Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

PEMIKIRAN PROF. DR. SIMUH TENTANG TASAWUF


DALAM BUKU ISLAM DAN PERGUMULAN BUDAYA JAWA

A. Tasawuf bagi Prof. Simuh

Pemikiran tasawuf simuh tercermin dalam tulisannya berikut ini, Bila

dibandingkan dengan pola budaya menurut ajaran tauhid yang rasional; pola

budaya menurut ajaran tauhid sufi terlalu menekankan dimensi rasa (dzauq).1

Yakni pola budaya mempersempit ruang gerak pemikiran rasional ilmiah.

Dengan pola budaya ultra ekspresif, yang terjadi adalah perubahan

pemahaman tauhid islami. Sejarah mencatat bahwa dalam masyarakat yang

didominasi ajaran sufisme pandangan tauhid bercampur baur dengan

pendewaan orang-orang saleh. Simuh sebagai tokoh produk pendidikan timur

(Indonesia) dan Barat (Australia) dalam pemikiran tasawuf pada dasarnya

menekankan konsep tawazun dalam Islam. Simuh melihat sufisme

merupakan pelarian yang amat positif bagi orang-orang yang mengalami

kegersangan58
spiritual dan frustasi dalam masyarakat modern. Namun Sufisme

dengan ilmu kasyaf-nya punya dasar pikiran bertolak belakang dengan alam

pikiran modern yang menuntut pengembangan cara berfikir akademis kritis.

Dalam segi ajaran, Simuh membagi tasawuf menjadi dua bagian. Pertama,

Tasawuf Islam. Kedua Tasawuf Murni atau Tasawuf Mistik.2 Bagi Simuh

tasawuf memiliki dua bagian itu memang sangat realistis karena ia melihat

1 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa


2 Dalam www. Sunan-ampel.ac.id/gdl. diakses tanggal 7 mei 2004.
tasawuf tidak hanya selalu melulu pada yang diatas (Tuhan Sang Pencipta)

mengasingkan diri dari kehidupan social, yang ada hanya bersemedi, berzikir.

Simuh memakai jalan yang syar’i dalam kehidupannya sehari-hari maka itu

dalam penghambaannya ia selalu memakai tujuh maqam kenaikan ruhani agar

dalam perjalanannya menuju Allah lebih mudah. Tujuh maqam tersebut;

maqam taubat, maqam wara’, maqam zuhud, maqam fakir, maqam sabar,

maqam tawakal, dan maqam ridho (rela). Cukup bagi Simuh mengamalkan

dari pada tujuh maqam untuk mencapai puncak perjalanan spiritual. Baginya

tidak perlu untuk menyepi, menjauhi pergaulan untuk berlama-lama berzikir,

yang tentunya hanya berdiam diri tidak melalukan aktifitas apapun yang

bersifat duniawi yang akan mengotori hati sehingga rasa penghambaanya pada

Tuhan akan tidak khusyu’. Justru itu dengan menggunakan tujuh maqam

beliau sangat antusias dalam menjalankan ibadahnya pada Tuhan Yang Maha

Esa.

B. Kondisi Sosial Masyarakat yang Mempengaruhi Pemikiran Prof. Dr. Simuh

Dalam melihat suatu budaya Simuh mengutip kata-kata dari Prof. DR.

Koentjaraningrat dalam karangan bukunya yang berjudul “Kebudayaan Jawa”.

Koentjaraningrat melihat bahwa kebudayaan itu terdiri atas dua komponen pokok.

Yakni komponen isi dan wujud. Sementara wujud kebudayaan terdiri atas ; sistem

budaya –ide dan gagasan-gagasan-, system sosial-tingkah laku dan tindakan-, dan

kebudayaan yang berupa fisik- dalam arti fact dan benda-benda hasil budaya yang
60

bersifat materiel. Sementara komponen isi terdiri atas tujuh unsur yang terdiri

dari; bahasa system teknologi, system ekonomi, organisasi sosial, ilmu

pengetahuan, agama dan kesenian.3 Dalam kerangka ini Simuh lebih cenderung

melihat kepada sistem teologi (perkembangan agama) yakni agama yang telah

berlaku di Jawa. Budaya yang berkembang dalam masyarakat Jawa semakin

beragam pasca datangnya Islam dan hilangnya unsur-unsur kepecayaan

Animisme dan Dinamisme. Hindu dan Budha

C. Tasawuf dan Budaya Jawa bagi Simuh

Dalam kebudayaan Jawa sebelum Islam tersebar di tanah Jawa yang telah

membudaya pada ranah spiritualnya adalah kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa menurut Budia Pradipta adalah mistik. Menurut Simuh

kebatinan sebagian besar unsurnya adalah tasawuf.

Dalam membahas kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini condong

pada pemikiran Simuh. Dr. Simuh mengatakan bahwa kebatinan atau sufisme Jawa

itu adalah transformasi dari tasawuf Islam ke mistik Jawa dan juga terjadi proses

sinkretisasi atau akulturasi antara Islam dengan kebudayaan Jawa (hasil sinkretisme

antara Hindu, Budha, Animisme, Dinamisme).4 Sebelum datangya Islam telah

berkembang mistik yang dilahirkan Animisme-Dinamisme, kemudian dilanjutkan

oleh Hindu, Budha, yang berpegang teguh pada ajaran nenek moyang yakni laku

3 Simuh, Sufisme Jawa, Hal. 109.


4 www.mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/antara-islam-tasawuf-
dan kebatinan-di-jawa.html
kebatinan atau sembah rasa. Baginya dengan laku batin itu dapat melakukan

penyatuan dengan Tuhan Yang Maha Esa yaitu dengan laku semedi (tapa;

menjauhkan diri dari masyarakat atau berkumpul dengan orang). Hadirnya Islam

yang transformative dapat membawa budaya yang baru dalam segi spiritual atau

ruhani.

Sehingga budaya, ritualisme yang di bangun oleh agama Hindu dan Budha

dapat dialihkan pada spiritual Islam yang dinamakan tasawuf dan bersatu padu. Pada

zaman sekarang tasawuf dalam budaya Jawa mengalami perubahan yang sangat

drastis bagi yang menganut ajaran tasawuf yang dulunya harus menyepi dari

pergaulan orang, menyepi di gua-gua atau di tempat-tempat keramat. Kini Islam

mengajarkan dengan sinkretis, menyatukan antara ajaran agama sebelumnya di

barengi dengan ajaran syariat Islam.

Berangkat dari hal yang sama dan juga harus diketahui bahwa orang jawa

terutama yang abangan masih sangat banyak yang belum mengetahui tasawuf Islam

seperti yang dialami Dr. Hamka, dia mengatakan:

” Telah kita ketahui bahwa berbagai kepercayaan dan aliran-aliran

kebatinan telah timbul dalam masyarakat kita di Indonesia ini.

Gerakan semacam ini banyak sekali, terutama tumbuh di Jawa

Tengah, dan ada juga di daerah-daerah lain”. ” Saya pernah

diundang dua kali dalam ‘Purnama Sidi’ itu untuk mengadakan

ceramah ‘kebatinan’. Dan saya kabulkan permintaan itu, lalu saya

terangkan tasawuf Islam, gabungan ajaran Ghazali dan Ibnul


62

Qayyim, dari kitab Ihya Ulumuddin dan Madarijus Salikin,

Wongsonegoro SH (salah seorang tokohnya -pen) tertarik sekali

dengan keterangan-keterangan itu dan memujinya. Dia mengatakan

banyak ajaran-ajaran itu yang mirip dengan ajaran kebatinan. Simuh

diminta sering-sering mengisi ceramah agar kaum abangan tahu

tentang tasawuf Islam dan melihat banyak kesamaan ajarannya.

Dari pendapat Simuh dapatlah dibuat definisi ‘Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa’ adalah kepercayaan yang dianut oleh golongan Islam abangan di

Jawa yang bersumber dari sinkretisme Islam dengan animisme-dinamisme serta

Hindu-Budha’.

Mengenai istilah kebatinan ada beberapa pendapat yang dikemukakan di sini.

Pendapat pertama dari Drs. Warsito Sastroprajitno yang mengatakan:

“Kebatinan adalah kebudayaan spiritual dari kraton Jawa, yang

berasal dari zaman yang sudah sangat tua dan mengalami

perkembangan yang sangat unik pula”.

Dalam majalah Derap terbitan bulan Februari minggu III tahun 1978 halaman 35

dikatakan bahwa :

“Kebatinan bukan suatu agama dalam arti yang setepat-tepatnya

seperti Islam, Budhisme, Hinduisme, atau Kristen. Tiada Gereja

karena dianggapnya tidak perlu. Aliran ini tidak terlampau

mempersoalkan masalah akhirat, sorga atau neraka atau malaikat

dan iblis.
Kebatinan adalah suatu pencaharian metafisik akan suatu

keselarasan di dalam batin orang, keselarasan antara batin sendiri

dengan sesama manusia dan alam. Kebatinan merupakan paduan dari

akultisme, metafisika, mistik, dan doktrin-doktrin lainnya, suatu

ramuan khas kebolehan orang Jawa untuk mengadakan sinthesis“.

Selanjutnya Prof.Dr. Koentjaraningrat mendefinisikan bahwa:

“Mereka (kaum abangan) tidak dapat dikatakan orang yang

beragama Islam yang tidak banyak menghiraukan agama, sebab

sebenarnya agama yang mereka anut adalah suatu varian dari agama

Islam Jawa, yaitu agama Jawi”.

Kalau menurut Azyumardi Azra, kebatinan Jawa itu digolongkan sebagai

“kultus” atau bahasa Inggrisnya “cult”. Ia mengutip definisi Yinger dalam J. Milton

Yinger , Society and the Individual: An Introduction to the Sociology of Religion,

(New york, 1957), hal. 54-55. Oleh Yinger istilah “cult” digunakan dalam berbagai

cara berbeda, yang biasanya mengacu kepada “kelompok keagamaan” berukuran

kecil, yang mencari pengalaman mistik, memiliki strukur organisasi yang longgar,

tetapi memiliki kepemimpinan kharismatik. Pada segi tertentu “cult” sama dengan

“sect” (sekte) dalam pengertian bahwa keduanya merupakan “sempalan” dari suatu

sistem agama yang mapan. Tetapi “cult” merupakan sempalan “paling ekstrim” dari

tradisi keagamaan dominan dalam masyarakat. Dengan demikian “cult” berarti

kelompok sempalan yang menyimpang dari “universal church“, ia merupakan

kelompok kecil bersifat lokal, berumur singkat dan sering berkembang di sekitar
64

seorang pemimpin dominan. Ia juga berakulturasi dengan budaya lokal. Dalam “cult”

yang merupakan varian dari agama Islam kadang terjadi proses pengentalan “cult”,

kadang terjadi proses pengenceran “cult” atau ortodoksi, kembali ke ajaran Islam

yang ortodoks seperti yang terjadi pada “cult” Black Muslims di Amerika Serikat.

Demikian pula yang terjadi dalam ajaran kelompok-kelompok kebatinan Jawa kadang

mengalami proses ortodoksi (ditarik mendekat ke Islam), kadang mengalami

pengentalan “Cult” (diulur menjauh dari Islam) bahkan tanpa takut-takut

memproklamirkan diri sebagai agama baru seperti ADARI (Agama Djawa Republik

Indonesia) dan IIH (Iman Igama Hak).

Ada satu kitab yang memperlihatkan percampuran antar Islam dengan agama

setempat di Jawa. Menurut penulis kitab inilah yang menjadi ajaran pokok dari aliran

kepercayaan dan gerakan aliran kepercayaan sekarang Kitab itu adalah Wirid Hidayat

Jati, dikarang oleh Raden Mas Ngabehi Ronggowarsito. Menurut Simuh kitab ini

adalah hasil akulturasi antara ajaran Islam-Pesantren (suatu sistem pendidikan di

mana Ronggowarsito belajar) dengan budaya kraton Jawa tempat Ronggowarsito

dilahirkan dan dibesarkan serta di kemudian harinya mengabdikan diri di sana. 5

Menurutnya kitab ini berisi ajaran Union-Mistik. Sebagai suatu bentuk ajaran Union-

Mistik (paham mistik yang mengajarkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan),

uraian tentang Tuhan dalam Wirid Hidayat Jati tak dapat dipisahkan dengan uraian

tentang manusia. Karena, setiap ajaran mistik yang berpaham union mistik tidak

menarik garis perbedaan yang tegas dan esensial antara manusia dan Tuhan. Maka

56666 Ibid.
ungkapan tentang Tuhan, dalam paham union mistik selalu tumpang tindih dengan

pernyataan tentang manusia. Karena, manusia memang bukan Tuhan, namun

demikian ia merupakan kesatuan yang tak terpisahkan dengan Tuhan, sehingga tidak

lain daripada Dia. Itulah logika union mistik. Hubungan Tuhan dengan manusia

sering diibaratkan dengan hubungan manisnya madu dengan madu, atau laut dengan

ombak. Simuh mengatakan bahwa paham union mistik dalam Wirid Hidayat Jati

adalah perpaduan dari paham dalam tasawuf Islam yaitu Wihdatul Wujud-nya Al

Hallaj dan Ibn ‘Arabi

Pemahaman H.M. Rasyidi pada Wirid Hidayat Jati adalah sebagai literatur

kebatinan bukan literatur Islam. Ia mencatat ada 4 buku yang disebut sebagai literatur

kebatinan yaitu Serat Centini, Darmogandul, Gatoloco dan Wirid Hidayat Jati.

Mengenai Darmogandul dan Gatoloco dinilai oleh Hamka karya itu bukan semata-

mata sinkretisme, mencari-cari persamaan antara Hindu, Budha, dan Islam melainkan

membuat tafsir tentang ajaran Islam jauh daripada yang diajarkan Islam yang murni,

sehingga orang yang membacanya akan terkesan bahwa isinya mengejek Islam

bahkan menjadikan Islam itu obyek penghinaan dan tertawaan. H.M. Rasyidi menilai

wirid Hidayat Jati karya Ronggowarsito sebagai karya yang lebih tinggi mutunya dari

Darmogandul dan Gatoloco, tetapi ia juga memberikan tafsir yang bukan-bukan.

Konflik antara Islam dengan aliran kepercayaan dimulai dengan timbulnya

kesadaran akan modernisme pemikiran Islam dari kalangan muslim santri (putihan),

yaitu gerakan purifikasi pelaksanaan agama dan mensintesiskan pemikiran Barat yang

dianggap pembawa kemajuan dengan Al Quran dan Sunnah sebagai doktrin Islam di
66

berbagai aspek kehidupan (seperti politik, ekonomi, sosial, ritual, dan lain-lain).

Tema besar gerakan modern Islam di Jawa ketika itu adalah memurnikan

agama dan memerangi bid’ah (mengada-adakan yang tidak ada perintahnya dalam

ibadah) dan khurafat (dongeng, tahayul). Gerakan ini cenderung menitikberatkan

persoalan pada masalah fiqh (hukum-hukum) dan kebangunan pemikiran teologi dan

filsafat dan kurang mengindahkan aspek batin yang menjadi titik tolak tasawuf, alam

pikiran sufisme, ataupun kebatinan. Gerakan modernisme Islam menjadi antitesis

tasawuf dan kebatinan. Kaum modernis menganggap bahwa tasawuf, apalagi

kebatinan, akan menjadi hambatan bagi upaya modernisasi dalam arti mengejar

ketertinggalan iptek dari Barat.

Persentuhan budaya dengan perkembangan Islam di Jawa yang melahirkan

gerakan modernis ini secara langsung atau tidak langsung mendesak alam pikiran

Jawa terutama hal-hal yang bersifat mitologis, magis, dan mistis.

Desakan ini mengena pada bentuk Islam tradisional yang berbasis di

pesantren-pesantren dan tarekat-tarekat, juga mengena pada berbagai macam aliran

kebatinan di Jawa dan penulis hanya membahas benturan antara Islam (dalam hal ini

modernisme Islam) dengan aliran kebatinan/aliran kepercayaan pada masa Orde

Baru. Sebagai latar belakang penulis membahas perbenturan antara Islam dengan

kebatinan sejak masa pergerakan nasional. Karena secara legal formal gerakan-

gerakan modernis Islam lahir pada masa ini yaitu periode 1900-1942. Menurut Simuh
secara organisasional kelompok-kelompok kebatinan atau kejawen lahir mulai masa

pergerakan nasional. Menurut Soedjatmoko aliran-aliran kebatinan atau kejawen

mulai diorganisir rapi sejak masa pergerakan kebangsaan.

Dalam benturan-benturan di lapangan, misalnya perdebatan lisan sulit

dideteksi dan diidentifikasi, apakah ini perdebatan antara modernisme Islam dengan

aliran kepercayaan ataukah antara modernisme Islam dengan tradisionalisme Islam.

Sejak masuknya agama Islam ke Indonesia pertentangan di antara umat Islam –yang

menurut Hamka “Islam Sunni” - dengan gerakan kebatinan itu sudah ada.

Perbenturan kemudian antara Islam dengan kebatinan terjadi sejak beralihnya pusat

kerajaan Jawa Islam dari Demak ke Pajang. Sunan Kudus pernah menjatuhkan

hukuman mati kepada Ki Kebo Kenongo, penyebar gerakan kebatinan, lalu anaknya

yaitu Adiwijoyo atau Jaka Tingkir atau Mas Karebet ingin menuntut balas. Adiwijoyo

berhasil menjadi raja Pajang dan memindahkan pusat kerajaan Jawa dari Demak ke

Pajang. Sejak masa Pajang inilah dicari persesuaiaan dengan warisan budaya Jawa

lama dan Islam. Islam diterima, tetapi hendaknya ‘dijawakan’. Sejak masa Pajang

inilah populernya sebutan Kejawen.

Perbenturan berikutnya antara Islam dan kebatinan terjadi pada abad ke-18

atau lebih tepatnya pada masa kekuasaan Amangkurat IV (1719-1726) dan putranya

Pakubuwana II (1726-1749), yaitu antara Ketib Anom Kudus mewakili kalangan

Islam dengan Haji Mutamakim yang divonis hukum bakar di tiang gantungan karena

mengajarkan ajaran Kasunyatan dan menganjurkan meninggalkan Syari’ah (hukum

Islam).
68

Perbenturan kemudian terjadi pada Perang Padri pada abad ke-19 di Sumatera

Barat kalau kita memakai definisi ‘aliran kepercayaan sama dengan sinkretisme

Islam’. Hamka mengatakan bahwa sinkretisme Islam juga ada di Sumatera Barat dan

di seluruh daerah di Indonesia, tetapi yang paling kental di Jawa. Sinkretisme Islam di

Sumatra Barat merasuk ke dalam sifat keberagaman kaum tradisional Islam dan kaum

adat. Tetapi penulis tidak akan membahas hal itu karena sulit sekali untuk

mengatakan bahwa sistem adat di seluruh Indonesia itu berlawanan dengan Islam.

Hal ini terletak di luar maksud tulisan ini, lagipula oleh berbedanya sistem adat yang

satu dengan yang lain, penilaian sedemikian meminta tenaga dan pemikiran khusus

pula. Dan juga sulit sekali membedakan antara kaum adat dengan kaum tradisionalis

Islam, apalagi mengatakan bahwa kaum adat adalah penganut aliran kepercayaan.

Sehingga penulis tidak bisa mengatakan bahwa konflik yang terjadi di sana adalah

konflik antara Islam dengan aliran kepercayaan.

Berbeda halnya dengan keadaan di Jawa. Ada pembagian tertentu dalam

kalangan masyarakat yang masih berlaku hingga kini, dan yang menunjukkan adanya

perbedaan cara hidup antara golongan yang sama-sama beragama Islam itu.

Pembagian ini ialah penggolongan antara abangan dan putihan. Putihan ialah mereka

yang taat beragama. Abangan adalah mereka yang namanya saja beragama Islam,

yang kurang memperhatikan kewajiban-kewajiban berupa ibadah, dan membatasi

pada peristiwa-peristiwa penting belaka dalam hidup, yaitu pada waktu lahir, akil

baligh (waktu bersunat), kawin, dan mati. Pada peristiwa-peristiwa ini nampak sekali

hasrat mereka akan agama, dan pergilah mereka meminta pertolongan golongan
putihan untuk menunaikan kewajiban atau pun upacara-upacara yang bersangkutan

dengannya.

Pembedaan antara putihan dan abangan ini di Jawa pada akhir abad ke-19

tidak mengandung sifat perselisihan. Pembedaan antara putihan dan abangan di Jawa

pada permulaan abad ke-20 hanyalah merupakan pembedaan yang menunjukkan tebal

tipisnya ketaatan seseorang terhadap Islam.6 Dalam perasaan dan sebutan semuanya

menyebutkan diri mereka orang Islam, wong selam.

Memang benar dapat dikatakan bahwa Islam merupakan lapisan yang tipis

belaka dalam hidup kebanyakan pengikutnya di Indonesia terutama pada permulaan

abad ke-20. Pada masa itu ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai tebal tipisnya

ketaatan seseorang dalam beragama tidaklah tinggi, misalnya mengaku Islam dan

tidak makan babi dan akan dianggap sangat soleh kalau orang rajin shalat lima waktu

walaupun ia banyak juga melanggar larangan agama.

6 http://mahardhikazifana.com/religion-philosophy-agama-filsafat/antara-islam-tasawuf-dan-
kebatinan-di-jawa.html

Anda mungkin juga menyukai