Anda di halaman 1dari 7

3 Maret 2011 (unpublished).

Kemana Arah Pembinaan dan Pengembangan


Industri Penunjang Migas?

Oleh: Gamil Abdullah

TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) satu paket dengan tata kelola pengadaan
barang dan jasa di kegiatan usaha hulu Migas. Adanya kebijakan preferensi terhadap
TKDN sebetulnya merupakan salah satu bentuk proteksi industri dalam negeri. TKDN
pengadaan barang dan jasa di sektor hulu Migas menunjukkan peningkatan dari tahun
ke tahun. Beberapa media memberitakan di tahun 2010 TKDN pengadaan barang dan
jasa di kegiatan usaha hulu Migas secara agregat telah mencapai 64%, melampaui target
blue print TKDN sebesar 55% untuk tahun 2010. Namun, apakah hanya dengan
paramater TKDN – dimana hal ini merupakan implementasi kebijakan di sisi hilir tata
kelola perindustrian – sudah bisa dijadikan indikator “kemandirian” dan “sustainability”
industri penunjang Migas kita?

Sebetulnya keberhasilan berindustri tidak cukup dilihat dari level TKDN-nya saja, tetapi
juga harus dilihat dari resources-nya, yaitu siapa atau milik siapa resources yang
menggerakkan industri dalam negeri tersebut. Jadi, lebih dari sekedar TKDN (Local
Content) adalah Indonesia Content. Jika dalam sebuah industri porsi Indonesia Content-
nya makin lama makin bertambah, maka itu berarti kebehasilan dalam berindustri.
Sebaliknya, bila Indonesia Content-nya makin lama malah makin berkurang – apalagi
sampai ada industri yang dijual ke pihak asing, maka ini merupakan set back – sebuah
kemunduran, berapapun TKDN-nya.

Overview Proteksi Industri

Proteksi terhadap industri dalam negeri dari sisi kebijakan paling tidak dilakukan dengan salah
satu atau kombinasi dari dua cara ini: (i) Tariff barrier – penerapan bea masuk dan pajak-
pajak dalam rangka impor terhadap produk impor, dan (ii) Non tariff barrier – pembatasan
kuota sampai pelarangan terhadap produk impor.

Industrialisasi di negara berkembang, terutama industri manufaktur (manufacturing


industries), pada umumnya dilakukan dengan strategi subsititusi impor, yaitu serangkaian

1
 

 
usaha untuk mencoba membuat sendiri berbagai komoditas yang semula selalu diimpor dengan
mengalihkan permintaan impor ke sumber-sumber produksi dan penawaran dari dalam negeri.

Tahapan pelaksanaan strategi yang pertama biasanya adalah pemberlakuan hambatan tarif
(tariff barrier) atau kuota terhadap impor produk-produk tertentu. Selanjutnya disusul dengan
membangun industri domestik untuk memproduksi barang-barang yang biasa diimpor
tersebut. Hal tersebut biasanya dilaksanakan melalui kerja sama dengan perusahaan-
perusahaan asing yang terdorong untuk membangun industri di kawasan tertentu dan unit-unit
usahanya di negara yang bersangkutan, dengan dilindungi oleh dinding proteksi berupa tarif.
Selain itu, mereka juga diberi insentif-insentif seperti keringanan pajak, serta berbagai fasilitas
dan rangsangan investasi lainnya.

Dengan adanya tarif itu maka pada dasarnya konsumen mensubsidi para produsen domestik
melalui harga yang lebih tinggi. Namun dalam jangka panjang, para penganjur proteksi bagi
sektor-sektor infant industry di negara berkembang menyatakan bahwa masing-masing pihak
akan diuntungkan begitu para produsen lokal mencapai skala ekonomis dan mampu
melakukan efisiensi. Produksi domestik selanjutnya akan mampu melayani pasar domestik
maupun pasar-pasar dunia. Kalau itu sudah tercapai, maka semua pihak, yaitu para konsumen,
produsen, serta para karyawannya akan diuntungkan, tarif akan dihapuskan, dan pemerintah
akan memperoleh pajak penghasilan dari produsen domestik yang telah mapan itu sebagai
ganti pajak impor yang dihapuskan tersebut.

Jadi, tujuan strategis jangka panjang dari kebijakan proteksi menurut argumen
infant industry adalah agar industri di sebuah negara mampu mandiri,
memperkuat kemampuan sendiri (indigenous capabilities), dan mampu
melepaskan diri dari ketergantungan terhadap sumber daya impor.

Beberapa Isu/Concerns dalam Tatanan Industri Nasional Kita

ƒ Industri Indonesia sangat tergantung pada impor sumber-sumber teknologi dari negara
lain, terutama negara-negara yang telah maju dalam berteknologi dan berindustri
(industrially developed countries). Ketergantungan yang tinggi terhadap impor teknologi
ini merupakan salah satu faktor tersembunyi sekaligus menjadi penyebab utama kegagalan
dari berbagai sistem industri dan sistem ekonomi di Indonesia. Ketergantungan terhadap
impor teknologi ini juga, disadari atau tidak, merupakan salah satu penyebab yang
menjadikan Indonesia terus-menerus tergantung pada hutang luar negeri.

ƒ Secara intrinsik, baik pada tataran nasional maupun internasional, sistem industri
Indonesia tidak memiliki kemampuan responsif dan adaptif yang mandiri. Karenanya
sangat lemah dalam mengantisipasi perubahan dan tak mampu melakukan tindakan-
tindakan preventif untuk menghadapi terjadinya perubahan tersebut.

2
 

 
ƒ Gerak ekonomi Indonesia sangat tergantung pada arus modal asing yang masuk ke
Indonesia serta besarnya cadangan devisa yang terhimpun melalui perdagangan dan hutang
luar negeri.

ƒ Komposisi komoditi ekspor Indonesia pada umumnya bukan merupakan komoditi yang
berdaya saing, melainkan karena adanya keunggulan komparatif (comparative advantage)
yang berkaitan dengan (i) tersedianya sumber daya alam; dan (ii) tersedianya tenaga kerja
yang murah.

ƒ Komoditi primer yang merupakan andalan ekspor Indonesia pada umumnya dalam bentuk
bahan mentah (raw material) berbasis sumber daya alam yang kecil nilai tambahnya.

ƒ Para pelaku industri dalam negeri belum memposisikan IPTEK (science & technology)
sebagai hal yang urgent dalam membangun keunggulan kompetitif. Hal ini terlihat dari
lemahnya R&D dan rendahnya tingkat ‘industrialization of intelligence’ (pengindustrian
inteligensi).

ƒ Belum adanya implementasi kebijakan yang dirasakan dapat men-drive para pelaku
industri agar mengembangkan industrinya ke arah proses produksi hulu.

ƒ Perusahaan-perusahaan yang berkecimpung dalam sektor-sektor yang diproteksi itu – baik


perusahaan milik pemerintah maupun swasta – ternyata menyalahgunakan segala
perlindungan dan kemudahan yang disediakan pemerintah. Karena merasa sangat nyaman
di bawah perlindungan proteksi tarif yang membebaskannya dari tekanan-tekanan
persaingan, mereka justru terlena sehingga modus operasi bisnisnya menjadi tidak efisien
dan tidak berdaya saing.

ƒ Keuntungan yang diperoleh (pada sebagian besar pelaku industri) tidak mereka
investasikan untuk membangun fasilitas proses produksi hulu, tetapi mereka gunakan
untuk membangun industri lain => Berkembang ke arah samping, bukan ke arah
hulu.

ƒ Pengambil manfaat (keuntungan) utama dari proses substitusi impor tersebut ternyata
adalah perusahaan-perusahaan asing yang bertindak sebagai prinsipal selaku pemasok
bahan baku, teknologi, finansial, dan sumber daya lainnya. Ini teramati secara gamblang di
industri otomotif – yang hingga kini setelah empat dasawarsa hanya mampu merakit saja.
Karena sangat tergantung pada sumber-sumber impor tersebut, dan, si sisi lain adanya
kebijakan protektif, maka harga mobil di Indonesia rata-rata dua setengah kali harga mobil
sekelas di Amerika Serikat. Indonesia hanya dijadikan pasar empuk dan tukang
bayar dengan harga yang lebih mahal dari yang semestinya! Ini semua gara-
gara ketidakmampuan kita mandiri dalam berindustri.

3
 

 
Outloo
ok Kegiata
an Usaha Hulu
H Miga
as di Indon
nesia

• Minnyak dan Ga
as Bumi ma
asih akan mendominas
m si bauran energi primeer nasional sampai 20
tahu
un mendataang.

• Biayya “Cost Reecovery” meenunjukkan


n peningkattan sejalan dengan pen
ningkatan investasi
i di
sekttor hulu Migas dalam beberapa
b ta
ahun terakhir.

• Cad
dangan min nyak makin menipis da an lapangan n-lapangan yang matu
ure mengalami proses
natu
ural decliniing. Sementara kita tettap dituntu
ut meningka
atkan produ
uksinya darii level yang
seka
arang ini.

• Kebbutuhan gas meningkat: (i) eksp por untuk penambah han devisa, dan (ii) pemenuhan
p
kebutuhan domestik (ind dustry dan
n rumah ta angga). Aka
an banyak pipanisasii gas serta
fasillitas produk
ksi dan pengolahan gass lepas panttai.

• Cad
dangan Mig gas Indonessia di masaa depan: (ii) berada di
d lepas pan
ntai (laut dalam)
d dan
daerrah-daerah frontier, (ii) sumber energi non
n konven perti CBM (Coal Bed
nsional sep d
Metthane).

4
 

 
Tantangan Industri Penunjang Migas

• Terus-menerus meningkatkan kapabilitas sendiri (indigenous capabilities) sehingga tidak


hanya sekedar “Local Content”-nya yang meningkat, tetapi “Indonesia Content”-nya pun
meningkat pula:

(i) Memandang penguasaan “IPTEK” sebagai sesuatu yang urgent dan sebagai focal
point dalam membangun keunggulan kompetitif dalam industri;
(ii) Peningkatan kemampuan sumber daya finansial, menambah investasi (kapital), dan
kualitas sumber daya manusia;
(iii) Cluster industri penunjang memiliki fasilitas produksi dari hulu sampai hilir
(integrated).

Pada akhirnya diharapkan industri nasional kita tidak hanya sekedar membuat produk
“made in Indonesia”, tetapi “made by Indonesia”.

• Dalam jangka panjang, gerak industri penunjang tidak lagi tergantung pada “kebijakan
keberpihakan” dari Regulator sehingga mampu berkompetisi tidak hanya dalam skala
nasional, tetapi juga regional dan internasional.

Peluang Industri Penunjang Migas

• Minyak dan Gas Bumi masih mendominasi bauran energi primer (primary energy mix)
nasional ÆÆ Masih terbuka peluang luas untuk berpartisipasi dalam pengadaan
barang/jasa di sektor hulu migas.

• Cadangan masa depan migas Indonesia terletak di lepas pantai (bahkan laut dalam) ÆÆ
Terbuka peluang untuk “mengambil alih” porsi “Import Content” menjadi TKDN.

• Pemerintah sudah mulai mengembangkan non conventional gas seperti CBM. ÆÆ Terbuka
peluang dan lahan bisnis baru guna memenuhi kebutuhan operasional eksplorasi dan
eksploitasi lapangan-lapangan CBM.

• Adanya good will para kontraktor untuk kerjasama (konsorsium) dalam menggarap proyek-
proyek berskala kompleks, hi-tech (terutama proyek-proyek lepas pantai), dan bernilai
besar (Dapat difasilitasi oleh Asosiasi) ÆÆ Dalam rangka meningkatkan TKDN sekaligus
mengamankan pangsa pasar lokal.

Strategi Pengembangan Industri

• Membangun fasilitas produksi ke arah hulu: (i) Adanya dukungan finansial: penyisihan
dari pendapatan, pinjaman dari perbankan, tambahan investasi; (ii) Paket kebijakan,
infrastruktur, dan birokrasi yang mendukung.
5
 

 
• Proses alih tek
knologi. Dapat bekerja
asama deng
gan institusi teknologi seperti lem
mbaga riset
&D) dan Perrguruan Tin
(R& nggi.

• FDII (Foreign Direct Invvestment) diarahkan


d ke
k industri baru yang
g dapat meenghasilkan
inpu
ut perantara
a bagi indusstri yang su
udah ada.

• Stra
ategi agar resources yang meenggerakkan industrii dikuasai//dimiliki oleh
o orang
Indo
onesia. ÆÆ
ÆÆ Menuju u 100% TKD
DN dan 100% Made by
y Indonesia..

What Is
I Ultimatte Goal?

• Jika
a sasarannyya hanya meningkatk
m kan TKDN N, maka peengembangaan industri diarahkan
ke pembangun
p nan fasilitas produksi hulu (upstreeam producction facilitiies).

• Jika
a sasarannyya adalah “k
kemandirian berind dustri” (tid
dak sekedarr peningkattan TKDN)
makka resourcees yang menggerakka
m an industrii juga haruus dikuasaii/dimiliki oleh
o orang
Indo
onesia, sehiingga Indon
nesia mamp
pu membuaat produk “M Made by In
ndonesia”.

Pengembbangan induustri:
Sekedarr “Made in Indonesia”
I a
atau mengarah ke “Mad
de by Indonnesia”?

6
 

 
Beberapa Pertanyaan Kunci (Key Questions)

• TKDN menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apakah ini dapat dijadikan
indikator “kemandirian” dan “sustainability” industri penunjang Migas?

• Apakah angka TKDN yang dicapai sudah merupakan “nilai nyata” dan terasa efeknya bagi
pengembangan industri kita?

• Apakah berbagai kebijakan protektif yang ada hanya diarahkan untuk peningkatan TKDN
semata?

• Apakah kita sudah cukup puas dengan sekedar dijadikannya Indonesia sebagai basis
pembuatan produk “Made in Indonesia”?

• Apakah kita tidak ingin mengarah ke strategi jangka panjang agar Indonesia mampu
membuat produk “Made by Indonesia”?

Pertanyaan terakhir:

Mau kemana sebenarnya arah pembinaan dan pengembangan industri penunjang


Migas? Jawabannya: tergantung pada para pemangku kepentingan – terutama para pelaku
utamanya.
{eof}

DISCLAIMER:  Penulis  adalah  seorang  pembelajar  yang  tertarik  dengan  isu‐isu  energi,  industry,  dan 
tata kelola pemerintahan. Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis, tidak dimaksudkan untuk 
mencerminkan pendapat atau kebijakan instansi tempat penulis bekerja.

7
 

Anda mungkin juga menyukai