Anda di halaman 1dari 6

MALING !!!

Cerpen oleh Andrie Prasetyo

Udara panas Jakarta terasa begitu membakar. Matahari tampak begitu

perkasa menghujani bumi dengan sinarnya. Para pedagang minuman dingin

mulai dari cendol, dawet, susu kedelai, hingga minuman kemasan, berjajar di

pinggir jalan, mencoba mengais rizki dan memanfaatkan keadaan. Mereka

berharap agar semakin banyak orang yang kehausan, yang berarti makin banyak

orang yang akan membeli dagangan mereka. Di sisi kiri jalan yang lain juga

terdapat deretan. Kontras dengan sisi jalan di seberangnya, sisi jalan yang satu

ini dipenuhi mobil-mobil mewah keluaran terbaru. Seorang petugas parkir

berseragam biru dengan cekatan memberi arahan kepada pengemudi sebuah

mobil untuk parkir, tepat di depan tanda huruf P yang dicoret. Beberapa menit

kemudian, sang petugas parkir kembali mengarahkan mobil lain yang hendak

pergi. Pengemudi mobil tersebut memberi dua lembar uang bergambarkan

pahlawan nasional dari Maluku, tanpa ada bukti parkir apapun yang diberikan

padanya. Sesekali lewat beberapa pengemis yang membawa anak kecil, yang

mereka sewa untuk memancing rasa iba para penderma. Begitulah Jakarta,

kesulitan hidup memaksa para penghuninya untuk memanfaatkan celah sekecil

apapun.

Ari adalah satu di antara para pencari celah itu. Ia berada di tempat parkir

itu untuk mencari celah. Celah untuk mempertahankan hidup, paling tidak hingga

esok hari. Kaus oblong warna birunya basah oleh keringat. Matanya menjelajah,

1
meneliti satu persatu mobil di sana. Pandangannya terhenti pada mobil sedan

hitam keluaran Eropa yang terlihat mencolok dibandingkan yang lain. Ia

mendekatinya perlahan sambil mengecek keadaan. Aha, si tukang parkir sedang

tidak ada.. Setelah dirasa aman, ia mulai mengakali kunci mobil tersebut.

Ternyata Ari bisa mempraktekkan dengan baik ‘ilmu’ yang diajarkan Bang Jek

padanya, alarm mobil itu dengan mudah ia lumpuhkan. Sekarang, ia tinggal

mencopoti monitor LCD mini yang ada di bagian depan interior mobil, dan

menyerahkannya pada Bang Jek. Ia begitu terampil, seakan-akan ia sudah

sering melakukannya.”Yak…satu baut lagi,” gumam Ari. Sungguhpun demikian,

sebenarnya ia takut. Takut ketahuan. Takut tertangkap polisi. Takut ibunya yang

sedang dirawat di rumah sakit tahu, bahwa anak sulungnya yang sehari-hari

berdagang koran beralih profesi jadi maling demi membiayai pengobatannya.

Naas, isteri sang pemilik mobil yang ingin menaruh barang di mobilnya

memergoki Ari sedang beraksi. Sang nyonya refleks berteriak, “Maliiiiing!!!!

Maling mobil !!!” “Maling? Mana malingnya? Mana?” teriakan si nyonya

memancing reaksi dari orang-orang di sekitar. Dalam beberapa saat, Ari

dihadiahi ratusan bogem mentah hingga wajahnya dipenuhi bengkak dan lebam.

“Dasar maling, lu !!!”

“Kurang ajar, maling brengsek!!!”

“Berani-beraninya lu nyolong di sini?!”

Dengan beringas, massa yang marah membawanya ke kantor polisi

terdekat. Dalam hati, Ari bersyukur orang-orang itu tak sampai membakarnya

2
hidup-hidup Akan sangat memalukan baginya, jika harus mati sebagai seorang

maling dan diiringi sumpah serapah.

***

“Kenapa kamu nyolong?!!” tanya polisi yang menginterogasi Ari.

“Saya butuh uang, Pak…”

“Buat apa?”

“Ibu saya...”

“Ibu kamu yang nyuruh kamu nyolong ?”

“Bukan.”

“Siapa?!”

“…”

“Heh, jawab!!! Bisu ya?!”

“Nggak ada, Pak…Nggak ada yang nyuruh saya. Semua kemauan saya

sendiri. ”

Ari tak mengaku, mengekspos identitas Bang Jek kepada polisi sama saja

merelakan dirinya dipukuli sampai mati di kemudian hari. Memang begitulah

Bang Jek. Ia menolong siapapun yang butuh uang, namun dengan bunga yang

sangat tinggi. Jika tak mampu bayar, maka si penghutang dipaksanya menjadi

anak buahnya dan mencuri atau menodong seperti yang lain. Ketahuan? “Bukan

urusan gue…” kata Bang Jek tempo hari. Setelah interogasi selesai, ia dikirim ke

ruang tahanan. Samar-samar ia mendengar si nyonya pemilik mobil menelepon

suaminya.

3
“Pi…Mami sekarang lagi ada di kantor polisi. Itu lho, tadi ada orang buka

paksa mobil kita dan mau nyuri monitor LCD kita. Anaknya sih masih muda,

seumuran Tony anak kita…Mami jadi nggak tega sama dia. Papi ke sini dulu

deh…”

Beberapa menit kemudian, suaminya tiba. Keadaan di kantor polisi

menjadi agak gaduh, karena ternyata si suami bukan orang biasa. Semua orang

mengenali siapa ia, karena pernah melihatnya di surat kabar dan televisi,

sungguhpun ia bukan artis yang segala gerak-geriknya selalu dibuka ke publik.

Ia kelihatan begitu tenang, rambut hitam bercampur keperakannya disisir rapi

ke belakang membuat dahinya terlihat lebar. Masih terlihat ketegapan di

tubuhnya, sisa-sisa pengabdiannya di laskar negara. Namun tubuhnya tak

terlihat selayaknya tubuh biasa. Perutnya begitu buncit, tak serasi dengan

lengannya yang kencang dan lumayan berisi.

Ari pun tak kalah kaget melihat kedatangannya. Orang itu menyapa

isterinya, lalu bertanya kepada petugas di kantor polisi. Ia kemudian melihat ke

arah Ari. Ia lalu berkata, “Jadi kamu yang sudah menjebol pintu mobil saya…

Masih muda kerjaannya mencuri, mau jadi apa kamu nanti? Nggak pernah

diajarin sama guru kamu di sekolah, mencuri itu dosa ?!”

Ari terperangah mendengar kata-kata si bapak paruh baya. Awalnya dia

hanya terdiam, sebagaimana biasanya bila ia dinasehati ibunya. Entah dari

mana, muncul sebuah kekuatan dalam dirinya yang selama ini selalu merasa

rendah diri untuk membalas kata-kata sang tuan yang terhormat. Darahnya

4
terasa menggelegak. Ia merasa semua ini tak adil. Ia tahu siapa bapak paruh

baya itu. Ia tahu.

“Gua gak butuh nasehat dari koruptor tua menjijikan kayak lu!!! Lu udah

tua bukannya taubat malah korupsi uang Negara. Gua nggak pernah tamat

sekolah, itu karena lu dan temen-temen lu yang bikin Negara ini tambah

miskin!!!. Karena koruptor kayak lu, gua dan temen-temen gua gak pernah bisa

mengalami indahnya masa sekolah. Kami harus kerja keras membanting tulang

untuk sekadar bertahan hidup. Karena lu, orang miskin kayak gua tambah

miskin. Gua nggak tahu kenapa lu yang udah masuk pengadilan bisa bebas.

Gua gak tahu udah berapa banyak uang Negara yang lu pakai foya-foya. Gua

mungkin gak pernah tamat SMU, tapi bukan berarti gua bego. Bahkan jika orang

kayak gua tahu kalau lu koruptor, rasanya hakim pengadilan seharusnya gak

sebegitu bodoh. Kalo gua pantas dihukum begini, lu pantas dihukum mati!!!” Ari

berteriak, ia tak peduli lagi tentang apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Ia

hanya ingin mengeluarkan segala yang ia rasakan. Ia mengeluarkan segala

kekesalan yang ia pendam selama ini. Kekesalan pada aparat Negara yang

menzalimi orang-orang miskin seperti dirinya. Kekesalan kepada orang-orang

yang tega membunuh anak-anak bangsanya demi kesejahteraan pribadi.

Kemarahan, kekecewaan, sekaligus keputusasaan bercampur jadi satu dan

meledak.

Ucapan Ari terdengar menggelegar, mengagetkan semua orang yang ada

di kantor polisi tersebut. Istri si pemilik mobil terlihat melongo, para petugas tak

bisa menyembunyikan kekagetan mereka namun dengan cepat dapat

5
menguasai diri. Wajah sang pria paruh baya berubah memerah, napasnya

memburu, “Anak kurang ajar!!! Bocah tak tahu diri!! Pak, saya mau melaporkan

anak ini atas perbuatan tidak menyenangkan dan pencemaran nama baik !!!

Pastikan anak ini dihukum seberat-beratnya !!!”

Polisi yang dilapori oleh mantan pejabat itu menampakkan ekspresi wajah

yang aneh. Di dalam hatinya ia mengakui bahwa si mantan pejabat memang

seorang koruptor, dan apa yang Ari katakan benar adanya. Tindak KKN yang

dilakukannya sudah menjadi rahasia umum. Di lain sisi, pengadilan secara

formal tak bisa membuktikan ia bersalah

“Lu seharusnya gak ngomong begitu. Lu cuma bikin tambah susah diri lu

sendiri.” komentar tahanan lain yang satu sel dengan Ari.

Ari tak mendengar komentar teman satu selnya. Pikirannya melayang.

Berharap Allah masih mau mengampuni dosanya, berharap ibunya tidak keburu

meninggal dulu, berharap adik-adiknya bisa makan hari ini.

Cidodol, 30 April 2008

Anda mungkin juga menyukai