Bab 4 Editan Anyar
Bab 4 Editan Anyar
dibandingkan dengan pola budaya menurut ajaran tauhid yang rasional; pola
budaya menurut ajaran tauhid sufi terlalu menekankan dimensi rasa (dzauq).1
kegersangan58
spiritual dan frustasi dalam masyarakat modern. Namun Sufisme
dengan ilmu kasyaf-nya punya dasar pikiran bertolak belakang dengan alam
Dalam segi ajaran, Simuh membagi tasawuf menjadi dua bagian. Pertama,
Tasawuf Islam. Kedua Tasawuf Murni atau Tasawuf Mistik.2 Bagi Simuh
tasawuf memiliki dua bagian itu memang sangat realistis karena ia melihat
mengasingkan diri dari kehidupan social, yang ada hanya bersemedi, berzikir.
Simuh memakai jalan yang syar’i dalam kehidupannya sehari-hari maka itu
maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar,
maqam tawakal, dan maqam ridho (rela). Cukup bagi Simuh mengamalkan
dari pada tujuh maqam untuk mencapai puncak perjalanan spiritual. Baginya
yang tentunya hanya berdiam diri tidak melalukan aktifitas apapun yang
bersifat duniawi yang akan mengotori hati sehingga rasa penghambaanya pada
Tuhan akan tidak khusyu’. Justru itu dengan menggunakan tujuh maqam
beliau sangat antusias dalam menjalankan ibadahnya pada Tuhan Yang Maha
Esa.
Dalam melihat suatu budaya Simuh mengutip kata-kata dari Prof. DR.
Koentjaraningrat melihat bahwa kebudayaan itu terdiri atas dua komponen pokok.
Yakni komponen isi dan wujud. Sementara wujud kebudayaan terdiri atas ; sistem
budaya –ide dan gagasan-gagasan-, system sosial-tingkah laku dan tindakan-, dan
kebudayaan yang berupa fisik- dalam arti fact dan benda-benda hasil budaya yang
60
bersifat materiel. Sementara komponen isi terdiri atas tujuh unsur yang terdiri
pengetahuan, agama dan kesenian.3 Dalam kerangka ini Simuh lebih cenderung
melihat kepada sistem teologi (perkembangan agama) yakni agama yang telah
Dalam kebudayaan Jawa sebelum Islam tersebar di tanah Jawa yang telah
Yang Maha Esa menurut Budia Pradipta adalah mistik. Menurut Simuh
Dalam membahas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini condong
pada pemikiran Simuh. Dr. Simuh mengatakan bahwa kebatinan atau sufisme Jawa
itu adalah transformasi dari tasawuf Islam ke mistik Jawa dan juga terjadi proses
sinkretisasi atau akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa (hasil sinkretisme
oleh Hindu, Budha, yang berpegang teguh pada ajaran nenek moyang yakni laku
penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu dengan laku semedi (tapa;
menjauhkan diri dari masyarakat atau berkumpul dengan orang). Hadirnya Islam
yang transformative dapat membawa budaya yang baru dalam segi spiritual atau
ruhani.
Sehingga budaya, ritualisme yang di bangun oleh agama Hindu dan Budha
dapat dialihkan pada spiritual Islam yang dinamakan tasawuf dan bersatu padu. Pada
zaman sekarang tasawuf dalam budaya Jawa mengalami perubahan yang sangat
drastis bagi yang menganut ajaran tasawuf yang dulunya harus menyepi dari
Berangkat dari hal yang sama dan juga harus diketahui bahwa orang jawa
terutama yang abangan masih sangat banyak yang belum mengetahui tasawuf Islam
Yang Maha Esa’ adalah kepercayaan yang dianut oleh golongan Islam abangan di
Hindu-Budha’.
Dalam majalah Derap terbitan bulan Februari minggu III tahun 1978 halaman 35
dikatakan bahwa :
dan iblis.
Kebatinan adalah suatu pencaharian metafisik akan suatu
sebenarnya agama yang mereka anut adalah suatu varian dari agama
“kultus” atau bahasa Inggrisnya “cult”. Ia mengutip definisi Yinger dalam J. Milton
(New york, 1957), hal. 54-55. Oleh Yinger istilah “cult” digunakan dalam berbagai
kecil, yang mencari pengalaman mistik, memiliki strukur organisasi yang longgar,
tetapi memiliki kepemimpinan kharismatik. Pada segi tertentu “cult” sama dengan
“sect” (sekte) dalam pengertian bahwa keduanya merupakan “sempalan” dari suatu
sistem agama yang mapan. Tetapi “cult” merupakan sempalan “paling ekstrim” dari
kelompok kecil bersifat lokal, berumur singkat dan sering berkembang di sekitar
64
seorang pemimpin dominan. Ia juga berakulturasi dengan budaya lokal. Dalam “cult”
yang merupakan varian dari agama Islam kadang terjadi proses pengentalan “cult”,
kadang terjadi proses pengenceran “cult” atau ortodoksi, kembali ke ajaran Islam
yang ortodoks seperti yang terjadi pada “cult” Black Muslims di Amerika Serikat.
Demikian pula yang terjadi dalam ajaran kelompok-kelompok kebatinan Jawa kadang
memproklamirkan diri sebagai agama baru seperti ADARI (Agama Djawa Republik
Ada satu kitab yang memperlihatkan percampuran antar Islam dengan agama
setempat di Jawa. Menurut penulis kitab inilah yang menjadi ajaran pokok dari aliran
kepercayaan dan gerakan aliran kepercayaan sekarang Kitab itu adalah Wirid Hidayat
Jati, dikarang oleh Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito. Menurut Simuh kitab ini
Menurutnya kitab ini berisi ajaran Union-Mistik. Sebagai suatu bentuk ajaran Union-
Mistik (paham mistik yang mengajarkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan),
uraian tentang Tuhan dalam Wirid Hidayat Jati tak dapat dipisahkan dengan uraian
tentang manusia. Karena, setiap ajaran mistik yang berpaham union mistik tidak
menarik garis perbedaan yang tegas dan esensial antara manusia dan Tuhan. Maka
56666 Ibid.
ungkapan tentang Tuhan, dalam paham union mistik selalu tumpang tindih dengan
demikian ia merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan Tuhan, sehingga tidak
lain daripada Dia. Itulah logika union mistik. Hubungan Tuhan dengan manusia
sering diibaratkan dengan hubungan manisnya madu dengan madu, atau laut dengan
ombak. Simuh mengatakan bahwa paham union mistik dalam Wirid Hidayat Jati
adalah perpaduan dari paham dalam tasawuf Islam yaitu Wihdatul Wujud-nya Al
Pemahaman H.M. Rasyidi pada Wirid Hidayat Jati adalah sebagai literatur
kebatinan bukan literatur Islam. Ia mencatat ada 4 buku yang disebut sebagai literatur
kebatinan yaitu Serat Centini, Darmogandul, Gatoloco dan Wirid Hidayat Jati.
Mengenai Darmogandul dan Gatoloco dinilai oleh Hamka karya itu bukan semata-
mata sinkretisme, mencari-cari persamaan antara Hindu, Budha, dan Islam melainkan
membuat tafsir tentang ajaran Islam jauh daripada yang diajarkan Islam yang murni,
sehingga orang yang membacanya akan terkesan bahwa isinya mengejek Islam
bahkan menjadikan Islam itu obyek penghinaan dan tertawaan. H.M. Rasyidi menilai
wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito sebagai karya yang lebih tinggi mutunya dari
kesadaran akan modernisme pemikiran Islam dari kalangan muslim santri (putihan),
yaitu gerakan purifikasi pelaksanaan agama dan mensintesiskan pemikiran Barat yang
dianggap pembawa kemajuan dengan Al Quran dan Sunnah sebagai doktrin Islam di
66
berbagai aspek kehidupan (seperti politik, ekonomi, sosial, ritual, dan lain-lain).
Tema besar gerakan modern Islam di Jawa ketika itu adalah memurnikan
agama dan memerangi bid’ah (mengada-adakan yang tidak ada perintahnya dalam
persoalan pada masalah fiqh (hukum-hukum) dan kebangunan pemikiran teologi dan
filsafat dan kurang mengindahkan aspek batin yang menjadi titik tolak tasawuf, alam
kebatinan, akan menjadi hambatan bagi upaya modernisasi dalam arti mengejar
gerakan modernis ini secara langsung atau tidak langsung mendesak alam pikiran
kebatinan di Jawa dan penulis hanya membahas benturan antara Islam (dalam hal ini
Baru. Sebagai latar belakang penulis membahas perbenturan antara Islam dengan
kebatinan sejak masa pergerakan nasional. Karena secara legal formal gerakan-
gerakan modernis Islam lahir pada masa ini yaitu periode 1900-1942. Menurut Simuh
secara organisasional kelompok-kelompok kebatinan atau kejawen lahir mulai masa
dideteksi dan diidentifikasi, apakah ini perdebatan antara modernisme Islam dengan
Sejak masuknya agama Islam ke Indonesia pertentangan di antara umat Islam –yang
menurut Hamka “Islam Sunni” - dengan gerakan kebatinan itu sudah ada.
Perbenturan kemudian antara Islam dengan kebatinan terjadi sejak beralihnya pusat
kerajaan Jawa Islam dari Demak ke Pajang. Sunan Kudus pernah menjatuhkan
hukuman mati kepada Ki Kebo Kenongo, penyebar gerakan kebatinan, lalu anaknya
yaitu Adiwijoyo atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet ingin menuntut balas. Adiwijoyo
berhasil menjadi raja Pajang dan memindahkan pusat kerajaan Jawa dari Demak ke
Pajang. Sejak masa Pajang inilah dicari persesuaiaan dengan warisan budaya Jawa
lama dan Islam. Islam diterima, tetapi hendaknya ‘dijawakan’. Sejak masa Pajang
Perbenturan berikutnya antara Islam dan kebatinan terjadi pada abad ke-18
atau lebih tepatnya pada masa kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya
Islam dengan Haji Mutamakim yang divonis hukum bakar di tiang gantungan karena
Islam).
68
Perbenturan kemudian terjadi pada Perang Padri pada abad ke-19 di Sumatera
Barat kalau kita memakai definisi ‘aliran kepercayaan sama dengan sinkretisme
Islam’. Hamka mengatakan bahwa sinkretisme Islam juga ada di Sumatera Barat dan
di seluruh daerah di Indonesia, tetapi yang paling kental di Jawa. Sinkretisme Islam di
Sumatra Barat merasuk ke dalam sifat keberagaman kaum tradisional Islam dan kaum
adat. Tetapi penulis tidak akan membahas hal itu karena sulit sekali untuk
mengatakan bahwa sistem adat di seluruh Indonesia itu berlawanan dengan Islam.
Hal ini terletak di luar maksud tulisan ini, lagipula oleh berbedanya sistem adat yang
satu dengan yang lain, penilaian sedemikian meminta tenaga dan pemikiran khusus
pula. Dan juga sulit sekali membedakan antara kaum adat dengan kaum tradisionalis
Islam, apalagi mengatakan bahwa kaum adat adalah penganut aliran kepercayaan.
Sehingga penulis tidak bisa mengatakan bahwa konflik yang terjadi di sana adalah
kalangan masyarakat yang masih berlaku hingga kini, dan yang menunjukkan adanya
perbedaan cara hidup antara golongan yang sama-sama beragama Islam itu.
Pembagian ini ialah penggolongan antara abangan dan putihan. Putihan ialah mereka
yang taat beragama. Abangan adalah mereka yang namanya saja beragama Islam,
pada peristiwa-peristiwa penting belaka dalam hidup, yaitu pada waktu lahir, akil
baligh (waktu bersunat), kawin, dan mati. Pada peristiwa-peristiwa ini nampak sekali
hasrat mereka akan agama, dan pergilah mereka meminta pertolongan golongan
putihan untuk menunaikan kewajiban atau pun upacara-upacara yang bersangkutan
dengannya.
Pembedaan antara putihan dan abangan ini di Jawa pada akhir abad ke-19
tidak mengandung sifat perselisihan. Pembedaan antara putihan dan abangan di Jawa
pada permulaan abad ke-20 hanyalah merupakan pembedaan yang menunjukkan tebal
tipisnya ketaatan seseorang terhadap Islam.6 Dalam perasaan dan sebutan semuanya
Memang benar dapat dikatakan bahwa Islam merupakan lapisan yang tipis
abad ke-20. Pada masa itu ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai tebal tipisnya
ketaatan seseorang dalam beragama tidaklah tinggi, misalnya mengaku Islam dan
tidak makan babi dan akan dianggap sangat soleh kalau orang rajin shalat lima waktu
6 http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/antara-islam-tasawuf-dan-
kebatinan-di-jawa.html