Anda di halaman 1dari 13

NIRMANA Vol. 6, No.

1, Januari 2004: 82 - 94

RETRO SEBAGAI WACANA


DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

Andrian Dektisa Hagijanto


Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain - Universitas Kristen Petra

ABSTRAK

Bagi sebagian orang, masa lalu menarik untuk dikenang dan ditampilkan kembali.
Fenomena mengulang trend yang lalu atau disebut retro menjadi bagian aplikasi desain
komunikasi visual. Dalam hal ini, retro yang merupakan produk masa lalu diasimilasikan dengan
kebaruan yang merupakan produk kontemporer, tidak hanya mengusung semangat eklektik,
revival, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi namun juga menciptakan sinergi unik untuk
menarik perhatian.
Tulisan ini menyoroti tentang retro atau pengulangan, yang beragam definisinya baik
sebagai bagian dari masa lalu maupun sebagai gejolak kreatif dan katarsis di era pasca modernitas,
karena merupakan media bagi apresiasi, penghargaan, sindiran, dan lelucon teks dalam diskursus
postmodern.

Kata kunci: retro, revival, eklektikisme, posmodernisme.

ABSTRACT

For some people, it is interesting to reminisce and expose the past. This phenomenon of
reviving past trends, or called retro, becomes part of visual communication design applications.
Retro is a past product that is assimilated to something new, that of a contemporary product; not
only uplifting eclectic spirit, revival, historicism, reconstruction, and duplication, but also creating
unique synergy to attract attention.
This paper focuses on retro or recurrence that varies in definitions as a part of the past or
even as a creative vitality and catharsis of the postmodern era, because it is a medium for
appreciation, awarding, insults, and humor in the postmodern discourse.

Keywords: retro, revival, eclecticism, postmodernism.

PENDAHULUAN

Dalam berbagai penampilan komunikasi visual di Indonesia belakangan ini muncul


beragam gaya seni/desain, gaya visualisasi, dan aplikasi kreatifitas visual yang
mengingatkan pada fenomena masa lalu antara lain seperti psychedelic,punk, dada, art
nouveau, art and craft, art deco, indische mooi, bauhaus, new wave, dan sebagainya.
Aplikasi tersebut dapat dilihat pada tata letak/layout, gaya visual, metode/teknik

82 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

visualisasi, unsur-unsur desain seperti jenis tipografi, warna, susunan hirarki visual,
ataupun makna pesan-pesan itu sendiri. Aplikasinyapun tampak dalam sampul kaset,
poster, iklan pada media cetak, iklan televisi. Bahkan, group-group musik masa kini
menggunakan pendekatan gaya masa lalu untuk penampilannya. Salah satunya adalah
Naif yang mempopulerkan kembali gaya psychadelic pada busana, asesoris seperti
kacamata, ikat pinggang, gaya rambut sampai kepada skuter yang dipakainya. Lagu-
lagunya mengingatkan orang pada era tahun 60-an. Salah satu iklan suplemen kesehatan
menggunakan gaya Mesir kuno dengan visualisasi figur Cleopatra. Iklan kartu kredit
menggunakan legenda ‘si Midas’. MTV-pun memakai gaya art nouveau dalam salah satu
tampilan spot-nya.
Semangat menghadirkan/menampilkan/memvisualkan kembali nuansa/gaya-gaya
lama disebut sebagai retro, yang menjadi istilah populer untuk
mendefinisikan/menyebutkan model pengulangan-pengulangan yang disebut sebagai
revival, alchimia, eklektik, historisisme, rekonstruksi, dan duplikasi. Menurut Longman
Dictionary Of Contemporary English, pengertian ‘retro’ adalah deliberately using styles
of fashion or design from the recent past. Pengertian ini ada hubungannya dengan definisi
retrospective yakni
1. concerned with or thinking about the past; dan
2. a show of the work of an artist, that includes all the kinds of work they have done1

Retro menjadi bagian dari trend, dan teks baru untuk menyebutkan sesuatu yang
pernah muncul dan muncul kembali. Retro dalam aplikasi kontemporer mengakulturasi
unsur lama dengan kebaruan yang berupa gagasan, kemajuan teknologi
visualisasi/pencitraan, dan menimbulkan kesan keluar dari paritas, dikemas menjadi satu
kesatuan. Contohnya seperti pada iklan-iklan yang disebutkan di atas tadi. Semuanya
menampilkan produk baru, vigur model iklan masa kini (Inul, Marshanda, Agnes Monica,
dll), dengan menggunakan teknologi tercanggih untuk produksinya. Iklan –sebagai
wacana teks- menjadi berbeda dari ‘semangat’ teks rujukan. Retro hanya dipakai sebagai
pendekatan untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja.

1
Longman Dictionary Of Contemporary English, h.1213.

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 83
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

Di dalam komunikasi visual, iklan merupakan salah satu media pembentuk kesan.
Dengan pendekatan visualisasi tertentu impresi yang timbul sengaja dihadirkan untuk
mengingatkan khalayak pada fenomena masa lalu. Namun, sesungguhnya impresi
nostalgik tersebut lahir karena cuplikan gaya ilustrasi/visualisasi/ikon yang didefinisi
ulang dan tidak berhubungan dengan produk yang diiklankannya. Bahkan, seringkali
antara produk dengan impresi nuansa retro tidak berhubungan; kedua unsur tersebut
bersatu dan berbaur untuk menghasilkan sesuatu yang baru, aplikatif, dan menjadi bagian
dari kebudayaan kontemporer.
Tulisan ini menyoroti tentang semangat kembali ke masa lalu, mengambil bentuk
bagian masa lalu, sebagai pendekatan berkomunikasi visual.

KRITIK MODERNISME

Kebudayaan massa yang menjadi bagian tak terpisahkan dari modernisme


menciptakan homogenitas dalam heterogenitas. Sebuah komunitas ‘dipaksa’ menerima
universalisme dengan paradigma globalitas, sehingga unsur-unsur individualisme
ditepikan. Dalam hal ini, isu sentral modernisme adalah dapat diterima/berfungsi
guna/dibutuhkan pada semua lapisan masyarakat melalui pendekatan produksi massal.
Kebudayaan massa modernisme menimbulkan permasalahan baru bagi umat
manusia; salah satunya adalah limbah industri dan berkembangnya pemikiran-pemikiran
berbasis gejolak sosial menentang arus mainstream dari negara-negara adidaya/Barat. Di
Amerika timbul berbagai gejolak akibat menentang perang Vietnam. Perang antara
paham liberal dengan komunis, yang berkembang dan menciptakan kesadaran baru
bahwa hegemoni pemenang perang dunia kedua tak mampu mengalahkan semangat dan
militansi rakyat Vietnam yang merubah perang ideologi menjadi konflik patriotik
mengusir imperialisme.
Keberadaan negara dunia ketiga mulai dilirik oleh komunitas negara maju. Isu-isu
seperti persamaan hak, anti-perang, anti-nuklir, cinta damai, menjadi wacana baru.
Selanjutnya merebak tuntutan pengakuan terhadap hak-hak individu yang mengalami
disorientasi akibat modernisme. Timbul pemikiran-pemikiran yang bersifat alternatif,
bersifat anti; anti kemapanan, anti gaya hidup serupa generasi sebelumnya, termasuk
tatanan sosial yang diciptakan generasi pendahulu, seperti keharusan menikah, keharusan

84 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

berkantor secara tetap dan mapan, keharusan berpakaian sesuai aturan/norma. Konsepsi
baru tersebut memunculkan istilah-istilah yang menjadi bagian budaya kontemporer
seperti: indie, retro, pemikiran kiri, semangat neo, idealisme sosialis, bahasa slank , dan
perilaku-perilaku yang identik dengan semangat jiwa bebas, tanpa beban, dan
memberontak. Mereka mengklaim diri sebagai Generasi X. 2
Revolusi sikap yang melanda kaum muda dunia tersebut bagai sebuah virus yang
berkembang dengan percepatan yang luar biasa akibat majunya teknologi informasi dan
peradaban. Sikap hidup demikian memunculkan komunitas-komunitas eksklusif
menentang arus mainstream melalui aplikasi-aplikasi dalam ruang ekspresi sosial mereka
seperti musik rock, film-film underground, media indie, anti westernisasi/globalisasi,
pemakaian obat-obat psikotropika (madat), gaya berdandan model punk , dan aplikasi-
aplikasi pada desain komunikasi visual di medium komunikasi mereka. Reaksi ini juga
sebagai bagian dari tindakan represif sistem kekuasaan yang menciptakan marjin kaku,
dengan produk-produk kesewenang-wenangan seperti militerisme, sistem perundang-
undangan, eksklusivitas yang mengedepankan kelompok tertentu misalnya kelompok
cendekiawan, kelompok ahli, munculnya tribalisme dan mentalitas yang mengunggulkan
suku atau kelompoknya sendiri.
Awalnya universalisme mampu mengatasi sikap tribalisme tersebut, namun ketika
modernisme diredefinisi, segala aplikasi modernisme terkena imbasnya pula, lalu sikap
primordialisme ini dipakai sebagai alasan pertikaian setelah perang ideologi.

FORM-FOLLOW-FUNCTION-FOLLOWS-FUN

Metode eklektikisme 3 menjadi telaah dalam posmodern karena menghasilkan gaya


baru dari cukilan/mosaik/kombinasi masa lampau. Pengkombinasian tersebut oleh Swatch

2
Paul Fussel dan Douglas Coupland dalam Kompas, 11 September 2000 menyebut istilah ini menjadi
fenomena anak muda yang menolak kemapanan, menolak apa yang ditetapkan oleh generasi orang tua
mereka -Generasi Baby Boomers, yang berhasil hidup sukses dengan ngotot bekerja, punya rumah serta
mobil mewah sebagai indikator keberhasilan kehidupan-. Sebaliknya, Generasi X ini dicitrakan di Australia
sebagai kelompok komunitas anak muda anak orang kaya yang bermalas-malasan, menolak kerja dan
tanggung jawab, punya rumah dekat pantai agar dapat mandi sinar matahari, dan bersenang-senang.
Penolakan tuduhan bagi Generasi X ini dengan menyebutkan bahwa mereka tetap punya tujuan hidup,
melewatkan sebagian waktu untuk bekerja dari rumah dengan memanfaatkan teknologi, lalu keluar rumah
untuk surfing atau sekedar bergolekan di hangatnya pasir pantai.
3
Eklektikisme adalah kombinasi berbagai gaya dari berbagai seniman, periode, atau kebudayaan masa lalu,
dan meramunya menjadi satu gaya baru.

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 85
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

Catalogue seperti yang dikutip Pilliang (2003) 4 disebut sebagai form-follow-function-


follows-fun. Pendekatan style dalam retro adalah memperlakukan gaya sebagai suatu
bentuk komunikasi yang di dalamnya bukan lagi makna-makna dari pesan (function),
melainkan eforia permainan bebas tanda-tanda dan kode-kode yang didalamnya terdapat
plesetan, humor, kritik, yang diaplikasikan pada produk-produk konsumer.
Esensi retro sebagai wacana reaksi tampak pada gerakan Art & Craft yang timbul
karena kritik terhadap industri modern yang mengubah desain kriya menjadi apa yang
disebut International Style yang adalah sesuatu bersifat massal, dan tidak berjiwa. Art &
Craft sebagai movement oleh seniman-seniman alumni Bauhaus pada 1950-an adalah
retro yang menciptakan kembali ‘roh’ dan merekonstruksi makna alamiah pada desain
kriya 5 . Retro dalam Gerakan Art & Craft justru ‘menyelamatkan esensi, dan makna
desain’ menjadi lebih berjiwa, dan eksklusif, karena subjektivitas kreator kembali
diakomodir dalam desain yang diciptakan.
Retro menjadi wacana mencari kembali makna (meaning) untuk meredefinisi
semangat dalam menciptakan suatu desain; hal ini seperti yang dikatakan Lyotard sebagai
pramodern dalam mendefinisikan postmodern6 . Definisi ini mencerminkan ambiguitas
pemaknaan era ‘setelah modern’ apakah menjadi bentuk baru ataukah kembali ke wacana
lama, mengingat pada era pasca modern timbul suatu pemikiran yang merujuk kembali
era klasik yang tampak pada gerakan mencari kembali makna agung, ruh, atau konsep
pada karya desain yang merujuk pada seni masterpiece.
Retro sebagai gugatan pada modernitas dengan mencari kembali makna atas
eksklusivitas desain, penghargaan setinggi-tingginya atas talenta seniman/desainer, dan
semangat kembali ke alam yang seolah-olah mengkritisi modernitas dengan pemaknaan
kembali sesuai dengan wacana berfikir era form-follow-meaning. Retro pada hakikatnya
mengambil bagian dari masa lalu dan menjadi bagian dari pastiche, kitsch, parodi, dan
camp hanya makna konseptual dan ekspresinya saja yang berbeda7 .

4
Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna, Jalasutra, Yogyakarta,
2003, h.205
5
Arief Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi industri hingga Postmodern , Penerbit Untar, Jakarta
1999, hal. 102
6
Herlianto, Posmodern , artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001
7
Pilliang, ibid. Hal 254

86 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

Retro dalam makna pastiche8 adalah mengimitasi satu bentuk gaya atau objek
untuk tujuan kesenangan, melalui permainan bebas tanda, dan merayakan tanda
ketimbang makna. Secara prinsip retro sebagai revivalisme adalah bentuk dari pastiche
dengan genre yang sama seperti model rujukannya dan mempunyai penekanan pada
persamaannya 9 . Kebebasan merujuk gaya masa lalu menimbulkan tumpang tindih dan
simpang siur kode-kode rujukan tersebut sehingga ungkapan bahasanya menjadi mati
karena tidak memiliki konotasi dan kehilangan makna kontekstualnya 10 . Dalam bahasa
iklan parfum remaja dan album Naif, pendekatan gaya psychedelic yang dipakai menjadi
tumpang tindih dengan konsep bahasa dan tanda psychedelic yang merupakan penanda
dari budaya madat, penyalahgunaan obat psikotropika, yang dicabut begitu saja dan
didefinisikan kembali tanpa mengacu pada pemaknaan asal dan menjadi sebuah sekedar
bahasa estetika form-follow-fun.
Pada kitsch, ‘bahan baku’ konsumen –yang diambil dari masa lalu- direproduksi
menjadi ikonik seni. Kitsch mengimitasi satu bentuk gaya atau objek untuk tujuan dan
fungsi palsu. Misalnya reproduksi mulut figur dinosaurus dalam pintu masuk toko, atau
figur gorila raksasa dalam film Kingkong pada eksterior atap toko di Cihampelas. Retro
ada pada figur Kingkong beserta pesawat terbang remuk digenggaman tangannya;
aplikasi demikian didefinisikan sebagai kitsch karena lemahnya manifestasi kriteria
estetik.
Dalam aplikasi retro sebagai parodi, dikatakan oleh Bakhtin, dalam Pilliang (2003),
bahwa parodi mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, dan tidak nyaman
dengan menghadirkan oposisi/kontras terhadap teks, karya atau gaya satu dengan lainnya.
Situasional kontras dan oposisi sengaja dipilih dengan seleksi terhadap teks, karya, atau
gaya masa lalu. Karena tidak mungkin menghadirkan parodi tanpa pengalaman/referensi
masa lalu yang kemudian direkonstruksi imitasinya. Menurut Linda Hutcheon seperti

8
Menurut Susanto, Mikke dalam Diksi Rupa, Kanisius, Yogyakarta, 2002, hal. 84. Pastiche adalah
penyusunan elemen-elemen yang dipinjam dari perbagai pengarang atau seniman masa lalu, yang miskin
orisinalitas. Pastiche mengambil pelbagai gaya dan bentuk dari kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat
zamannya dan menempatkan dalam konteks kekinian.
9
Hucheon dalam Pilliang (2003) mencontohkan misalnya bahasa arsitektur Romawi yang dihidupkan
kembali dalam arsitektur postmodernisme, di mana imitasinya lebih bebas karena tidak terikat pada satu teks
saja, melainkan terjadi pengkombinasian yang interstyle.
10
Menurut Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts, 1989, di
Las Vegas dapat disaksikan simpang siur dan tumpang tindihnya bahasa-bahasa Mesir Kuno, Romawi,
Renaisans, cowboy, dan sebagainya.

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 87
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

yang dikutip Pilliang (2003), parodi adalah suatu bentuk imitasi yang tidak murni karena
mencirikan kecenderungan ironik. Pengulangan pada parodi bertendensi kritik dan
menghasilkan efek kelucuan11 .
Lebih jauh Hucheon mengatakan bahwa persamaan antara pastiche dan parodi
adalah kebergantungan pada teks, karya, atau gaya masa lalu yang dirujuknya.
Perbedaannya retro yang diprojeksikan sebagai duplikasi, revivalism atau rekonstruksi
pada diskursus pastiche merupakan bentuk ungkapan simpati, penghargaan, atau
apresiasi, sebaliknya parodi sebagai ungkapan ketidakpuasan, dengan sindiran, plesetan,
dan kelucuan12 , dan bahasa/teks yang pertama mengontrol bahasa/teks kedua.
Menurut Susan Sontag, camp adalah memuja masa lalu 13 , meskipun masa lalu
bukanlah satu-satunya inspirasi, hubungannya dengan masa lalu bersifat sentimentil.
Camp adalah satu model ‘fenomena estetisme’, di mana estetik bukan dalam pengertian
keindahan atau keharmonisan, melainkan dalam pengertian kesemuan dan ‘penggayaan’
yang dicirikan oleh upaya-upaya melakukan sesuatu yang luar biasa, berlebihan, glamour,
dan menjanjikan kesemuan sebagai model estetika. Menurut Pilliang (2003) camp
menyanjung tinggi kevulgaran, tidak begitu tertarik pada sesuatu yang otentik atau
orisinil, namun lebih kepada duplikasi dari apa-apa yang telah ditemukan untuk tujuan
dan kepentingannya sendiri. Camp adalah satu bentuk yang mempunyai pengertian
‘menghasilkan sesuatu dari apa-apa yang sudah tersedia 14 . Sebagai satu bentuk seni, camp
menekankan dekorasi, tekstur, permukaan sensual, dan gaya, dengan mengorbankan isi.
Camp bersifat anti alamiah. Objek-objek alam, manusia, dan binatang kerap digunakan
namun secara ekstrim dideformasi; dibuat lebih kurus,ramping, jangkung atau secara
ekstrim dibuat lebih gendut, besar atau lebar. Salah satu contoh keartifisialan tentang hal
ini dapat ditemui pada beberapa karya Art Nouveau dengan bentuk-bentuk tubuh yang
panjang, yang bak melambai pada cetakan dan lukisan Beardsley, atau bentuk-bentuk
dekoratif dan asimetri pada karya Guimard, Gaudi, dan Tiffani.

11
ibid. Hal 214
12
ibid, hal 215
13
Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius, Jogjakarta,2002, hal.25
14
Menurut Pilliang, bahan baku camp adalah kehidupan sehari-hari, atau lebih tepatnya fragmen-fragmen
dari realitas dalam kehidupan nyata, seperti Marilyn Monroe, pakaian wanita, seragam militer, seragam
buruh, Art Deco, yang diproses dan didistorsi sedemikian rupa, sehingga ia menjadi bukan dirinya sendiri-
menjadi artifisial.

88 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

Perkembangan konsep estetisme tidak dapat dipisahkan dari perkembangan


masyarakat industri, yang kemajuannya sangat bergantung pada komoditi. Apa yang
ditawarkan camp adalah antitesis dari konsep kemajuan itu sendiri. Di dalam masyarakat
justru reproduksi yang dijunjung tinggi, yang menghasilkan sebuah dunia barang-barang
konsumer dan menawarkan rangkaian variasi selera dan gaya tanpa batas. Camp lebih
tertarik pada bagaimana makna diproduksi atau direproduksi, juga lebih tertarik pada
gaya yakni bagaimana makna diproduksi ketimbang makna itu sendiri; camp selalu
melibatkan unsur duplikasi.
Sontag menyimpulkan, dalam Pilliang (2003), bahwa ada keterkaitan antara camp
dengan homoseksualitas. Di Amerika, komunitas Gerakan Kebebasan Gay menggunakan
camp secara intensif sebagai senjata politik. Aksi-aksi Front Pembebasan Gay dilakukan
sekelompok pria menggunakan pakaian wanita. Namun, subversivitas camp hanya dalam
batas-batas kebudayaan dan ideologi, bukan pada politik praktis kelompok gay tersebut.
Menurut Kaplan15 kecenderungan camp postmodern adalah kecenderungan
mengangkat kembali ideal-ideal camp masa lalu seperti Art Nouveau, Art Deco, ornamen
androgyne16 , dan bentuk artifisial.

PEMAKNAAN RETRO DALAM APLIKASI DESAIN

Perubahan desain seiring dengan dinamika pola pikir masyarakat, trend, mode, dan
kebudayaan. Makna revisibilitas pada desain serupa dengan ilmu-ilmu empirik.
Mengingat fleksibilitas dan relativitas pada desain yang lebih ‘bebas’ di banding ilmu
pasti, maka revisibilitasnyapun lebih tinggi.
Dalam aplikasi desain, banyak ditemui model perancangan memakai pengulangan
sesuatu yang pernah ada. Semenjak semangat renaissance -yang mengembalikan

15
Pilliang, ibid, hal.227
16
Menurut Kaplan, J, Louise, dalam Female Perversion, Penguin Books, 1991. Androgyne adalah suatu
bentuk penolakan perbedaan seksual yang alamiah, misalnya yang indah pada konsep diri seorang pria adalah
sesuatu yang feminim;dan apa yang memikat pada diri seorang wanita adalah sesuatu yang
maskulin.Androgyne adalah pengelabuhan akan kebenaran seksual melalui gaya, dengan menciptakan
bentuk-bentuk daya pikat seksual, kesenangan seksual yang direkayasa sendiri dengan mengaburkan kategori-
kategori seks yang normal.

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 89
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

kejayaan Romawi17 -, manusia mendefinisikan ulang konsep-konsep retro menjadi


beragam aplikasi, dengan motif tertentu yang bersifat transformatif. Klasisisme menjadi
salah satu aplikasi retro yang cukup penting, menjadikannya model dan menciptakan
semangat18 .
Dalam kaitan menghadirkan romantisme kejayaan masa lalu, PSSI menggunakan
kembali desain kostum kesebelasan nasional era tahun 50 sampai 60-an di mana kejayaan
sepakbola masih menjadi milik Indonesia. Namun ironisnya, para pemain sekarang yang
rata-rata berusia muda (kelahiran tahun 1980-an), kurang menjiwai semangat kejayaan
tersebut sehingga unsur retro sebagai ikon menghadirkan romantisme kejayaan
persepakbolaan Indonesia menjadi kurang efektif. Pada retro, unsur-unsur lama menjadi
referensi (menciptakan berdasarkan model terdahulu), atau re-evaluasi (memberi nilai
baru), atau restorasi (mengembalikan/pemulihan), atau retrofleksi (keadaan membengkok
ke arah belakang) atau berkembang menjadi retrogesif (bersifat mundur;bertambah
buruk), atau bahkan deformasi. Retro menjadi semacam gerakan romantik dan menjadi
katarsis dalam proses menghasilkan suatu karya desain.
Dalam kaitan gerakan revival, retro menjadi semangat untuk mengembalikan
makna agar desain memperoleh kembali ekslusivitasnya. Hal ini nampak dalam gerakan
Art & Craft dan Art Nouveau, yang menempatkan retro sebagai katarsis emosi kreatif
seniman. Dalam gerakan Bauhaus, retro dipakai sebagai reinterpretasi seni
19
ekspresionisme namun ditransformasikan kedalam pendekatan rasional. Pendekatan
yang seolah kontradiktif tersebut, karena wacana seni ekspresionisme yang mempunyai
subyektivitas tinggi, dipakai sebagai ‘standard of excellence’ nilai estetika dan
fungsionalis yang abadi dan universal. Proses yang kontradiktif ini mungkin saja terjadi
karena adanya asimilasi kebutuhan antara desainer dengan penikmat/pengguna desain.
Pada Futurism dan Construktivism (dua gerakan romantik yang menjadi garda
depan desain di Italia dan Rusia) digunakan Kubisme sebagai pendekatan retro-nya.

17
Dalam gerakan renaissance, terdapat istilah ‘gaya gothic’ yang artinya ‘gaya orang barbar’ dan merupakan
sindiran kaum renaissance terhadap gaya arsitektur Suger yang menentang arus mainstream retro Yunani dan
Romawi kuno tersebut.
18
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, hal 507, Klasisisme
adalah peniruan langgam seni (kebudayaan, sastra) Yunani dan Romawi kuno, yang ditandai dengan
pengutamaan bentuk, kesederhanaan, dan penguasaan emosi, seperti yang terjadi pada abad ke 18.
19
Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern , Penerbit Universitas
Tarumanagara, Jakarta, 1999.Hal. 62

90 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

Ironisnya, awal munculnya gerakan Kubisme adalah sebagai pemutusan hubungan masa
lalu dan penolakan tradisi. Namun pada Futurism dan Construktivism, Kubisme
mengalami re-evaluasi nilai-nilai intrinsiknya sehingga mengakomodir nilai-nilai masa
lalu dan tradisi.
Ketika Picasso melukis ‘Les Demoiselles d’Avignon’ pada tahun 1907 ia
mengambil (baca: me-retro) unsur-unsur primitif Iberia dan bentuk topeng kuno Afrika.
Menurut para kritikus seni, lukisan itu sebagai visualisasi konflik pemikirannya tentang
seks20 . Menurut para kritikus seni, metode retro pada lukisan Picasso tersebut dipakai
sebagai visualisasi pertentangan pemikirannya antara faham kuno Iberia dan Afrika
dengan revaluasi deformatif pada definisi seks, dari konsep ‘tugas alam’ menjadi
reproduksi, kesenangan, maupun eforia, sebuah konsep seksual yang ambigu. Inikah
model pendekatan camp ataukah mendefinisikan konsep seks kuno sesuai pola fikir
masyarakat tahun 1907 melalui media lukisan.
Retro dalam konsep menambah gaya/menggayakan muncul dalam Art Deco, yang
merupakan gerakan era akhir modern yang memvisualkan simbol-simbol kemajuan jaman
dengan ornamen dekoratif yang digayakan. Art Deco menggunakan retro gaya Cubism,
Fauvism, Gaya Mesir dan Indian Aztec. Estetika Art Deco adalah modernistik yaitu
perpaduan antara bentuk baru yang disederhanakan dengan kecenderungan dekoratif
lama 21 . Art Deco dikritik sebagai gerakan tanpa ideologi, berisi kebebasan, anarkis, dan
suasana karnaval. Kritikan tersebut terjadi mengingat gaya ini timbul pada masa modern
akhir, dimana terjadi pendekonstruksian teks dan konsep makna penanda. Pemaknaan
retro model begini dianggap merupakan retrogresif (bersifat kemunduran) karena kriteria
yang dipakai untuk mengkritisi memakai konsep form follow meaning. Apabila
menggunakan konsep berorientasi pada konsumen tentu berbeda, sebab Art Deco adalah
memenuhi fantasi futuristik konsumen.
Retro pada Pop Art mengambil unsur-unsur tradisional Amerika dan unsur-unsur
yang berasal dari idiom dalam media massa koran ataupun komik, seperti teknik
pewarnaan datar/blok, pemakaian outline pada gambar dan photo montage. Unsur sisi

20
ibid, hal. 37
21
ibid, hal.67

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 91
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

tradisional pada Pop Art, menurut Adityawarman (1999),22 adalah tipe huruf, ornamen-
ornamen etnik, dan semangat mengangkat kembali gaya Art Deco, Art Nouveau. Desain-
desain Pop Art ini dipakai sebagai media ekspresi dari gerakan-gerakan protes sosial
seperti lingkungan hidup, anti perang Vietnam, persamaan gender, anti kemapanan, dan
musik rock (alternatif). Salah satu gaya yang terkenal dari Pop Art adalah psychadelic art,
yang menurut Meggs (1992) gaya ini dikaitkan dengan persepsi kecanduan obat-obatan
psikotropika. Kebanyakan para pedesain komunikasi visual memakai gaya ini karena
tuntutan klien grup musik rock dan promotor pertunjukan panggung 23 . Esensi
visualisasinya adalah taburan kilau warna-warni cahaya pada stage beserta penyanyi dan
penari latarnya.
Secara visual ciri psychadelic art adalah penggunaan warna terang, cerah dan
kombinasi warna komplementer (misalnya hijau dan merah, atau oranye dan ungu),
memakai garis dan bentuk yang lentur sehingga gambar menjadi tidak realis, atau kurang
jelas, tipografi kehilangan legibilitasnya karena bentuk yang melengkung berirama. Foto
ditampilkan dengan kontras tinggi, hitam putih atau mengikuti warna komplementer yang
dipakai24 . Awal retro pada psychedelic art adalah dengan meretrospeksi Art Deco and Art
Nouveau menjadi bentuk yang retrogesif atau bersifat mundur, karena pemaknaan pada
desain yang merujuk pada budaya madat. Namun pada gaya desain kontemporer yang
dipakai saat ini, justeru retro gaya psychedelic dipakai untuk merujuk atmosfir era 60-an
tanpa mengkaitkan dengan asumsi madat, musik rock, budaya anti, dan konotasi negatif
lainnya. Ini sekaligus menjadi ‘kenangan kembali’ yang merevaluasi/mereformasi nilai
psychedelic menjadi lebih ‘beradab’. Tetapi sebagai diskursus penanda, gaya retro
psychedelic kontemporer menjadi sekedar mengungkapkan kembali kenangan ‘pandang
balik’ belaka tanpa makna transenden, serta menjadi bagian dari konsep ‘suka-suka’
belaka. Akhirnya, retro pada era kontemporer sangat mungkin tidak sekedar menjadi
alternatif rujukan bagi penciptaan gagasan baru, namun menjadi sebuah konsep yang
transformatif -yang berubah-ubah bentuknya-; retro menjadi sesuatu yang sifatnya
sementara, tak sempurna, dan dapat dikaji ulang, diperbaiki, bahkan ‘dirusak’ lagi makna
filosofisnya.

22
Adityawarman, ibid, hal 101
23
Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992, Hal. 442

92 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
RETRO SEBAGAI WACANA DALAM DESAIN KOMUNIKASI VISUAL (Andrian Dektisa Hagijanto)

Retro yang dipakai sebagai fenomena, media, bahkan wacana dalam diskursus
posmodern menjadi model-model aplikasi yang bersifat eksperimental, fleksibel, subtil,
tanpa makna dan subjektif, namun menjadi trend, mode, bahkan disukai masyarakat,
sama seperti konsep Studio Alchimia yang menerapkan hal tersebut sebagai wujud
revivalism dalam desainnya 25 . Dalam hal ini, Victor Papanek mengkomentari Studio
Alchimia sebagai ‘stylistic protest movements-primarily in the field of furniture-that tried
to expose the visual poverty of the late Modern Movement through promoting non-
functioning devices26 ’

SIMPULAN

Retro memberikan fenomena alternatif dalam pendekatan desain komunikasi


visual. Sebagai gaya romantik, retro tidak hanya sekedar mengambil masa lalu untuk
menghadirkan kembali kenangan, namun dapat didefinisikan menjadi beragam makna,
memberi definisi baru, menunjukkan nilai baru dengan memperbaiki, memulihkan,
bahkan bersifat mundur, ‘merusak’ dan membengkok dari konsep semula.
Retro menjadi diskursus postmodern karena dianggap bagian dari kitsc, pastiche,
parodi, dan camp yang masing-masing mencari definisinya pada retro dengan berbagai
tinjauan konseptualnya karena fenomena retro makin menunjukkan sebagai wacana yang
tak berbentuk, dan tiada bermakna sebagaimana konsep posmodern ‘form follow fun’.
Pada diskursus era tersebut, function yang semula diusung oleh model atau petanda pada
era sebelumnya menjadi bernilai ambigu ketika mengalami retro. Dengan kondisi itu
pula, masing-masing subjek ataupun objek yang ‘berkomunikasi’ menggunakan retro,
menemukan katarsisnya tanpa merasa bertanggung jawab atas konsep nilai atau
kontribusi yang diusungnya sebagaimana contoh iklan pewangi pakaian yang mengangkat
retro gaya psychedelic . Ketika ‘konsep’ dan ‘telaah’ psychedelic dipakai sebagai acuan
untuk mengkritisi/menemukan ‘nilai’ dan ‘makna’ iklan tersebut, menjadi sebuah hal

24
Adityawarman, ibid, hal 104
25
Alessandro Mendini, salah seorang penganjur desain posmodern dari Italia yang mendirikan studio
Alchimia menggunakan teknik ketrampilan tangan, warna, dan bentuk dekoratif ataupun simbol-simbol masa
lalu (sebagai wujud revivalisme). Konsep Studio Alchimia ini adalah kenangan dan hal-hal yang tradisional
adalah penting. Dan menggunakan model-model eksperimental dalam produksi desainnya .
26
Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture, Thames and
Hudson, London, 1995, hal.55

Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra 93
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/
NIRMANA Vol. 6, No. 1, Januari 2004: 82 - 94

yang sulit, sebab nilai yang dipakai adalah kebaruan, dan semangat yang dipakai adalah
simulasi budaya konsumen, dan konsep komunikasinya mengacu pada trend dan model
yang tengah disukai tanpa perlu mencari makna filosofis bagi pendekatan retro tersebut.
Inilah yang terjadi pada retro di masa kontemporer.

KEPUSTAKAAN

Adityawan, Tinjauan Desain, Dari Revolusi Industri hingga Posmodern, Penerbit


Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1999.

Diah Marsidi, ''Baby Boomers'', Generasi X dan Gaya Hidup, Artikel pada Kompas, 11
September 2000.

Herlianto, Postmodern, artikel di www.in-christ.net/yba yang didownload 10 Juni 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.

Kaplan, J, Louise, Female Perversion, Penguin Books, New York, 1991.

Longman, Dictionary of Contemporary English, 3d Edition, Longman, 2001.

Megs, Phillip B, A History of Graphic Design, New York: Van Nostrand Reinhold, 1992.

Papanek, Victor, The Green Imperative, Ecology and Ethics in Design and Architecture,
Thames and Hudson, London, 1995.

Pilliang, Yasraf Amir, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna,
Jalasutra, Yogyakarta, 2003.

Susanto, Mikke, Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa, Penerbit Kanisius,
Jogjakarta,.2002.

Venturi, Brown & Izenour, Learning From Las Vegas, The MIT Press, Massachusetts,
1989.

94 Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://puslit.petra.ac.id/journals/design/

Anda mungkin juga menyukai