1, Januari 2004: 82 - 94
ABSTRAK
Bagi sebagian orang, masa lalu menarik untuk dikenang dan ditampilkan kembali.
Fenomena mengulang trend yang lalu atau disebut retro menjadi bagian aplikasi desain
komunikasi visual. Dalam hal ini, retro yang merupakan produk masa lalu diasimilasikan dengan
kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat eklektik,
revival, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi namun juga menciptakan sinergi unik untuk
menarik perhatian.
Tulisan ini menyoroti tentang retro atau pengulangan, yang beragam definisinya baik
sebagai bagian dari masa lalu maupun sebagai gejolak kreatif dan katarsis di era pasca modernitas,
karena merupakan media bagi apresiasi, penghargaan, sindiran, dan lelucon teks dalam diskursus
postmodern.
ABSTRACT
For some people, it is interesting to reminisce and expose the past. This phenomenon of
reviving past trends, or called retro, becomes part of visual communication design applications.
Retro is a past product that is assimilated to something new, that of a contemporary product; not
only uplifting eclectic spirit, revival, historicism, reconstruction, and duplication, but also creating
unique synergy to attract attention.
This paper focuses on retro or recurrence that varies in definitions as a part of the past or
even as a creative vitality and catharsis of the postmodern era, because it is a medium for
appreciation, awarding, insults, and humor in the postmodern discourse.
PENDAHULUAN
82 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
visualisasi, unsur-unsur desain seperti jenis tipografi, warna, susunan hirarki visual,
ataupun makna pesan-pesan itu sendiri. Aplikasinyapun tampak dalam sampul kaset,
poster, iklan pada media cetak, iklan televisi. Bahkan, group-group musik masa kini
menggunakan pendekatan gaya masa lalu untuk penampilannya. Salah satunya adalah
Naif yang mempopulerkan kembali gaya psychadelic pada busana, asesoris seperti
kacamata, ikat pinggang, gaya rambut sampai kepada skuter yang dipakainya. Lagu-
lagunya mengingatkan orang pada era tahun 60-an. Salah satu iklan suplemen kesehatan
menggunakan gaya Mesir kuno dengan visualisasi figur Cleopatra. Iklan kartu kredit
menggunakan legenda ‘si Midas’. MTV-pun memakai gaya art nouveau dalam salah satu
tampilan spot-nya.
Semangat menghadirkan/menampilkan/memvisualkan kembali nuansa/gaya-gaya
lama disebut sebagai retro, yang menjadi istilah populer untuk
mendefinisikan/menyebutkan model pengulangan-pengulangan yang disebut sebagai
revival, alchimia, eklektik, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi. Menurut Longman
Dictionary Of Contemporary English, pengertian ‘retro’ adalah deliberately using styles
of fashion or design from the recent past. Pengertian ini ada hubungannya dengan definisi
retrospective yakni
1. concerned with or thinking about the past; dan
2. a show of the work of an artist, that includes all the kinds of work they have done1
Retro menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang
pernah muncul dan muncul kembali. Retro dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi
unsur lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi
visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu
kesatuan. Contohnya seperti pada iklan-iklan yang disebutkan di atas tadi. Semuanya
menampilkan produk baru, vigur model iklan masa kini (Inul, Marshanda, Agnes Monica,
dll), dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk produksinya. Iklan –sebagai
wacana teks- menjadi berbeda dari ‘semangat’ teks rujukan. Retro hanya dipakai sebagai
pendekatan untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja.
1
Longman Dictionary Of Contemporary English, h.1213.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 83
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
Di dalam komunikasi visual, iklan merupakan salah satu media pembentuk kesan.
Dengan pendekatan visualisasi tertentu impresi yang timbul sengaja dihadirkan untuk
mengingatkan khalayak pada fenomena masa lalu. Namun, sesungguhnya impresi
nostalgik tersebut lahir karena cuplikan gaya ilustrasi/visualisasi/ikon yang didefinisi
ulang dan tidak berhubungan dengan produk yang diiklankannya. Bahkan, seringkali
antara produk dengan impresi nuansa retro tidak berhubungan; kedua unsur tersebut
bersatu dan berbaur untuk menghasilkan sesuatu yang baru, aplikatif, dan menjadi bagian
dari kebudayaan kontemporer.
Tulisan ini menyoroti tentang semangat kembali ke masa lalu, mengambil bentuk
bagian masa lalu, sebagai pendekatan berkomunikasi visual.
KRITIK MODERNISME
84 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
berkantor secara tetap dan mapan, keharusan berpakaian sesuai aturan/norma. Konsepsi
baru tersebut memunculkan istilah-istilah yang menjadi bagian budaya kontemporer
seperti: indie, retro, pemikiran kiri, semangat neo, idealisme sosialis, bahasa slank , dan
perilaku-perilaku yang identik dengan semangat jiwa bebas, tanpa beban, dan
memberontak. Mereka mengklaim diri sebagai Generasi X. 2
Revolusi sikap yang melanda kaum muda dunia tersebut bagai sebuah virus yang
berkembang dengan percepatan yang luar biasa akibat majunya teknologi informasi dan
peradaban. Sikap hidup demikian memunculkan komunitas-komunitas eksklusif
menentang arus mainstream melalui aplikasi-aplikasi dalam ruang ekspresi sosial mereka
seperti musik rock, film-film underground, media indie, anti westernisasi/globalisasi,
pemakaian obat-obat psikotropika (madat), gaya berdandan model punk , dan aplikasi-
aplikasi pada desain komunikasi visual di medium komunikasi mereka. Reaksi ini juga
sebagai bagian dari tindakan represif sistem kekuasaan yang menciptakan marjin kaku,
dengan produk-produk kesewenang-wenangan seperti militerisme, sistem perundang-
undangan, eksklusivitas yang mengedepankan kelompok tertentu misalnya kelompok
cendekiawan, kelompok ahli, munculnya tribalisme dan mentalitas yang mengunggulkan
suku atau kelompoknya sendiri.
Awalnya universalisme mampu mengatasi sikap tribalisme tersebut, namun ketika
modernisme diredefinisi, segala aplikasi modernisme terkena imbasnya pula, lalu sikap
primordialisme ini dipakai sebagai alasan pertikaian setelah perang ideologi.
FORM-FOLLOW-FUNCTION-FOLLOWS-FUN
2
Paul Fussel dan Douglas Coupland dalam Kompas, 11 September 2000 menyebut istilah ini menjadi
fenomena anak muda yang menolak kemapanan, menolak apa yang ditetapkan oleh generasi orang tua
mereka -Generasi Baby Boomers, yang berhasil hidup sukses dengan ngotot bekerja, punya rumah serta
mobil mewah sebagai indikator keberhasilan kehidupan-. Sebaliknya, Generasi X ini dicitrakan di Australia
sebagai kelompok komunitas anak muda anak orang kaya yang bermalas-malasan, menolak kerja dan
tanggung jawab, punya rumah dekat pantai agar dapat mandi sinar matahari, dan bersenang-senang.
Penolakan tuduhan bagi Generasi X ini dengan menyebutkan bahwa mereka tetap punya tujuan hidup,
melewatkan sebagian waktu untuk bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi, lalu keluar rumah
untuk surfing atau sekedar bergolekan di hangatnya pasir pantai.
3
Eklektikisme adalah kombinasi berbagai gaya dari berbagai seniman, periode, atau kebudayaan masa lalu,
dan meramunya menjadi satu gaya baru.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 85
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
4
Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta,
2003, h.205
5
Arief Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi industri hingga Postmodern , Penerbit Untar, Jakarta
1999, hal. 102
6
Herlianto, Posmodern , artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001
7
Pilliang, ibid. Hal 254
86 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
Retro dalam makna pastiche8 adalah mengimitasi satu bentuk gaya atau objek
untuk tujuan kesenangan, melalui permainan bebas tanda, dan merayakan tanda
ketimbang makna. Secara prinsip retro sebagai revivalisme adalah bentuk dari pastiche
dengan genre yang sama seperti model rujukannya dan mempunyai penekanan pada
persamaannya 9 . Kebebasan merujuk gaya masa lalu menimbulkan tumpang tindih dan
simpang siur kode-kode rujukan tersebut sehingga ungkapan bahasanya menjadi mati
karena tidak memiliki konotasi dan kehilangan makna kontekstualnya 10 . Dalam bahasa
iklan parfum remaja dan album Naif, pendekatan gaya psychedelic yang dipakai menjadi
tumpang tindih dengan konsep bahasa dan tanda psychedelic yang merupakan penanda
dari budaya madat, penyalahgunaan obat psikotropika, yang dicabut begitu saja dan
didefinisikan kembali tanpa mengacu pada pemaknaan asal dan menjadi sebuah sekedar
bahasa estetika form-follow-fun.
Pada kitsch, ‘bahan baku’ konsumen –yang diambil dari masa lalu- direproduksi
menjadi ikonik seni. Kitsch mengimitasi satu bentuk gaya atau objek untuk tujuan dan
fungsi palsu. Misalnya reproduksi mulut figur dinosaurus dalam pintu masuk toko, atau
figur gorila raksasa dalam film Kingkong pada eksterior atap toko di Cihampelas. Retro
ada pada figur Kingkong beserta pesawat terbang remuk digenggaman tangannya;
aplikasi demikian didefinisikan sebagai kitsch karena lemahnya manifestasi kriteria
estetik.
Dalam aplikasi retro sebagai parodi, dikatakan oleh Bakhtin, dalam Pilliang (2003),
bahwa parodi mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, dan tidak nyaman
dengan menghadirkan oposisi/kontras terhadap teks, karya atau gaya satu dengan lainnya.
Situasional kontras dan oposisi sengaja dipilih dengan seleksi terhadap teks, karya, atau
gaya masa lalu. Karena tidak mungkin menghadirkan parodi tanpa pengalaman/referensi
masa lalu yang kemudian direkonstruksi imitasinya. Menurut Linda Hutcheon seperti
8
Menurut Susanto, Mikke dalam Diksi Rupa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 84. Pastiche adalah
penyusunan elemen-elemen yang dipinjam dari perbagai pengarang atau seniman masa lalu, yang miskin
orisinalitas. Pastiche mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat
zamannya dan menempatkan dalam konteks kekinian.
9
Hucheon dalam Pilliang (2003) mencontohkan misalnya bahasa arsitektur Romawi yang dihidupkan
kembali dalam arsitektur postmodernisme, di mana imitasinya lebih bebas karena tidak terikat pada satu teks
saja, melainkan terjadi pengkombinasian yang interstyle.
10
Menurut Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts, 1989, di
Las Vegas dapat disaksikan simpang siur dan tumpang tindihnya bahasa-bahasa Mesir Kuno, Romawi,
Renaisans, cowboy, dan sebagainya.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 87
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
yang dikutip Pilliang (2003), parodi adalah suatu bentuk imitasi yang tidak murni karena
mencirikan kecenderungan ironik. Pengulangan pada parodi bertendensi kritik dan
menghasilkan efek kelucuan11 .
Lebih jauh Hucheon mengatakan bahwa persamaan antara pastiche dan parodi
adalah kebergantungan pada teks, karya, atau gaya masa lalu yang dirujuknya.
Perbedaannya retro yang diprojeksikan sebagai duplikasi, revivalism atau rekonstruksi
pada diskursus pastiche merupakan bentuk ungkapan simpati, penghargaan, atau
apresiasi, sebaliknya parodi sebagai ungkapan ketidakpuasan, dengan sindiran, plesetan,
dan kelucuan12 , dan bahasa/teks yang pertama mengontrol bahasa/teks kedua.
Menurut Susan Sontag, camp adalah memuja masa lalu 13 , meskipun masa lalu
bukanlah satu-satunya inspirasi, hubungannya dengan masa lalu bersifat sentimentil.
Camp adalah satu model ‘fenomena estetisme’, di mana estetik bukan dalam pengertian
keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian kesemuan dan ‘penggayaan’
yang dicirikan oleh upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, berlebihan, glamour,
dan menjanjikan kesemuan sebagai model estetika. Menurut Pilliang (2003) camp
menyanjung tinggi kevulgaran, tidak begitu tertarik pada sesuatu yang otentik atau
orisinil, namun lebih kepada duplikasi dari apa-apa yang telah ditemukan untuk tujuan
dan kepentingannya sendiri. Camp adalah satu bentuk yang mempunyai pengertian
‘menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia 14 . Sebagai satu bentuk seni, camp
menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi.
Camp bersifat anti alamiah. Objek-objek alam, manusia, dan binatang kerap digunakan
namun secara ekstrim dideformasi; dibuat lebih kurus,ramping, jangkung atau secara
ekstrim dibuat lebih gendut, besar atau lebar. Salah satu contoh keartifisialan tentang hal
ini dapat ditemui pada beberapa karya Art Nouveau dengan bentuk-bentuk tubuh yang
panjang, yang bak melambai pada cetakan dan lukisan Beardsley, atau bentuk-bentuk
dekoratif dan asimetri pada karya Guimard, Gaudi, dan Tiffani.
11
ibid. Hal 214
12
ibid, hal 215
13
Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,2002, hal.25
14
Menurut Pilliang, bahan baku camp adalah kehidupan sehari-hari, atau lebih tepatnya fragmen-fragmen
dari realitas dalam kehidupan nyata, seperti Marilyn Monroe, pakaian wanita, seragam militer, seragam
buruh, Art Deco, yang diproses dan didistorsi sedemikian rupa, sehingga ia menjadi bukan dirinya sendiri-
menjadi artifisial.
88 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
Perubahan desain seiring dengan dinamika pola pikir masyarakat, trend, mode, dan
kebudayaan. Makna revisibilitas pada desain serupa dengan ilmu-ilmu empirik.
Mengingat fleksibilitas dan relativitas pada desain yang lebih ‘bebas’ di banding ilmu
pasti, maka revisibilitasnyapun lebih tinggi.
Dalam aplikasi desain, banyak ditemui model perancangan memakai pengulangan
sesuatu yang pernah ada. Semenjak semangat renaissance -yang mengembalikan
15
Pilliang, ibid, hal.227
16
Menurut Kaplan, J, Louise, dalam Female Perversion, Penguin Books, 1991. Androgyne adalah suatu
bentuk penolakan perbedaan seksual yang alamiah, misalnya yang indah pada konsep diri seorang pria adalah
sesuatu yang feminim;dan apa yang memikat pada diri seorang wanita adalah sesuatu yang
maskulin.Androgyne adalah pengelabuhan akan kebenaran seksual melalui gaya, dengan menciptakan
bentuk-bentuk daya pikat seksual, kesenangan seksual yang direkayasa sendiri dengan mengaburkan kategori-
kategori seks yang normal.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 89
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
17
Dalam gerakan renaissance, terdapat istilah ‘gaya gothic’ yang artinya ‘gaya orang barbar’ dan merupakan
sindiran kaum renaissance terhadap gaya arsitektur Suger yang menentang arus mainstream retro Yunani dan
Romawi kuno tersebut.
18
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal 507, Klasisisme
adalah peniruan langgam seni (kebudayaan, sastra) Yunani dan Romawi kuno, yang ditandai dengan
pengutamaan bentuk, kesederhanaan, dan penguasaan emosi, seperti yang terjadi pada abad ke 18.
19
Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern , Penerbit Universitas
Tarumanagara, Jakarta, 1999.Hal. 62
90 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
Ironisnya, awal munculnya gerakan Kubisme adalah sebagai pemutusan hubungan masa
lalu dan penolakan tradisi. Namun pada Futurism dan Construktivism, Kubisme
mengalami re-evaluasi nilai-nilai intrinsiknya sehingga mengakomodir nilai-nilai masa
lalu dan tradisi.
Ketika Picasso melukis ‘Les Demoiselles d’Avignon’ pada tahun 1907 ia
mengambil (baca: me-retro) unsur-unsur primitif Iberia dan bentuk topeng kuno Afrika.
Menurut para kritikus seni, lukisan itu sebagai visualisasi konflik pemikirannya tentang
seks20 . Menurut para kritikus seni, metode retro pada lukisan Picasso tersebut dipakai
sebagai visualisasi pertentangan pemikirannya antara faham kuno Iberia dan Afrika
dengan revaluasi deformatif pada definisi seks, dari konsep ‘tugas alam’ menjadi
reproduksi, kesenangan, maupun eforia, sebuah konsep seksual yang ambigu. Inikah
model pendekatan camp ataukah mendefinisikan konsep seks kuno sesuai pola fikir
masyarakat tahun 1907 melalui media lukisan.
Retro dalam konsep menambah gaya/menggayakan muncul dalam Art Deco, yang
merupakan gerakan era akhir modern yang memvisualkan simbol-simbol kemajuan jaman
dengan ornamen dekoratif yang digayakan. Art Deco menggunakan retro gaya Cubism,
Fauvism, Gaya Mesir dan Indian Aztec. Estetika Art Deco adalah modernistik yaitu
perpaduan antara bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif
lama 21 . Art Deco dikritik sebagai gerakan tanpa ideologi, berisi kebebasan, anarkis, dan
suasana karnaval. Kritikan tersebut terjadi mengingat gaya ini timbul pada masa modern
akhir, dimana terjadi pendekonstruksian teks dan konsep makna penanda. Pemaknaan
retro model begini dianggap merupakan retrogresif (bersifat kemunduran) karena kriteria
yang dipakai untuk mengkritisi memakai konsep form follow meaning. Apabila
menggunakan konsep berorientasi pada konsumen tentu berbeda, sebab Art Deco adalah
memenuhi fantasi futuristik konsumen.
Retro pada Pop Art mengambil unsur-unsur tradisional Amerika dan unsur-unsur
yang berasal dari idiom dalam media massa koran ataupun komik, seperti teknik
pewarnaan datar/blok, pemakaian outline pada gambar dan photo montage. Unsur sisi
20
ibid, hal. 37
21
ibid, hal.67
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 91
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
tradisional pada Pop Art, menurut Adityawarman (1999),22 adalah tipe huruf, ornamen-
ornamen etnik, dan semangat mengangkat kembali gaya Art Deco, Art Nouveau. Desain-
desain Pop Art ini dipakai sebagai media ekspresi dari gerakan-gerakan protes sosial
seperti lingkungan hidup, anti perang Vietnam, persamaan gender, anti kemapanan, dan
musik rock (alternatif). Salah satu gaya yang terkenal dari Pop Art adalah psychadelic art,
yang menurut Meggs (1992) gaya ini dikaitkan dengan persepsi kecanduan obat-obatan
psikotropika. Kebanyakan para pedesain komunikasi visual memakai gaya ini karena
tuntutan klien grup musik rock dan promotor pertunjukan panggung 23 . Esensi
visualisasinya adalah taburan kilau warna-warni cahaya pada stage beserta penyanyi dan
penari latarnya.
Secara visual ciri psychadelic art adalah penggunaan warna terang, cerah dan
kombinasi warna komplementer (misalnya hijau dan merah, atau oranye dan ungu),
memakai garis dan bentuk yang lentur sehingga gambar menjadi tidak realis, atau kurang
jelas, tipografi kehilangan legibilitasnya karena bentuk yang melengkung berirama. Foto
ditampilkan dengan kontras tinggi, hitam putih atau mengikuti warna komplementer yang
dipakai24 . Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco and Art
Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada
desain yang merujuk pada budaya madat. Namun pada gaya desain kontemporer yang
dipakai saat ini, justeru retro gaya psychedelic dipakai untuk merujuk atmosfir era 60-an
tanpa mengkaitkan dengan asumsi madat, musik rock, budaya anti, dan konotasi negatif
lainnya. Ini sekaligus menjadi ‘kenangan kembali’ yang merevaluasi/mereformasi nilai
psychedelic menjadi lebih ‘beradab’. Tetapi sebagai diskursus penanda, gaya retro
psychedelic kontemporer menjadi sekedar mengungkapkan kembali kenangan ‘pandang
balik’ belaka tanpa makna transenden, serta menjadi bagian dari konsep ‘suka-suka’
belaka. Akhirnya, retro pada era kontemporer sangat mungkin tidak sekedar menjadi
alternatif rujukan bagi penciptaan gagasan baru, namun menjadi sebuah konsep yang
transformatif -yang berubah-ubah bentuknya-; retro menjadi sesuatu yang sifatnya
sementara, tak sempurna, dan dapat dikaji ulang, diperbaiki, bahkan ‘dirusak’ lagi makna
filosofisnya.
22
Adityawarman, ibid, hal 101
23
Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992, Hal. 442
92 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)
Retro yang dipakai sebagai fenomena, media, bahkan wacana dalam diskursus
posmodern menjadi model-model aplikasi yang bersifat eksperimental, fleksibel, subtil,
tanpa makna dan subjektif, namun menjadi trend, mode, bahkan disukai masyarakat,
sama seperti konsep Studio Alchimia yang menerapkan hal tersebut sebagai wujud
revivalism dalam desainnya 25 . Dalam hal ini, Victor Papanek mengkomentari Studio
Alchimia sebagai ‘stylistic protest movements-primarily in the field of furniture-that tried
to expose the visual poverty of the late Modern Movement through promoting non-
functioning devices26 ’
SIMPULAN
24
Adityawarman, ibid, hal 104
25
Alessandro Mendini, salah seorang penganjur desain posmodern dari Italia yang mendirikan studio
Alchimia menggunakan teknik ketrampilan tangan, warna, dan bentuk dekoratif ataupun simbol-simbol masa
lalu (sebagai wujud revivalisme). Konsep Studio Alchimia ini adalah kenangan dan hal-hal yang tradisional
adalah penting. Dan menggunakan model-model eksperimental dalam produksi desainnya .
26
Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames and
Hudson, London, 1995, hal.55
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 93
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94
yang sulit, sebab nilai yang dipakai adalah kebaruan, dan semangat yang dipakai adalah
simulasi budaya konsumen, dan konsep komunikasinya mengacu pada trend dan model
yang tengah disukai tanpa perlu mencari makna filosofis bagi pendekatan retro tersebut.
Inilah yang terjadi pada retro di masa kontemporer.
KEPUSTAKAAN
Diah Marsidi, ''Baby Boomers'', Generasi X dan Gaya Hidup, Artikel pada Kompas, 11
September 2000.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992.
Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture,
Thames and Hudson, London, 1995.
Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna,
Jalasutra, Yogyakarta, 2003.
Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta,.2002.
Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts,
1989.
94 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/