orang lalu
menuntut harus ada “identitas” tambahan yang sifatnya lebih bisa menerangkan halnya, katakanlah
itu dari keturunan etnis mana dia berasal, hal itu haruslah hanya merupakan tambahan saja. “Jadi
tidak perlu ada pretensi politik apa pun di sini,” tandasnya. Jelas, seruan seminar ini juga
mengartikulasikan harapan besar agar jangan ada lagi mitos-mitos dan persepsi salah tentang warga
Indonesia keturunan Tionghoa ini. (Mathias Hariyadi)
http://groups.yahoo.com/group/budaya_tionghua/message/1705
Mayor-Minor
Diposkan oleh Tabloid Mingguan Faktual di 18:12 Label: Budaya
Dimana-mana di dunia ini dan dalam hal apa saja, selalu terjadi perbedaan. Konon pula mengenai
etnis, ras, kelompok, budaya, dan agama. Perbedaan-perbedaan itu mengerucut sebagai mayoritas
dan minoritas.
Dan selalu, minoritas dalam posisi lemah, terdiskriminasikan, diperlakukan tidak adil, dikambing
hitamkan dan bahkan dikuasai oleh mayoritas. Posisi itu makin minor apabila minoritas senantiasa
berpikir bahwa mereka selalu menjadi nomor dua. Sedangkan mayoritas senantiasa berpikir bahwa
mereka selalu harus menjadi nomor satu.
Mereka yang minoritas, karena merasa selalu berada di bawah bayang-bayang mayoritas, tidak
seharusnya menyemangati diri untuk senantiasa ingin menunjukkan eksistensi dengan cara apa saja.
Sedangkan mayortitas, tidak perlu terus-menerus berupaya apa saja agar tetap dalam posisi
mayoritas.
Dalam realitas yang penuh perbedaan, terlalu memikirkan soal minoritas dan mayoritas hanya akan
menimbulkan persoalan krusial. Adanya mayoritas dan minoritas sudah menunjukkan perbedaan.
Dalam perbedaan itu, sulit mendudukkan kesetaraan. Karena itu, segala bentuk upaya untuk
mengungkit-ungkit perbedaan yang ada hanya akan menimbulkan ketidaksenangan demi
ketidaksenangan. Ancaman konflik senantiasa membayang.
***
Dunia selalu berputar sesuai mekanisme roda. Mereka yang mayoritas, tidak selamanya menjadi
mayoritas. Begitu juga sebaliknya, yang monoritas tidak selamanya minoritas. Apalagi jika kita
meyakini bahwa realitas hidup sangat beragam dan syarat akan sekian banyak perbedaan. Pada sisi
tertentu, sekelompok masyarakat tampil sebagai mayoritas. Pada sisi lain, mereka yang mayoritas
ternyata juga tidak bisa tampil mayoritas di segala bidang.
Sebab itu, cara kita dalam memahamai mayoritas dan minorotas mesti diubah. Kita tidak bisa
melihat segala sesuatu dari satu sisi yang menunjukkan kita berada dalam posisi mayoritas. Ada
baiknya kita juga melihat sisi lain dimana kita menjadi minoritas.
Seperti masyarakat dunia, masyarakat di Provinsi Lampung juga memiliki banyak perbedaan. Sejak
lama Provinsi Lampung merupakan daerah penyebaran masyarakat berkebudayaan Lampung.
Masyarakat ini sendiri terdiri dari dua subbudaya, Pepadun dan Peminggir. Dalam kehidupan sosial
budaya, baik Pepadun maupun Peminggir hidup dalam perbedaan mayoritas dan minoritas itu.
Masyarakat Pepadun seolah lebih banyak secara kuantitas dibanding masyarakat Peminggir,
sehingga Pepadun seolah mayoritas dengan Peminggir sebagai minoritas.
Pada tataran yang lebih luas, masyarakat yang menjadi mayoritas di Lampung adalah masyarakat
Lampung. Sedangkan kelompok minoritas adalah masyarakat di luar penganut kebudayaan Lampung
seperti Jawa, Sumatra Selatan, Banten, Batak, Bali, dan lain sebagainya. Kondisi awal memang
masyarakat Lampung merupakan mayoritas di provinsi ini. Tapi, data pada Bappeda Lampung
menunjukkan, masyarakat yang kini menjadi mayoritas di provinsi ini adalah masyarakat Jawa.
Meskipun secara kuantitas masyarakat Jawa merupakan mayoritas, namun pada sisi lain dalam
realitas kehidupan di provinsi ini masyarakat Jawa tetap menjadi minoritas. Di lingkungan
pemerintahan daerah, sebagian besar elite pejabat pemerintah mayoritas merupakan masyarakat
Lampung. Para kepala daerah di kabupaten sebagian besar merupakan masyarakat Lampung.
Meskipun masyarakat Lampung mayoritas menjadi elite pejabat pemerintah, namun para pejabat ini
menjadi minoritas dalam urusan-urusan yang berkaitan dengan dinamika pemerintahan daerah.
Sebagian besar pelaksana kegiatan sehari-ahri pemerintah daerah bukanlah mayoritas masyarakat
Lampung. Dilihat dari jumlah pegawai negeri sipil di provinsi ini, mayoritas merupakan masyarakat
Jawa. Komposisi ini hampir sama dengan komposisi penduduk Lampung secara budaya.
Begitu juga halnya dengan kelompok masyarakat lain yang secara komposisi demografi merupakan
minoritas. Sebut saja masyarakat Tionghoa di Lampung. Meskipun jumlah mereka sangat minim dan
merupakan minoritas, tetapi mereka menjadi mayoritas jika berkaitan dengan realitas dunia bisnis
dan usaha.
Mereka yang menjadi mayoritas di satu sisi, namun dalam bidang-bidang tertentu justru menjadi
minoritas. Sebaliknya, kelompok minoritas namun dalam hal tertentu menjadi mayoritas di tengah-
tengah kelompok mayoritas itu sendiri.
Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, dalam hal tertentu justru tidak dominan, katakanlah
dalam hal ekonomi, dimana etnis Cina merupakan kelompok minoritas, tetapi hampir 80 %
menguasai perekonomian Indonesia. Di Jayapura komunitas Kristen merupakan kelompok
mayoritas, sedangkan komunitas non-Kristen merupakan kelompok minoritas, namun mereka
sebagai pendatang secara ekonomi sedikit lebih baik dari kelompok Kristen.
***
Mayoritas dan minoritas bukan suatu persoalan bila masyarakat dapat membangun kebersamaan.
Tentu saja tidak sulit bila masyarakat menjadikan perbedaan sebagai suatu kekuatan baru dalam
menjaga harmoni.
Dalam masyarakat plural seperti di Lampung, isu-isu etnik, ras, dan agama rentan dan paling mudah
menjadi pemicu munculnya prasangka. Prasangka adalah salah satu rintangan atau hambatan berat
bagi kegiatan komunikasi, karena orang yang berprasangka belum apa-apa sudah bersikap curiga
dan menentang komunikator yang melancarkan komunikasi.
Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa
menggunakan pikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. Karena itu, sekali prasangka itu
sudah mencekam, orang tidak akan dapat berfikir obyektif, dan segala apa yang dilihatnya selalu
akan dinilainya secara negatif. (Effendi, 1981).
Makanya, bagi masyarakat yang plural toleransi dan hidup rukun sangatlah diperlukan untuk
meningkatkan rasa persaudaraan, persatuan dan kesatuan. Bila sikap toleransi yang muncul tidak
dilandasi nilai-nilai yang lahir atas kesadaran yang tulus, dapat menjadi bom waktu dikemudian hari.
Untuk itulah dibutuhkan interaksi sosial antar kelompok yang berbeda. Interaksi paling efektif
adalah melakuka komunikasi yang terus menerus diantara setiap kelompok, baik melakukan
kegiatan bersama atau melalui dialog lintas budaya.
***
Dimsum Terakhir (2006), sebuah novel yang sarat akan tokoh-tokoh keturunan Tiong Hoa dengan
latar Indonesia yang multi ras sebenarnya mempunyai potensi sebagai karya yang tidak hanya
berbicara banyak tentang problematika etnisitas, namun juga seharusnya meletakkannya sebagai
isu utama. Selama berpuluh-puluh tahun etnis Tiong Hoa Indonesia telah mengalami hal-hal yang
buruk dari pen-stereotip-an, dikriminasi dalam ruang publik dan hukum, sampai pada pembantaian.
Hal ini memerlukan perhatian lebih banyak dari sekedar masalah khas individu urban seperti
kebebasan untuk berhubungan intim atau mempunyai pacar sejenis: jenis-jenis masalah yang
mendapat perhatian lebih dalam novel ini. Tampaknya Clara Ng sang penulis tidak bisa lepas dari
ideologi ‘resmi’ masyarakat kosmopolitan kelas atas, humanisme liberal, yang membuat
dikedepankannya isu-isu pribadi dan meletakkan isu sosial yang lebih luas pada latar.
Dalam novel ini pembaca dibawa ke dunia ‘pribadi’ empat wanita kembar anak dari Nung, seorang
mantan pedagang berketurunan Tiong Hoa. Setiap tokoh mempunyai masalah atau konflik masing-
masing. Mulai dengan Rosi dengan kecenderungan seksual kepada sesama jenis yang membuat dia
lebih suka dipanggil Roni; Siska dengan kehidupannya sebagai wanita karir kosmopolitan dengan
kehidupan yang sangat bebas; Novera dengan ketidakpercayaan dirinya dan keinginannya untuk
menjadi biarawati; dan Indah yang bisa dikatakan tidak mempunyai masalah yang berarti sampai dia
mengetahui dirinya hamil akibat hubungan yang dilakukan dengan pastur yang insaf tak lama setelah
berhubungan intim. Konflik-konflik tersebut diberi kerangka yang konflik yang sedikit luas: keinginan
Ayah mereka yang sekarat untuk melihat putri-putrinya menikah—sesuatu hal yang hampir mustahil
melihat konflik pribadi yang dimiliki putri-putrinya.
Cerita berakhir dengan solusi khas ideologi humanis liberal barat. Sang Ayah mengerti akan
‘keunikan’ putri-putrinya dan wafat dengan tenang didampingi sang dokter yang juga sahabatnya
sementara anak-anaknya dirumah melanjutkan tradisi yang selama ini ia dan mendiang istrinya
bangun: kebersamaan pada hari imlek yang disimbolkan dengan makan dimsum bersama.
Pendamaian antara tradisi dan ideologi humanis liberal sekilas tampak nikmat untuk dipercayai.
Namun, pada dunia nyata dua hal tersebut adalah hal yang kontradiktif. Ide humanis liberal akan
“keunikan individu” yang berasal dari kehidupan masyarakat kapitalis perkotaan tiap harinya telah
menggerogoti tradisi karena nilai-nilai feodalistis tersebut seringkali tidak sesuai dengan ritme
kehidupan kota. Kehidupan masyarakat urban yang inovatif, sigap, individualistis, materialistis,
kompetitif dan menganut sitem ‘to invent or die’ sangat kontras dengan kehidupan tradisional yang
identik dengan kepatuhan, ketenangan, kebersamaan dan keadaan yang statis.
Namun, tidak bisa disangkal, novel ini juga menyentuh masalah keberagaman dan identitas etnis
Tiong Hoa di Indonesia walau isu tersebut hanya ditemukan secara berserakan
sebagai flashback (kilas balik) dan hanya berfungsi sebagai sub-tema.
Hal ini dapat ditemukan dalam sub-tema mengenai tradisi masyarakat Tiong Hoa. Clara Ng
melihatkan bagaimana pentingnya arti keluarga dalam keluarga Tiong Hoa yang disimbolkan dengan
bulatnya bulan purnama; ia juga melihatkan bagaimana imlek memperat tali kekeluargaan tersebut.
Ada juga masalah mengenai identitas yang patut menjadi perhatian. Tokoh Nung bersikeras
memanggil anaknya dengan nama Indonesia walau mendapat kritikan dari kerabatnya. Alih-alih
identitas yang statis, Nung tahu benar keadaan yang beragam memerlukan identitas yang hibrid.
Clara Ng juga dengan efektif melihatkan keberagaman identitas dalam etnis Tiong Hoa; hal yang
menegasi mitos stereotip dan monolitis yang ada dalam masyarakat kita tentang masyarakat Tiong
Hoa. Ada pula masalah diskriminasi dan kebijakan pemerintah yang tak sensitif tentang masalah ras
yang digambarkan pada momen-momen paling menyentuh dalam karya seperti bagaimana Siska
membela adiknya yang diejek dengan kata ‘amoy’; dan bagaimana Nung mau tak mau harus tetap
menyuruh salah satu putrinya yang sedang sakit untuk tetap sekolah pada Hari Imlek mengingat
kebijakan sekolah yang diskriminatif terhadap kaum minoritas.
Pada saat-saat terbaiknya, Dimsum Terakhir menghadirkan kultur Tiong Hoa yang kaya dan tidak bisa
diredusir ke dalam stereotip pada kesadaran pembaca Indonesia yang selama ini hanya sering
disuguhi wacana satu dimensi milik media yang acapkali dengan semena-mena memberikan
stereotip pada kelompok marginal dan minoritas. Novel ini juga melihatkan diskriminasi yang dialami
etnis Tiong Hoa di Indonesia—satu hal yang sering publik lupakan. Akan tetapi, sangat disayangkan
topik-topik ini harus tenggelam dalam masalah-masalah individu tiap tokoh utama. Ideologi humanis
liberal yang meletakkan individu sebagai pusat semesta—di mana kesuksesan dan kebebasan
individu adalah hal yang utama seperti yang dilihatkan dengan sempurna oleh seperti tokoh Siska
sang wanita karir sukses—sangat bertentangan dengan ‘proyek sampingan’ untuk menyuarakan
kaum yang tertindas atau proyek lainnya untuk melihatkan kuatnya ikatan keluarga.
Novel adalah produk zaman, keadaan ekonomi tertentu, dan posisi penulis dalam masyarakat.
Sangat dimengerti jika Clara Ng hanya meletakkan kebanyakan isu-isu multikultural pada
bagian flashback sebagai serpihan masa lalu karena mungkin saja isu tersebut adalah sekedar
nostalgia baginya. Sekarang dia adalah penulis ternama yang duduk meringkuk di depan laptop,
tenggelam dalam dunia “pribadi” kaum kosmopolitan kelas atas yang relatif lepas (baca: melepaskan
diri) dari interaksi antar kelompok sosial yang memang sebenarnya masih penuh ketimpangan;
Masyarakat kita tetap saja masyarakat monokultural dimana satu agama dan satu ras diletakkan
sebagai ‘centre’ dari yang lain. Ini perlu perhatian yang lebih seksama karena diskriminasi bukan
milik masa lalu saja. Dan bagi penulis yang mungkin sudah mapan ini berarti untuk bersimpati
dengan keadaan diluar dirinya.